DALAM AGAMA BUDDHA,
puasa adalah sebuah tahapan awal disiplin diri untuk memperoleh pengendalian diri yang baik. Puasa dipandang sebagai sebuah latihan. Praktik ini bahkan berperan penting dalam pencapaian kesempurnaan Pangeran Siddhartha.
Pada saat itu dikisahkan Pangeran sedang menjalani tapa ekstrim sambil berpuasa. Puasa yang dilakukannya adalah puasa ekstrem dengan hanya memakan sebutir biji wijen dan sebutir buah berry setiap hari. Akibatnya tubuh beliau menjadi sangat kurus dan lemah. Tubuh beliau yang sehat berubah menjadi seperti kulit yang menempel pada tulang. Sayangnya, meditasi beliau tidak mendapatkan kemajuan.
Akhirnya beliau sadar bahwa praktik ekstrim semacam ini justru tidak membawanya pada kemajuan. Beliau pun mulai minum susu dan memakan bubur persembahan. Dari titik inilah Beliau memulihkan kembali tenaganya dan duduk bermeditasi hingga mencapai Pencerahan. Kisah tersebut menunjukkan bahwa Buddha bertindak secara moderat. Beliau tidak menganjurkan praktik ekstrem. Demikian pula dengan pandangan terhadap praktik puasa. Tidak ada penolakan terhadap makanan, tetapi penting untuk dikedepankan kesederhanaan terhadap makanan. Puasa tidak sekedar berhubungan dengan batasan asupan makanan bagi tubuh. Bagi umat awam, biasanya akan menjalankan puasa pada hari Uposatha. Pada hari ini pula mereka akan menjalankan Delapan Sila.
PRAKTIK DELAPAN SILA
tidak hanya tentang puasa (yaitu tidak makan lewat dari tengah hari), tetapi juga terkait latihan moralitas lainnya yang mencakup menghindari pembunuhan, pencurian, hubungan seksual, ucapan tidak benar, hiburan, dan kemewahan.
Dengan demikian, praktik puasa ini dilaksanakan bersamaan dengan praktik moralitas lainnya dengan tujuan melatih diri hidup dalam kesederhanaan, mengembangkan cinta kasih dan kebijaksanaan, serta mengembangkan sikap perilaku yang baik.
Penulis: Sasanasena Hansen
Sumber: Buddhazine.com
Leave a Reply