Imlek yang dikenal sebagai Tahun Baru Tionghoa, adalah tradisi penting bagi masyarakat Tionghoa di seluruh dunia. Namun, di Indonesia, perayaan Imlek pernah mengalami masa suram selama era pemerintahan Presiden Soeharto. Kebijakan politik pada masa Orde Baru melarang segala bentuk ekspresi budaya Tionghoa, termasuk perayaan Imlek, sebagai bagian dari asimilasi yang dipaksakan.
Larangan ini berakar dari Instruksi Presiden Nomor 14 Tahun 1967, yang dikeluarkan dengan dalih menjaga stabilitas nasional pasca peristiwa G30S/PKI. Segala hal yang berkaitan dengan budaya Tionghoa, seperti penggunaan aksara Han, perayaan tradisional, dan ritual keagamaan, dianggap bertentangan dengan upaya membangun identitas nasional Indonesia yang seragam.
Dalam konteks ini, perayaan Imlek hanya bisa dilakukan secara tertutup dan sering kali tapa hiasan atau simbol budaya khas. Banyak keluarga Tionghoa yang merayakan dengan sederhana, hanya dengan makanan khas dan doa dalam lingkup keluarga, tanpa meriah atau menonjolkan identitas budaya mereka.
Penghapusan kebijakan diskriminatif ini baru dimulai setelah jatuhnya rezim Soeharto pada tahun 1998. Pada masa pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid, larangan tersebut dicabut, dan masyarakat Tionghoa kembali diizinkan merayakan Imlek secara terbuka. Tahun 2003 menjadi momen bersejarah ketika Presiden Megawati Soekarnoputri menetapkan Imlek sebagai hari libur nasional.
Saat ini, Imlek dirayakan dengan meriah di seluruh Indonesia, mencerminkan semangat keberagaman dan penerimaan budaya yang lebih baik. Perubahan ini menjadi bukti bagaimana kebijakan pemerintah dapat memengaruhi identitas budaya suatu kelompok dan bagaimana upaya rekonsiliasi dapat memulihkan hak-hak budaya yang pernah terampas.
Leave a Reply