Dulu kita menganggap Nobita itu pemalas, penakut, dan selalu bergantung pada alat Doraemon. Tapi makin dewasa, makin kita sadar, kita semua ternyata adalah Nobita. Di tengah dunia yang menuntut kita terus kuat, cepat, dan sempurna, Nobita justru mewakili sisi manusiawi kita: lelah, bingung, dan cuma ingin dimengerti.
Makin dewasa, makin terasa bahwa kehidupan ini tidak semudah skrip motivasi. Kita kerja, kuliah, atau sekadar bertahan dari hari ke hari, dan perlahan mulai mengerti kenapa Nobita begitu sering rebahan atau menghindar dari masalah. Mungkin dia bukan pemalas.
Mungkin dia cuma lelah, lelah dituntut jadi sempurna tapi tak punya alat untuk bertumbuh. Kayak kita yang disuruh “mandiri” di tengah harga yang terus naik, tekanan sosial yang mencekik, dan waktu istirahat yang makin langka.
Kadang kita tidak butuh semangat, tapi pengertian. Kita tidak sedang menyerah. Kita sedang mencoba bertahan dengan cara kita sendiri. Dulu kita menertawakan Nobita saat ia minta alat dari Doraemon untuk kabur dari masalah. Sekarang kita kabur juga lewat scroll panjang di toko oranye dan hijau, lewat mimpi-mimpi kecil yang terasa jauh dari kenyataan.
Tapi seperti Nobita, kita juga belum menyerah. Di episode-episode penting, Nobita menunjukkan bahwa meski takut, dia tetap maju. Meski menangis, dia tetap jalan. Dan mungkin hari ini, yang kita perlukan juga sesederhana itu: menyelesaikan satu hal kecil, memberi ruang untuk satu napas penuh kesadaran, dan jujur pada diri sendiri.
Nobita bukan tokoh gagal. Dia adalah tokoh yang jujur. la jujur pada rasa takut dan rasa lelahnya. Kejujuran Nobita mengajarkan kita untuk terus mencoba, meski pelan, dengan sadar dan menerima apa adanya.
Leave a Reply