Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / 20 Tahun Ditjen Bimas Buddha: Sejarah, Prestasi, Perbandingan, dan Evaluasi

20 Tahun Ditjen Bimas Buddha: Sejarah, Prestasi, Perbandingan, dan Evaluasi

October 15, 2025
Sejarah Pembentukan Ditjen Bimas Buddha (2004–2005)

Terbentuknya Kementerian Agama RI pada 3 Januari 1946 belum otomatis menyediakan layanan bagi pemeluk agama non-Muslim 1. Unit khusus untuk agama Buddha baru muncul melalui proses panjang demi kesetaraan hak sesuai Pancasila dan UUD 1945 1. Upaya komunitas Buddha memuncak pada Kongres Umat Buddha I tahun 1979 di Yogyakarta, yang mendesak adanya Direktorat Jenderal tersendiri bagi agama Buddha 2. Saat itu pelayanan umat Buddha masih tergabung dalam Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Hindu dan Buddha, warisan struktur Orde Baru. Sejak 1966, Depag memiliki Dirjen Bimas “Hindu Bali dan Buddha”, kemudian Dirjen Bimas Hindu dan Buddha (sejak 1969) 3. Tahun 1980, berkat perjuangan Perwalian Umat Buddha Indonesia (WALUBI) pimpinan Kol. Soemantri MS dan Seno Soenoto, dibentuk Direktorat Urusan Agama Buddha di bawah Dirjen Bimas Hindu dan Buddha 4. Drs. I.G.N. Oka Diputhera dilantik sebagai Direktur Urusan Agama Buddha pertama pada 16 Desember 1980 5, menandai tonggak penting hadirnya perwakilan resmi umat Buddha di Depag.

 

Memasuki era reformasi, desakan agar Ditjen khusus Buddha segera terwujud makin kuat 6. Akhirnya, pada 14 Oktober 2005, Presiden RI menerbitkan Perpres No. 63/2005 yang menambahkan Direktorat Jenderal Bimbingan Masyarakat Buddha dalam struktur Kemenag 7. Ini diperkuat oleh PMA No. 3 Tahun 2006 (24 Januari 2006) tentang Organisasi dan Tata Kerja Depag yang meresmikan pembentukan Ditjen Bimas Buddha 7. Struktur awal Ditjen ini meliputi Sekretariat Ditjen dan Direktorat Urusan & Pendidikan Agama Buddha, masing-masing dipimpin pejabat eselon II 8. Menteri Agama Muhammad Maftuh Basuni melantik Cornelis Wowor sebagai Sekretaris Ditjen dan Drs. A. Joko Wuryanto sebagai Direktur Urusan Pendidikan Agama Buddha pada 3 Februari 2006 9. Sedangkan pejabat eselon I tertinggi (Dirjen) sempat lowong beberapa bulan, hingga akhirnya pada 13 September 2006 Drs. Budi Setiawan, M.Sc (yang pernah menjabat Direktur Urusan Agama Buddha 1991–1998) dilantik menjadi Dirjen Bimas Buddha pertama 10. Peresmian ini mengakhiri penantian panjang umat Buddha untuk memiliki Ditjen mandiri, terpisah dari Bimas Hindu. Dengan demikian, sejak 2006 Ditjen Bimas Buddha resmi berdiri sebagai unit eselon I Kemenag yang fokus melayani pembinaan masyarakat Buddha Indonesia.

Prestasi Strategis 20 Tahun (2005–2025)

Dua dekade perjalanan Ditjen Bimas Buddha ditandai berbagai terobosan program, penghargaan, dan inovasi digital yang memperkuat layanan umat:

  • Pengembangan Pendidikan Keagamaan – Di bidang pendidikan, Ditjen Bimas Buddha berhasil mendirikan 49 Dhammasekha (satuan Pendidikan Formal Keagamaan Buddha setingkat sekolah minggu/diniyah). Hingga 2024, 20 di antaranya telah diproses akreditasinya oleh BAN-PDM (Badan Akreditasi Nasional Pendidikan Anak Usia Dini, Dasar, dan Menengah) 11 12. Pendirian Dhammasekha ini menjawab kebutuhan akan pendidikan agama Buddha berkualitas sejak usia dini hingga remaja, sekaligus selaras dengan agenda nasional peningkatan SDM unggul 13. Selain itu,  Ditjen Bimas Buddha mendorong kemajuan pendidikan tinggi Buddha: tahun 2023 terbit KMA No. 452 yang mengubah STAB Nalanda Jakarta menjadi Institut Nalanda 14. Hingga 2024 terdapat 12 Perguruan Tinggi Keagamaan Buddha dengan 37 program studi, beberapa di antaranya terakreditasi A dan “Unggul” 15 16. Prestasi ini menunjukkan komitmen Ditjen dalam membangun ekosistem pendidikan Buddha, mulai dari tingkat dasar (Dhammasekha) hingga pendidikan tinggi, agar mutu pendidikan agama Buddha terus meningkat.
  • Rekor dan Partisipasi Nasional – Ditjen Bimas Buddha aktif memfasilitasi kegiatan nasional yang melibatkan ribuan umat. Salah satu pencapaian monumental adalah pemecahan Rekor MURI 2025 untuk pembacaan Kitab Suci Dhammapada serentak oleh 2.569 peserta dari 34 provinsi 17. Kegiatan yang digelar dalam acara “Sannipata Nusantara” ini dicatat sebagai yang terbanyak dalam sejarah pembacaan Dhammapada di Indonesia 17. Piagam MURI diserahkan langsung oleh perwakilan MURI kepada Menag di Gedung Kemenag pada 13 Juli 2025 18. Rekor ini membanggakan karena menunjukkan soliditas dan antusiasme umat Buddha di seluruh nusantara dalam kegiatan spiritual bersama. Selain itu, Ditjen secara rutin mendukung Perayaan Waisak Nasional di Candi Borobudur. Misalnya pada Waisak 2025, Menteri Agama (mewakili Presiden) hadir bersama ribuan umat Buddha domestik maupun mancanegara di Borobudur 19 20. Sekitar ratusan ribu umat memadati zona candi dan mengikuti prosesi suci hingga pelepasan ribuan lampion 20. Kehadiran Dirjen Bimas Buddha beserta tokoh-tokoh Buddhist (WALUBI, Permabudhi, Sangha) di event nasional seperti Waisak menunjukkan peran aktif Ditjen menjembatani pemerintah dengan umat dalam perayaan hari besar agama, sekaligus mempromosikan kerukunan dan pariwisata religi.
  • Inovasi Digital dan Pelayanan Publik – Dalam era transformasi digital, Ditjen Bimas Buddha cukup progresif beradaptasi. Tahun 2024, Ditjen ini memenangkan Humas Award Kemenag 2024 untuk kategori Inovasi Konten Digital Layanan Keagamaan 21 22. Penghargaan ini diraih berkat terobosan konten digital Virtual Reality 360° Candi Borobudur yang dikembangkan Ditjen Bimas Buddha sebagai sarana pelayanan keagamaan inovatif 22. VR Borobudur memungkinkan umat merasakan pengalaman wisata religi secara virtual, sejalan dengan upaya pemerintah menjadikan Borobudur destinasi spiritual dunia 22. Selain itu, Ditjen meluncurkan Portal Data Buddha sebagai platform open data satu atap untuk transparansi informasi 23 24. Portal ini memuat data-data strategis (jumlah rumah ibadah, penyuluh, lembaga pendidikan Buddha, dsb) sesuai prinsip Satu Data Indonesia, dan terintegrasi dengan sistem Kemenag lainnya 25 26. Inisiatif digital lain termasuk penyediaan e-Tripitaka (akses digital kitab suci) dan layanan online seperti e-Monev, e-Survey, hingga integrasi data pernikahan dengan Dukcapil 27. Langkah-langkah digitalisasi ini tak hanya memodernisasi layanan bagi umat Buddha di wilayah terpencil, tapi juga meningkatkan akuntabilitas Ditjen dalam keterbukaan informasi publik 28 29.
  • Prestasi Pengelolaan Anggaran dan Tata Kelola – Meskipun membawahi komunitas terkecil, Ditjen Bimas Buddha menonjol dalam kinerja birokrasi. Selama 2021–2023, Ditjen ini konsisten berada di peringkat 3 besar di antara 11 unit eselon I Kemenag dalam hal penyerapan anggaran 30 31. Realisasi anggaran Bimas Buddha tahun 2021 mencapai 99,79% (tertinggi se-Kemenag), 2022 sebesar 98,54% (peringkat 2), dan 2023 naik lagi menjadi 99,74% (tertinggi) 32. Atas capaian itu, Ditjen Bimas Buddha menerima sejumlah penghargaan dari Kementerian Keuangan melalui KPPN Jakarta IV, antara lain IKPA (Indikator Kinerja Pelaksanaan Anggaran) Terbaik 2022, Juara I Laporan Pertanggungjawaban Bendahara 2023 (Semester I, kategori pagu besar), dan Peringkat II Nilai IKPA 2024 (pagu Rp50–150 M) 33. Dirjen Supriyadi mengakui prestasi ini buah kontrol ketat atas serapan anggaran dan evaluasi berkala hingga level daerah 34. Keberhasilan ini menunjukkan komitmen Ditjen dalam tata kelola keuangan yang efektif dan bertanggung jawab, bahkan menjadi teladan bahwa instansi kecil pun dapat berkontribusi pada good governance 35 36. Ditjen Bimas Buddha juga beberapa kali diganjar penghargaan dari Kanwil Ditjen Perbendaharaan atas nilai IKPA sempurna (100) yang dicapai Satuan Kerja-nya 37. Secara internal, budaya disiplin dan akuntabilitas ini telah menjadi prestasi strategis yang meningkatkan kredibilitas Ditjen di mata pemerintah pusat.
Perbandingan dengan Ditjen Bimas Lain (Hindu, Katolik, Kristen)

Ditjen Bimas Buddha merupakan satu dari lima Ditjen Bimbingan Masyarakat dalam Kemenag, sejajar dengan Ditjen Bimas Islam, Bimas Kristen (Protestan), Bimas Katolik, dan Bimas Hindu. Dibanding instansi sejajar lainnya, Bimas Buddha memiliki karakteristik dan tantangan yang agak berbeda:

  • Sejarah dan Struktur: Bimas Buddha adalah unit termuda – baru berdiri mandiri tahun 2006, terpisah dari Bimas Hindu 7. Sementara Ditjen Bimas Katolik dan Ditjen Bimas Kristen sudah eksis sejak Orde Lama/Baru (Katolik dan Protestan diakui terpisah sejak lama). Bimas Hindu juga resmi terpisah pada periode yang sama dengan Buddha (2005–2006), karena sebelumnya Hindu-Buddha digabung dalam satu Ditjen 7. Artinya, Bimas Buddha dan Hindu sama-sama membangun kelembagaan baru pasca 2006, sedangkan Katolik/Kristen telah mapan dengan jaringan lama (misal, Bimas Katolik telah lama bekerja sama dengan hierarki Gereja Katolik, Bimas Kristen dengan PGI dan denominasi Protestan). Efeknya, Bimas Buddha dan Hindu perlu menata sistem birokrasi dari nol pada 2000-an, termasuk penempatan Pembimas di Kanwil provinsi dan penyuluh di lapangan, mengejar ketertinggalan sistemik.
  • Jumlah Umat dan Lingkup Layanan: Secara kuantitatif, Ditjen Bimas Buddha melayani populasi umat terkecil di antara agama-agama resmi. Data 2022 mencatat umat Buddha sekitar 2,02 juta jiwa (0,72% penduduk) 38 39. Sebagai perbandingan, umat Hindu ~4,69 juta (1,7%), Katolik ~8,50 juta (3,1%), dan Kristen Protestan ~20,65 juta (7,5%) 38 39. Dengan basis umat lebih kecil dan tersebar (mayoritas terkonsentrasi di perkotaan dan komunitas Tionghoa, serta sedikit kantong di Sumut, Kalbar, Kalteng), Bimas Buddha memiliki cakupan lebih sempit dibanding Bimas Kristen/ Katolik yang menjangkau puluhan juta umat lintas daerah. Imbasnya, anggaran Bimas Buddha relatif kecil; namun hal ini justru mendorong kinerja efisien. Terbukti, Ditjen Bimas Buddha mampu mencapai serapan anggaran hampir 100%, bahkan tertinggi di Kemenag, mengungguli unit-unit besar 32. Sementara unit lain dengan anggaran dan cakupan lebih besar kerap menghadapi sisa anggaran atau kendala penyaluran. Jadi secara objektif, skala kecil Bimas Buddha memberi keleluasaan bergerak lincah dan fokus, meski di sisi lain berarti sumber daya (SDM dan dana) terbatas.
  • Fokus Program: Semua Ditjen Bimas memiliki tugas serupa: pembinaan umat, pelayanan pendidikan agama, fasilitasi rumah ibadah, peningkatan kerukunan, dst 40. Namun fokus implementasinya menyesuaikan kebutuhan umat masing-masing. Bimas Katolik, misalnya, banyak bersinergi dengan sekolah-sekolah katolik dan keuskupan dalam pembinaan pendidikan formal (karena Gereja Katolik punya jaringan sekolah luas). Bimas Kristen berkoordinasi dengan berbagai sinode gereja, sehingga tantangan utamanya merangkul denominasi yang beragam. Bimas Hindu berfokus pada pelestarian adat dan budaya Hindu Nusantara (terutama di Bali dan daerah mayoritas Hindu) serta penyelenggaraan upacara keagamaan seperti Nyepi. Adapun Bimas Buddha cenderung fokus pada capacity building umat yang minoritas: contohnya membuka Dhammasekha untuk memastikan anak-anak Buddha mendapat pendidikan agamanya 11 12, membina penyuluh agar agama Buddha bisa disebarkan ke pelosok, dan menjaga hubungan dengan berbagai majelis Buddha (Theravada, Mahayana, Tridharma, Tantrayana, dll). Dalam hal inovasi, Bimas Buddha justru relatif unggul di ranah digital (Portal Data, VR Borobudur) dibanding Bimas sejenis yang belum terdengar melakukan hal serupa. Bimas lain tentunya punya keunggulan masing-masing, tapi dari sisi adaptabilitas, Bimas Buddha menunjukkan langkah-langkah unik untuk memperkuat eksistensi umatnya yang kecil melalui teknologi dan kolaborasi lintas sektor.
  • Kelembagaan Umat dan Hubungan dengan Ormas: Ditjen Bimas Buddha harus mengakomodasi struktur organisasi umat Buddha yang berbeda dengan agama lain. Umat Buddha di Indonesia diwakili oleh sejumlah majelis dan Sangha, dengan dua payung besar: WALUBI (Perwalian Umat Buddha Indonesia) dan Permabudhi (Persatuan Umat Buddha Indonesia). Ini berbeda dengan Katolik yang terpusat (ada KWI sebagai konferensi waligereja), atau Kristen Protestan yang punya PGI namun gereja-gereja juga otonom. Bimas Hindu bekerja erat dengan PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) sebagai semacam “MUI”-nya umat Hindu. Nah, Bimas Buddha relatif lebih kompleks karena dualisme WALUBI vs Permabudhi. Kendati keduanya kini diakui Kemenag, sejarah mencatat WALUBI (didirikan 1979) pernah menjadi satu-satunya wadah tunggal di era Orde Baru 41, tetapi mengalami konflik internal pada 1990-an (Tragedi WALUBI 1992–1998) yang melahirkan KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) dan kemudian Permabudhi 42 43. Akibatnya, sejak 1998 terdapat dua kubu besar: WALUBI “baru” di bawah Hartati Murdaya, dan KASI beserta majelis di luar WALUBI. Pemerintah Orde Baru dan awal Reformasi cenderung mengakui WALUBI sebagai representasi resmi (setara MUI, KWI, PGI) sehingga kelompok KASI tersisih 44. Baru belakangan, Kemenag mengakomodasi Permabudhi (yang didukung KASI) sebagai mitra resmi juga. Dalam hal ini, tantangan Bimas Buddha adalah menjaga keseimbangan hubungan dengan kedua kelompok agar program pemerintah menjangkau seluruh umat tanpa memicu sensitivitas sektarian. Dirjen Caliadi (periode 2017–2022) bahkan secara terbuka mengapresiasi kontribusi Permabudhi dalam melayani umat di daerah, mengingat keterbatasan SDM Ditjen Bimas Buddha sendiri 45. Ia mendorong Permabudhi mempercepat pembentukan pengurus di berbagai provinsi demi persatuan umat 46 47. Di sisi lain, WALUBI yang historis juga terus digandeng (misal, Ketua WALUBI diundang dalam perayaan Waisak nasional 48). Bimas Buddha relatif unik harus memediasi pluralitas internal agama Buddha, sedangkan Bimas Katolik tidak menghadapi organisasi tandingan, dan Bimas Kristen meski denominatif namun terhimpun dalam forum yang diakui (PGI).

Secara obyektif, Ditjen Bimas Buddha meski kecil telah menunjukkan kinerja yang tidak kalah dengan instansi sejajar. Kelebihannya tampak pada efisiensi birokrasi dan inovasi di tengah keterbatasan. Namun, beban pekerjaan Bimas Buddha juga spesifik: memastikan minoritas umat Buddha tetap terlayani setara dan agamanya lestari, sesuatu yang tidak terlalu dikhawatirkan di komunitas besar Kristen/Katolik. Tantangan mempersatukan ormas Buddhis yang terfragmentasi juga menjadi pekerjaan ekstra yang mungkin tidak dialami rekan Bimas lain. 

Analisis SWOT Ditjen Bimas Buddha

Kekuatan (Strengths):

  1. Kinerja Keuangan dan Tata Kelola Baik: Ditjen Bimas Buddha memiliki rekam jejak disiplin anggaran dan pelayanan publik yang efektif. Tingginya serapan anggaran (nyaris 100% tiap tahun) serta raihan penghargaan IKPA Kemenkeu 37 32 mencerminkan manajemen internal yang solid meski dengan sumber daya terbatas. Struktur organisasi yang ramping justru membuat koordinasi lebih mudah dan  memungkinkan inovasi cepat tanpa birokrasi berbelit.
  2. Inovasi dan Adaptabilitas: Meski melayani umat minoritas, Ditjen ini proaktif berinovasi. Pembuatan konten VR Borobudur dan Portal Data Buddha menunjukkan kemampuan adaptasi pada era digital 22 23. Bimas Buddha juga gesit memanfaatkan momentum: misal, memecahkan rekor MURI untuk memotivasi umat 17, serta mengembangkan Dhammasekha guna mengisi kekosongan pendidikan agama Buddha formal 11. Kemampuan beradaptasi ini merupakan kekuatan penting agar lembaga tetap relevan.
  3. Hubungan Erat dengan Komunitas: Berkat jangkauan umat yang lebih kecil, Ditjen Bimas Buddha dapat membangun komunikasi yang relatif personal dengan tokoh-tokoh agama Buddha. Keterlibatan aktif Dirjen dan jajarannya dalam acara-acara majelis (WALUBI, Permabudhi, Sangha) membantu memperkuat kepercayaan umat pada pemerintah. Ini penting dalam menjaga kerukunan intern umat Buddha dan koordinasi program di lapangan.
  4. Kolaborasi Lintas Sektor: Ditjen Bimas Buddha mampu menjalin sinergi dengan instansi lain untuk kepentingan umat. Contohnya, berkoordinasi dengan Kemendikbudristek terkait akreditasi sekolah Dhammasekha 49 12, menggandeng Ditjen Dukcapil Kemendagri untuk integrasi data pernikahan Buddha 27, hingga melibatkan Lemhannas dalam pembinaan wawasan kebangsaan umat Buddha 50. Kolaborasi ini memperkuat posisi Ditjen sebagai penghubung umat Buddha dengan program pembangunan nasional.

Kelemahan (Weaknesses):

  1. Keterbatasan SDM dan Anggaran: Sebagai unit kecil, Ditjen Bimas Buddha memiliki jumlah pegawai dan penyuluh yang terbatas dibanding Ditjen agama lain. Dirjen Caliadi pernah mengakui jumlah SDM Ditjen ini minim untuk menjangkau seluruh umat Buddha Indonesia 45. Efeknya, beberapa layanan mungkin kurang optimal atau bergantung bantuan ormas. Anggaran yang kecil juga membatasi ruang gerak program; Ditjen harus cermat memprioritaskan kegiatan yang paling berdampak.
  2. Cakupan Geografis dan Aksesibilitas: Umat Buddha tersebar di berbagai daerah namun dalam jumlah relatif sedikit di tiap daerah (kecuali daerah tertentu). Pelayanan merata menjadi tantangan; misal, penyediaan guru agama Buddha di sekolah-sekolah umum kerap terkendala kekurangan tenaga guru, sehingga di banyak tempat pelajaran Buddha tidak tersedia dan siswa terpaksa mengikuti pelajaran agama mayoritas lain. Hal ini berpotensi memperlambat regenerasi umat Buddha.
  3. Visibilitas Publik Rendah: Isu internal dan program Ditjen Bimas Buddha kurang terekspos di media arus utama, mungkin karena populasi sasarannya kecil. Akibatnya, kiprah positif Ditjen ini kurang diketahui publik luas maupun internal birokrasi. Misalnya, tidak banyak masyarakat tahu bahwa Ditjen ini telah mendirikan puluhan sekolah Dhammasekha atau meraih prestasi Humas Award digital. Minimnya publikasi bisa membuat dukungan eksternal (dari DPR, pemerintah daerah, dsb.) juga rendah karena dianggap bukan prioritas.
  4. Dualisme Organisasi Umat: Fragmentasi antara WALUBI dan Permabudhi meski di satu sisi memperkaya wadah aspirasi, di sisi lain bisa menjadi kelemahan jika tidak di-manage. Potensi tarik-menarik pengaruh atau perbedaan pandangan antara ormas dapat menyulitkan Ditjen dalam mengambil kebijakan yang disepakati semua pihak. Dibanding Bimas lain yang cukup berurusan dengan satu lembaga utama (misal PHDI, PGI, KWI), Bimas Buddha harus ekstra hati-hati agar tidak dianggap memihak salah satu kubu. Koordinasi program mungkin terduplikasi (harus dilakukan terpisah ke WALUBI dan Permabudhi), menguras energi dan waktu.

Peluang (Opportunities):

  1. Perkembangan Spiritual Global: Tren global meningkatnya minat pada meditasi, mindfulness, dan ajaran Buddha secara universal membuka peluang bagi Bimas Buddha untuk mempromosikan nilai-nilai Buddha di masyarakat luas. Meski umat Buddha minoritas, ajarannya bersifat inklusif dan universal (karena banyak non-Buddhist pun tertarik belajar meditasi, misalnya). Ditjen bisa memanfaatkan momentum ini untuk program lintas agama yang melibatkan kearifan Buddhis, meningkatkan citra dan relevansi lembaga.
  2. Dukungan Pemerintah pada Moderasi Beragama: Kemenag tengah gencar dengan program Moderasi Beragama dan penghargaan keragaman. Umat Buddha yang dikenal cinta damai dan jarang terlibat konflik dapat dijadikan contoh baik bagi kerukunan nasional. Bimas Buddha berpeluang unjuk peran lebih besar di program lintas agama, misalnya dialog antarumat, kerjasama sosial lintas iman, dll. Ini kesempatan menunjukkan bahwa meski kecil, komunitas Buddha aktif berkontribusi bagi harmoni bangsa. Dukungan politik untuk minoritas agama pun cenderung positif belakangan ini, sehingga aspirasi umat Buddha (misal penetapan hari besar Waisak, dukungan renovasi vihara cagar budaya, dsb) lebih mudah diperhatikan.
  3. Pemanfaatan Teknologi untuk Efisiensi Layanan: Era digital memberikan peluang besar bagi Ditjen Bimas Buddha menutup keterbatasan fisik. Melalui platform online (website, media sosial, aplikasi), Ditjen bisa menjangkau umat di pelosok tanpa harus hadir secara fisik. Inisiatif seperti Portal Data Buddha dapat diperluas fungsinya menjadi pusat informasi terpadu umat Buddha, misal menampilkan peta persebaran vihara, jadwal pembinaan online, pengaduan layanan, dll. Kemenag sendiri mendorong transformasi digital, sehingga Bimas Buddha dapat memperoleh anggaran/dukungan lebih untuk proyek digitalisasi lanjutan.
  4. Generasi Muda Buddhis: Meskipun jumlah umat kecil, komunitas Buddhis memiliki generasi muda perkotaan yang relatif melek teknologi dan pendidikan. Ini peluang bagi Ditjen untuk merangkul pemuda Buddhis sebagai agen perubahan – misalnya melalui program wirausaha sosial berbasis vihara, kepemimpinan pemuda (sekala Dhamma Youth Camp nasional), hingga pelibatan mereka sebagai duta moderasi beragama. Regenerasi kepemimpinan umat Buddha akan lebih baik jika pemudanya aktif. Ditjen bisa fasilitasi jaringan pemuda lintas majelis (Theravada, Mahayana, dll) untuk bersama-sama menghidupkan kegiatan agama yang kreatif. Dukungan milenial akan membuat Bimas Buddha “lebih muda” dan adaptif ke depan.

Ancaman (Threats):

  1. Penurunan Jumlah Umat: Data menunjukkan populasi Buddha cenderung stagnan bahkan menurun; misalnya terjadi penurunan sekitar 45 ribu umat Buddha antara 2019–2022 51. Penyusutan ini dapat disebabkan angka kelahiran rendah dalam komunitas, urbanisasi, atau perpindahan agama (konversi) terutama di generasi muda. Jika tren ini berlanjut, Ditjen Bimas Buddha menghadapi ancaman basis umat yang makin menyusut, yang bisa berdampak pada pengurangan alokasi anggaran atau bahkan relevansi keberadaannya dipertanyakan di masa depan.
  2. Asimilasi dan Stereotip: Di Indonesia, agama Buddha kerap diidentikkan dengan etnis Tionghoa. Meskipun banyak pula umat Buddha non-Tionghoa, stereotip ini masih kuat 52 53. Tekanan asimilasi budaya dan agama pada warga minoritas Tionghoa sejak Orde Baru berdampak panjang – misalnya banyak keluarga Tionghoa yang memilih beribadah Buddha/Khonghucu tapi di KTP mencantumkan Kristen/Katolik demi kemudahan administratif 53 54. Ancaman ini berarti potensi “hilangnya” umat secara administratif dan generasi muda beralih ke agama mayoritas demi merasa lebih diterima. Jika Ditjen tidak proaktif mempertahankan identitas dan kebanggaan beragama Buddha, jumlah umat bisa terus tergerus pelan pelan.
  3. Konflik Internal dan Disintegrasi Ormas: Perpecahan internal umat adalah ancaman serius. Polemik antara WALUBI vs kelompok di luar WALUBI pernah mencapai tahap melibatkan aparat keamanan dan trauma pada umat (Tragedi WALUBI 1990-an) 42 55. Meski saat ini relatif kondusif, potensi gesekan tetap ada – misal perbedaan kepentingan dalam pengelolaan dana bantuan pemerintah, klaim representasi, atau sengketa kepengurusan vihara. Jika konflik besar terpicu lagi, kepercayaan umat pada lembaga Ditjen bisa menurun karena dianggap tidak mampu menyatukan. Ancaman ini dapat menghambat program Ditjen (karena ormas berseteru enggan duduk bersama) dan mengganggu citra umat Buddha di mata publik.
  4. Perubahan Kebijakan dan Prioritas Pemerintah: Sebagai lembaga pemerintah, Ditjen Bimas Buddha rentan terhadap dinamika politik dan kebijakan nasional. Misalnya, jika suatu saat ada restrukturisasi Kemenag yang mengevaluasi efisiensi, bisa saja muncul wacana penggabungan kembali unit-unit kecil (Bimas Buddha dan Hindu) demi penghematan – ini jelas ancaman eksistensial. Juga, pergantian Menteri Agama dapat membawa prioritas baru; perhatian pada minoritas bisa naik turun. Bila pada periode mendatang fokus pemerintah berbeda (misal anggaran lebih banyak ke mayoritas atau isu lain), Ditjen Bimas Buddha mungkin sulit mendapat dukungan proyek-proyek besar. Karena itu, ketergantungan pada kebijakan pusat adalah faktor luar yang mengancam stabilitas program jangka panjang Ditjen.
Isu dan Kontroversi Penting dalam Sejarah Ditjen Bimas Buddha

Selama 20 tahun terakhir, selain capaian positif, Ditjen Bimas Buddha tak luput dari beberapa isu krusial baik yang mencuat ke publik maupun yang luput dari perhatian padahal berdampak signifikan:

  • Skandal Korupsi Pengadaan Buku 2012: Salah satu catatan kelam adalah kasus korupsi pengadaan buku pendidikan agama Buddha tahun anggaran 2012. Kasus ini baru terungkap beberapa tahun kemudian; pada 2016 Kejaksaan Agung menetapkan Dasikin (saat itu Dirjen Bimas Buddha) sebagai tersangka atas dugaan penyelewengan proyek pengadaan buku pelajaran Buddha untuk PAUD, SD, dan SMP senilai Rp 4 miliar 56 57. Ironisnya, saat tindak pidana terjadi (2012), Dasikin menjabat Sekretaris Ditjen, di bawah Dirjen Drs. Joko Wuryanto 57. Modus korupsi melibatkan pencairan anggaran tanpa prosedur lengkap (tanpa tanda tangan BPK) dan pembagian fee ke sejumlah pihak 58. Akibatnya, pada Juni 2016, Dirjen Dasikin resmi ditahan Kejagung dan diberhentikan dari jabatannya 56 59. Kasus ini juga menyeret nama Joko Wuryanto (Dirjen 2012) dan beberapa pejabat lain sebagai tersangka 60. Skandal ini merupakan pukulan bagi integritas Ditjen Bimas Buddha, mengingat lembaga keagamaan semestinya menjadi contoh bersih. Kemenag saat itu langsung menunjuk Plt. Dirjen dan menyatakan tidak akan memberi bantuan hukum bagi tersangka 61. Kontroversi ini sempat ramai di media dan tentunya mengguncang moral pegawai Ditjen. Namun, sisi positifnya, Kemenag kemudian memperketat pengawasan internal dan rotasi pejabat. Sejak kasus tersebut, hingga kini tidak terdengar lagi kasus korupsi baru di Ditjen Bimas Buddha. Bisa dikatakan, pengalaman pahit 2016 menjadi pembelajaran agar pengelolaan anggaran lebih transparan.
  • “Tragedi WALUBI” dan Representasi Umat: Isu lain yang jarang diketahui umum tapi penting adalah konflik ormas Buddhis di era 1990-an yang berimbas panjang hingga pembentukan Ditjen. Pada 1992, Munas II WALUBI memicu perpecahan internal; sejumlah majelis dan biksu menentang gaya kepemimpinan Walubi yang dianggap otoriter. Konflik memuncak tahun 1994 ketika beberapa tokoh Buddhis (dari Sangha Agung Indonesia/Sagin dan Majelis Buddhayana Indonesia/MBI) diinterogasi aparat militer atas laporan pimpinan WALUBI 42 55. Terjadi dugaan penyiksaan, dan WALUBI diduga berkolusi dengan oknum aparat untuk membungkam oposisi 62. Puncaknya, menjelang reformasi 1998, WALUBI “lama” dibubarkan dan seolah mereformasi diri: Sagin dan MBI diakui kembali 63, namun lalu WALUBI lama diam-diam membentuk WALUBI baru (akhir 1998) di bawah tokoh pengusaha Hartati Murdaya 43. Pada saat sama KASI (Konferensi Agung Sangha Indonesia) lahir mewadahi tiga sangha utama 43. Kementerian Agama pasca-1998 justru lebih mengakui WALUBI baru bentukan Hartati sebagai representasi resmi umat Buddha 44, bahkan mengeluarkan instruksi agar majelis-majelis Buddha bergabung ke WALUBI jika ingin diakui 64. Hal ini menimbulkan kekecewaan di kalangan KASI yang merasa aspirasi mereka dikesampingkan pemerintah. Imbasnya, selama bertahun-tahun, koordinasi umat Buddha terbelah: WALUBI (baru) menduduki kursi forum kerukunan Kemenag, sedangkan kelompok KASI berada di luar struktur formal. Ini tentu berdampak pada Ditjen Bimas Buddha saat berdiri 2006; di satu sisi Ditjen adalah produk perjuangan WALUBI lama, di sisi lain Ditjen harus melayani semua umat termasuk faksi di luar WALUBI. Kontroversi ini jarang dibicarakan publik luas, namun di kalangan internal umat Buddha sangat sensitif. Hingga akhirnya, pada 2018 didirikan Permabudhi (Perkumpulan Majelis Buddhis Indonesia) yang beranggotakan majelis-majelis non-WALUBI, dan Kemenag mulai merangkul Permabudhi juga. Dirjen Caliadi pada 2019 menegaskan Permabudhi berperan penting mempersatukan umat Buddha dan Ditjen siap bekerja sama 46 45. Kini WALUBI dan Permabudhi sama-sama hadir dalam acara resmi Ditjen 65. Meski isu “dualisme” ini relatif mereda, dalam sejarah Ditjen Bimas Buddha, kontroversi WALUBI vs KASI adalah bab penting yang menunjukkan bagaimana politik Orde Baru mempengaruhi kehidupan beragama. Pengalaman tersebut mengajarkan Ditjen untuk lebih berhati-hati bersikap netral dan inklusif terhadap semua kelompok umat agar perpecahan lama tidak terulang.
  • Pencopotan Massal Eselon I Tahun 2022: Di awal kepemimpinan Menag Yaqut Cholil Qoumas (2021–2022), terjadi langkah kontroversial berupa pemberhentian serentak empat Dirjen Bimas non Islam (Hindu, Buddha, Katolik, Kristen) sebelum masa pensiun mereka. Pada Maret 2022, Menag Yaqut mengganti Dirjen Bimas Buddha Caliadi dengan pejabat baru (Supriyadi) bersamaan dengan rotasi di Bimas lain . Alasan resmi adalah penyegaran dan penyesuaian struktur (karena ada reorganisasi PMA 2022), namun sempat muncul spekulasi publik tentang kinerja atau faktor non teknis. Mantan Dirjen Bimas Katolik bahkan dikabarkan menimbang menggugat ke PTUN namun urung 67. Bagi Ditjen Bimas Buddha, peralihan Caliadi ke Supriyadi berlangsung relatif mulus tanpa gejolak berarti, namun hal ini tetap menjadi catatan. Kontroversi ini mengingatkan bahwa jabatan Dirjen sangat tergantung kebijakan pimpinan politik; meski kinerja bagus sekalipun, pertimbangan politis dapat mengakhiri masa jabatan. Bagi internal Ditjen, kejadian ini bisa saja menimbulkan demotivasi sementara, namun sejauh ini Dirjen baru berhasil melanjutkan program dengan baik.
  • Isu Internal Lainnya: Jarang terekspos, namun Ditjen Bimas Buddha juga pernah dihadapkan pada isu-isu seperti minimnya pendaftar CPNS beragama Buddha (sehingga kekurangan guru agama Buddha sulit diatasi), kesenjangan distribusi bantuan (provinsi dengan umat sedikit merasa dianaktirikan), hingga masalah burnout penyuluh karena cakupan tugas luas. Meskipun tidak menjadi kontroversi publik, hal-hal ini berdampak signifikan terhadap performa Ditjen. Misalnya, jika satu provinsi hanya punya 1–2 penyuluh Buddha, jelas tidak ideal melayani ribuan umat di sana. Belum lagi, data menunjukkan banyak vihara kecil belum berizin resmi karena proses birokrasi dan biaya, yang bisa memicu masalah legalitas di kemudian hari. Hal-hal “sunyi” semacam ini sebenarnya mendesak ditangani agar pembinaan umat Buddha berjalan optimal. 

Secara keseluruhan, Ditjen Bimas Buddha berhasil melalui berbagai ujian tersebut dengan ketangguhan. Kasus korupsi 2016 telah ditindak dan jadi pembelajaran perbaikan sistem. Konflik WALUBI-KASI telah diredakan melalui pendekatan merangkul semua pihak. Rotasi kebijakan pun dijawab dengan peningkatan kinerja (terbukti 2022–2023 justru prestasi anggaran melonjak 32). Namun, penting bagi publik untuk mengetahui bahwa di balik wajah harmonis lembaga agama, ada dinamika internal dan tekanan eksternal yang kompleks. Keterbukaan atas isu sensitif ini diharapkan mendorong akuntabilitas dan dukungan lebih luas kepada Ditjen Bimas Buddha ke depan. 

Rekomendasi Peningkatan bagi Ditjen Bimas Buddha

Berkaca pada evaluasi di atas, berikut beberapa rekomendasi agar Ditjen Bimas Buddha semakin relevan, berdampak, dan adaptif di masa mendatang:

  1. Penguatan SDM dan Regenerasi: Kemenag perlu menambah formasi penyuluh dan guru Agama Buddha, terutama untuk daerah minus. Program beasiswa atau ikatan dinas bagi pemeluk Buddha yang mau menjadi guru bisa digalakkan, agar kekurangan tenaga pendidik teratasi. Selain itu, berikan pelatihan capacity building rutin bagi staf Ditjen dan Pembimas daerah, termasuk penguasaan teknologi informasi, supaya mereka makin profesional. Regenerasi kader pimpinan (misal dari kalangan muda Buddhis) juga penting disiapkan untuk melanjutkan estafet kepemimpinan lembaga.
  2. Optimalisasi Teknologi Digital: Melanjutkan tren positif, Ditjen Bimas Buddha dapat mengembangkan aplikasi mobile untuk umat Buddha. Misal aplikasi info hari raya Waisak, direktori vihara terdekat dengan GPS, fitur konsultasi penyuluh online, dsb. Portal Data Buddha yang sudah ada bisa ditingkatkan interaktivitasnya – misalnya umat dapat mengunggah data kegiatan komunitas, atau mengakses e-library (kitab suci, buku dhamma) secara bebas. Teknologi juga dapat dipakai untuk pendidikan: buat platform e-learning agama Buddha, sehingga anak-anak Buddha di sekolah yang tak ada guru bisa belajar daring terpadu kurikulum Kemenag. Dengan demikian, jarak dan sebaran umat bukan halangan lagi untuk mendapat layanan.
  3. Pendekatan Inklusif dan Merata: Ditjen harus memastikan setiap kelompok majelis dan aliran dalam agama Buddha merasa dilayani adil. Salah satu langkah adalah membentuk Forum Komunikasi Umat Buddha di tingkat pusat dan daerah yang melibatkan perwakilan WALUBI, Permabudhi, dan majelis independen. Forum ini rutin berdialog merumuskan kebutuhan umat, sehingga program Ditjen tidak dituduh bias kelompok tertentu. Selain itu, perhatikan keseimbangan alokasi anggaran antar daerah: misal, jangan semua terserap di Jawa saja – provinsi dengan umat sedikit sekalipun (NTB, Sulawesi, Papua dll.) perlu mendapat jatah pembinaan, agar mereka merasa diperhatikan.
  4. Program Pemberdayaan Umat: Agar kehadiran Ditjen lebih dirasakan manfaatnya, perlu digagas program pemberdayaan ekonomi-sosial berbasis komunitas Buddha. Misalnya, pelatihan ketrampilan dan kewirausahaan bagi umat Buddha di sekitar vihara, atau fasilitasi koperasi umat. Ditjen bisa bekerja sama dengan Kementerian UMKM atau BUMN untuk ini. Tujuannya, meningkatkan kesejahteraan umat Buddha yang banyak bergerak di sektor informal. Pemberdayaan perempuan Buddhis dan pemuda Buddhis juga perlu difokuskan, misal lewat lomba inovasi sosial bertema karuna (welas asih) untuk memotivasi generasi muda berkontribusi pada masyarakat umum. Dengan kegiatan pemberdayaan, Ditjen Bimas Buddha tak hanya mengurus ritual agama, tapi juga membantu umat berdaya dalam kehidupan sehari-hari.
  5. Transparansi dan Pengawasan Internal: Pasca kasus korupsi, Ditjen harus terus memperbaiki sistem akuntabilitas. Pastikan semua pengadaan dan penyaluran bantuan dipublikasikan terbuka di Portal Data atau situs resmi (tentu dengan format mudah dipahami publik). Bentuk unit kepatuhan internal yang melibatkan juga unsur umat (semacam advisory board dari tokoh Buddha) untuk ikut memantau penggunaan anggaran. Dengan transparansi, kepercayaan publik meningkat dan peluang penyelewengan bisa dicegah sedini mungkin. Selain itu, perlunya pemutakhiran database 9 umat Buddha secara berkala (bekerja sama dengan Dukcapil) supaya data sasaran valid – ini penting untuk perencanaan program dan menghindari manipulasi data penerima manfaat.
  6. Promosi dan Edukasi Publik: Upayakan strategi komunikasi publik yang lebih agresif untuk mengangkat profil Ditjen Bimas Buddha. Manfaatkan media sosial, media massa, bahkan film dokumenter pendek tentang kiprah 20 tahun Ditjen. Edukasi masyarakat luas tentang sejarah umat Buddha Indonesia, kontribusi mereka (misal banyak candi warisan dunia, filosofi damai) sehingga tumbuh apresiasi. Hal ini akan mendorong dukungan lintas umat bagi program-program Ditjen. Sebagai contoh, konten “Buddhisme untuk Milenial” bisa dibuat dan disebar, menjelaskan ajaran Buddha yang relevan dengan isu modern (lingkungan, kesehatan mental, toleransi). Semakin dikenal dan dipahami, Ditjen Bimas Buddha akan dianggap important meski melayani minoritas, dan ini bisa membantu dalam advokasi anggaran maupun kolaborasi antar instansi.
  7. Merumuskan Visi Jangka Panjang: Terakhir, Ditjen Bimas Buddha perlu meracik visi strategis untuk 10–20 tahun ke depan, mengantisipasi perubahan zaman. Misalnya, visi “Umat Buddha Indonesia 2045: Taat beragama, cerdas, sejahtera, berkontribusi dalam masyarakat majemuk”. Visi ini dijabarkan menjadi roadmap program jangka panjang seperti digital Buddha archive, pusat studi Buddhisme Nusantara, dsb. Dengan visi futuristik, Ditjen dapat membuktikan diri sebagai lembaga visioner yang punya rencana jelas untuk memajukan umat Buddha hingga generasi selanjutnya. Roadmap jangka panjang ini juga penting untuk menjaga kesinambungan program melampaui periode Dirjen tertentu, sehingga siapapun pemimpinnya, tujuan akhirnya tetap terarah.
Harapan dan Pesan untuk Dirjen Bimas Buddha Saat Ini

Kepada Bapak Dirjen Bimas Buddha (Supriyadi) yang kami hormati, kami sampaikan apresiasi atas kepemimpinan Bapak dalam beberapa tahun terakhir. Di bawah kendali Bapak, Ditjen Bimas Buddha telah menorehkan sejumlah prestasi – dari inovasi digital pemenang penghargaan 21, capaian rekor nasional 17, hingga pengelolaan anggaran yang sangat tertib 32. Prestasi ini menunjukkan bahwa Ditjen yang kecil bukan berarti tak bisa berpikir besar. Di tengah berbagai tantangan, Bapak mampu membawa semangat pembaruan dan keteladanan kerja keras, sejalan motto Kemenag Ikhlas Beramal.

 

Ke depan, harapan kami agar Dirjen terus bersikap visioner namun tetap membumi. Visioner artinya berani bermimpi besar untuk kemajuan umat Buddha – misalnya mendorong lahirnya cendekiawan cendekiawan Buddha kelas dunia, menjadikan vihara tak hanya tempat ibadah tapi pusat pemberdayaan masyarakat, serta memanfaatkan teknologi AI/big data untuk memetakan kebutuhan umat. Namun, semua visi itu harus dieksekusi dengan langkah membumi: melibatkan umat di akar rumput, mendengar masukan para bhikkhu di vihara kecil, dan turun langsung melihat kondisi nyata. Seorang Dirjen bagi umat minoritas laksana lampu pelita dalam gelap – cahayanya tak silau, tapi sangat berarti sebagai panduan. Kami berharap Bapak dapat terus menjadi pelita yang menerangi dan mengayomi umat Buddha di manapun berada.

 

Tetaplah kritis dan berani dalam memperjuangkan hak umat Buddha. Jika ada kebijakan pemerintah yang kurang memihak (misal dalam alokasi anggaran pembangunan rumah ibadah atau formasi guru agama), kami ingin Dirjen vokal menyuarakan kebutuhan umat Buddha secara data-driven dan persuasif. Jangan ragu memperjuangkan kesetaraan, karena konstitusi menjamin semua agama diperlakukan adil. Sikap kritis ini tentu dalam koridor birokrasi, namun sangat diperlukan agar umat Buddha tidak merasa dianaktirikan.

 

Di saat bersamaan, kami titipkan pesan agar Dirjen terus membangun kerukunan. Intern umat Buddha, rajutlah selalu persatuan – dekati semua faksi dengan kasih dan netralitas. Rangkul tokoh-tokoh senior (seperti para mantan Dirjen, para sesepuh majelis) sebagai penasehat informal, guna menjaga kontinuitas nilai dan kearifan. Dan untuk eksternal, perkuatlah kolaborasi dengan Dirjen Bimas lain. Indah sekali melihat Bapak Dirjen Buddha duduk bersama Dirjen Islam, Kristen, Katolik, Hindu dalam satu forum, menunjukkan pada bangsa bahwa perbedaan keyakinan justru memperkaya kebersamaan.

 

Terakhir, tetaplah rendah hati dan melayani. Jabatan Dirjen adalah amanah, terlebih melayani umat minoritas yang suaranya sering tak terdengar lantang. Kunjungi daerah terpencil tempat umat Buddha beberapa keluarga saja; dengarkan keluh kesah mereka. Dengan hadirnya negara melalui Bapak, mereka pasti merasa diperhatikan. Jadilah pemimpin yang mau turun dari podium, menyapa umat dengan senyum dan sederhana. Sikap melayani seperti ini selaras dengan ajaran Buddha tentang metta (cinta kasih) dan karuna (belas kasih).

 

Kami percaya, dengan integritas, visi, dan hati nurani, Ditjen Bimas Buddha di bawah kepemimpinan Bapak Dirjen akan semakin relevan, berdampak, dan adaptif menghadapi era baru. Semoga Ditjen Bimas Buddha terus jaya sebagai pembimbing umat Buddha Indonesia yang maju, sejahtera, dan harmonis sesuai visinya. Terima kasih atas dedikasinya, dan Namo Buddhaya – semoga semua makhluk berbahagia.

Sumber Referensi :

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 Sejarah BIMAS Buddha | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI

 

11 12 13 14 15 16 49 65 19 Tahun Mengabdi, Ditjen Bimas Buddha Dirikan 49 Pendidikan Formal Keagamaan ‘Dhammasekha’ | ERAKINI.ID

 

17 18 50 Pembacaan Dhammapada Diikuti 2.569 Umat, Ditjen Bimas Buddha Raih Penghargaan MURI | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI

 

19 20 48 Menag: Jadikan Waisak Momentum bagi Umat Buddha Berkontemplasi Arti Kehidupan | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI

 

21 22 27 Humas Award 2024, Bimas Buddha Raih Penghargaan Inovasi Konten Digital Layanan Keagamaan | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI

 

23 24 25 26 28 29 Tentang Kami | Portal Data Ditjen Bimas Buddha

 

30 31 32 33 34 35 36 37 68 Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI Raih Penghargaan IKPA Terbaik – TIMES Indonesia

 

38 39 DATASET: Jumlah penduduk menurut agama tahun 2022

 

40 Profil dan Peran Ditjen Bimas Buddha Kementerian Agama

 

41 42 43 44 52 53 54 55 62 63 64 Demokrasi dan Agama Buddha di Indonesia – Diandharma.org

 

45 46 47 Hadiri Pelantikan Pengurus Lembaga Permabudhi, Caliadi : Jaga Persatuan Umat Buddha | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI

 

51 Lihat Data, Benarkah Agama Buddha di Indonesia akan Punah?

 

56 57 58 59 60 69 Korupsi Pengadaan Buku Sekolah, Dirjen Binmas Buddha Kemenag Ditahan

 

61 Jadi Tersangka Korupsi, Kemenag Tak akan Dampingi Dirjen Bimas ..

 

66 Menag Yaqut Berhentikan Dirjen Bimas Hindu, Buddha, Katolik, dan …

 

67 Tak Ikut Gugat Menag ke PTUN, Mantan Dirjen Bimas Katolik ..

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE