Pada Bab pertama ini, Buddha Śākyamuni melakukan sesuatu yang sangat istimewa: Beliau naik ke Surga Trayastriṃśa (surga para dewa tingkat ke-33) untuk mengajarkan Dharma kepada ibunda-Nya, Ratu Māyā 1. Keberadaan Buddha di surga itu menarik perhatian tak terhitung makhluk suci. Para Buddha dan Bodhisattva Mahāsattva dari segala penjuru muncul di istana surgawi tersebut, bersama para dewa, nāga, roh, dan makhluk gaib lainnya. Mereka datang untuk memberi hormat dan memuji Buddha Śākyamuni yang, meskipun hidup di masa penuh lima kekeruhan (masa penuh kerusakan moral dan spiritual), berhasil memperlihatkan kebijaksanaan agung dan melakukan mukjizat demi menuntun makhluk yang keras kepala menuju jalan kebenaran 2 3.
Di tengah pertemuan agung itu, Buddha tersenyum dan memancarkan “awan-awan cahaya agung” berwarna-warni yang melambangkan kesempurnaan, kasih sayang, kebijaksanaan, dan berbagai kualitas luhur lainnya 4. Beliau juga mengeluarkan suara-suara halus nan menakjubkan, seperti suara enam pāramitā (kesempurnaan), suara welas asih, sukacita, pembebasan, hingga suara “singa mengaum” yang memenuhi seluruh penjuru 5. Fenomena ini mengundang semakin banyak hadirin surgawi. Para dewa dari berbagai langit (dunia para dewa), para raja naga, para raja yakṣa (makhluk alam gaib), bahkan para raja iblis dari penjuru alam turut hadir 6 7.
Setelah semua hadir, Buddha menjelaskan bahwa berkumpulnya para makhluk ini terkait erat dengan Bodhisattva Kṣitigarbha. Buddha bertanya kepada Bodhisattva Mañjuśrī apakah ia tahu berapa banyak makhluk yang hadir, namun bahkan Mañjuśrī dengan kebijaksanaannya tidak dapat menghitungnya . Buddha mengakui bahwa dengan “mata Buddha” sekalipun, sulit menghitungnya, karena kerumunan itu mencakup makhluk yang telah diselamatkan Kṣitigarbha di masa lampau maupun yang akan diselamatkan di masa mendatang 8. Mañjuśrī lalu memohon Buddha untuk menjelaskan perbuatan-perbuatan Kṣitigarbha Bodhisattva di masa lalu dan janji apa yang diikrarkannya, karena makhluk dengan pemahaman terbatas mungkin akan meragukan kehebatan Kṣitigarbha 9.
Menanggapi permohonan tersebut, Buddha mulai menceritakan riwayat dan ikrar agung Kṣitigarbha Bodhisattva 10. Pertama, Buddha mengenang salah satu kehidupan lampau Kṣitigarbha sebagai putra seorang tetua yang bijaksana. Pada masa itu, Kṣitigarbha muda bertemu seorang Buddha bernama Singa Yang Bersemangat Sempurna dalam Sepuluh Ribu Praktik. Melihat kemuliaan Sang Buddha, muncul tekad mendalam dalam diri Kṣitigarbha untuk menjadi seperti Buddha tersebut. Ia mengikrarkan janji luar biasa untuk menolong makhluk tak terhitung jumlahnya mencapai pencerahan. Kṣitigarbha bersumpah bahwa sepanjang masa mendatang yang tak terbayangkan, ia akan membimbing semua makhluk berdosa di enam alam samsara (termasuk neraka) menuju pembebasan 11.
Kedua, Buddha menceritakan kehidupan lampau Kṣitigarbha sebagai seorang wanita brāhmaṇa bernama Bright Eyes (Mata Bening) 12. Dalam kisah ini, Bright Eyes sangat berbakti kepada ibunya. Setelah sang ibu meninggal, Bright Eyes mengetahui ibunya terjatuh ke alam neraka karena perbuatan buruk. Dengan hati hancur namun penuh cinta, ia bertekad menyelamatkan ibunya. Bright Eyes mempersembahkan sedekah dan melakukan perbuatan bajik demi menebus karma sang ibu. Ia pun memuja nama Buddha “Pure Lotus Eyes Tathāgata” atas petunjuk seorang Arahat suci, bahkan membuat patung Buddha tersebut sebagai sarana devosi 13. Berkat ketulusan dan jasa baik Bright Eyes, ibunya berhasil dibebaskan dari penderitaan neraka 14.
Namun, Bright Eyes tidak berhenti di situ: di hadapan patung Buddha, ia mengucapkan ikrar suci bahwa selama masih ada makhluk yang menderita akibat dosa dan terjatuh ke alam rendah (neraka, alam hantu kelaparan, dan hewan), ia akan berusaha menyelamatkan mereka semua. Ia berjanji akan terus melakukan hal itu sepanjang kalpa (masa kosmik) di masa depan, “hingga semua makhluk itu terbebas dan menjadi Buddha terlebih dahulu, barulah ia sendiri akan mencapai pencerahan sempurna” 15. Inilah awal mula sumpah agung Kṣitigarbha yang terkenal: “Selama neraka belum kosong, aku tidak akan menjadi Buddha; jika aku tidak masuk ke neraka untuk menolong, siapa lagi yang akan melakukannya” 16.
Singkatnya, Bab 1 ini berisi latar yang agung: Buddha mengajar ibunya di surga sebagai wujud bakti, dihadiri makhluk suci dari berbagai alam. Bab ini memperkenalkan betapa dahsyatnya ikrar Kṣitigarbha Bodhisattva melalui dua kisah kehidupannya di masa lampau 1 12. Ikrar-ikrar tersebut menunjukkan belas kasih Kṣitigarbha yang tak terbatas – beliau rela menunda menjadi Buddha demi menolong semua makhluk menderita hingga tuntas.
Bab pertama ini mengajarkan keteladanan tentang belas kasih tanpa batas dan tekad yang tak tergoyahkan. Bayangkan, ada seorang makhluk suci (Bodhisattva Kṣitigarbha) yang berjanji tidak akan memasuki nirvana sebelum semua makhluk di neraka terselamatkan. Dalam bahasa masa kini, ini bisa dimaknai sebagai komitmen total untuk menolong sesama, bahkan terhadap mereka yang paling menderita dan tersesat. Kṣitigarbha tidak meninggalkan siapa pun. Semangat ini relevan bagi generasi kita: di tengah dunia yang sering individualis, kisah Kṣitigarbha mengajak kita peduli pada penderitaan orang lain dengan sepenuh hati. Beliau melihat penderitaan dan berkata, “Aku akan melakukan sesuatu tentang itu,” bukannya berpangku tangan.
Buddha Śākyamuni menceritakan kisah Kṣitigarbha di hadapan para dewa dan Bodhisattva bukan untuk pamer mukjizat semata, tetapi untuk menggarisbawahi nilai spiritual: sebesar apa pun rintangan (diistilahkan “masa lima kekeruhan” = zaman penuh kekacauan), welas asih dan kebijaksanaan tetap bisa bersemi. Buddha sendiri menunjukkan bakti kepada ibunda dengan mengajarkan Dharma di surga – ini menekankan pentingnya filial piety atau bakti pada orang tua dalam konteks Buddhis 17. Bagi kita, mungkin kita tak bisa terbang ke surga mana pun; namun esensi sikap hormat dan membalas budi kepada orang tua adalah nilai universal yang bisa diwujudkan di bumi ini.
Dua kisah kehidupan lampau Kṣitigarbha punya makna mendalam: Pada kasus putra tetua, kita belajar tentang kekuatan inspirasi dari sosok panutan. Melihat sosok Buddha yang luhur membuat Kṣitigarbha muda bercita-cita mulia. Ini seperti kita menemukan role model yang membuat kita ingin menjadi pribadi yang lebih baik. Sedangkan kisah Bright Eyes mengandung pesan bakti keluarga dan transformasi melalui cinta. Seorang anak sanggup melampaui batas kematian demi menolong ibunya dari hukuman karma. Dalam keseharian, ini mengajarkan bahwa cinta kasih seorang anak — atau cinta kasih siapa pun — yang tulus dapat menembus batas yang tampaknya mustahil. Bright Eyes menggunakan doa, perbuatan baik, dan fokus spiritual (memahat patung Buddha, melafalkan nama Buddha) sebagai sarana mengubah nasib ibunya. Bahasa mudahnya: doa dan tindakan kasih yang tulus bisa berdampak besar, bahkan mengubah hal yang kita anggap tak terubah (ibarat “neraka pribadi” dalam hidup seseorang).
Ikrar Kṣitigarbha “jika bukan aku yang turun ke neraka, lalu siapa lagi?” dapat dimaknai secara personal: Daripada menunggu orang lain membereskan masalah dunia, kita sendiri sebaiknya mengambil tanggung jawab sesuai kemampuan kita. Ini bukan berarti kita bisa menyelesaikan semua penderitaan dunia, tapi sikap proaktif dan peduli inilah inti ajaran bodhisattva. Kṣitigarbha mengajarkan empati aktif – merasakan penderitaan orang lain seolah penderitaan sendiri, lalu berani bertindak menolong. Untuk Gen Z yang akrab dengan berbagai isu sosial, lingkungan, kesehatan mental, dsb., teladan Kṣitigarbha relevan: alih-alih apatis atau merasa “itu bukan urusanku”, kita diajak bertanya “kalau aku tidak membantu, siapa lagi?” – sebuah panggilan untuk peduli.
Ada beberapa inspirasi praktis dari Bab 1 ini. Pertama, tentang tekad dan tujuan hidup. Kṣitigarbha menunjukkan bahwa ketika kita memiliki purpose yang besar (misalnya ingin menolong orang lain), hidup jadi punya arah dan makna. Bagi kita, mungkin tidak seekstrim berikrar menunda pencerahan demi semua makhluk (tentu Bodhisattva punya kapasitas luar biasa). Namun, kita bisa meniru dalam skala kecil: menemukan panggilan hati untuk berkontribusi bagi sesama. Entah itu memperbaiki lingkungan, membantu teman yang depresi, atau berkarya demi kemanusiaan — punya tekad mulia bisa memberi kita semangat bangun setiap pagi. Visi yang melampaui diri sendiri akan menginspirasi kita terus bertumbuh dan tidak mudah menyerah ketika menghadapi kesulitan pribadi.
Kedua, pelajaran kasih sayang dari Bright Eyes. Cinta dan bakti yang tulus memiliki kekuatan penyembuh. Dalam hidup kita, mungkin kita pernah melihat keluarga yang anggotanya ada yang tersesat (misalnya kecanduan narkoba atau masalah lain). Kisah Bright Eyes menginspirasi kita untuk tidak menyerah pada orang yang kita kasihi, walau situasinya gelap. Dengan kasih sayang, doa, dan tindakan nyata membantu (mungkin mengajak terapi, membimbing perlahan), kita bisa menjadi “cahaya di neraka” bagi mereka. Sering kali dukungan dari satu orang yang percaya dapat menyelamatkan hidup seseorang.
Ketiga, nilai menghormati orang tua dan leluhur. Buddha sendiri menunjukkan teladan dengan mengajarkan Dharma demi mendiang ibunda. Ini mengingatkan kita bahwa sejauh apapun kita melangkah (setinggi apapun karier atau pendidikan kita), jangan lupa pada kasih orang tua. Bagi generasi modern, bakti bisa diwujudkan dengan cara sederhana namun bermakna: meluangkan waktu menemani orang tua, mendengarkan cerita mereka, atau merawat mereka di usia senja. Menghormati orang tua juga berarti hidup sebagai pribadi bajik, karena kesuksesan terbesar bagi orang tua adalah melihat anaknya berbuat benar.
Terakhir, keajaiban spiritual dimulai dari hati yang tulus. Buddha memancarkan awan cahaya dan suara indah — ini melambangkan bahwa ketika hati penuh kebajikan, aura positif terpancar keluar. Dalam hidup sehari-hari, mungkin kita tidak bisa memancarkan awan cahaya nyata . Namun, orang yang tulus dan bertekad baik akan memancarkan vibes positif yang bisa dirasakan orang sekitar. Ini “mukjizat” kecil yang nyata: ketika kita berbuat baik dengan ikhlas, seringkali bantuan datang tak terduga, orang-orang terinspirasi, dan lingkungan mendukung. Energi welas asih itu menular. Jadi, bab ini menginspirasi kita untuk memelihara niat baik dan ketulusan — siapa tahu, “cahaya” dari hati kita bisa menggerakkan banyak orang tanpa kita sadari.
Setelah merenungi Bab 1, apa perubahan pola pikir dan tindakan konkret yang bisa kita coba?
Dengan langkah-langkah di atas, kita mulai mempraktikkan spirit Kṣitigarbha dalam kehidupan modern. Tidak perlu menunggu jadi sempurna – cukup mulai dengan hati tulus. Lama-kelamaan, tindakan kecil itu bisa menjadi kebiasaan dan menginspirasi sekitar. Ingat, setiap generasi punya pahlawan kebaikannya. Siapa tahu, dengan mindset dan aksi seperti ini, kita semua bisa menjadi “bodhisattva kecil” bagi lingkungan masing-masing. Bab pertama ini baru permulaan; di bab selanjutnya, kita akan melihat bagaimana Kṣitigarbha melanjutkan misi besarnya dengan cara-cara yang lebih menakjubkan dan apa maknanya bagi keseharian kita.
Bab kedua mengungkap momen menakjubkan lainnya: seluruh manifestasi atau emanasi(perwujudan) Kṣitigarbha Bodhisattva yang tak terhingga jumlahnya berkumpul menjadi satu di istana Surga Trayastriṃśa 18. Dalam ajaran Mahāyāna, diyakini bahwa seorang Bodhisattva hebat mampu memanifestasikan dirinya di banyak tempat sekaligus untuk menolong makhluk. Di bab ini, semua “Kṣitigarbha mini” dari berbagai penjuru alam semesta bersatu padu, lalu seketika melebur menjadi sosok Kṣitigarbha Bodhisattva yang tunggal di hadapan Buddha. Hal ini menegaskan kemahakuasaan welas asih Kṣitigarbha – ia hadir di mana pun terdapat makhluk menderita, bahkan di alam neraka yang tiada terhitung jumlahnya.
Setelah para emanasi itu bersatu, Buddha Śākyamuni memberikan sebuah amanat penting kepada Kṣitigarbha Bodhisattva. Buddha memanggil dan entrusts (memercayakan) Kṣitigarbha dengan tugas mulia: hingga datangnya Buddha Maitreya di masa depan, Kṣitigarbha bertanggung jawab membimbing semua makhluk berdosa menuju pertobatan dan pembebasan 19 20. Artinya, selama kurun waktu yang amat panjang (sampai Buddha berikutnya muncul di dunia), Kṣitigarbha akan terus bekerja tanpa henti menyelamatkan makhluk yang tersesat. Buddha mempercayakan bumi dan isinya—terutama kita manusia di alam Jambūdvīpa (dunia fana ini)—di bawah asuhan spiritual Kṣitigarbha hingga saatnya tiba Maitreya Buddha muncul. Hal ini menunjukkan betapa besar kepercayaan Buddha pada kasih dan tekad Kṣitigarbha.
Menjawab amanat Buddha tersebut, Kṣitigarbha Bodhisattva menyatakan kembali janji agungnya dalam bentuk sumpah yang puitis dan dahsyat. Beliau berkata bahwa manifestasinya tersebar di seluruh penjuru: “Perwujudanku memenuhi dunia sebanyak butiran pasir di ribuan sungai Gangga. Di setiap dunia itu, aku menjelma menjadi ratusan ribu juta emanasi. Setiap emanasi membimbing ratusan ribu juta makhluk, membuat mereka menghormati dan berlindung pada Tiga Permata, meninggalkan saṁsāra selamanya, dan mencapai kebahagiaan nirvāṇa” 21. Ia menambahkan bahwa selama makhluk masih melakukan sedikit saja perbuatan baik (bahkan sehalus rambut atau sebutir debu kebaikan pun), ia tidak akan menyerah untuk perlahan-lahan menuntun mereka menuju pembebasan 22. Visualisasi sumpah ini luar biasa: Kṣitigarbha membanjiri segala penjuru alam dengan emanasi demi menuntun setiap makhluk menuju kebaikan, sekecil apa pun benih kebaikan dalam hati mereka.
Dengan demikian, ringkasan Bab 2 menegaskan peran Kṣitigarbha sebagai pelindung dan pembimbing universal. Beliau punya “pasukan” emanasi yang tak terbatas, aktif di semua dunia, terutama di alam-alam penderitaan. Buddha secara resmi menyerahkan tongkat estafet pembebasan makhluk kepada Kṣitigarbha sampai era Buddha selanjutnya. Dan Kṣitigarbha menerima dengan sumpah yang menunjukkan skala operasinya yang menakjubkan: tak ada makhluk yang luput dari jangkauan welas asihnya 21.
Pada intinya, Bab 2 ini menyampaikan pesan bahwa kasih sayang dan bantuan itu selalu ada, bahkan di tempat tergelap sekali pun. Jika diterjemahkan ke konteks modern: Seburuk apa pun keadaan kita atau seseorang, selalu ada harapan pertolongan. Kṣitigarbha punya emanasi di setiap sudut – artinya dalam hidup kita pun, kadang pertolongan datang dari arah yang tak terduga. Bisa melalui teman, keluarga, bahkan orang asing; seolah-olah “tangan-tangan” Kṣitigarbha hadir lewat kebaikan hati orang-orang di sekitar kita. Ketika kita merasa sendirian dalam kegelapan hidup (ibarat neraka pribadi seperti depresi, kegagalan, kehilangan), Bab ini mengingatkan bahwa semesta tidak benar-benar meninggalkan kita sendirian. Ada figur-figur penolong, terlihat maupun tak terlihat, yang siap mengulurkan tangan. Keyakinan ini bisa memberi semangat agar kita tidak putus asa.
Amanat Buddha kepada Kṣitigarbha hingga Maitreya datang juga sarat makna. Maitreya adalah Buddha masa depan, dan konon baru akan muncul setelah waktu yang saaaangat lama. Jadi Kṣitigarbha komit jangka super panjang. Terjemahan bebasnya: “Tidak ada kata pensiun dalam menebar kebaikan.” Ini menginspirasi kita bahwa berbuat baik itu seharusnya konsisten dan berkelanjutan, bukan proyek jangka pendek. Kadang, generasi sekarang terbiasa dengan instan – ingin melihat hasil cepat. Bab ini mengajarkan kesabaran strategis: Kṣitigarbha bekerja hingga entah berapa juta tahun lagi! Beliau tidak patah semangat meski tahu tugasnya berat dan panjang. Bagi kita, ini bisa diartikan sebagai ketekunan dalam misi hidup. Jika kita punya cita-cita menebar manfaat (misal memperbaiki lingkungan hidup atau mengedukasi masyarakat), mungkin hasilnya tidak instan terlihat. Tapi jangan mundur – setiap langkah kecil berarti, selama dilakukan terus-menerus, hasilnya akan terkumpul.
Sumpah Kṣitigarbha yang menyebut butiran pasir Sungai Gangga dan sehalus sebutir debu menggambarkan bahwa sekecil apa pun kebaikan, layak dihargai dan dibantu 22. Inilah pandangan sangat positif: bahkan bila seseorang hanya berbuat baik sedikit sekali, itu sudah cukup alasan bagi Bodhisattva untuk menolongnya. Dalam hidup, sering kali kita atau orang sekitar merasa minder, “Aku ini penuh dosa/ kesalahan, mana mungkin dapat bimbingan atau layak berubah lebih baik.” Kṣitigarbha bilang, “tidak, kalau ada sebersit kebaikan saja, aku akan tarik kamu pelan-pelan ke arah terang.” Ini makna yang mengharukan – tidak ada manusia yang sepenuhnya buruk tanpa harapan. Selalu ada sisi baik kecil yang bisa dipupuk. Bagi kita, ini mengubah cara pandang terhadap diri sendiri dan orang lain: jangan menyerah hanya karena merasa kebaikanmu sedikit. Bodhisattva saja optimis dengan sebutir debu kebajikan, apalagi kita. Jadi, fokuslah pada potensi baik, bukan terobsesi pada keburukan.
Selain itu, gagasan emanasi Bodhisattva dapat ditafsirkan modern sebagai setiap orang bisa menjadi “perpanjangan tangan” cinta kasih. Kṣitigarbha memanifestasi dalam banyak bentuk – siapa tahu, ketika kita membantu teman yang sedih atau menyumbang ke panti asuhan, itu adalah “emanasi” dari welas asih universal bekerja melalui diri kita. Dalam tradisi Mahāyāna ada konsep bahwa Bodhisattva bisa menjelma sebagai orang biasa, misalnya teman yang tiba-tiba muncul memberi nasihat saat kita butuh. Bisa saja kan? Secara spiritual, ini mengajarkan bahwa Tuhan/semesta menolong makhluk lewat makhluk lainnya. Jadi jangan heran kalau kadang pertolongan datang lewat orang yang sama sekali tak disangka. Pun sebaliknya, mungkin kitalah yang tanpa sadar menjadi agen kebaikan Kṣitigarbha bagi orang lain. Pemahaman ini mendorong kita untuk selalu siap berbuat baik, karena bisa jadi itulah misi alam semesta melalui kita.
Dari Bab 2, kita mendapatkan inspirasi bahwa kebaikan itu tersebar dimana-mana dan tiada habisnya. Ini kontras dengan berita negatif yang sering kita temui setiap hari. Kadang dunia terlihat penuh kejahatan, korupsi, kekerasan – seperti neraka di bumi. Tapi Kṣitigarbha hadir di tiap sudut neraka dengan tangan terulur. Artinya, selalu ada kebaikan di tengah keburukan, sekecil apapun itu. Inspirasi bagi kita: jadilah bagian dari kebaikan yang tersebar itu. Kita mungkin tidak bisa memperbaiki seluruh dunia, tapi kita bisa memastikan di lingkungan kecil kita ada “emanasi” kebaikan melalui tindakan kita.
Selain itu, ada inspirasi soal kesetiaan pada misi hidup. Kṣitigarbha setia mendampingi makhluk sampai entah kapan. Ini mengingatkan kita untuk tidak mudah bosan atau menyerah dalam hal-hal baik. Misalnya, jika kita menjadi relawan mengajar anak kurang mampu, teruslah walau tantangannya berat. Atau berjuang menyebarkan awareness kesehatan mental, jangan patah semangat meski respon awal mungkin kecil. Konsistensi Kṣitigarbha menginspirasi ketangguhan mental kita untuk tetap berjalan pada jalan kebaikan, bahkan kalau jalannya panjang. Seperti kata pepatah, “setetes demi setetes lama-lama menjadi lautan”.
Ada juga inspirasi tentang menghargai sekecil apapun kebaikan. Di era media sosial, sering orang membandingkan diri: “Dia bisa nyumbang banyak, aku cuma bisa sedikit.” Bab ini mengajarkan bahwa sekecil apapun perbuatan baik kita (bahkan cuma membantu satu orang, atau memberi makan seekor kucing liar), itu tetap bernilai. Jangan meremehkan hal baik hanya karena nampak kecil. Sebaliknya, rayakan dan lanjutkan. Kṣitigarbha percaya pada efek butterfly effect kebaikan: kebaikan kecil bisa berbuah besar seiring waktu. Bagi Gen Z yang kadang skeptis, ini menyalakan optimisme bahwa perubahan besar dimulai dari hal kecil.
Terakhir, inspirasi Bab 2 adalah tentang kehadiran harapan di masa tergelap. Kṣitigarbha di neraka berarti bahkan di tempat yang paling hopeless, ada secercah cahaya. Dalam hidup, ketika kita atau teman merasa berada di “rock bottom”, ingatlah cerita ini. Saat kamu depresi berat atau putus asa, cobalah ingat bahwa selalu ada pertolongan meski mungkin bentuknya tak terduga. Ini bisa menginspirasi kita untuk bertahan satu hari lagi, mencari bantuan, atau minimal percaya bahwa situasi buruk bisa membaik. Harapan itu ibarat Kṣitigarbha: mungkin tidak terlihat jelas, tapi dia ada di sana menguatkan kita pelan- pelan.
Dari inspirasi di atas, berikut beberapa perubahan mindset dan aksi konkret yang bisa kita praktikkan terkait Bab 2 :
Dengan langkah-langkah di atas, kita menghidupkan semangat Bab 2 dalam keseharian. Kita membangun pola pikir penuh harapan dan keberanian menjadi agen kebaikan, serta mengasah kebiasaan berbuat baik secara konsisten. Seperti Kṣitigarbha yang hadir di mana-mana, biarlah kebaikan kecil dari diri kita juga hadir di setiap kesempatan. Bab berikutnya akan membawa kita mendalami hukum karma – bagaimana sebab-akibat bekerja – sehingga kita lebih bijaksana lagi dalam melangkah di hidup ini.
Bab ketiga berisi dialog antara Kṣitigarbha Bodhisattva dengan Ratu Māyā (ibunda Buddha) yang hadir di surga. Ratu Māyā mengajukan pertanyaan tentang kondisi karma makhluk-makhluk di dunia. Kṣitigarbha, dengan penuh hormat, menjawab pertanyaan Ibu Suri tersebut dan menjelaskan hukum sebab-akibat (karma) secara mendalam 23. Beliau memaparkan bagaimana perbuatan baik maupun jahat yang dilakukan para makhluk di Jambūdvīpa (nama klasik untuk dunia manusia kita) akan berbuah sesuai dengan kualitas perbuatan itu. Tak hanya menjelaskan hal umum, Kṣitigarbha juga menguraikan secara spesifik kondisi berbagai neraka yang disebut Neraka Avīci (Neraka Tak Terputus) beserta penderitaan di dalamnya sebagai akibat dari karma buruk 24.
Penjelasan dalam bab ini cukup terperinci dan mungkin sedikit mengerikan: Kṣitigarbha menggambarkan betapa pedihnya buah dari perbuatan jahat. Misalnya, ia menjelaskan jenis-jenis siksaan di alam neraka sebagai konsekuensi dari tindakan tertentu. Tujuannya bukan menakut-nakuti tanpa alasan, melainkan memberikan pemahaman yang jelas bahwa setiap aksi membawa reaksi, dan reaksi negatif (karma buruk) bisa sangat berat dirasakan makhluk setelah meninggal. Kṣitigarbha ingin agar para makhluk tak terlena berbuat dosa dengan berpikir tidak ada konsekuensinya.
Di sela-sela uraian tentang neraka, Bab 3 juga menyinggung bagaimana kondisi batin saat menjelang kematian bisa memengaruhi kemana seseorang terlahir. Kṣitigarbha menjawab pertanyaan Ratu Māyā dengan menjelaskan bahwa pikiran terakhir seseorang sebelum meninggal, serta kebiasaan semasa hidupnya, memiliki dampak kuat dalam menentukan kelahiran berikutnya. Karena itu, penting untuk menjaga kesadaran dan kebajikan hingga akhir hayat.
Inti ringkasan Bab 3: Kṣitigarbha Bodhisattva membeberkan hukum karma yang akurat dan tegas. Ia menjelaskan bahwa makhluk di dunia manusia menerima hasil dari perbuatan mereka – yang baik dibalas baik, yang jahat berbuah penderitaan. Khususnya, ia menggambarkan keadaan Neraka Avīci sebagai peringatan atas karma terburuk 24. Dialog ini memperlihatkan kepedulian Kṣitigarbha dan Ratu Māyā terhadap nasib para makhluk; mereka ingin makhluk memahami hukum karma agar takut berbuat jahat dan termotivasi berbuat baik.
Bab 3 membawa kita pada pemahaman inti Buddhisme tentang karma: apa yang kita tanam, itulah yang kita tuai. Mungkin konsep ini sudah akrab, tapi penjelasan Kṣitigarbha membuatnya sangat nyata. Dalam bahasa modern, kita bisa bilang: setiap tindakan kita, sekecil apapun, punya konsekuensi, entah segera atau lambat, entah terlihat atau tak terlihat. Bab ini mengajak kita untuk merenungkan dampak dari setiap perbuatan, perkataan, bahkan pikiran kita.
Ketika Kṣitigarbha menjabarkan neraka dengan detail mengerikan, sebenarnya tujuannya mirip seperti kampanye keselamatan jalan raya yang menampilkan akibat fatal kecelakaan untuk mengingatkan kita agar berhati-hati. Visualisasi neraka adalah bentuk edukasi moral yang keras namun bertujuan baik: agar kita benar-benar mengerti seriusnya akibat perbuatan jahat. Bagi generasi sekarang, kita bisa analogikan: jika kamu menebar kebencian atau melakukan kejahatan, itu seperti memprogram dirimu sendiri menuju pengalaman pahit di masa depan. Mungkin bukan berupa neraka berapi secara harfiah, tapi “neraka” batin seperti penyesalan mendalam, kehilangan kepercayaan orang, atau trauma.
Pada dasarnya, Kṣitigarbha ingin kita paham prinsip tanggung jawab pribadi. Dalam hidup, sering kita lihat orang melakukan hal buruk dan berpikir mereka lolos begitu saja. Tapi hukum karma mengajarkan tidak ada yang benar-benar lolos; hasilnya tinggal menunggu waktu dan cara. Ini mengajak kita mengadopsi mindset jangka panjang: jangan hanya pikir keuntungan sesaat dari suatu tindakan, tapi pikirkan akibat akhirnya. Misal, menyontek mungkin menguntungkan sekarang (nilai bagus), tapi karma- nya adalah kompetensi kita rendah dan bisa rugikan karier kita kelak. Atau menyakiti hati orang demi keuntungan sendiri – mungkin berhasil sekarang, tapi di masa depan kita bisa mengalami hal serupa atau hidup kita tidak tenang. Jadi, tafsir modernnya: Think long term, think holistically. Setiap aksi punya reaksi, entah terhadap orang lain, lingkungan, atau batin kita sendiri.
Menariknya, Bab 3 ini juga menekankan kekuatan pikiran terakhir menjelang kematian. Bagi kaum muda, topik ini mungkin jauh, tapi bisa diambil hikmahnya: hidup ini fana, dan kualitas batin kita di akhir hayat ditentukan oleh kebiasaan kita sepanjang hidup. Artinya, apa yang sering kita pikirkan dan lakukan sehari-hari akan membentuk kecenderungan batin kita. Kalau kita terbiasa marah-marah, negatif, ya kemungkinan di akhir hidup pun batin gelisah. Sebaliknya, jika kita latih kebajikan dan kedamaian pikiran, semoga saat waktunya tiba, kita lebih tenang. Dalam istilah modern: biasakan mental positif dan bermoral sekarang, karena pada akhirnya itulah “tabungan” yang menuntun jiwa kita nanti.
Kṣitigarbha menjawab pertanyaan Ratu Māyā juga menunjukkan sisi welas asih dalam ketegasan. Beliau tidak segan menggambarkan hukuman neraka – ini tegas. Tapi motivasinya adalah kasih: agar kita terhindar dari sana. Seperti orang tua yang kadang menakut-nakuti anak dengan konsekuensi buruk supaya anak jera berbuat nakal, namun dilakukan karena cinta. Jadi, bab ini bukan soal menakut-nakuti supernatural; melainkan peringatan penuh kasih agar kita tidak menyakiti diri sendiri melalui perbuatan buruk.
Secara praktis, tafsir modern bab ini bisa disimpulkan: “Hati-hati dengan setiap perbuatanmu. Kebaikan akan kembali padamu sebagai kebahagiaan, keburukan akan kembali sebagai penderitaan. Dan itu pasti.” Bukan kebetulan Kṣitigarbha yang mengajarkan ini – beliau adalah Bodhisattva yang banyak berurusan dengan para penghuni neraka, jadi beliau tahu betul akibat perbuatan jahat. Pesannya relevan banget: di era sekarang ada istilah “what goes around comes around”, atau hukum tabur tuai. Bab 3 menegaskan hal itu dalam konteks spiritual yang serius, mendorong kita hidup lebih berhati-hati dan beretika.
Walaupun topiknya terkesan “seram” (membahas neraka dan karma buruk), justru banyak inspirasi praktis yang bisa kita ambil :
Berikut beberapa shift mindset dan aksi yang bisa dilakukan berdasarkan pelajaran Bab 3 :
Dengan mengubah pola pikir dan melakukan langkah-langkah di atas, ajaran Bab 3 tentang karma menjadi hidup dalam keseharian kita. Kita menjadi pribadi yang lebih aware, bertanggung jawab, dan penuh pertimbangan sebelum bertindak. Alhasil, hidup kita pun akan lebih harmonis dan jauh dari “neraka” buatan sendiri. Setelah memahami hukum karma ini, Bab selanjutnya akan mengajak kita melihat contoh konkrit lagi melalui kisah kehidupan Kṣitigarbha lainnya dan konsekuensi karma di wilayah dunia ( Jambūdvīpa) secara lebih spesifik, makin memperdalam pemahaman kita.
Bab keempat melanjutkan pembahasan karma dengan menyajikan dua kisah penting dari kehidupan lampau Kṣitigarbha Bodhisattva dan apa yang Beliau lakukan di Jambūdvīpa (dunia manusia) demi menolong makhluk. Pertama, Buddha Śākyamuni menceritakan kembali ikrar Kṣitigarbha saat terlahir sebagai seorang raja kecil di sebuah negeri, pada zaman Buddha bernama All-Wisdom-Accomplished Tathāgata. Sebagai raja, Kṣitigarbha menyaksikan penderitaan rakyatnya dan makhluk di sekitarnya akibat perbuatan jahat. Lalu ia membuat ikrar luar biasa: “Jika aku belum berhasil menuntun semua makhluk berdosa menuju kedamaian dan kebahagiaan, membimbing mereka hingga mampu mencapai Bodhi (pencerahan), maka aku tidak akan menjadi Buddha.” 25. Ikrar ini menegaskan lagi komitmen Kṣitigarbha – bahkan dalam posisi berkuasa sebagai raja, Beliau memilih menggunakan kekuatan dan hidupnya untuk misi penyelamatan spiritual makhluk lain, menunda kebuddhaannya sendiri 26.
Kedua, Buddha mengisahkan lebih detail tentang kehidupan Kṣitigarbha sebagai Bright Eyes (Mata Bening), yang sudah disinggung di bab pertama. Kali ini dipaparkan lengkap proses Bright Eyes menyelamatkan ibunya dan akibat karma yang terlibat. Diceritakan bahwa Bright Eyes hidup pada zaman Buddha Pure Lotus Eyes Tathāgata, sebagai seorang wanita muda yang berbakti. Ibunya terjerumus melakukan kesalahan (tidak dijelaskan detail kesalahannya) dan jatuh ke alam yang menyedihkan setelah wafat. Bright Eyes, karena kasih sayang mendalam, menjual perhiasan dan hartanya untuk membeli persembahan kepada Buddha dan Sangha, berharap pahala dari amal itu bisa membebaskan ibunya dari siksaan alam rendah 14. Ia juga, atas bimbingan seorang Arahat, membuat patung Buddha dan memuja nama Buddha dengan tekun. Berkat upaya spiritual tersebut, Buddha Pure Lotus Eyes menampakkan kekuatan dan memberitahu Bright Eyes bahwa ibunya telah terlahir kembali di alam bahagia berkat kebajikannya 27. Namun, tak berhenti di situ, Bright Eyes justru semakin terdorong menyelamatkan lebih banyak makhluk.
Di hadapan patung Buddha, ia mengucapkan sumpah agung (inilah kelahiran sumpah Kṣitigarbha): “Mulai hari ini, sepanjang ratusan ribu kalpa ke depan, di setiap dunia yang terdapat neraka atau alam rendah lainnya, aku akan menyelamatkan makhluk-makhluk yang menderita akibat dosa mereka, membebaskan mereka dari neraka, alam hewan, dan setan kelaparan. Baru ketika semua makhluk itu telah menjadi Buddha, aku akan mencapai pencerahan sempurna.” 15. Sumpah ini menggema sebagai janji filantropis dan spiritual paling mendalam – lahir dari cinta seorang anak pada ibunya, meluas menjadi cinta untuk semua makhluk yang menderita bagaikan ibu beliau sendiri.
Selain menceritakan kisah tersebut, di bab ini Buddha Śākyamuni juga memberi pesan khusus kepada para makhluk di Jambūdvīpa. Buddha mendorong semua orang untuk menghormati dan berlindung kepada Kṣitigarbha Bodhisattva 28. Dengan menghormati Kṣitigarbha (misalnya dengan memandang patungnya dengan khidmat, bersujud, dan memuji namanya), para makhluk akan mendapat limpahan pahala dan perlindungan. Buddha lalu mengamanatkan para Bodhisattva lain untuk menyebarkan ajaran sutra Kṣitigarbha ini ke seluruh penjuru, demi kebaikan semua makhluk 29. Terakhir, Buddha menutup bab ini dengan penjelasan umum tentang aneka efek karma yang matang: Beliau menjelaskan contoh-contoh akibat baik atau buruk yang muncul dalam kehidupan, untuk menegaskan bahwa tidak ada perbuatan tanpa balasan 30.
Jadi ringkasnya, Bab 4 memperlihatkan: keteguhan ikrar Kṣitigarbha dalam dua kehidupan (sebagai raja dan Bright Eyes), memperkuat reputasi Beliau sebagai Bodhisattva berikrar agung 25 15. Lalu Buddha menegaskan pentingnya menaruh hormat pada Kṣitigarbha dan menyebarkan ajaran ini, serta kembali mengingatkan tentang hukum karma.
Bab 4 ini kaya makna, terutama tentang filial piety (bakti pada orang tua) dan transfigurasi cinta pribadi menjadi cinta universal. Kisah Bright Eyes itu pada intinya menyampaikan pesan: cinta dan bakti seorang anak kepada orang tuanya dapat menjadi kekuatan spiritual yang luar biasa. Dalam budaya tradisional (terutama di Tiongkok), bakti pada orang tua adalah nilai nomor satu. Di sini, Buddhism menegaskan bahwa bakti yang tulus bukan hanya berpengaruh di dunia, tapi bisa menjangkau alam setelah kematian. Tafsir bagi kita kini: hubungan kasih dengan orang tua/keluarga punya dimensi yang sangat dalam. Bahkan ketika orang yang kita sayangi sudah tiada, cinta kita bisa mengirim “energi” kebaikan bagi arwah mereka (dalam agama Buddha melalui transfer pahala). Ini tentu membutuhkan keyakinan spiritual, tapi minimal secara psikologis bisa kita pahami: berbuat baik atas nama orang tercinta bisa menghadirkan rasa kedamaian dan koneksi batin dengan mereka.
Menariknya, cinta Bright Eyes berevolusi menjadi karier spiritualnya. Awalnya hanya ingin selamatkan ibunya sendiri, akhirnya ia berkaul selamatkan semua makhluk seumpama ibunya. Ini mengandung pelajaran: penderitaan personal bisa menjadi pintu gerbang empati yang lebih luas. Misalnya, seseorang yang keluarganya menderita karena penyakit tertentu sering tergerak mendirikan yayasan untuk membantu lebih banyak orang dengan penyakit serupa. Itu sangat Kṣitigarbha! Jadi, tafsir modernnya: daripada tenggelam dalam kesedihan pribadi, kita bisa mengubah energi cinta itu untuk menolong banyak orang lain yang senasib. Dari kasih personal ke kasih impersonal – itulah lompatan seorang Bodhisattva. Generasi muda bisa belajar bahwa pengalaman pahit atau kehilangan bisa diolah menjadi motivasi membantu orang lain agar tidak merasakan pahit yang sama. Contoh: pengalaman bullying bisa memicu kita kampanye anti-bullying, kehilangan anggota keluarga karena kecelakaan bisa buat kita giat kampanye safety, dst. Ini makna aktual dari sumpah Bright Eyes.
Ikrar Kṣitigarbha sebagai raja juga menambah sudut pandang: bahkan kekuasaan dan kekayaan tertinggi pun tidak ada artinya jika tidak digunakan untuk kebaikan. Seorang raja kecil dalam cerita ini bisa saja hidup enak
di istana, tapi ia malah prihatin pada penderitaan rakyat dan semua makhluk, lalu mengorbankan ambisi spiritual pribadinya demi menolong mereka. Bagi kita, entah kita punya “kekuasaan” besar atau kecil (jabatan, keahlian, platform media sosial, dll.), pesan ini mendorong: gunakan posisi dan privilese-mu untuk membantu orang lain. Itulah cara kita memuliakan apapun anugerah yang kita punya. Terkadang anak muda ingin kekuasaan atau popularitas; Kṣitigarbha mengajarkan esensi leadership/harta sejati: jadikan itu sarana menyejahterakan sesama, bukan cuma memuaskan ego.
Selain itu, Buddha menganjurkan orang untuk menghormati Kṣitigarbha. Di balik ajakan ini, maknanya: menghormati teladan kebajikan akan memperkuat kebajikan dalam diri kita sendiri. Ketika kita memuja figur suci seperti Kṣitigarbha, sebenarnya pikiran kita terisi oleh kualitas-kualitas suci beliau: welas asih tak terbatas, bakti tulus, keberanian spiritual. Dalam istilah sederhana, kita menjadi seperti yang kita kagumi. Jadi, penting memilih sosok panutan yang tepat. Bagi Gen Z, mungkin Kṣitigarbha terdengar jauh, tapi intinya: hormati dan teladani orang-orang yang berbuat kebajikan, bukan sekadar yang populer atau kaya. Seperti Buddha bilang, memandang patung Kṣitigarbha dan memujinya itu bukan sekadar ritus kosong – itu memupuk benih kebajikan dalam hati kita sendiri.
Terakhir, Buddha menyinggung lagi aneka buah karma. Ini semacam reminder: “Sudah diceritakan kisah, diberikan teladan, dan dianjurkan menghormati yang bajik – sekarang ingat bahwa semua itu demi kebaikanmu sendiri, karena karma pasti berbuah.” Tafsirnya: Buddha memastikan kita tidak lupa landasan: berbuat baik pada orang tua, menolong sesama, menghormati yang suci, semua itu bukan sekadar norma, tapi jalan agar karma kita baik dan hidup bahagia. Even selfishly, mau bahagia? Ya lakukan hal-hal bajik itu, karena hasilnya kembali ke kita sendiri .
Bab 4 ini sangat inspiratif, beberapa poin yang bisa kita petik :
Dari inspirasi Bab 4, berikut beberapa perubahan mindset dan aksi konkrit :
Melalui perubahan cara pandang dan langkah-langkah di atas, kita menghidupkan ajaran Bab 4: menjadikan kasih sayang personal sebagai kekuatan transformatif, menjalankan bakti dengan sukacita, dan memakai berkah yang kita punya demi kebaikan sesama. Hal-hal ini, selain memperbaiki hidup orang lain, juga memperkaya jiwa kita sendiri dengan kebahagiaan dan makna. Setelah mengeksplor tema bakti dan ikrar, bab selanjutnya akan membawa kita pada tema yang cukup menegangkan yaitu detail tentang berbagai neraka dan akibat perbuatan buruk tertentu. Meski kelam, pasti ada hikmah penting yang bisa kita gali untuk kehidupan modern kita.
Leave a Reply