Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Bhikkhuni dalam Sejarah dan Perspektif Modern: Dari Keraguan Awal Buddha hingga Kesetaraan Gender

Bhikkhuni dalam Sejarah dan Perspektif Modern: Dari Keraguan Awal Buddha hingga Kesetaraan Gender

October 27, 2025
Latar Belakang Historis Sangha Bhikkhuni

Pada masa Buddha Gautama, komunitas monastik (Sangha) awalnya hanya terdiri dari para bhikkhu (biksu). Keinginan untuk mendirikan komunitas bhikkhuni (biksuni) pertama kali muncul ketika Mahāpajāpatī Gotamī – bibi dan ibu angkat Sang Buddha – memohon agar perempuan diizinkan meninggalkan kehidupan duniawi dan masuk dalam Sangha. Menurut catatan dalam Vinaya Pitaka (Cullavagga), Mahāpajāpatī Gotamī tiga kali mengajukan permintaan ini, namun Sang Buddha tiga kali pula menolaknya 1. Penolakan ini membuat Mahāpajāpatī sedih dan kecewa; namun ia tidak putus asa. Bersama 500 wanita Sakya lainnya, ia mencukur rambut, mengenakan jubah kuning, dan berjalan ratusan mil dari Kapilavatthu ke Vesālī untuk kembali memohon langsung kepada Buddha 1 2. Kondisi mereka tiba di Vesālī sangat letih, kaki bengkak dan berdebu, menandakan tekad yang bulat.

 

Venerable Ānanda, salah satu siswa utama Buddha, menemukan Mahāpajāpatī dan rombongannya dalam keadaan menyedihkan di gerbang tempat Buddha berdiam. Tersentuh oleh keteguhan hati para wanita tersebut, Ānanda kemudian berperan sebagai perantara. Ia berkali-kali memohon kepada Sang Buddha agar mengizinkan kaum perempuan untuk ditahbiskan sebagai bhikkhuni 3 4. Mula-mula Buddha tetap menolak permintaan Ānanda. Namun Ānanda lalu bertanya, “Apakah wanita dapat mencapai pencerahan (buah kesucian) jika menjalani hidup suci (menjadi monastik)?” Buddha menegaskan bahwa wanita mampu mencapai tingkat kesucian (stream-enterer hingga Arahat) sama seperti pria 5 6. Setelah mengakui kesetaraan kapasitas spiritual ini, Buddha akhirnya bersedia membentuk Ordo Bhikkhuni, namun dengan syarat delapan aturan khusus.

Pendirian Komunitas Bhikkhuni dan Delapan Garudhamma

Buddha Gautama mengizinkan Mahāpajāpatī Gotamī beserta rombongannya untuk ditahbiskan, asalkan mereka menerima delapan aturan pokok (Garudhamma) yang harus dihormati sepanjang hayat 4 7. Delapan Garudhamma ini merupakan ketentuan disiplin yang secara eksplisit menempatkan para bhikkhuni dalam posisi subordinat terhadap para bhikkhu. Inti dari delapan aturan tersebut antara lain :

  1. Senioritas dan penghormatan: Seorang bhikkhuni, walaupun sudah puluhan tahun dalam Sangha, harus selalu menghormat bhikkhu yang baru ditahbiskan sekalipun – termasuk memberi salam, bangkit dari tempat duduk, dan membungkuk di hadapannya 8. Bhikkhuni tidak boleh menegur apalagi memarahi bhikkhu; sebaliknya bhikkhu dibolehkan menegur bhikkhuni 9 10. Aturan ini menegaskan bahwa dalam segala situasi formal, posisi bhikkhuni lebih rendah daripada bhikkhu.
  2. Ketergantungan pada bhikkhu dalam hal administrasi Sangha: Para bhikkhuni diwajibkan tinggal di dekat komunitas bhikkhu (sekitar 6 jam perjalanan) demi mendapatkan bimbingan 7. Setiap dua minggu, bhikkhuni harus menghadap Sangha bhikkhu untuk menerima penetapan hari Uposatha dan petunjuk dhamma 11. Setelah berakhirnya masa vassa (retret musim hujan), para bhikkhuni wajib “mengundang” evaluasi (pavarana) dari dua komunitas (bhikkhu dan bhikkhuni) terkait pelanggaran yang terlihat atau terdengar 11. Proses penahbisan bhikkhuni pun harus dilakukan secara dual–sided: seorang calon bhikkhuni (sikkhamānā) setelah menjalani training dua tahun, harus menerima upasampadā (penahbisan penuh) di hadapan komunitas bhikkhuni dan juga komunitas bhikkhu 12. Artinya, tanpa persetujuan Sangha bhikkhu, penahbisan wanita tidak sah 13.
  3. Bimbingan dan disiplin: Seorang bhikkhuni wajib menjalani masa latihan awal dan tunduk pada pembinaan oleh bhikkhu senior selain juga oleh bhikkhuni senior 14. Pelanggaran berat oleh bhikkhuni harus dihadapi di hadapan komunitas bhikkhu dan bhikkhuni (sidang bersama) untuk penebusan kesalahan 15.

Aturan-aturan Gārudhamma ini diterima dengan tulus oleh Mahāpajāpatī. Dikisahkan ia menyamakan delapan syarat tersebut bagaikan mahkota bunga di atas kepala – artinya, dengan rela dan hormat ia mematuhi semua ketentuan demi dapat hidup suci 16 17. Maka Mahāpajāpatī Gotamī pun menjadi bhikkhuni pertama dalam sejarah, disusul ratusan wanita lainnya yang kemudian turut ditahbiskan. Ia akhirnya mencapai tingkat Arahat, membuktikan bahwa wanita dapat mencapai pencerahan tertinggi seperti halnya para bhikkhu 18. Komunitas bhikkhuni pun resmi berdiri, bertempat di Vesālī dengan dukungan para dermawan (misalnya, Raja Lichchavi disebutkan membangun vihāra bagi para bhikkhuni) 19.Peristiwa ini menandai dimulainya Sangha Bhikkhuni sebagai salah satu dari empat pilar umat Buddha (bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, upāsikā).

 

Lukisan di dinding Wat Olak Madu (Kedah, Malaysia) menggambarkan Buddha Gautama menahbiskan Mahāpajāpatī Gotamī sebagai bhikkhuni pertama. Peristiwa historis ini terjadi setelah Buddha akhirnya mengabulkan permohonan bibinya untuk mendirikan komunitas bhikkhuni, dengan syarat delapan Garudhamma yang harus dipatuhi 4 7.

 

Menariknya, teks Cullavagga mencatat bahwa setelah pembentukan Ordo Bhikkhuni, Buddha Gautama mengeluarkan pernyataan bernada pesimis. Ia bersabda kepada Ānanda bahwa masuknya wanita ke dalam Sangha akan memperpendek usia ajaran. “Seandainya perempuan tidak diizinkan meninggalkan kehidupan rumah tangga dalam Dhamma-Vinaya ini, kehidupan suci akan bertahan seribu tahun. Tetapi karena mereka diizinkan, maka Saddhamma hanya akan bertahan lima ratus tahun,” demikian sabda Buddha menurut catatan tersebut 20. Buddha mengumpamakan situasi itu seperti keluarga dengan banyak wanita dan sedikit pria yang mudah diserang perampok, atau seperti ladang padi yang terkena hama penyakit – yang berarti rentan dan tidak akan bertahan lama 21 22. Oleh sebab itu, kata Buddha, ia menetapkan delapan aturan berat (Garudhamma) sebagai tanggul pencegah supaya Sangha tetap kokoh meski perempuan telah diordinasi 23 24.

 

Pernyataan ini tentu terkesan mengejutkan dan kontroversial. Di satu sisi, Buddha mengakui kapasitas spiritual wanita setara dengan pria; tetapi di sisi lain, ia tampak mengkhawatirkan dampak institusional dari kehadiran bhikkhuni. Untuk memahami hal ini, kita harus meninjau kondisi sosial dan budaya India kuno, serta bagaimana para sarjana modern menafsirkan kejadian tersebut.

Alasan Keraguan Awal: Perspektif Sosial-Historis

Mengapa Buddha awalnya ragu mengizinkan wanita memasuki Sangha? Secara historis, reluctance atau keraguan Sang Buddha ini dapat dimengerti bila melihat konteks posisi perempuan pada abad ke-6 SM di India. Kondisi sosial India kuno sangat patriarkal. Perempuan dipandang rendah dan perannya dibatasi dalam ranah domestik. Sejarawan mencatat bahwa pada masa itu, wanita dianggap inferior – sering disetarakan dengan kasta terendah (Sudra) dalam hal status 25. Kebebasan mereka sangat terbatas: sepanjang hidupnya seorang wanita “harus berada di bawah penjagaan ayah saat muda, di bawah perlindungan suami saat dewasa, dan dikuasai anak laki-laki saat tua” 26. Norma ini berarti wanita “tidak pantas mendapat kebebasan” dan diharapkan tinggal di rumah mengurus keluarga sesuai keinginan pria 26. Praktik seperti sati (istri yang membakar diri saat suami wafat) dan anggapan bahwa kelahiran sebagai perempuan adalah akibat karma buruk menunjukkan betapa tidak menguntungkannya posisi perempuan dalam budaya kala itu 27 28.

 

Dengan latar belakang demikian, keengganan Buddha pada awalnya bisa jadi didasarkan pada pertimbangan praktis dan sosial. Sebagaimana diungkapkan oleh beberapa analisis, Buddha “khawatir akan berbagai konsekuensi negatif jika wanita diterima” 29 30. Berikut beberapa alasan yang kerap dikemukakan :

  1. Persepsi dan keamanan: Masyarakat mungkin memandang negatif wanita yang meninggalkan rumah untuk hidup mengembara; hal itu dianggap mencoreng norma kesusilaan. Buddha barangkali mengkhawatirkan timbulnya cemoohan atau kurangnya dukungan dari para donor (upāsaka/upāsikā) bila Sangha berisi wanita. Ada pula kekhawatiran atas keselamatan para wanita pengembara di hutan, mengingat perjalanan hidup para bhikkhu sering berpindah dari hutan ke hutan 31 32. Tuduhan miring bisa saja muncul (misal, perempuan di Sangha dituduh meninggalkan keluarga atau dianggap menyebabkan keretakan rumah tangga) 33 34.
  2. Kesiapan internal Sangha: Pada masa itu Sangha baru berdiri dan seluruh struktur pendidikan serta pengawasan monastik diatur oleh para bhikkhu. Buddha mungkin merasa Sangha belum siap membimbing sejumlah besar perempuan yang latar belakang hidupnya berbeda (banyak dari mereka adalah ibu rumah tangga, istri, ibu, putri kerajaan yang sebelumnya hidup nyaman) 31. Dalam catatan, Mahāpajāpatī datang bersama 500 wanita lain – jumlah yang tidak sedikit. Kurangnya bhikkhu senior yang dapat mengajari para calon bhikkhuni secara memadai mungkin menjadi pertimbangan praktis Buddha menunda penerimaan mereka 31 35.
  3. Stabilitas jangka panjang Dhamma: Buddha dikenal sangat menjaga keutuhan dan kemurnian Dhamma-Vinaya agar tahan lama. Diriwayatkan Buddha pernah berkata bahwa para Buddha sebelumnya yang tidak membuat aturan Vinaya, ajarannya cepat menghilang 36. Masuknya bhikkhuni barangkali dilihat sebagai faktor potensial memperumit Sangha, misalnya dalam menjaga brahmacariya (selibat) di antara anggota sangha yang berlainan jenis, atau risiko perpecahan (skisma) jika persoalan perempuan tidak diatur jelas 32. Dalam teks Cullavagga tersirat bahwa Buddha khawatir kehidupan spiritual (brahmacariya) akan tidak bertahan lama apabila perempuan diizinkan, sehingga ia merasa perlu menambahkan aturan ekstra sebagai benteng 20 23. Analogi “keluarga dengan banyak wanita mudah diserang perampok” mungkin merefleksikan pandangan umum saat itu bahwa kehadiran wanita bisa menjadi celah kelemahan dalam lembaga religius 37 22.

Terlepas dari nada “skeptis” tersebut, perlu ditekankan bahwa keputusan Buddha untuk akhirnya mengordinasi para wanita merupakan terobosan yang radikal pada zamannya. Di tradisi keagamaan lain kala itu, sangat jarang (jika bukan mustahil) seorang perempuan mendapat kesempatan meninggalkan kehidupan rumah tangga untuk menjadi petapa dengan hak dan fasilitas setara pria. Buddha Gautama mematahkan asumsi bahwa jalan pembebasan spiritual tertinggi hanya terbuka bagi laki-laki. Beliau menyatakan secara tegas bahwa perempuan mampu mencapai pencerahan spiritual tertinggi (arahatta) 4 38
– ini adalah pengakuan egaliter yang luar biasa di tengah budaya Veda yang bahkan melarang wanita membaca teks suci. Dalam catatan sejarah Buddhisme awal, kaum bhikkhuni menghasilkan banyak guru dan arahat perempuan yang termashyur, seperti Mahāpajāpatī sendiri, Yasodharā (mantan istri Pangeran Siddhārtha), Kisagotamī, Khemā, Uppalavaṇṇā, dan lain-lain. Sutta dan syair-syair Therīgāthā (kisah pencerahan para Arahat bhikkhuni) menjadi saksi bahwa begitu diberi kesempatan, para wanita ini mampu mengukir prestasi spiritual setara dengan kaum pria 39 40. Dengan demikian, dapat dikatakan Buddha mendobrak batasan patriarki religius – meskipun dengan kompromi melalui aturan-aturan ekstra untuk konteks sosialnya.

 

Beberapa komentator juga berpendapat bahwa penolakan awal Buddha mungkin merupakan ujian terhadap keteguhan niat Mahāpajāpatī dan wanita Sakya lainnya 41. Tradisi mencatat, seorang calon monk biasanya ditolak tiga kali sebelum akhirnya diterima, guna menguji keseriusannya. Dalam kasus para calon bhikkhuni pertama, Buddha mungkin ingin memastikan mereka benar-benar memahami konsekuensi berat dari hidup sebagai petapa (apalagi bagi wanita yang meninggalkan norma masyarakat kala itu) dan siap menanggung kesulitan hidup suci. Kenyataannya, Mahāpajāpatī dan rombongannya berhasil menunjukkan tekad baja – mereka bahkan menolak tumpangan kereta para pangeran dan memilih berjalan kaki ~150 mil sebagai bentuk kesungguhan menghormati Buddha 42 43. Hal ini barangkali menguatkan keyakinan Buddha bahwa para wanita ini pantas diberi kesempatan.

Interpretasi Modern terhadap Aturan dan Ketidaksetaraan Gender

Kisah Buddha mendirikan Sangha Bhikkhuni dengan syarat khusus telah menjadi bahan diskusi para sarjana modern. Apakah ketentuan yang terkesan diskriminatif ini benar-benar berasal dari Buddha, ataukah dipengaruhi bias masyarakat kemudian? Beberapa penelitian tekstual kritis menunjukkan adanya kejanggalan dalam narasi Vinaya tentang pembentukan ordo bhikkhuni. Misalnya :

  1. Tidak konsistennya aturan Garudhamma dalam berbagai versi Vinaya. Studi perbandingan Vinaya dari berbagai aliran (Theravāda, Dharmaguptaka, Mahīśāsaka, Mahāsāṅghika, Mūlasarvāstivāda, dll.) menunjukkan daftar “delapan” Garudhamma tidak seragam. Versi Pali menyebut delapan aturan, tetapi Vinaya Mahāsāṅghika justru tidak mencatat delapan aturan itu sama sekali 44. Beberapa tradisi lain mencatat aturan serupa namun jumlahnya tidak persis delapan 45. Ini menimbulkan dugaan bahwa segmen Garudhamma ditambahkan belakangan dan bukan bagian inti dari ajaran Buddha yang disepakati lintas sekte awal 46 47. Bahkan dalam Vinaya Dharmaguptaka, cerita pemberian delapan Garudhamma ditempatkan di bagian akhir, seolah lampiran yang ditambahkan kemudian 48 46.
  2. Aturan Garudhamma tampak disusun dari aturan-aturan yang muncul belakangan. Menurut Bhikkhu Anālayo dan sarjana lain, sebagian besar butir Garudhamma sesungguhnya identik dengan peraturan pācittiya (pelanggaran ringan) bagi bhikkhuni yang baru ditetapkan setelah Sangha Bhikkhuni berjalan waktu 49 50. Prinsip dalam Vinaya adalah Buddha baru menetapkan aturan setelah ada kasus pelanggaran yang terjadi. Maka, aneh jika delapan aturan itu sudah lengkap diberikan di awal pendirian Sangha Bhikkhuni. Hal ini membuat secara historis mustahil Buddha mensyaratkan Garudhamma sejak awal, sebab beberapa pelanggaran (misal bhikkhuni memarahi bhikkhu, dll) baru terjadi di kemudian hari 51 52. Dengan kata lain, narasi Vinaya seakan memundurkan kronologi, memproyeksikan aturan-aturan yang terbentuk belakangan ke momen awal pendirian Sangha Bhikkhuni. Ini mengindikasikan kemungkinan penyisipan oleh redaksi kemudian.
  3. Keterlibatan Ānanda dalam cerita vs. kronologi sejarah. Ānanda baru menjadi bhikkhu sekitar tahun ke-2 atau ke-3 setelah pencerahan Buddha, dan baru 20 tahun kemudian menjadi pendamping pribadi Buddha. Namun cerita Cullavagga menempatkan Ānanda seolah sudah hadir sebagai perantara pada peristiwa yang beberapa sumber katakan terjadi tahun kelima setelah Buddha mencapai pencerahan (saat kunjungan ke Kapilavatthu pasca wafatnya Raja Suddhodana). Terdapat anomali kronologis yang jadi perdebatan – sebagian berpendapat tidak ada kontradiksi waktu, namun yang lain merasa ini indikasi cerita tersebut dirangkai belakangan dengan memasukkan tokoh Ānanda demi keperluan tertentu (mungkin untuk “menyalahkan” Ānanda atas berkurangnya umur Dhamma, sesuai pandangan tradisional) 53 54.
  4. Satu-satunya nubuat temporal Buddha. Ucapan Buddha tentang ajaran bertahan 500 tahun jika wanita diizinkan, menarik perhatian kritis. Dalam seluruh Kanon Pali, nyaris tak ada sabda Buddha lain yang meramalkan umur Dhamma secara kuantitatif seperti itu 55. Ketiadaan ramalan serupa di sutta lain membuat pernyataan “500 tahun” ini dicurigai sebagai sisipan non-otentik 56. Apalagi sejarah menunjukkan Buddha Sāsana nyatanya bertahan jauh lebih dari 500 tahun sekalipun bhikkhuni sudah ada – fakta ini sering dijelaskan oleh komentator belakangan bahwa “500 tahun” harus ditafsir kiasan (misalnya 500 tahun masa keemasan Dhamma). Namun pandangan kritis menyebut kemungkinan kalimat itu baru dimunculkan di era kemudian saat mulai berkembang konsep siklus kemunduran Dhamma per 500 tahun dalam sastra Buddhis 56.
  5. Dugaan bias penyalin laki-laki. Sejumlah cendekiawan modern berhipotesis bahwa setelah Buddha wafat, proses kodifikasi ajaran didominasi bhikkhu, dan mungkin ada bias patriarki yang memengaruhi redaksi Vinaya. Aturan paling berat (bhikkhuni senior wajib menghormat bhikkhu junior) dianggap sesuai norma masyarakat saat itu (yaitu pria mesti lebih dihormati) 57 58. Ajahn Sujato, seorang bhikkhu dan peneliti sutta, berpendapat aturan tersebut dibuat demi kepatutan zaman dan diragukan berasal langsung dari Buddha Gautama 57 58. Memang, tidak ada aturan sebaliknya (bhikkhu harus menghormat bhikkhuni tertua) – ketimpangan ini menimbulkan dugaan kuat bahwa para penyusun Vinaya yang berkultur patriarkilah yang menambahkan ketentuan tersebut 59. Bahkan aturan serupa diketahui ada dalam tradisi Jainisme bagi biarawati Jain, sehingga bisa jadi merupakan norma umum komunitas religius India kuno dan diadopsi oleh Sangha Buddha 60. Dengan kata lain, Vinaya dapat mencerminkan kondisi sosial pada masa pembukuan, bukan semata ajaran personal Buddha.

Temuan dan analisis di atas mendorong banyak sarjana Buddhis modern untuk menilai bahwa ketentuan ketidaksetaraan gender dalam Vinaya bersifat kontekstual historis, bukan prinsip spiritual universal. Mereka menekankan bahwa Buddha menyatakan kesamaan potensi spiritual kedua gender – ini dibuktikan dengan adanya puluhan Arahat perempuan di kanon Pali maupun Mahayana 39 40. Tidak ada ajaran inti Buddha yang menyatakan perempuan lebih rendah secara moral atau spiritual. Yang ada justru banyak ajaran netral-gender dan pujian Buddha terhadap kualitas perempuan saleh (misalnya Buddha memuji Sujātā yang memberi dana makan terakhir sebelum pencerahan, kisah Visākhā upāsikā utama, dll). Bahkan
di sūtra Mahayana, terdapat pemikiran bahwa keBuddhaan melampaui konsep gender – sejumlah sutra menampilkan wanita mencapai pencerahan dan berubah wujud menjadi laki-laki hanya untuk menyesuaikan ekspektasi pendengar (contohnya Sutra Teratai tentang Nāgakanyā). Ini menunjukkan ajaran Buddhis sesungguhnya fleksibel dan non-diskriminatif, tetapi praktik institusionalnya bisa dipengaruhi budaya setempat.

 

Dari perspektif Buddhis feminis kontemporer, aturan seperti Garudhamma dilihat sebagai warisan patriarki yang perlu ditafsir ulang. Tokoh-tokoh seperti Rita Gross (sarjana Buddhis feminis) berpendapat bahwa Buddhisme sebagai institusi historis memang tidak luput dari seksisme, karena lahir dalam dunia patriarkal, namun inti ajarannya tentang ketiadaan ego, kesetaraan semua makhluk dalam meraih pencerahan sejalan dengan prinsip egalitarian 39 40. Bagi mereka, yang bias adalah struktur sosialnya, bukan Dhamma itu sendiri. Hal ini memberi legitimasi bagi usaha-usaha umat Buddha masa kini untuk mengembalikan semangat egaliter dengan merevitalisasi ordination bhikkhuni dan menyerukan revisi cara pandang.

 

Misalnya, Prof. Heng-Ching Shih dan para akademisi menunjuk Bahudhātuka Sutta (Anguttara Nikāya 10.48) yang menyebut lima hal yang tidak mungkin bagi perempuan: menjadi Raja Brahma, Sakra (raja dewa), Māra, Cakkavatti (raja dunia), atau Buddha 61 62. Kalimat ini kerap dikutip sebagai bukti “ajaran” inferioritas wanita. Namun para intelektual Buddhis modern menafsirkannya secara sosiologis: Buddha barangkali menggambarkan kenyataan sosial (tidak ada wanita menjabat posisi tersebut di masyarakat/ perkosmisan saat itu), bukan menetapkan hukum rohani bahwa wanita kurang mampu. Lagi pula, dalam konteks Mahayana muncul konsep Buddha wanita (seperti Tara, Prajñāpāramitā). Hal-hal seperti ini dijadikan contoh bahwa banyak elemen yang terkesan misoginis dalam teks mungkin bukan kebenaran hakiki, melainkan cermin budaya yang bisa berubah.

 

Sebagian bhikkhu konservatif berargumen, aturan berbeda untuk bhikkhuni justru bertujuan melindungi mereka. Misalnya, ketentuan tinggal dekat bhikkhu dipandang agar para bhikkhuni mudah mendapat nasehat dan perlindungan, bukan untuk mengawasi secara merendahkan. Demikian pula, aturan menghormat bhikkhu junior dianggap demi menghindari konflik hierarki dan cemburu di antara para bhikkhu (yang jumlahnya lebih banyak) – jadi demi keharmonisan, para bhikkhuni bersedia “mengalah” dalam tata hormat. Pandangan tradisional juga menyebutkan, berbeda bukan berarti inferior: aturan terpisah dibuat karena kebutuhan biologis dan sosial yang berbeda (misal aturan tambahan bhikkhuni soal kontak pria-wanita lebih ketat karena mereka lebih rentan dalam masyarakat patriarkal).

 

Namun, para aktivis kesetaraan gender dalam Buddhisme menilai pembenaran-pembenaran tersebut tidak lagi relevan di zaman modern. Mereka bertanya, “Jika alasannya perlindungan, mengapa tidak ada mekanisme serupa melindungi kepentingan bhikkhuni dari kemungkinan kesewenangan bhikkhu?”. Nyatanya, hubungan kuasa yang timpang lebih menonjol daripada aspek perlindungan. Misal, hingga kini bhikkhuni tidak punya suara setara dalam banyak pengambilan keputusan Sangha konservatif karena dianggap “tidak sah” atau “lebih rendah”. Bagi kalangan reformis, ini merupakan ketidakadilan yang perlu diluruskan sesuai semangat asli Buddha yang memasukkan wanita dalam brahmacariya meski harus melawan arus zamannya.

 

Intinya, wacana modern mengarah pada kesimpulan bahwa ketentuan subordinasi bhikkhuni bersifat kontekstual dan kondisional, bukan prinsip mutlak sepanjang masa. Seiring perubahan zaman yang lebih egaliter, banyak yang berpandangan sudah selayaknya interpretasi Vinaya disesuaikan. Ada pula yang
mendorong “pembersihan” catatan historis dengan jujur mengakui bahwa bias patriarkal ada dalam penyebaran Buddhisme, tapi itu adalah produk manusia (biksu), bukan ajaran esensial Buddha.

Perkembangan Kesetaraan Gender dalam Sangha Modern

Memasuki abad ke-20 dan 21, isu kesetaraan gender dalam komunitas Buddhis mendapat perhatian serius. Setelah berabad-abad lamanya ordo bhikkhuni punah di beberapa tradisi (terutama Theravāda di Asia Selatan/ Tenggara dan Vajrayana di Tibet), kini terjadi gelombang kebangkitan untuk menghidupkan kembali warisan Buddha tersebut. Gerakan ini berangkat dari kesadaran bahwa empat pilar Buddha Dharma – bhikkhu, bhikkhuni, upāsaka, upāsikā – seharusnya lengkap demi kelestarian dan kemajuan Buddha Sāsana. Berikut adalah beberapa perkembangan penting :

  1. Revitalisasi Bhikkhuni Theravāda: Ordo bhikkhuni Theravāda sebenarnya hilang sekitar abad ke-11 M (terakhir tercatat di Sri Lanka dan Thailand). Selama hampir 1000 tahun, wanita Buddhis Theravāda hanya bisa menjadi ten-precepts nuns (dikenal sebagai dasa sil matā di Sri Lanka atau maeji di Thailand) tanpa status setara bhikkhu. Namun, pada akhir 1900-an, upaya merintis penahbisan penuh kembali muncul. Puncaknya, pada tahun 1998 diselenggarakan upacara penahbisan bhikkhuni internasional di Bodh Gaya, India, di situs pohon Bodhi tempat Buddha mencapai pencerahan 63. Dalam peristiwa bersejarah itu, belasan perempuan dari berbagai negara (terutama Sri Lanka) ditahbiskan menjadi bhikkhuni. Mereka pertama-tama menerima ordinasi dari bhikkhuni senior tradisi Mahayana (ordinaris Dharmaguptaka dari Tiongkok) sebagai upaya menghubungkan silsilah yang putus, lalu ditahbiskan ulang oleh para bhikkhu Sangha Theravāda untuk mengesahkan dalam tradisi lokal 63 64. Strategi “dual ordinasi” ini berhasil merevitalisasi garis keturunan bhikkhuni Theravāda yang dianggap sah. Sejak itu, Sri Lanka menjadi pusat kebangkitan bhikkhuni Theravāda. Puluhan hingga ratusan wanita telah ditahbiskan di Sri Lanka setiap tahunnya pasca-1998, dan kini diperkirakan ada lebih dari 500 bhikkhuni di Sri Lanka 65 66. Penahbisan bagi wanita dari negara lain juga menyusul: tahun 2002 upacara ordinasi diadakan untuk calon bhikkhuni asing di Sri Lanka, tahun 2003 beberapa wanita Barat menerima penahbisan di sana, dan mulai 2009–2010 penahbisan bhikkhuni Theravāda telah berlangsung di Barat (misalnya di Australia dan Amerika Serikat) 64. Pada 2009, Bhikkhu Ajahn Brahm di Perth, Australia, mengordinasi empat bhikkhuni (termasuk perempuan asal Thailand) di Wihara Bodhinyana – langkah berani yang memicu kontroversi dan membuat Ajahn Brahm di-ekskomunikasi dari tradisi Thai Forest. Meski demikian, ia mempertahankan keputusannya demi memperjuangkan hak wanita dalam Dhamma. Di Thailand sendiri, tokoh seperti Ven. Dhammanandā (nama lahir: Dr. Chatsumarn Kabilsingh) menjadi pionir dengan pergi ke Sri Lanka menerima upasampadā tahun 2003 dan pulang sebagai bhikkhuni pertama Thailand modern. Saat ini, walau institusi monastik resmi Thailand dan Myanmar masih belum mengakui bhikkhuni, semakin banyak wanita di kedua negara tersebut yang menjalani ordinasi penuh di luar negeri dan kembali melayani sebagai bhikkhuni di komunitasnya. Perlahan, keberadaan mereka mulai diterima masyarakat dan mendapat dukungan umat awam. Di Indonesia, yang menganut berbagai tradisi Buddhis, penahbisan bhikkhuni Theravāda pertama kali dilakukan pada 2015. Salah satu tokoh bhikkhuni Indonesia, Ven. Saddhāviḥārī (Syarani), ditahbiskan di luar negeri lalu turut membantu penahbisan generasi selanjutnya di Indonesia. Kini sudah terdapat beberapa bhikkhuni Indonesia, meski jumlahnya masih sangat sedikit. Ini menandakan babak baru bagi Buddhis Nusantara dalam mewujudkan keseimbangan peran gender di Sangha. Upacara penahbisan bhikkhuni Theravāda internasional di Bodh Gaya (2019). Nampak para calon bhikkhuni dan para elder bhikkhuni tengah melaksanakan prosesi ordinasi di hadapan Sangha bhikkhu. Upacara semacam ini menandai kebangkitan kembali komunitas bhikkhuni di tradisi Theravāda setelah vakum hampir satu milenium 63 64
  2. Dinamika di Tradisi Mahāyāna: Di cabang Mahāyāna, situasi bhikkhuni berbeda-beda tergantung negaranya. Tiongkok, Taiwan, Korea, Vietnam – yang menggunakan Vinaya Dharmaguptaka – berhasil mempertahankan garis bhikkhuni sejak diperkenalkan sekitar abad ke-5 M (Sanghamittā Therī dari Sri Lanka tercatat membawa ordinasi bhikkhuni ke Tiongkok pada 429 M). Maka, hingga kini di negara-negara tersebut komunitas bhikkhuni relatif mapan. Di Taiwan dan Korea, populasi bhikkhuni bahkan melebihi bhikkhu dan banyak wihara dipimpin oleh bhikkhuni senior. Meski Vinaya mereka juga mengandung Garudhamma (misal bhikkhuni tetap harus hormat pada bhikkhu), dalam praktik modern para bhikkhuni Mahāyāna memperoleh pendidikan setara dan dapat mencapai posisi tinggi. Contohnya, organisasi Buddhis global seperti Fo Guang Shan dan Tzu Chi dijalankan atau didirikan oleh para monastik perempuan. Bhikkhuni Cheng Yen di Taiwan (pendiri Tzu Chi) sangat dihormati laiknya guru besar. Demikian pula Bhikkhuni Jogye di Korea memimpin kuil-kuil besar. Artinya, meski kerangka Vinaya awalnya subordinatif, kultur Mahāyāna kontemporer banyak yang sudah mengakui kemampuan perempuan memimpin dan mengajar Dharma. Di Jepang, bentuk monastik mengalami perubahan sejak Restorasi Meiji (banyak biksu menikah, dll). Namun dalam beberapa dekade terakhir, minat pada penahbisan wanita muncul kembali dalam tradisi Zen dan Pure Land, meski mereka tidak selalu menyebut diri “bhikkhuni” melainkan “nun” saja. Tidak ada Vinaya bhikkhuni utuh di Jepang, tetapi wanita bisa ditahbiskan dalam Sōtō Zen misalnya, dengan sila Bodhisattva.
  3. Kebangkitan di Tradisi Tibet (Vajrayāna): Tradisi Tibet/Mulasarvāstivāda menghadapi tantangan terbesar soal bhikkhuni karena ordonya terputus sejak awal (konon bhikkhuni tidak pernah diperkenalkan saat agama Buddha dibawa ke Tibet abad 8 M). Selama berabad-abad, wanita Tibet hanya bisa menjadi novice (gelopma) dengan 10 sila. Akan tetapi, dorongan global untuk kesetaraan turut memengaruhi komunitas Vajrayāna. Yang Mulia Dalai Lama sejak tahun 1980-an telah menyatakan dukungan pribadi bagi ordinasi bhikkhuni, dan mendorong para ulama Vinaya mencari solusi untuk merevitalisasi bhikṣuṇī- saṅgha Mulasarvāstivāda. Prosesnya lambat karena memerlukan konsensus para petinggi sekte Tibet (Gelug, Kagyu, Nyingma, Sakya). Salah satu terobosan datang dari Ogyen Trinley Dorje, Karmapa ke-17 (pemimpin Karma Kagyu), yang secara progresif mengadakan pelatihan intensif bagi para sramanerika dan memperkenalkan kurikulum Geshema (gelar sarjana filsafat Buddha setara Geshe untuk perempuan). Pada 2016, untuk pertama kalinya dalam sejarah, 20 biarawati Tibet lulus ujian Geshema – menandakan pengakuan intelektual tertinggi bagi wanita monastik. Puncak terbaru, tahun 2022 Kerajaan Bhutan (tradisi Drukpa Kagyu) secara resmi melangsungkan upacara penahbisan bhikkhuni Mulasarvāstivāda pertama di era modern 67. Dengan dukungan Je Khenpo (kepala biarawan nasional) dan restu kerajaan, sejumlah sramanerika Bhutan ditahbiskan menjadi gelongma (bhikkhuni) penuh, menghidupkan kembali garis ordinasi yang hilang 67 68. Upacara 21 Juni 2022 itu dipuji sebagai peristiwa bersejarah – kini untuk pertama kali Sangha Bhikkhuni Vajrayāna eksis kembali secara institusional 69 70. Langkah Bhutan ini diharapkan membuka jalan bagi komunitas Tibet di pengasingan untuk mengikuti jejak serupa. Memang masih ada perbedaan pendapat di kalangan petinggi (beberapa masih ragu tentang keabsahan tanpa silsilah “asli”), tetapi perkembangan di Bhutan menunjukkan kemauan politik dan religius dapat mengatasi hambatan tradisi. Sementara itu, banyak biarawati Tibet tidak menunggu keputusan resmi – mereka mengambil inisiatif pribadi menerima upasampadā melalui tradisi Tionghoa (Dharmaguptaka) di Hong Kong atau Taiwan agar dapat disebut bhikkhuni. Para tokoh seperti Jetsunma Tenzin Palmo gencar berkampanye melalui organisasi Sakyadhita (perhimpunan wanita Buddhis sedunia) untuk advokasi penahbisan penuh. Hasilnya, hari ini sudah terdapat puluhan bhikkhuni berlatar Tibet (meski secara teknis bersilsilah Dharmaguptaka). Ini menunjukkan keinginan kuat komunitas untuk mewujudkan kesetaraan.
  4. Penerimaan Umat dan Dialog Lintas Mazhab: Secara umum, umat awam Buddhis modern cenderung mendukung peran lebih besar bagi perempuan dalam Sangha. Gerakan pemberdayaan bhikkhuni mendapat dukungan dari banyak pihak lintas negara dan tradisi. Misalnya, konferensi Sakyadhita International sejak 1987 rutin digelar, mempertemukan biarawati dan akademisi Buddhis dari Theravāda, Mahāyāna, Vajrayāna untuk berbagi pengalaman dan memperjuangkan isu kesetaraan. Hasil positifnya adalah meningkatnya visibilitas para bhikkhuni: kini tidak lagi aneh melihat bhikkhuni memberi ceramah Dhamma atau memimpin retret di hadapan audiens campuran. Beberapa universitas monastik di Sri Lanka dan India juga mulai menerima bhikkhuni sebagai mahasiswa, mencetak generasi baru cendekiawan monastik perempuan. Tentu, tantangan masih ada. Kaum konservatif di Thailand dan Myanmar misalnya, masih berpegang bahwa bhikkhuni Theravāda tidak bisa dihidupkan kembali secara valid karena tradisi mereka menganggap perlu bhikkhuni senior Theravāda (yang sudah tidak ada) untuk mengordinasi. Mereka menganggap penahbisan dengan bantuan bhikkhuni Mahāyāna sebagai “tidak murni”. Namun argumen ini makin sulit dipertahankan mengingat banyak pakar Vinaya (termasuk Bhikkhu Analayo) telah membuktikan secara legal Vinaya: penahbisan oleh bhikkhu saja sebenarnya cukup (Vinaya Pali sendiri mencatat Buddha memberi izin bhikkhu menahbiskan bhikkhuni saat belum ada bhikkhuni senior) 71. Artinya, hambatan sesungguhnya lebih merupakan keengganan kultural ketimbang alasan tekstual. Fakta bahwa upasampadā bhikkhuni sudah terjadi ribuan kali di berbagai negara belakangan ini tanpa menimbulkan kekacauan, justru memperkuat argumen pro-kesetaraan: wanita mampu dan layak menjalani hidup monastik ketat jika diberi kesempatan.
Penutup: Refleksi terhadap Konteks dan Norma

Dari uraian di atas, tampak jelas bahwa sikap terhadap perempuan dalam Buddhisme sangat dipengaruhi konteks zaman. Buddha Gautama, dalam kerangka sosialnya, mengambil langkah progresif dengan mendirikan Ordo Bhikkhuni, meski harus mengimbangi norma patriarkal melalui aturan-aturan tambahan. Apakah aturan tersebut dimaksudkan sebagai ketetapan abadi? Indikasi historis menunjukkan kemungkinan besar tidak. Beliau sendiri menyatakan Anitya – segala sesuatu tidak kekal dan bisa berubah, termasuk aturan monastik yang “kecil” (Buddha bahkan berpesan kepada para bhikkhu supaya boleh mengabaikan aturan kecil setelah beliau wafat, meski kemudian para siswa tidak sepakat mana yang tergolong kecil). Bisa jadi, ketentuan gender bias termasuk dalam kategori kebijakan temporer.

 

Yang pasti, inti ajaran Buddha menghargai potensi setiap insan. Buddha tidak pernah menyatakan bahwa perempuan tidak bisa mencapai Nibbana – sebaliknya, beliau membuktikan kesalahan asumsi itu dengan hadirnya para Arahatī. Kalaupun beliau mengeluarkan pernyataan bernada merendahkan perempuan (seperti analogi “perempuan bagaikan penyakit perusak ladang”), banyak kalangan meyakini itu bukan kata-kata hakiki Buddha, atau minimal ucapan itu sarat konteks situasional. Pudarnya narasi seksis dalam teks lainnya menguatkan pandangan bahwa sikap tersebut bukanlah doktrin fundamental.

 

Di zaman sekarang, ketika kesetaraan gender menjadi nilai universal, komunitas Buddhis di berbagai belahan dunia tengah berusaha memastikan warisan spiritual Buddha inklusif bagi semua gender. Gerakan re-ordinasi bhikkhuni di Theravāda dan Vajrayāna menunjukkan bahwa tradisi dapat beradaptasi dan kembali ke roh asali Dhamma yang melampaui bias duniawi. Dialog lintas generasi dan mazhab juga kian terbuka: banyak umat muda menanyakan mengapa agama yang filosofinya maju justru mempraktikkan ketidaksetaraan, dan para tetua bijaksana pun mulai memberikan penjelasan yang jujur sekaligus mengupayakan perubahan positif.

 

Akhirnya, pertanyaan “apakah ketidaksetaraan ini kontekstual atau normatif?” dapat dijawab dengan melihat prinsip Buddhisme tentang kondisionalitas. Buddha selalu menekankan pentingnya upaya kebaikan (kusala) sesuai kondisi. Jika sebuah aturan dalam kondisi sekarang justru menjadi penghalang kemajuan spiritual separuh umat (yakni kaum perempuan), maka semangat welas asih dan kebijaksanaan menuntun kita untuk mengevaluasi ulang aturan tersebut. Sebagaimana air menyesuaikan wadahnya, Dhamma-Vinaya sejati semestinya dapat melayani kebutuhan para pencari kebenaran di tiap masa. Dalam semangat itulah, kita menyaksikan para bhikkhuni modern bangkit kembali, dan para bhikkhu serta umat awam mendukung mereka, bersama-sama melanjutkan misi Buddha: membebaskan semua makhluk tanpa kecuali. Kesetaraan gender dalam Sangha bukan sekadar isu hak asasi, melainkan upaya mewujudkan visi Buddha akan komunitas spiritual yang utuh dan kokoh oleh kontribusi empat kelompoknya. Dengan belajar dari sejarah dan terbuka pada perspektif baru, komunitas Buddhis lintas generasi dan aliran dapat berdiskusi dan berkolaborasi agar Buddha Sāsana tetap relevan, dinamis, sekaligus setia pada esensi pembebasannya.

Sumber Referensi :

Vinaya Pitaka, Cullavagga X – Riwayat pembentukan Sangha Bhikkhuni dan syarat Garudhamma 4 7 .

 

Buddhist Studies: “Buddhism & Women: Pajapati Gotami” – narasi sejarah Mahāpajāpatī Gotamī 1 4.

 

Zen Studies Podcast: “Confronting the Buddha’s Sexist Discourse – Part 1” – terjemahan Bhikkhu Sujato atas AN 8:51 (Gotamī Sutta) dan analisis konteksnya 20 22.

 

Analisis akademis Bhikkhuni Vinaya oleh Dhammadharini Bhikkhuni (Ayya Tathālokā) – argumen non-historisitas kisah delapan Garudhamma 44 46.

 

Scirp Journal: “The Discrimination of Women in Buddhism: An Ethical Analysis” – mengulas bias gender di Buddhism, pandangan Ajahn Sujato, dll 57 58.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE