Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Manusia Indonesia: Cermin Mochtar Lubis yang Masih Menyala hingga 2025

Manusia Indonesia: Cermin Mochtar Lubis yang Masih Menyala hingga 2025

September 12, 2025
Pendahuluan

Apakah kita tahu bahwa Mochtar Lubis sudah menulis kritik tajam tentang karakter bangsa Indonesia sejak tahun 1977? Dalam ceramahnya di Taman Ismail Marzuki yang kemudian dibukukan dengan judul “Manusia Indonesia”, ia mengemukakan tujuh sifat yang menghambat kemajuan bangsa. Kini, hampir setengah abad berlalu, di tahun 2025, apakah kita sudah berubah? Atau, jangan-jangan, cermin yang diangkat Lubis masih memantulkan wajah yang sama?

7 Karakter yang Ditulis Mochtar Lubis, Masih Relevankah?

Menurut Mochtar Lubis, manusia Indonesia memiliki tujuh karakter negatif :

  1. Munafik: Ucapan dan perbuatan tidak selaras.
  2. Enggan bertanggung jawab: Cenderung menyalahkan orang lain.
  3. Feodal: Lebih menghargai status dan kekuasaan daripada integritas.
  4. Percaya takhayul: Mudah percaya pada hal gaib alih-alih rasionalitas.
  5. Lemah karakter: Mudah goyah dan tidak tahan uji.
  6. Boros: Lebih konsumtif daripada produktif.
  7. Iri & dengki: Sulit melihat keberhasilan orang lain tanpa ingin menjatuhkan.

Sayangnya, delapan puluh tahun setelah merdeka, sifat-sifat ini masih sangat relevan. Korupsi, feodalisme politik, gosip, dan budaya konsumtif masih nyata dalam kehidupan sehari-hari. Kita sudah merdeka secara politik, tapi apakah kita benar-benar merdeka secara karakter? Atau masih terpenjara oleh kemunafikan dan kebodohan batin? Jika Mochtar Lubis masih ada, mungkin ia akan sedih karena cermin yang ia angkat pada tahun 1977 masih memantulkan wajah yang sama.

Hubungan dengan Ajaran Buddha: Tiga Akar Penderitaan

Analisis Mochtar Lubis ternyata sejalan dengan ajaran Buddha. Dalam Buddhisme, akar segala penderitaan disebut sebagai tiga racun batin: 

  1. Lobha (keserakahan), yang melahirkan sifat feodal, boros, dan korupsi.
  2. Dosa (kebencian), yang menumbuhkan iri dengki.
  3. Moha (delusi/kebodohan), yang membuat kita munafik, percaya takhayul, dan lemah karakter.

Untuk mengatasi ini, ajaran Dharma menawarkan solusi:

  1. Sila (moralitas) untuk melawan kemunafikan dan sikap feodal.
  2. Samādhi (ketenangan batin) untuk menguatkan karakter dan disiplin.
  3. Paññā (kebijaksanaan) untuk membebaskan diri dari takhayul dan delusi.

Perubahan karakter bangsa tidak akan terjadi tanpa perubahan individu. Seperti yang dikatakan Buddha, “Jadilah lampu bagi dirimu sendiri.”

Strategi Menuju Indonesia Emas 2045

Indonesia memiliki potensi besar untuk menjadi kekuatan dunia pada usia 100 tahun kemerdekaan. Namun, apa artinya bonus demografi dan sumber daya melimpah jika manusianya masih dikuasai oleh tujuh sifat negatif yang sama sejak 1977? Young Buddhist Association (YBA) mengajak generasi muda Buddhis dan seluruh warga Indonesia untuk memulai tiga langkah sederhana :

  1. Berhenti menyalahkan orang lain dan mulai bertanggung jawab atas hal-hal kecil.
  2. Melatih kejujuran, baik di rumah, tempat kerja, maupun organisasi.
  3. Merayakan keberhasilan orang lain dengan melatih muditā (ikut berbahagia).

Tidak ada kata terlambat untuk berubah. Lebih baik kita mulai berubah di tahun ke-80 kemerdekaan, daripada tidak pernah sama sekali.

Ajakan YBA
  1. Kepada pemerintah & elite bangsa: Dengarkan kritik ini dan akui bahwa budaya politik kita masih membutuhkan pembersihan moral.
  2. Kepada umat & masyarakat: Jadilah generasi yang jujur, berani, rasional, hemat, dan penuh welas asih.
  3. Kepada anak muda Buddhis: Mari buktikan bahwa Manusia Indonesia versi Mochtar Lubis bisa ditransformasi menjadi Manusia Indonesia Baru, menuju Indonesia Emas 2045.

“Tidak perlu malu mengakui kita terlambat. Yang memalukan adalah kalau kita tidak pernah mau berubah. Cermin sudah diangkat sejak 1977. Mari pastikan pada 2045, saat 100 tahun merdeka, cermin itu memantulkan wajah yang lebih bersih, berkarakter, dan membanggakan.”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE