Mungkin kita sering mendengar harapan bahwa keluarga adalah pendukung utama. Namun, kenyataannya, konflik, miskomunikasi, atau harapan berlebihan justru bisa membuat hubungan keluarga tegang. Ketika komunikasi sehat tak berjalan, seringkali kita malah merasa lebih nyaman berbicara dan berbagi dengan orang lain yang bukan keluarga. Mereka hadir tanpa ekspektasi, memberi dukungan tanpa menghakimi, dan justru mengisi kekosongan yang seharusnya diisi keluarga.
Dalam psikologi, perbedaan pola pikir dan ekspektasi antara orang tua dan anak sering memicu konflik; kritik yang dimaksudkan sebagai perhatian bisa terasa seperti penolakan. Saat keluarga menjadi sumber emosi negatif, kita cenderung mencari dukungan di luar, seperti dari teman atau komunitas spiritual yang lebih menenangkan secara emosional.
Perspektif Buddhis hubungan yang harmonis diawali dari niat baik dan empati yang tulus. Buddha mengajarkan kita untuk mengembangkan metta (cinta kasih) dan karuna (welas asih), terutama bagi mereka yang sulit dijangkau secara emosional -termasuk keluarga kita sendiri. Ketika kita melihat keluarga dengan niat untuk memahami, bukan untuk membalas, kita belajar meredam ego dan melihat mereka dengan kasih yang lebih luas.
Buddha mengajarkan upekkha atau keseimbangan batin, agar kita dapat menerima dukungan maupun penolakan tapa emosi berlebihan. Dengan hati yang penuh kasih, kita bisa menemukan kedamaian dalam diri tapa bergantung pada penerimaan eksternal dan mengurangi kebencian, meski dukungan sering datang dari luar keluarga.
Leave a Reply