Sejarah Nusantara pernah mencatat masa ketika perbedaan keyakinan bukanlah jurang yang memisahkan, melainkan jembatan yang menyatukan. Pernikahan Pramodhavardhani dari Wangsa Syailendra (Buddha) dan Rakai Pikatan dari Wangsa Sanjaya (Hindu) menjadi bukti nyata. Dari pertemuan dua tokoh ini lahirlah karya agung yang hingga kini tetap berdiri megah: Borobudur dan Prambanan.
Harmoni Dua Dinasti
Pernikahan Pramodhavardhani dan Rakai Pikatan bukan hanya ikatan pribadi, melainkan juga strategi politik yang mempersatukan dua wangsa besar: Syailendra dan Sanjaya. Di satu sisi ada tradisi Buddha Mahayana yang kuat, di sisi lain Hindu Siwa yang kokoh. Penyatuan ini melahirkan harmoni dalam keberagaman, memperkuat persatuan di tanah Jawa.
Jejak Cinta dalam Arsitektur
Kisah cinta dan persatuan itu tercermin dalam karya monumental. Borobudur yang diprakarsai Pramodhavardhani menjadi mahakarya Buddha terbesar di dunia, sementara Prambanan yang dibangun Rakai Pikatan menjadi persembahan agung bagi dewa-dewa Hindu. Dua candi ini berdiri tidak jauh satu sama lain, seolah menjadi simbol dialog abadi antara dua keyakinan besar.
Aturan Pernikahan Indonesia Sekarang
Berbeda dengan masa lampau, di Indonesia modern, aturan pernikahan diatur oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal 2 menegaskan bahwa perkawinan dianggap sah apabila dilakukan menurut hukum agama masing-masing. Praktiknya, hal ini membuat pasangan beda agama sulit menikah secara resmi, karena harus berada dalam satu agama agar diakui negara.
Aturan ini kontras dengan sejarah Nusantara yang pernah menunjukkan keterbukaan melalui pernikahan Pramodhavardhani dan Rakai Pikatan.
Kisah Pramodhavardhani dan Rakai Pikatan adalah warisan berharga bagi bangsa Indonesia. Pernikahan mereka membuktikan bahwa harmoni antaragama bukanlah utopia, melainkan kenyataan sejarah Nusantara. Berbeda dengan masa lalu, hukum Indonesia kini menuntut kesamaan agama dalam pernikahan, sementara sejarah mengingatkan kita pentingnya menjaga keberagaman.
Leave a Reply