Semua orang pasti pernah merasa malas, terutama sat menghadapi tugas yang berat atau membosankan. Psikologi mengatakan bahwa rasa malas sesekali adalah mekanisme tubuh untuk meminta waktu istirahat. Artinya, mengambil jeda itu wajar, asalkan tidak jatuh ke pola hidup yang terus-menerus bermalas-malasan.
Rasa malas bisa menjadi sinyal bahwa kamu mungkin sedang kelelahan secara fisik atau emosional. Psikologi menyebut ini sebagai bentuk self-requlation failure, di mana tubuh dan pikiran memerlukan pemulihan.
Dalam ajaran Buddha, meditasi dan refleksi adalah cara untuk mendengarkan tubuh dan memahami apa yang sebenarnya dibutuhkan, bukan sekadar menyerah pada kemalasan. Namun, jika rasa malas menjadi kebiasaan, ini bukan lagi sekadar jeda.
Buddha mengingatkan bahwa segala tindakan kita menciptakan karma. Malas yang terus-menerus menciptakan karma buruk, yaitu keterikatan pada kemalasan itu sendiri. Psikologi modern juga sepakat bahwa kebiasaan malas dapat menurunkan harga diri dan membuat seseorang kehilangan kesempatan untuk berkembang.
Tanya dirimu, “Kenapa aku malas?” Jika alasannya adalah kelelahan, ambillah istirahat sejenak. Dengan sadar-penuh (mindfulness) akan waktu dan energi, kamu bisa memilih mana yang perlu dikerjakan dan mana yang bisa ditunda.
Buddha juga mengajarkan pentingnya keseimbangan dalam hidup. Buddha tidak pernah mengajarkan hidup dalam tekanan tanpa henti. Ambil waktu untuk istirahat, tapi gunakan jeda itu untuk refleksi, bukan untuk menghindari tanggung jawab. Psikologi menyebut ini sebagai active rest, seperti membaca, berjalan santai, atau bermeditasi.
Leave a Reply