Gowok dan Kamasutra mencerminkan pandangan budaya bahwa seksualitas bisa dipelajari dan dinikmati. Namun, keduanya tidak bersumber dari ajaran Buddha. Ajaran Buddha justru mengajarkan bahwa pelepasan dari nafsu membawa kebahagiaan yang lebih tinggi daripada pemuasan nafsu itu sendiri.
Dalam pandangan moral ajaran Buddha, praktik seperti gowok yang melibatkan hubungan seksual pranikah dan transaksi fisik tergolong pelanggaran sila, khususnya kamesu micchäcara. Ajaran Buddha menekankan kesucian hubungan yang didasari komitmen dan menolak eksploitasi seksual dalam bentuk apa pun.
Sementara itu, Kamasutra lebih menekankan pengembangan kehidupan sensual. Meskipun tidak secara langsung ditentang, ajaran Buddha tidak memberi tempat bagi panduan teknis kenikmatan seksual karena bukan bagian dari jalan spiritual. Fokus utamanya adalah pelatihan batin, bukan keterampilan erotik.
Beberapa isi Kamasutra, seperti anjuran perselingkuhan yang aman, bertentangan langsung dengan etika dalam ajaran Buddha. Karena itu, praktik seperti gowok dan isi Kamasutra dianggap sebagai urusan duniawi yang bisa menghambat kemajuan spiritual bila tidak dilandasi sila.
Ajaran Buddha menekankan bahwa hasrat indrawi adalah penghalang menuju Nirvana. Seks bukan tujuan yang harus dirayakan, tapi bagian dari kehidupan duniawi yang perlu dipahami dan dilampaui demi kebebasan batin yang sejati.
Ajaran Buddha mengajak kita memahami bahwa kebahagiaan sejati tidak terletak pada pemuasan hasrat, melainkan pada kebebasan dari keterikatan. Seksualitas bukan untuk dimusuhi, tetapi disikapi dengan bijak agar tidak menjadi penghalang dalam perjalanan spiritual menuju pembebasan batin.
Leave a Reply