Ven. Minh Tue hidup sederhana, hanya berkata, “Nama Dharma saya Minh Tuê. Saya berharap semua orang berbahagia.” Sikapnya yang lugas membuatnya dianggap naif oleh sebagian orang, tetapi bagi yang memahami, kata-katanya adalah pelita.
la menjalani hidup sebagai pengembara tanpa kepemilikan, meminta derma, menghadapi cibiran, namun tetap tersenyum. Fenomena media sosial membuatnya pusat perhatian-dari eksploitasi hingga penghormatan. Tanpa akun atau ambisi pribadi, ia tetap teguh, menginspirasi 71 orang mengikuti jalannya meski tak pernah menerima murid. Bagi Minh Tuê, kebijaksanaan sejati sederhana: hidup dengan kebaikan.
Dalam kehidupan sehari-hari, sulit menerapkan ajaran bhikkhu pengembara ini secara sempurna. Namun, pesannya tetap hidup bagi mereka yang mau mendengar. Seseorang hanya bisa belajar dengan mendengar dan mempraktikkan. Banyak yang mengatakan ini adalah zaman “kemerosotan Dharma,” ketika kasih sayang manusia memudar.
Ketika ketidakjujuran dan kekejaman berkuasa, orang baik terpaksa menyembunyikan diri, tanpa kekuatan, tanpa perlindungan bagi diri sendiri maupun sesama. Namun, langkah-langkah Minh Tuê telah membangkitkan kembali kasih sayang yang lama terkubur di hati banyak orang. la menunjukkan jalan-jalur cinta dan saling mendukung dalam perjalanan spiritual.
Kebaikan dalam diri manusia mulai terbangun melalui jejak seorang pertapa yang menyatukan masyarakat. Kekuatan kejahatan dan kepalsuan perlahan tersingkir, terungkap, dan terisolasi.
Etika belas kasih dan kejujuran menjadi kekuatan sejati, orang-orang saling merangkul dan membangun persatuan yang tak terduga. Hari-hari in menunjukkan bahwa meski kekejaman masih ada, “biarkan saja-itu urusan mereka.” Sementara itu, kebaikan terus tumbuh, membentuk lingkaran perlindungan bagi mereka yang berjalan menuju cahaya.
Sumber: buddhistdoor.net
Leave a Reply