Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Madilog Tan Malaka dan Buddha Dharma: Persamaan Filsafat, Etika, dan Semangat Pembebasan

Madilog Tan Malaka dan Buddha Dharma: Persamaan Filsafat, Etika, dan Semangat Pembebasan

September 10, 2025
Pendahuluan

Tan Malaka, seorang pemikir revolusioner Indonesia, menuangkan gagasannya dalam buku Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika) pada 1943. Karya ini menjadi magnum opus-nya yang merumuskan metode berpikir baru bagi rakyat Indonesia, yakni berpikir rasional dan ilmiah sebagai antitesis terhadap “logika mistika” yang dianggap dominan dalam budaya setempat 1. Sementara itu, Buddha Dharma mengacu pada ajaran Siddhartha Gautama Buddha yang bersifat spiritual namun tetap rasional dan empiris. Ajaran Buddha menekankan pembuktian langsung (prinsip ehipassiko – “datang dan buktikan sendiri”) serta sikap tidak dogmatis: umat diajarkan untuk tidak menerima ajaran secara membabi-buta tanpa verifikasi 2.

 

Sekilas, Madilog yang materialistis dan anti-dogma tampak kontras dengan Buddha Dharma yang spiritual. Namun, secara reflektif keduanya memiliki benang merah yang kuat. Baik Tan Malaka maupun Buddha sama-sama mendorong pembebasan dari penderitaan dan kebodohan melalui kesadaran kritis dan penolakan terhadap dogma buta. Ulasan ini akan mengupas persamaan dan keterhubungan tersebut dari tiga sudut pandang: (1) cara berpikir filsafat dan logika, (2) etika dan pembebasan manusia, serta (3) semangat gerakan sosial dan emansipasi kolektif. Pembahasan ini juga menyoroti relevansi pandangan mereka bagi masyarakat Indonesia masa kini.

Cara Berpikir Filsafat dan Logika

Tan Malaka dan Madilog: Melalui Madilog, Tan Malaka menawarkan kerangka berpikir filsafat yang berpijak pada materialisme dialektis dan logika ilmiah. Ia menggabungkan pemikiran Marxist dengan logika Hegelian untuk membangun metode analisis yang anti-takhayul 3 4. Tujuannya adalah mengubah pola pikir masyarakat Indonesia yang “terlahir dalam dunia mistisisme” menjadi pola pikir rasional yang berbasis fakta 5. Tan Malaka mengkritik “logika mistika” – misalnya kepercayaan bahwa dewa Ra menciptakan dunia sekejap dari ketiadaan – sebagai pola pikir yang keliru karena tidak didasarkan pada penalaran empiris 5. Sebaliknya, ia mengajak bangsanya untuk berfilsafat ala ilmuwan: mengajukan pertanyaan, mengamati kenyataan materiil, memahami hukum sebab-akibat, dan menyusun kesimpulan logis. Ia membedakan tegas antara filsafat materialis vs idealis, seraya mencontohkan bahwa para pemikir Yunani maju ketika berani melepaskan diri dari dogma dan menghadapi alam dengan akal kritis 6. Bagi Tan Malaka, kebenaran harus diuji dengan bukti nyata, dan tidak boleh diterima hanya karena “katanya” atau tradisi. Sikap skeptis ilmiah ini tercermin dalam Madilog yang mengedepankan pengamatan material dan pengujian hipotesis sebagai sumber pengetahuan 7.

 

Buddha Dharma: Menariknya, Buddha berabad-abad sebelumnya telah menganjurkan pola pikir yang kritis dan logis meskipun dalam ranah spiritual. Dalam Kalama Sutta, Buddha menasihati para murid untuk tidak percaya begitu saja pada tradisi, otoritas, maupun kitab suci tanpa menguji sendiri manfaatnya 2. Ajaran Buddha dikenal rasional dan empiris karena selalu mendorong verifikasi pribadi: disebut ehipassiko yang berarti “datang, lihat, dan buktikan sendiri” kebenaran Dhamma 8 9. Secara filosofis, Buddhisme tidak terjebak dalam spekulasi metafisik yang tak terjangkau pengalaman. Tercatat bahwa Buddha menolak menjawab pertanyaan-pertanyaan metafisika seperti “Apakah alam semesta kekal atau tidak, ada ujungnya atau tidak?” karena hal itu tidak konstruktif bagi pengetahuan praktis menuju pembebasan 10. Sebaliknya, ia mengarahkan fokus pada Hukum Sebab-Akibat (hukum kamma dan Paticca Samuppada/ Pratītyasamutpāda) yang menjelaskan fenomena secara alami tanpa intervensi dogmatis. Dalam Buddhisme, segala peristiwa muncul dari kondisi yang mendahuluinya – sebuah pandangan kausal yang selaras dengan pendekatan ilmiah dan logika natural. Oleh karena itu, meskipun berwujud agama, Buddha Dharma sering disebut sebagai “ajaran spiritual yang paling masuk akal dan logis” oleh banyak intelektual, karena dapat diuji dan dibuktikan manfaatnya secara praktis dalam hidup 9 7.

 

Persamaan pendekatan: Kedua sistem pemikiran ini sama-sama menjunjung tinggi rasionalitas dan penolakan terhadap dogma. Tan Malaka menekankan bahwa masyarakat tidak boleh terbelenggu takhayul atau kepercayaan tanpa dasar ilmiah; demikian pula Buddha mengingatkan agar umat tidak terikat pada kepercayaan buta maupun fanatisme tradisi 2 11. Keduanya percaya pada pengujian kebenaran melalui pengalaman nyata – Madilog melalui eksperimen dan dialektika material, Buddha Dharma melalui meditasi dan observasi batin. Menariknya, konsep perubahan terus-menerus yang diusung Tan Malaka lewat dialektika (“segala sesuatu berada dalam proses menjadi” 12) sejalan dengan ajaran Buddha tentang ketidak-kekalan (anicca), yang menyatakan bahwa semua fenomena senantiasa berubah. Baik Tan Malaka maupun Buddha sama-sama mengajarkan berpikir kritis: mempertanyakan asumsi yang ada dan mencari pemahaman berdasarkan bukti dan kesadaran. Dengan demikian, di ranah filsafat dan logika, Madilog dan Buddha Dharma bertemu pada semangat rasionalisme kritis yang membebaskan manusia dari belenggu kebodohan.

Etika dan Pembebasan Manusia

Perspektif Tan Malaka: Etika Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh cita-cita pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh kiri, ia memandang moralitas dalam kerangka perjuangan: baik buruknya diukur dari apakah itu membebaskan rakyat atau memperbudaknya. Meskipun Tan Malaka tidak menyusun “kode etik” religius, ia menekankan nilai-nilai seperti persamaan derajat, keadilan sosial, dan keberanian melawan tirani. Menariknya, Tan Malaka mengapresiasi gerakan Buddha di India kuno sebagai revolusi moral terhadap sistem kasta yang menindas. Ia mencatat bahwa Siddhartha Gautama Buddha menentang pembagian manusia dalam kasta-kasta dan mengajarkan persamaan hak spiritual bagi semua orang, tanpa peduli lahir dalam kasta apapun 13. Dalam Madilog, Tan Malaka menguraikan bahwa Buddhisme menolak konsep dewa-dewa dan otoritas brahmin serta membatalkan doktrin Atman (jiwa kekal) yang menjadi dasar hierarki kasta 14. Hasilnya, ajaran Buddha menganjurkan persamaan dan kemerdekaan – baik secara sosial maupun jiwa – bagi semua manusia . Pandangan Tan Malaka terhadap hal ini mencerminkan etos etikanya sendiri: ia mendambakan masyarakat bebas dari belenggu dogma maupun struktur feodal, di mana setiap orang berhak atas kemerdekaan 100% sebagai manusia utuh. Baginya, kebodohan dan takhayul adalah alat penindasan, sehingga melawannya secara etis adalah sebuah kewajiban demi pembebasan. Ia bahkan berujar tegas bahwa gagasan tentang Tuhan hanyalah dongeng yang diterima karena kebodohan dan kelemahan manusia . Pernyataan radikal ini menunjukkan keyakinan Tan Malaka bahwa memerangi kebodohan (termasuk dogma religius yang membelenggu) merupakan jalan etis untuk memanusiakan rakyat tertindas.

 

Perspektif Tan Malaka: Etika Tan Malaka sangat dipengaruhi oleh cita-cita pembebasan manusia dari segala bentuk penindasan. Sebagai seorang pejuang kemerdekaan dan tokoh kiri, ia memandang moralitas dalam kerangka perjuangan: baik buruknya diukur dari apakah itu membebaskan rakyat atau memperbudaknya. Meskipun Tan Malaka tidak menyusun “kode etik” religius, ia menekankan nilai-nilai seperti persamaan derajat, keadilan sosial, dan keberanian melawan tirani. Menariknya, Tan Malaka mengapresiasi gerakan Buddha di India kuno sebagai revolusi moral terhadap sistem kasta yang menindas. Ia mencatat bahwa Siddhartha Gautama Buddha menentang pembagian manusia dalam kasta-kasta dan mengajarkan persamaan hak spiritual bagi semua orang, tanpa peduli lahir dalam kasta apapun . Dalam Madilog, Tan Malaka menguraikan bahwa Buddhisme menolak konsep dewa-dewa dan otoritas brahmin serta membatalkan doktrin Atman (jiwa kekal) yang menjadi dasar hierarki kasta 14. Hasilnya, ajaran Buddha menganjurkan persamaan dan kemerdekaan – baik secara sosial maupun jiwa – bagi semua manusia 14. Pandangan Tan Malaka terhadap hal ini mencerminkan etos etikanya sendiri: ia mendambakan masyarakat bebas dari belenggu dogma maupun struktur feodal, di mana setiap orang berhak atas kemerdekaan 100% sebagai manusia utuh. Baginya, kebodohan dan takhayul adalah alat penindasan, sehingga melawannya secara etis adalah sebuah kewajiban demi pembebasan. Ia bahkan berujar tegas bahwa gagasan tentang Tuhan hanyalah dongeng yang diterima karena kebodohan dan kelemahan manusia 15. Pernyataan radikal ini menunjukkan keyakinan Tan Malaka bahwa memerangi kebodohan (termasuk dogma religius yang membelenggu) merupakan jalan etis untuk memanusiakan rakyat tertindas.

 

Perspektif Buddha Dharma: Ajaran Buddha bertumpu pada etika universal dan pembebasan dari penderitaan. Secara moral, Buddha menegakkan prinsip ahimsa (tanpa kekerasan) dan karuṇā (welas asih) sebagai landasan perilaku. Lima sila dasar Buddhisme – tidak membunuh, tidak mencuri, tidak berbuat asusila, tidak berbohong, dan tidak menyalahgunakan zat adiktif – merupakan pedoman etis untuk menghentikan perbuatan yang menyebabkan penderitaan bagi diri sendiri maupun makhluk lain. Namun, etika Buddha bukan sekadar aturan dogmatis; ia bersifat rasional dan berorientasi pada pembebasan manusia dari dukkha (penderitaan). Menurut Buddha, tindakan bermoral itu penting karena berakar pada pemahaman bahwa perbuatan buruk muncul dari tiga racun batin: keserakahan (lobha), kebencian (dosa), dan kebodohan/delusi (avijjā) 16. Kebodohan (avijjā) – ketidaktahuan akan realitas sejati – dipandang sebagai akar utama penderitaan (dukkha) 17. Oleh sebab itu, jalan etika Buddha selalu terkait dengan pencerahan pikiran: membersihkan batin dari kebodohan dan nafsu agar mencapai nirvana, keadaan bebas dari penderitaan. Uniknya, Buddha menekankan tanggung jawab pribadi dalam pembebasan ini. Ia tidak menawarkan penebusan dosa oleh pihak luar atau anugerah supernatural; sebaliknya, nasib akhir seseorang ditentukan oleh karma (perbuatan) dan disiplin moralnya sendiri 18. “Agama Buddha membuat akhir hidup seseorang bergantung pada tanggung jawab dan perilaku pribadinya,” tulis Tan Malaka mengamati perbedaan Buddhisme dengan agama teistik 18. Artinya, manusia dibebaskan dari ketergantungan pada kekuatan luar dan didorong untuk beretika demi pembebasan diri.

 

Persinggungan keduanya: Baik Tan Malaka maupun Buddha mengandalkan pembentukan komunitas sadar sebagai agen perubahan. Tan Malaka menginginkan rakyat terorganisir dalam persatuan perjuangan yang didasari kesadaran kelas dan visi logis, sedangkan Buddha membentuk komunitas spiritual yang didasari kesadaran Dharma dan disiplin moral. Keduanya juga menolak hierarki berbasis kelahiran: Tan Malaka anti-feodalisme dan kolonialisme (yang menempatkan rakyat sebagai warga kelas dua), Buddha menentang kasta dan menegaskan keluhuran martabat setiap insan. Dalam semangat gerakan, keduanya percaya pada transformasi kolektif melalui pencerahan individu-individu di dalamnya. Artinya, perubahan masyarakat membutuhkan tiap orang di dalam komunitas tersebut mengalami kebangkitan kesadaran. Tan Malaka menaruh harapan pada kaum muda dan kaum tertindas yang tercerahkan oleh Madilog untuk memimpin revolusi sosial. Buddha menaruh harapan pada para siswa-Nya yang tercerahkan (arahat atau bodhisattva) untuk menjadi pandita bagi dunia, membimbing yang lain keluar dari kegelapan batin. Keduanya menyebarkan semangat optimisme bahwa jika manusia bersatu dengan sadar, penderitaan massal dapat diakhiri: entah itu penderitaan akibat penindasan materiil maupun penderitaan batiniah. Dengan demikian, Madilog dan Buddha Dharma beririsan dalam hal visi emansipasi kolektif – keduanya menghendaki tatanan dunia di mana semua makhluk merasa merdeka, bermartabat, dan terbebas dari penderitaan.

Semangat Gerakan Sosial dan Emansipasi Kolektif

Tan Malaka: Semangat perjuangan kolektif sangat kental dalam jejak hidup dan pemikiran Tan Malaka. Ia tidak hanya menulis teori, tetapi juga terlibat memimpin gerakan rakyat untuk Merdeka 100%. Dalam buku Massa Actie (Aksi Massa), ia menyerukan mobilisasi massa sebagai kekuatan penentu perubahan sosial. Tan Malaka percaya bahwa pembebasan sejati hanya bisa dicapai melalui gerakan bersama, terorganisir, dan sadar tujuan. Madilog sendiri disusun sebagai “panduan berpikir” bagi rakyat dalam menganalisis segala persoalan dan menggerakkan perubahan . Konon, Tan Malaka pernah berkata kepada para pengikutnya: “Yesus Kristus mewariskan Alkitab, Muhammad meninggalkan Al-Qur’an, dan aku hanya meninggalkan Madilog”, menegaskan bahwa buku itu bukan propaganda biasa, melainkan cara berpikir yang menjadi petunjuk jalan . Ucapan ini menunjukkan keyakinannya bahwa Madilog dapat menjadi “kitab pegangan” bagi gerakan rakyat menuju masyarakat baru yang tercerahkan oleh ilmu dan logika. Sepanjang hidupnya, Tan Malaka konsisten menolak dogma dan kompromi politik yang mengkhianati rakyat. Ia mendirikan dan terlibat dalam organisasi pergerakan (seperti Sarekat Rakyat, Partai Murba) walaupun kerap dikhianati atau disingkirkan. Emansipasi kolektif – entah itu pembebasan bangsa dari kolonialisme atau kelas tertindas dari kapitalisme – adalah api yang membakar semangatnya hingga akhir hayat. Nilai-nilai seperti solidaritas, keberanian revolusioner, dan disiplin ia tularkan kepada kaum muda pergerakan. Dengan kata lain, Tan Malaka mewakili nabi gerakan sosial yang mengajak masyarakat bangkit dari tidur panjang mistisisme menuju aksi nyata yang terarah.

 

Buddha Dharma: Meskipun Buddhisme tidak lahir sebagai gerakan politik, ia membawa semangat emansipasi sosial tersendiri di zamannya. Buddha dan para pengikut awalnya membentuk Sangha – komunitas bhikkhu/bhikkhuni – yang bersifat egaliter dan transformatif secara sosial. Dalam Sangha, kedudukan berdasarkan kasta ataupun status duniawi dilebur; seorang mantan bangsawan duduk sejajar dengan bekas pelayan jika sama-sama meninggalkan keduniawian. Ini sebuah langkah revolusioner di tengah masyarakat India kuno yang kaku oleh kasta. Buddha juga membuka jalan bagi perempuan untuk memasuki Sangha (meskipun awalnya dengan perjuangan), sebuah indikasi semangat emansipasi gender di masa itu. Secara sosial, ajaran Buddha menginspirasi perubahan melalui teladan moral dan kebijakan welas asih. Ketika Raja Asoka (abad ke-3 SM) memeluk Buddhisme, ia menerapkan prinsip Dharma dalam pemerintahannya: menghentikan penaklukan berdarah, mendirikan rumah sakit untuk rakyat dan hewan, menyebarkan pendidikan, dan menegakkan keadilan. Ini menunjukkan potensi Buddha Dharma mendorong gerakan kemanusiaan kolektif ketika diadopsi oleh pemimpin maupun komunitas. Inti “gerakan” dalam Buddhisme terletak pada penyebaran kesadaran dan cinta kasih: para penyebar Dharma (termasuk para biksu, bodhisattva dalam tradisi Mahayana, dll.) menjalankan misi membebaskan semua makhluk dari penderitaan. Konsep Bodhisattva bahkan menegaskan komitmen untuk tidak beranjak ke nirvana pribadi sebelum semua makhluk tertolong – suatu semangat emansipasi kolektif spiritual yang luar biasa. Di Indonesia modern, semangat Buddhis dalam gerakan sosial terlihat misalnya pada ormas- ormas Buddhis yang terlibat dalam kegiatan kemanusiaan, bakti sosial, pendidikan, hingga advokasi perdamaian lintas agama. Walau tanpa kekerasan, engaged Buddhism (Buddhisme yang terlibat) berkontribusi pada perubahan sosial dengan cara membangun welas asih dan kebijaksanaan kolektif dalam masyarakat.

 

Persinggungan keduanya: Baik Tan Malaka maupun Buddha mengandalkan pembentukan komunitas sadar sebagai agen perubahan. Tan Malaka menginginkan rakyat terorganisir dalam persatuan perjuangan yang didasari kesadaran kelas dan visi logis, sedangkan Buddha membentuk komunitas spiritual yang didasari kesadaran Dharma dan disiplin moral. Keduanya juga menolak hierarki berbasis kelahiran: Tan Malaka anti-feodalisme dan kolonialisme (yang menempatkan rakyat sebagai warga kelas dua), Buddha menentang kasta dan menegaskan keluhuran martabat setiap insan. Dalam semangat gerakan, keduanya percaya pada transformasi kolektif melalui pencerahan individu-individu di dalamnya. Artinya, perubahan masyarakat membutuhkan tiap orang di dalam komunitas tersebut mengalami kebangkitan kesadaran. Tan Malaka menaruh harapan pada kaum muda dan kaum tertindas yang tercerahkan oleh Madilog untuk memimpin revolusi sosial. Buddha menaruh harapan pada para siswa-Nya yang tercerahkan (arahat atau bodhisattva) untuk menjadi pandita bagi dunia, membimbing yang lain keluar dari kegelapan batin. Keduanya menyebarkan semangat optimisme bahwa jika manusia bersatu dengan sadar, penderitaan massal dapat diakhiri: entah itu penderitaan akibat penindasan materiil maupun penderitaan batiniah. Dengan demikian, Madilog dan Buddha Dharma beririsan dalam hal visi emansipasi kolektif – keduanya menghendaki tatanan dunia di mana semua makhluk merasa merdeka, bermartabat, dan terbebas dari penderitaan.

Relevansi bagi Masyarakat Indonesia Masa Kini

Di tengah tantangan Indonesia masa kini, gagasan Tan Malaka dan ajaran Buddha tetap sangat relevan dan mencerahkan. Masyarakat kita masih bergumul dengan berbagai “penderitaan” modern – kemiskinan, ketimpangan, konflik sosial, hingga krisis ekologis – yang sering berakar pada kebodohan kolektif, misalnya kurangnya pemikiran kritis, maraknya hoaks, fanatisme sempit, dan ketidakpedulian. Pemikiran Madilog menawarkan obat berupa pendidikan kritis dan sikap ilmiah bagi generasi sekarang. Di era banjir informasi, prinsip Tan Malaka untuk selalu memverifikasi fakta dan menolak dogma buta amat penting guna menangkal misinformasi. Budaya “logika mistik” yang dulu dikritiknya masih tampak dalam kecenderungan sebagian masyarakat mempercayai takhayul atau klaim tanpa bukti. Oleh karena itu, seruan Tan Malaka untuk mengedepankan logika dan ilmu sebagai pengganti “logika mistika” masih valid: bangsa yang maju membutuhkan cara berpikir yang rasional, kreatif, dan skeptis sehat 1. Selain itu, semangat egaliter Tan Malaka – menolak segala bentuk penindasan struktural maupun dogmatis – relevan dalam upaya memperkokoh demokrasi dan hak asasi di Indonesia. Di tengah polarisasi sosial bernuansa SARA, misalnya, pandangan anti-dogma Tan Malaka menginspirasi kita untuk melihat manusia secara setara tanpa bias fanatik, selaras dengan semboyan Bhinneka Tunggal Ika.

 

Sementara itu, ajaran Buddha Dharma menawarkan perspektif spiritual yang membumi dan rasional untuk menghadapi penderitaan modern. Praktik meditasi dan mindfulness (kesadaran penuh) yang berasal dari Buddha kini populer digunakan lintas agama untuk mengatasi stres, depresi, dan gaya hidup konsumtif. Ini menunjukkan nilai universal ajaran Buddha dalam meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Etika welas asih Buddha juga sangat relevan bagi Indonesia yang majemuk: bila nilai toleransi dan kasih sayang terhadap sesama ditanamkan (sebagaimana Buddha mengajarkan metta cinta kasih tanpa syarat), maka potensi konflik dapat diredam dan harmoni sosial terjaga. Selain itu, pendekatan Buddha yang menekankan rasionalitas dalam beragama dapat menjadi jembatan antara spiritualitas dan modernitas. Di era ketika kaum muda cenderung kritis, agama yang menyediakan ruang dialog logis tentu lebih menarik. Buddhisme, yang “siap untuk dibuktikan” dan tidak anti-sains, dapat memberi inspirasi untuk mereformasi cara beragama agar lebih toleran dan masuk akal tanpa kehilangan kedalaman spiritual 9 7. Dalam konteks pendidikan karakter, nilai-nilai Buddha seperti pengertian benar, pikiran benar, dan usaha benar (unsur Jalan Mulia Berunsur Delapan) dapat digabungkan dengan semangat Madilog untuk membentuk generasi Indonesia yang cerdas secara intelektual sekaligus berbudi pekerti luhur.

 

Singkatnya, perpaduan pemikiran Tan Malaka dan ajaran Buddha bisa menjadi resep ampuh bagi kemajuan bangsa. Kesadaran kritis yang diusung Madilog dan kesadaran batin yang diusung Dharma Buddha merupakan dua sisi yang saling melengkapi dalam memerdekakan manusia Indonesia lahir batin. Dengan mengasah logika dan nurani sekaligus, masyarakat dapat lebih tangguh menghadapi penderitaan zaman ini – entah itu kemiskinan materiel atau kekosongan makna hidup. Relevansi keduanya tampak pada tujuan akhir yang serupa: memberdayakan individu dan komunitas untuk bangkit dari kegelapan (kebodohan) menuju terang pengetahuan, dari belenggu penderitaan menuju kebebasan sejati.

Penutup

Dari uraian di atas, jelaslah bahwa Madilog karya Tan Malaka dan Buddha Dharma meski berasal dari konteks berbeda, memiliki persamaan mendasar dalam misi pencerahan manusia. Tan Malaka melalui pendekatan materialisme-dialektika-logika menantang dogma dan mistisisme yang membodohi rakyat, sedangkan Buddha melalui ajaran Empat Kebenaran Mulia menantang kebodohan batin yang mengakibatkan dukkha. Keduanya menekankan rasionalitas, pengalaman langsung, dan tanggung jawab pribadi sebagai jalan keluar dari belenggu. Dalam filsafat dan logika, keduanya mengajak manusia berpikir kritis melampaui doktrin turun-temurun. Dalam ranah etika, keduanya mendorong sikap yang membebaskan dan memanusiakan sesama. Dan dalam semangat gerakan, keduanya bercita-cita pada emansipasi kolektif – Tan Malaka di ranah sosial-politik, Buddha di ranah spiritual-universal – yang intinya membebaskan sebanyak mungkin makhluk dari penderitaan dan penindasan.

 

Bagi Indonesia, warisan intelektual Tan Malaka dan kebijaksanaan Buddha sama-sama masih relevan sebagai pedoman pembebasan. Kritis terhadap dogma tetapi tetap menjunjung nilai-nilai kemanusiaan, itulah pesan abadi mereka. Tan Malaka mengajari kita mencintai kebenaran ilmiah dan berani berpikir merdeka demi kemaslahatan rakyat. Buddha mengajari kita mencintai semua makhluk dan berani melampaui ego demi kedamaian sejati. Jika spirit Madilog dan Dharma dapat berjalan beriringan – logika material yang kritis dipadu spiritualitas yang rasional – maka masyarakat akan lebih mampu menemukan jalan tengah (Middle Way) dalam menyelesaikan masalah-masalah bangsa secara arif.

 

Akhirnya, baik Tan Malaka maupun Buddha mengingatkan kita bahwa penderitaan dan kebodohan bukanlah takdir yang harus diterima, melainkan tantangan yang harus diatasi dengan kesadaran. Keduanya menyerukan pembebasan melalui pengetahuan: Tan Malaka dengan ilmu pengetahuan empiris, Buddha dengan ilmu batin (vipassana). Keduanya relevan sepanjang masa karena inti ajarannya menyentuh hakikat manusia – dorongan untuk mencari kebenaran dan kebebasan. Dalam dunia yang terus berubah, pesan pembebasan dari Madilog dan Buddha Dharma tetap membumi: gunakanlah akal budimu, asahlah nuranimu, bebaskan diri dan sesama dari belenggu apa pun yang menyebabkan derita. Dengan begitu, cita-cita kolektif menuju masyarakat Indonesia yang tercerahkan, adil, dan bahagia dapat kita wujudkan bersama.

Sumber:

1 3 4 Madilog – Wikipedia

 

2 7 8 9 11 Percaya dalam Agama Buddha Tidak Asal Percaya Saja Halaman 1 – Kompasiana.com

 

5 Repository.cam.ac.uk

 

6 12 13 18 Tan Malaka: Pandangan Hidup (1948)

 

10 14 15 Tan Malaka – MADILOG

 

16 Bhante Santacitto Jelaskan Apa Makna Penting Berdana Bagi Umat …

 

17 Ketidaktahuan (Buddhisme) – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

 

19 Tan Malaka’s Secret Language. Tan Malaka cultivated his mystique by… | by Oliver Crawford | Medium

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE