Pada masa Buddha Gautama, komunitas monastik (Sangha) awalnya hanya terdiri dari para bhikkhu (biksu). Keinginan untuk mendirikan komunitas bhikkhuni (biksuni) pertama kali muncul ketika Mahāpajāpatī Gotamī – bibi dan ibu angkat Sang Buddha – memohon agar perempuan diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan masuk dalam Sangha. Menurut catatan dalam Vinaya Pitaka (Cullavagga), Mahāpajāpatī Gotamī tiga kali mengajukan permintaan ini, namun Sang Buddha tiga kali pula menolaknya 1. Penolakan ini membuat Mahāpajāpatī sedih dan kecewa; namun ia tidak putus asa. Bersama 500 wanita Sakya lainnya, ia mencukur rambut, mengenakan jubah kuning, dan berjalan ratusan mil dari Kapilavatthu ke Vesālī untuk kembali memohon langsung kepada Buddha 1 2. Kondisi mereka tiba di Vesālī sangat letih, kaki bengkak dan berdebu, menandakan tekad yang bulat.
Venerable Ānanda, salah satu siswa utama Buddha, menemukan Mahāpajāpatī dan rombongannya dalam keadaan menyedihkan di gerbang tempat Buddha berdiam. Tersentuh oleh keteguhan hati para wanita tersebut, Ānanda kemudian berperan sebagai perantara. Ia berkali-kali memohon kepada Sang Buddha agar mengizinkan kaum perempuan untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuni 3 4. Mula-mula Buddha tetap menolak permintaan Ānanda. Namun Ānanda lalu bertanya, “Apakah wanita dapat mencapai pencerahan (buah kesucian) jika menjalani hidup suci (menjadi monastik)?” Buddha menegaskan bahwa wanita mampu mencapai tingkat kesucian (stream-enterer hingga Arahat) sama seperti pria 5 6. Setelah mengakui kesetaraan kapasitas spiritual ini, Buddha akhirnya bersedia membentuk Ordo Bhikkhuni, namun dengan syarat delapan aturan khusus.
Buddha Gautama mengizinkan Mahāpajāpatī Gotamī beserta rombongannya untuk ditahbiskan, asalkan mereka menerima delapan aturan pokok (Garudhamma) yang harus dihormati sepanjang hayat 4 7. Delapan Garudhamma ini merupakan ketentuan disiplin yang secara eksplisit menempatkan para bhikkhuni dalam posisi subordinat terhadap para bhikkhu. Inti dari delapan aturan tersebut antara lain :
Aturan-aturan Gārudhamma ini diterima dengan tulus oleh Mahāpajāpatī. Dikisahkan ia menyamakan delapan syarat tersebut bagaikan mahkota bunga di atas kepala – artinya, dengan rela dan hormat ia mematuhi semua ketentuan demi dapat hidup suci 16 17. Maka Mahāpajāpatī Gotamī pun menjadi bhikkhuni pertama dalam sejarah, disusul ratusan wanita lainnya yang kemudian turut ditahbiskan. Ia akhirnya mencapai tingkat Arahat, membuktikan bahwa wanita dapat mencapai pencerahan tertinggi seperti halnya para bhikkhu 18. Komunitas bhikkhuni pun resmi berdiri, bertempat di Vesālī dengan dukungan para dermawan (misalnya, Raja Lichchavi disebutkan membangun vihāra bagi para bhikkhuni) 19.Peristiwa ini menandai dimulainya Sangha Bhikkhuni sebagai salah satu dari empat pilar umat Buddha (bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, upāsikā).
Lukisan di dinding Wat Olak Madu (Kedah, Malaysia) menggambarkan Buddha Gautama menahbiskan Mahāpajāpatī Gotamī sebagai bhikkhuni pertama. Peristiwa historis ini terjadi setelah Buddha akhirnya mengabulkan permohonan bibinya untuk mendirikan komunitas bhikkhuni, dengan syarat delapan Garudhamma yang harus dipatuhi 4 7.
Menariknya, teks Cullavagga mencatat bahwa setelah pembentukan Ordo Bhikkhuni, Buddha Gautama mengeluarkan pernyataan bernada pesimis. Ia bersabda kepada Ānanda bahwa masuknya wanita ke dalam Sangha akan memperpendek usia ajaran. “Seandainya perempuan tidak diizinkan meninggalkan kehidupan rumah tangga dalam Dhamma-Vinaya ini, kehidupan suci akan bertahan seribu tahun. Tetapi karena mereka diizinkan, maka Saddhamma hanya akan bertahan lima ratus tahun,” demikian sabda Buddha menurut catatan tersebut 20. Buddha mengumpamakan situasi itu seperti keluarga dengan banyak wanita dan sedikit pria yang mudah diserang perampok, atau seperti ladang padi yang terkena hama penyakit – yang berarti rentan dan tidak akan bertahan lama 21 22. Oleh sebab itu, kata Buddha, ia menetapkan delapan aturan berat (Garudhamma) sebagai tanggul pencegah supaya Sangha tetap kokoh meski perempuan telah diordinasi 23 24.
Pernyataan ini tentu terkesan mengejutkan dan kontroversial. Di satu sisi, Buddha mengakui kapasitas spiritual wanita setara dengan pria; tetapi di sisi lain, ia tampak mengkhawatirkan dampak institusional dari kehadiran bhikkhuni. Untuk memahami hal ini, kita harus meninjau kondisi sosial dan budaya India kuno, serta bagaimana para sarjana modern menafsirkan kejadian tersebut.
Mengapa Buddha awalnya ragu mengizinkan wanita memasuki Sangha? Secara historis, reluctance atau keraguan Sang Buddha ini dapat dimengerti bila melihat konteks posisi perempuan pada abad ke-6 SM di India. Kondisi sosial India kuno sangat patriarkal. Perempuan dipandang rendah dan perannya dibatasi dalam ranah domestik. Sejarawan mencatat bahwa pada masa itu, wanita dianggap inferior – sering disetarakan dengan kasta terendah (Sudra) dalam hal status 25. Kebebasan mereka sangat terbatas: sepanjang hidupnya seorang wanita “harus berada di bawah penjagaan ayah saat muda, di bawah perlindungan suami saat dewasa, dan dikuasai anak laki-laki saat tua” 26. Norma ini berarti wanita “tidak pantas mendapat kebebasan” dan diharapkan tinggal di rumah mengurus keluarga sesuai keinginan pria 26. Praktik seperti sati (istri yang membakar diri saat suami wafat) dan anggapan bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah akibat karma buruk menunjukkan betapa tidak menguntungkannya posisi perempuan dalam budaya kala itu 27 28.
Dengan latar belakang demikian, keengganan Buddha pada awalnya bisa jadi didasarkan pada pertimbangan praktis dan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa analisis, Buddha “khawatir akan berbagai konsekuensi negatif jika wanita diterima” 29 30. Berikut beberapa alasan yang kerap dikemukakan :
Terlepas dari nada “skeptis” tersebut, perlu ditekankan bahwa keputusan Buddha untuk akhirnya mengordinasi para wanita merupakan terobosan yang radikal pada zamannya. Di tradisi keagamaan lain kala itu, sangat jarang (jika bukan mustahil) seorang perempuan mendapat kesempatan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi petapa dengan hak dan fasilitas setara pria. Buddha Gautama mematahkan asumsi bahwa jalan pembebasan spiritual tertinggi hanya terbuka bagi laki-laki. Beliau menyatakan secara tegas bahwa perempuan mampu mencapai pencerahan spiritual tertinggi (arahatta) 4 38
– ini adalah pengakuan egaliter yang luar biasa di tengah budaya Veda yang bahkan melarang wanita membaca teks suci. Dalam catatan sejarah Buddhisme awal, kaum bhikkhuni menghasilkan banyak guru dan arahat perempuan yang termashyur, seperti Mahāpajāpatī sendiri, Yasodharā (mantan istri Pangeran Siddhārtha), Kisagotamī, Khemā, Uppalavaṇṇā, dan lain-lain. Sutta dan syair-syair Therīgāthā (kisah pencerahan para Arahat bhikkhuni) menjadi saksi bahwa begitu diberi kesempatan, para wanita ini mampu mengukir prestasi spiritual setara dengan kaum pria 39 40. Dengan demikian, dapat dikatakan Buddha mendobrak batasan patriarki religius – meskipun dengan kompromi melalui aturan-aturan ekstra untuk konteks sosialnya.
Beberapa komentator juga berpendapat bahwa penolakan awal Buddha mungkin merupakan ujian terhadap keteguhan niat Mahāpajāpatī dan wanita Sakya lainnya 41. Tradisi mencatat, seorang calon monk biasanya ditolak tiga kali sebelum akhirnya diterima, guna menguji keseriusannya. Dalam kasus para calon bhikkhuni pertama, Buddha mungkin ingin memastikan mereka benar-benar memahami konsekuensi berat dari hidup sebagai petapa (apalagi bagi wanita yang meninggalkan norma masyarakat kala itu) dan siap menanggung kesulitan hidup suci. Kenyataannya, Mahāpajāpatī dan rombongannya berhasil menunjukkan tekad baja – mereka bahkan menolak tumpangan kereta para pangeran dan memilih berjalan kaki ~150 mil sebagai bentuk kesungguhan menghormati Buddha 42 43. Hal ini barangkali menguatkan keyakinan Buddha bahwa para wanita ini pantas diberi kesempatan.
Kisah Buddha mendirikan Sangha Bhikkhuni dengan syarat khusus telah menjadi bahan diskusi para sarjana modern. Apakah ketentuan yang terkesan diskriminatif ini benar-benar berasal dari Buddha, ataukah dipengaruhi bias masyarakat kemudian? Beberapa penelitian tekstual kritis menunjukkan adanya kejanggalan dalam narasi Vinaya tentang pembentukan ordo bhikkhuni. Misalnya :
Temuan dan analisis di atas mendorong banyak sarjana Buddhis modern untuk menilai bahwa ketentuan ketidaksetaraan gender dalam Vinaya bersifat kontekstual historis, bukan prinsip spiritual universal. Mereka menekankan bahwa Buddha menyatakan kesamaan potensi spiritual kedua gender – ini dibuktikan dengan adanya puluhan Arahat perempuan di kanon Pali maupun Mahayana 39 40. Tidak ada ajaran inti Buddha yang menyatakan perempuan lebih rendah secara moral atau spiritual. Yang ada justru banyak ajaran netral-gender dan pujian Buddha terhadap kualitas perempuan saleh (misalnya Buddha memuji Sujātā yang memberi dana makan terakhir sebelum pencerahan, kisah Visākhā upāsikā utama, dll). Bahkan
di sūtra Mahayana, terdapat pemikiran bahwa keBuddhaan melampaui konsep gender – sejumlah sutra menampilkan wanita mencapai pencerahan dan berubah wujud menjadi laki-laki hanya untuk menyesuaikan ekspektasi pendengar (contohnya Sutra Teratai tentang Nāgakanyā). Ini menunjukkan ajaran Buddhis sesungguhnya fleksibel dan non-diskriminatif, tetapi praktik institusionalnya bisa dipengaruhi budaya setempat.
Dari perspektif Buddhis feminis kontemporer, aturan seperti Garudhamma dilihat sebagai warisan patriarki yang perlu ditafsir ulang. Tokoh-tokoh seperti Rita Gross (sarjana Buddhis feminis) berpendapat bahwa Buddhisme sebagai institusi historis memang tidak luput dari seksisme, karena lahir dalam dunia patriarkal, namun inti ajarannya tentang ketiadaan ego, kesetaraan semua makhluk dalam meraih pencerahan sejalan dengan prinsip egalitarian 39 40. Bagi mereka, yang bias adalah struktur sosialnya, bukan Dhamma itu sendiri. Hal ini memberi legitimasi bagi usaha-usaha umat Buddha masa kini untuk mengembalikan semangat egaliter dengan merevitalisasi ordination bhikkhuni dan menyerukan revisi cara pandang.
Misalnya, Prof. Heng-Ching Shih dan para akademisi menunjuk Bahudhātuka Sutta (Anguttara Nikāya 10.48) yang menyebut lima hal yang tidak mungkin bagi perempuan: menjadi Raja Brahma, Sakra (raja dewa), Māra, Cakkavatti (raja dunia), atau Buddha 61 62. Kalimat ini kerap dikutip sebagai bukti “ajaran” inferioritas wanita. Namun para intelektual Buddhis modern menafsirkannya secara sosiologis: Buddha barangkali menggambarkan kenyataan sosial (tidak ada wanita menjabat posisi tersebut di masyarakat/ perkosmisan saat itu), bukan menetapkan hukum rohani bahwa wanita kurang mampu. Lagi pula, dalam konteks Mahayana muncul konsep Buddha wanita (seperti Tara, Prajñāpāramitā). Hal-hal seperti ini dijadikan contoh bahwa banyak elemen yang terkesan misoginis dalam teks mungkin bukan kebenaran hakiki, melainkan cermin budaya yang bisa berubah.
Sebagian bhikkhu konservatif berargumen, aturan berbeda untuk bhikkhuni justru bertujuan melindungi mereka. Misalnya, ketentuan tinggal dekat bhikkhu dipandang agar para bhikkhuni mudah mendapat nasehat dan perlindungan, bukan untuk mengawasi secara merendahkan. Demikian pula, aturan menghormat bhikkhu junior dianggap demi menghindari konflik hierarki dan cemburu di antara para bhikkhu (yang jumlahnya lebih banyak) – jadi demi keharmonisan, para bhikkhuni bersedia “mengalah” dalam tata hormat. Pandangan tradisional juga menyebutkan, berbeda bukan berarti inferior: aturan terpisah dibuat karena kebutuhan biologis dan sosial yang berbeda (misal aturan tambahan bhikkhuni soal kontak pria-wanita lebih ketat karena mereka lebih rentan dalam masyarakat patriarkal).
Namun, para aktivis kesetaraan gender dalam Buddhisme menilai pembenaran-pembenaran tersebut tidak lagi relevan di zaman modern. Mereka bertanya, “Jika alasannya perlindungan, mengapa tidak ada mekanisme serupa melindungi kepentingan bhikkhuni dari kemungkinan kesewenangan bhikkhu?”. Nyatanya, hubungan kuasa yang timpang lebih menonjol daripada aspek perlindungan. Misal, hingga kini bhikkhuni tidak punya suara setara dalam banyak pengambilan keputusan Sangha konservatif karena dianggap “tidak sah” atau “lebih rendah”. Bagi kalangan reformis, ini merupakan ketidakadilan yang perlu diluruskan sesuai semangat asli Buddha yang memasukkan wanita dalam brahmacariya meski harus melawan arus zamannya.
Intinya, wacana modern mengarah pada kesimpulan bahwa ketentuan subordinasi bhikkhuni bersifat kontekstual dan kondisional, bukan prinsip mutlak sepanjang masa. Seiring perubahan zaman yang lebih egaliter, banyak yang berpandangan sudah selayaknya interpretasi Vinaya disesuaikan. Ada pula yang
mendorong “pembersihan” catatan historis dengan jujur mengakui bahwa bias patriarkal ada dalam penyebaran Buddhisme, tapi itu adalah produk manusia (biksu), bukan ajaran esensial Buddha.
Memasuki abad ke-20 dan 21, isu kesetaraan gender dalam komunitas Buddhis mendapat perhatian serius. Setelah berabad-abad lamanya ordo bhikkhuni punah di beberapa tradisi (terutama Theravāda di Asia Selatan/ Tenggara dan Vajrayana di Tibet), kini terjadi gelombang kebangkitan untuk menghidupkan kembali warisan Buddha tersebut. Gerakan ini berangkat dari kesadaran bahwa empat pilar Buddha Dharma – bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, upāsikā – seharusnya lengkap demi kelestarian dan kemajuan Buddha Sāsana. Berikut adalah beberapa perkembangan penting :
Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sikap terhadap perempuan dalam Buddhisme sangat dipengaruhi konteks zaman. Buddha Gautama, dalam kerangka sosialnya, mengambil langkah progresif dengan mendirikan Ordo Bhikkhuni, meski harus mengimbangi norma patriarkal melalui aturan-aturan tambahan. Apakah aturan tersebut dimaksudkan sebagai ketetapan abadi? Indikasi historis menunjukkan kemungkinan besar tidak. Beliau sendiri menyatakan Anitya – segala sesuatu tidak kekal dan bisa berubah, termasuk aturan monastik yang “kecil” (Buddha bahkan berpesan kepada para bhikkhu supaya boleh mengabaikan aturan kecil setelah beliau wafat, meski kemudian para siswa tidak sepakat mana yang tergolong kecil). Bisa jadi, ketentuan gender bias termasuk dalam kategori kebijakan temporer.
Yang pasti, inti ajaran Buddha menghargai potensi setiap insan. Buddha tidak pernah menyatakan bahwa perempuan tidak bisa mencapai Nibbana – sebaliknya, beliau membuktikan kesalahan asumsi itu dengan hadirnya para Arahatī. Kalaupun beliau mengeluarkan pernyataan bernada merendahkan perempuan (seperti analogi “perempuan bagaikan penyakit perusak ladang”), banyak kalangan meyakini itu bukan kata-kata hakiki Buddha, atau minimal ucapan itu sarat konteks situasional. Pudarnya narasi seksis dalam teks lainnya menguatkan pandangan bahwa sikap tersebut bukanlah doktrin fundamental.
Di zaman sekarang, ketika kesetaraan gender menjadi nilai universal, komunitas Buddhis di berbagai belahan dunia tengah berusaha memastikan warisan spiritual Buddha inklusif bagi semua gender. Gerakan re-ordinasi bhikkhuni di Theravāda dan Vajrayāna menunjukkan bahwa tradisi dapat beradaptasi dan kembali ke roh asali Dhamma yang melampaui bias duniawi. Dialog lintas generasi dan mazhab juga kian terbuka: banyak umat muda menanyakan mengapa agama yang filosofinya maju justru mempraktikkan ketidaksetaraan, dan para tetua bijaksana pun mulai memberikan penjelasan yang jujur sekaligus mengupayakan perubahan positif.
Akhirnya, pertanyaan “apakah ketidaksetaraan ini kontekstual atau normatif?” dapat dijawab dengan melihat prinsip Buddhisme tentang kondisionalitas. Buddha selalu menekankan pentingnya upaya kebaikan (kusala) sesuai kondisi. Jika sebuah aturan dalam kondisi sekarang justru menjadi penghalang kemajuan spiritual separuh umat (yakni kaum perempuan), maka semangat welas asih dan kebijaksanaan menuntun kita untuk mengevaluasi ulang aturan tersebut. Sebagaimana air menyesuaikan wadahnya, Dhamma-Vinaya sejati semestinya dapat melayani kebutuhan para pencari kebenaran di tiap masa. Dalam semangat itulah, kita menyaksikan para bhikkhuni modern bangkit kembali, dan para bhikkhu serta umat awam mendukung mereka, bersama-sama melanjutkan misi Buddha: membebaskan semua makhluk tanpa kecuali. Kesetaraan gender dalam Sangha bukan sekadar isu hak asasi, melainkan upaya mewujudkan visi Buddha akan komunitas spiritual yang utuh dan kokoh oleh kontribusi empat kelompoknya. Dengan belajar dari sejarah dan terbuka pada perspektif baru, komunitas Buddhis lintas generasi dan aliran dapat berdiskusi dan berkolaborasi agar Buddha Sāsana tetap relevan, dinamis, sekaligus setia pada esensi pembebasannya.
Vinaya Pitaka, Cullavagga X – Riwayat pembentukan Sangha Bhikkhuni dan syarat Garudhamma 4 7 .
Buddhist Studies: “Buddhism & Women: Pajapati Gotami” – narasi sejarah Mahāpajāpatī Gotamī 1 4.
Zen Studies Podcast: “Confronting the Buddha’s Sexist Discourse – Part 1” – terjemahan Bhikkhu Sujato atas AN 8:51 (Gotamī Sutta) dan analisis konteksnya 20 22.
Analisis akademis Bhikkhuni Vinaya oleh Dhammadharini Bhikkhuni (Ayya Tathālokā) – argumen non-historisitas kisah delapan Garudhamma 44 46.
Scirp Journal: “The Discrimination of Women in Buddhism: An Ethical Analysis” – mengulas bias gender di Buddhism, pandangan Ajahn Sujato, dll 57 58.
Leave a Reply