Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Bao Zheng dan Raja Neraka: Sejarah, Legenda, dan Sinkretisme Buddhis-Tionghoa

Bao Zheng dan Raja Neraka: Sejarah, Legenda, dan Sinkretisme Buddhis-Tionghoa

October 28, 2025
Pendahuluan

Bao Zheng (包拯), yang juga dikenal sebagai Bao Gong atau Bao Qingtian (Bao Si Langit Cerah), adalah seorang pejabat legendaris dari Dinasti Song yang hidup pada abad ke-11. Nama Bao Zheng identik dengan keadilan yang tegak dan integritas tanpa kompromi, sampai-sampai ia dianggap sebagai personifikasi keadilan di Tiongkok 1. Dalam tradisi rakyat Tionghoa, sosok Hakim Bao ini didewakan dan dikaitkan dengan peran mistis di alam baka. Beredar kepercayaan bahwa Bao Zheng merupakan manifestasi atau reinkarnasi Raja Neraka (Yanluo Wang atau Yama) yang bertugas mengadili arwah orang mati 2 3. Tulisan ini akan menelusuri sejarah Bao Zheng sebagai pejabat dinasti Song, evolusi kultusnya sebagai simbol keadilan dalam masyarakat, serta bagaimana figur ini diintegrasikan ke dalam kosmologi Buddhis dan Taois sebagai salah satu Raja Neraka. Pengaruh budaya populer seperti opera dan drama, serta praktik keagamaan kontemporer di Tiongkok, Taiwan, dan Asia Tenggara akan dibahas, termasuk pandangan umat Buddhis apakah memandangnya sebagai figur religius atau sekadar tokoh mitologis. Hal ini akan memberikan pemahaman tentang sinkretisme dalam kepercayaan Buddhis-Tionghoa, di mana batas antara sejarah, legenda, dan mitologi sering kali melebur.

Bao Zheng dalam Sejarah Dinasti Song

Secara historis, Bao Zheng (999–1062) adalah seorang pejabat tinggi pada masa pemerintahan Kaisar Renzong dari Dinasti Song Utara 4 5. Ia lulus ujian kekaisaran tertinggi (jinshi) dan sempat menjabat berbagai posisi, termasuk hakim (magistrate) di beberapa wilayah dan akhirnya Censor Investigatif di istana 6 7. Reputasinya terkenal karena ketegasannya memberantas korupsi tanpa pandang bulu. Selama kariernya, Bao Zheng berani mengungkap dan menghukum puluhan pejabat korup, bahkan dari kalangan istana, dengan dukungan Kaisar 7 8. Integritasnya membuat ia dijuluki “Hakim Berwajah Besi” (鐵面判官) karena keteguhan sikapnya yang tidak memihak 9. Ia juga dikenal sangat sederhana dalam hidupnya meski berpangkat tinggi 10, dan senyumnya konon “lebih langka daripada air jernih di Sungai Kuning” sebagai perlambang betapa serius dan lurusnya karakter Bao 9.

 

Bao Zheng dikenal sangat berbakti kepada orang tuanya. Ia bahkan menunda karier awalnya selama sekitar 10 tahun demi merawat ayah-ibunya yang lanjut usia sebelum akhirnya menjadi pejabat 11 12. Sikap filial piety (ketaatan pada orang tua) ini menambah hormat rakyat kepadanya 9. Bao meninggal pada tahun 1062 di Kaifeng (ibu kota Song) pada usia 63 tahun 13. Sebelum wafat, ia meninggalkan wasiat tegas bahwa keturunannya yang terlibat suap tidak boleh diakui sebagai keluarga lagi 13—sebuah cermin integritas yang ia pegang hingga akhir hayat.

Legenda Rakyat dan Deifikasi Bao Zheng

Kepergian Bao Zheng tidak menghentikan pengaruhnya; justru namanya kian melegenda. Dalam waktu beberapa tahun setelah kematiannya, masyarakat sudah membangun kuil penghormatan untuknya (misalnya Kuil Baogong pertama dibangun tahun 1066 di Hefei) 14. Hal ini menandai awal proses deifikasi Bao Zheng sebagai semacam dewa pelindung keadilan. Rakyat jelata, yang pada masa itu kerap kecewa dengan pejabat korup, mengangkat Bao Zheng ke status dewa rakyat sebagai pernyataan harapan akan keadilan 15. Mengabadikan Bao Zheng sebagai dewa jujur juga menyiratkan protes diam-diam terhadap korupsi: masyarakat menunjukkan bahwa mereka lebih percaya pada “Hakim Bao dari surga” ketimbang aparat yang curang 15.

 

Dalam opera tradisional dan kisah-kisah gong’an (cerita kasus kriminal), Bao Zheng hampir selalu digambarkan berwajah hitam legam dengan tanda lahir bulan sabit putih di dahinya 16. Wajah hitam ini melambangkan sifatnya yang tegas dan tanpa nepotisme – hitam dianggap warna netral yang tidak memihak, sehingga “wajah hitam Bao” menjadi simbol ketidakberpihakan 15. Di panggung opera Beijing, penampilan Hakim Bao yang berwajah hitam dan berjenggot panjang telah menjadi ikon budaya yang dikenal luas. Tanda bulan sabit di dahinya, menurut legenda, berasal dari bekas luka – salah satu versinya menyebut itu luka yang timbul karena Bao Zheng menghentakkan kepalanya terlalu keras ke lantai sebagai tanda hormat mendalam kepada ibunya 16. Visualisasi ini begitu melekat sehingga wajah Bao Zheng sering dilukis besar di berbagai media seni rakyat; misalnya, di taman hiburan bertema budaya Tionghoa Haw Par Villa, Singapura, terdapat mural raksasa wajah Bao Qingtian sebagai lambang keadilan 17.

 

Legenda Bao Zheng berkembang dengan berbagai kisah dramatis. Ia digambarkan menerima tiga guillotine (alat pemancung) dari kaisar yang masing-masing dihiasi kepala anjing, harimau, dan naga, untuk mengeksekusi penjahat dari kelas sosial berbeda 18. Kepala anjing melambangkan hukuman bagi rakyat jelata, kepala harimau untuk pejabat tinggi, dan kepala naga untuk bangsawan atau keluarga kerajaan yang melakukan kejahatan 18. Bahkan terdapat legenda bahwa Bao diberi Pedang Kekaisaran khusus yang memungkinkannya menghukum anggota keluarga kerajaan tanpa perlu izin terpisah dari kaisar 19. Kisah-kisah ini tentu saja fiksi yang ditambahkan kemudian, tetapi sangat populer karena menggambarkan betapa supremasi hukum (rule of law) dijunjung di atas status sosial dalam mitos Bao Zheng.

 

Hakim Bao juga ditemani asisten-asisten legendaris. Dalam cerita populer, ia dibantu oleh Gongsun Ce (sekretaris cerdas yang ahli strategi) dan Zhan Zhao (pengawal ahli silat yang setia) 20 21. Selain itu ada empat algojo (Wang Chao, Ma Han, Zhang Long, Zhao Hu) yang membantu menegakkan hukum di pengadilannya 22. Kumpulan pembantu ini dikenal sebagai “Tujuh Ksatria dan Lima Tikus” (七侠五义, Qi Xia Wu Yi) dalam novel Tiga Pahlawan Lima Pendekar (atau Tujuh Ksatria Lima Yi) 23. Meskipun kisah-kisah ini fiktif, mereka menyampaikan nilai-nilai tradisional seperti kesetiaan, bakti keluarga, dan keberanian menegakkan kebenaran 24 25.

 

Beberapa kasus legendaris yang terkenal antara lain eksekusi Chen Shimei – di mana Bao menghukum mati menantu kaisar yang berkhianat pada istri pertamanya 26 27– dan “Kucing Liar Menukar Putra Mahkota” (狸貓換太子), kisah intrik istana di mana Bao mengungkap bahwa seorang selir jahat menukar bayi putra mahkota dengan anak kucing. Menariknya, dalam kasus kedua ini, diceritakan Bao Zheng menggunakan siasat menyamar sebagai Raja Neraka (Yanluo Wang) lengkap dengan tata panggung menyerupai pengadilan di alam baka untuk menakuti dalang kejahatan (eunuch Guo Huai) agar mengaku 28 29. Guo yang ketakutan mengira dirinya benar-benar telah mati dan diadili di neraka oleh Yama, sehingga ia pun mengakui dosa-dosanya 28. Kisah ini memperlihatkan bagaimana imaji Bao Zheng begitu lekat dengan dunia akhirat dan keadilan kosmis, bahkan sebagai taktik menegakkan hukum. Bao Zheng dalam legenda mampu “mengadili yang hidup di siang hari, dan mengadili arwah di malam hari” – sebuah metafora bahwa keadilan berlaku di dua dunia. Dalam salah satu cerita fiksi awal (novel kasus Longtu Gong’an), Bao Zheng digambarkan memang bekerja sebagai hakim di bumi pada siang hari, dan menjadi hakim di neraka pada malam hari 30.

 

Dengan begitu, figur Bao Zheng melampaui sejarah faktualnya dan menjelma pahlawan semi-divine. Rakyat memujanya di kuil-kuil dengan harapan rohnya akan membawa keadilan bagi mereka yang terzalimi. Hingga hari ini, Bao Zheng dihormati sebagai simbol kebaikan pejabat bersih (istilah “Bao Gong” atau “Bao Qingtian” kerap dijadikan metafora untuk hakim/lurah yang adil) 31. Bahkan di Singapura ada kedai makanan bernama “Bao Today” yang memelesetkan nama Bao Qingtian untuk melambangkan keadilan dan ketegasan sebagai gimmick 31. Semua ini meneguhkan posisi Bao Zheng sebagai ikon moral di dunia berbahasa Tionghoa.

Bao Zheng sebagai Raja Neraka (Yanluo Wang)

Salah satu aspek paling menarik dari kultus Bao Zheng adalah keterkaitannya dengan kosmologi akhirat, khususnya konsep Yanluo Wang (閻羅王) atau Raja Neraka dalam tradisi Buddhis-Tionghoa. Dalam agama Buddha (Mahayana) yang berkembang di Tiongkok, Yama atau Yanluo Wang dikenal sebagai dewa penjaga neraka yang mengadili arwah orang meninggal, menentukan ke mana roh harus pergi untuk reinkarnasi sesuai karmanya 32 33. Namun, tradisi Tionghoa sering kali sinkretis; alih-alih memandang Yama sebagai individu tetap, ia dianggap sebagai sebuah jabatan dalam birokrasi langit/neraka. Kepercayaan setempat menyatakan bahwa manusia yang sangat jujur dan adil bisa diangkat menjadi Yanluo Wang setelah meninggal 2 3. Dalam hal ini, Bao Zheng adalah contoh paling masyhur. Beredar legenda bahwa setelah wafat (atau bahkan setiap malam), arwah Bao Zheng ditunjuk sebagai hakim agung di alam baka untuk melanjutkan misinya menegakkan keadilan 2 30.

 

Pandangan bahwa “Yanluo Wang” bisa dijabat oleh figur sejarah muncul sejak lama dalam budaya Tionghoa. Sumber-sumber menyebut Bao Zheng (999–1062) sebagai salah satu manusia suci yang diangkat menjadi Raja Neraka karena rekam jejaknya yang luar biasa adil 3. Bahkan dikatakan ia menjalankan tugas itu ditemani tiga asisten personifikasi Usia Tua, Penyakit, dan Kematian 34 35. Dengan kata lain, dalam imajinasi rakyat, Hakim Bao adalah manifestasi Yama – atau sekurangnya bawahan Yama – yang mengurus pengadilan akhirat sebagaimana dulu ia mengurus pengadilan dunia.

 

Integrasi Bao Zheng ke dalam mitologi neraka terlihat jelas pada konsep Sepuluh Raja Neraka (十殿閻王) yang berkembang di Tiongkok sejak Dinasti Tang. Dalam versi cerita tertentu, nama-nama sepuluh raja ini diselaraskan dengan nama marga tokoh sejarah, dan Raja Kelima yang biasanya adalah Yanluo Wang diidentifikasi bernama marga Bao – tak lain menunjuk kepada Bao Zheng 36. Daftar klasik “Sepuluh Raja” tersebut antara lain: Raja Qinguang (Jiang), Raja Chujiang (Li), Raja Songdi (Yu), Raja Wuguan (Lü), Raja Yanluo (Bao), Raja Biancheng (Bi), Raja Taishan (Dong), Raja Dushi (Huang), Raja Pingdeng (Lu), dan Raja Zhuanlun (Xue) 37 38. Raja Kelima, Yanluo Wang Bao, lahir pada tanggal 8 bulan pertama penanggalan Imlek, diyakini adalah penjelmaan Bao Zheng dari Song yang bertugas mengawasi Neraka Tangisan Besar (Crying Hell) 39 40. Informasi ini menunjukkan betapa spesifiknya sosok Bao telah terserap ke dalam struktur alam gaib: ulang tahunnya, jabatan nerakanya, hingga lingkup wewenangnya ditentukan dalam kosmologi rakyat.

 

Di berbagai kuil dan teks, sering pula disebut bahwa Bao Gong diberi mandat langsung oleh Kaisar Langit (Yu Huang) untuk menjadi hakim agung di dunia bawah. Artinya, peran Bao Zheng di akhirat diposisikan dalam hierarki Taois juga, bukan hanya Buddhis. Taoisme rakyat Tiongkok mengenal konsep birokrasi langit dan neraka paralel dengan birokrasi kekaisaran di bumi 20. Bao Zheng dijadikan jembatan antara keadilan duniawi dan keadilan ukhrawi – ia seolah menjabat dua dunia sekaligus 41 42. Para cendekia mencatat bahwa figur Baogong sebagai Raja Yama merefleksikan pemikiran orang Tiongkok zaman lampau yang menganggap sistem hukum akhirat pun berjalan bak birokrasi kerajaan 43 41. Pengadilan yang bersih dianggap mungkin hanya ada di alam baka, sehingga lahirlah harapan akan sosok ideal seperti Bao Zheng memimpin pengadilan tersebut 44 45. Ini juga mengindikasikan kritik terselubung terhadap sistem hukum di dunia nyata yang dirasa bobrok, sehingga rakyat “memindahkan” harapan keadilan sempurna itu ke pengadilan arwah 45 46.

 

Secara praktik keagamaan, hingga kini terdapat puluhan klenteng dan bio (kuil) di Tiongkok daratan dan Taiwan yang didedikasikan untuk Baogong sebagai hakim akhirat 47 48. Diperkirakan ada lebih dari dua lusin kuil aktif yang menghormati Bao Zheng dalam peran tersebut. Kuil-kuil ini kerap menampilkan patung Bao Gong duduk dengan pakaian resmi pejabat, berwajah hitam murka, terkadang diapit figur asistennya, serta dilengkapi properti seperti cermin pengungkap dosa (jianjing) yang konon dapat memperlihatkan perbuatan baik-buruk arwah 49 50. Salah satu motif umum dalam ikonografi Baogong adalah Cermin Pengungkapan Dosa (孽镜), serupa dengan konsep cermin karma di neraka, yang diadaptasi menjadi bagian dari narasi pengadilannya 51 50.

 

Umat yang datang ke kuil Bao Gong umumnya memanjatkan doa untuk keadilan. Menariknya, ada tradisi dimana orang yang merasa diperlakukan tidak adil di dunia ini akan datang ke altar Bao Zheng dan “mengajukan petisi” batin agar arwah Bao di pengadilan neraka menghukum pelaku kezaliman yang luput dari hukum dunia 52 53. Dengan kata lain, Bao Gong berperan laksana santo pelindung para pencari keadilan. Fenomena ini tercatat bahkan hingga era modern – misalnya dalam masyarakat Tiongkok kontemporer terdapat kelompok petisioner yang berziarah ke makam atau kuil Bao Zheng untuk “mengadukan” ketidakadilan pemerintahan duniawi, berharap roh Bao Gong akan memberi hukuman supranatural pada pejabat zalim 52. Pemerintah RRT di era kini konon kurang menyukai kultus seperti ini karena berpotensi menjadi simbol perlawanan moral terhadap rezim yang korup.

 

Secara teologis Buddhis, Yama dianggap sebagai dharmapala (dewa penjaga ajaran) yang tugasnya menjalankan hukum karma di alam neraka 32. Biasanya umat Buddha tidak menyembah Yama layaknya Buddha atau Bodhisattva, melainkan menghormatinya sebagai petugas kosmis. Namun, keunikan budaya Tionghoa membuat figur Yama (Raja Neraka) diidolakan melalui sosok Bao Zheng. Artinya, ada personifikasi etis di sini: Bao Zheng menjadi wajah yang lebih humanis bagi Yama. Kisah-kisah Bao Zheng mengadili roh jahat, membebaskan arwah yang terzalimi, hingga bekerjasama dengan Bodhisattva seperti Kṣitigarbha (Dìzàng, bodhisattva penolong di neraka), mewarnai folklor Buddhis-Tionghoa. Dalam Sutra Kṣitigarbha terdapat penyebutan Raja Yama dan para menterinya mendengarkan ajaran Bodhisattva di neraka, yang menunjukkan bahwa tokoh Raja Neraka diakui dalam kanon Mahayana 54. Walaupun sutra tersebut disusun jauh sebelum Bao Zheng lahir dan tidak menyebut dirinya, integrasi lokal membuat umat mengimajinasikan “Raja Yama” yang dimaksud bisa jadi adalah Bao Gong sendiri dalam manifestasi spiritualnya.

Pengaruh Budaya Populer di Tiongkok dan Asia Tenggara

Popularitas Hakim Bao meroket bukan hanya melalui cerita tutur dan opera tradisional, tetapi juga lewat media modern. Pada tahun 1993, sebuah serial televisi Taiwan berjudul “Bao Qing Tian” (Justice Bao) menjadi hit besar di seluruh Asia 55. Drama kolosal ini menampilkan aktor Jin Chaoqun sebagai Bao Zheng, lengkap dengan riasan wajah hitam dan bulan sabit di dahi, memecahkan berbagai kasus legendaris termasuk kisah Chen Shimei dan “Kucing Liarnya”. Serial Justice Bao versi Taiwan tersebut meraih sukses fenomenal hingga ditayangkan di banyak negara, termasuk Indonesia (pernah disiarkan di RCTI dan TPI di pertengahan 1990-an) 55. Kepopuleran ini melahirkan berbagai versi lanjutan dan adaptasi di Hong Kong, Tiongkok daratan, Singapura, dan lain-lain 55. Meskipun kebanyakan cerita di serial TV itu f iktif atau dibesar-besarkan, nilai moral yang disampaikan – kejujuran, keberanian menindak yang salah walau berkedudukan tinggi, dan kesetiaan – sangat resonan dengan penonton Asia 24.

 

Selain serial televisi, pertunjukan opera Beijing dan teater rakyat tentang Hakim Bao telah menjadi sajian populer selama berabad-abad 56 57. Cerita-cerita seperti “Menegur Kaisar di Balai Pengadilan”, “Dua Paku Pembunuh” hingga “Gentong Hitam” menambah aura mistis Bao Zheng karena sering melibatkan roh gentayangan yang meminta keadilan dan diselesaikan oleh sang hakim bijak 58 59. Dalam salah satu cerita, arwah seorang pedagang yang dibunuh bersembunyi di dalam gentong hitam dan menghantui pembunuhnya; baru setelah kasus dibawa ke hadapan Hakim Bao, kebenaran terungkap dan arwah tenang 60 59. Kisah-kisah supernatural semacam ini memperkuat kesan bahwa Bao Zheng tidak hanya menegakkan hukum bagi yang hidup, tetapi juga menenteramkan arwah yang dizalimi. Hal ini tentu memperkokoh citranya sebagai penegak keadilan universal lintas alam.

 

Di Tiongkok dan Taiwan masa kini, nama Bao Zheng terus dikenang. Pemerintah kota Kaifeng (bekas ibukota Dinasti Song) telah menjadikan makam dan kuil Bao Zheng sebagai objek wisata sejarah. Di Kaifeng terdapat Memorial Lord Bao yang berisi diorama kasus terkenal (seperti adegan Bao melepas topi resmi menantang Ibu Suri demi mengeksekusi penjahat Chen Shimei) 61 61. Patung, relief, dan patung lilin menggambarkan adegan-adegan legendaris ini untuk edukasi moral bagi pengunjung.

 

Sementara itu, di komunitas Tionghoa Asia Tenggara, nama Hakim Bao juga dikenal luas. Selain melalui tontonan, sejumlah kuil lokal turut menghormatinya. Singapura memiliki sebuah kuil bersama (joint temple) di Sengkang yang salah satu altarnya didedikasikan untuk Bao Gong 62. Malaysia pun ada, misalnya Kuil Bao Gong di Sandakan, Sabah yang terletak di dekat perkampungan air Sim-Sim, menjadi destinasi wisata budaya 63 64. Di Taiwan, hampir setiap daerah memiliki klenteng dengan pojok altar atau patung Bao Zheng. Salah satu contohnya adalah sebuah Haiching Temple di Kabupaten Yunlin yang memiliki shirne Bao Zheng tersendiri 65. Bahkan dalam festival hantu lapar atau perayaan Zhongyuan (bulan ketujuh Imlek), tokoh Hakim Bao kadang disertakan dalam arak-arakan simbolis sebagai hakim yang mengawasi arwah gentayangan.

 

Dalam budaya populer modern, citra Hakim Bao terkadang muncul dalam bentuk yang unik. Misalnya, sosoknya dijadikan karakter dalam komik, game, atau film animasi bertema sejarah/fantasi. Meskipun tidak selalu akurat, hal ini menandakan figur Bao Zheng tetap hidup dalam imajinasi kolektif. Di media sosial berbahasa Tionghoa, nama “Bao Qingtian” kadang diserukan netizen ketika mengomentari kasus hukum seolah-olah memanggil semangat Bao untuk “turun tangan” menghadapi ketidakadilan masa kini.

Perspektif Umat Buddhis dan Sinkretisme Buddhis-Tionghoa

Bagi kalangan Buddhis (terutama Mahayana) yang lebih ortodoks, bagaimana posisi Bao Zheng ini? Secara doktrin murni, Buddhisme tidak mengenal konsep mengkultuskan pejabat duniawi sebagai dewa. Raja Yama sendiri dalam kosmologi Buddhis digambarkan sebagai makhluk samsara yang masih terikat karma, bukan makhluk tercerahkan. Ia menjalankan fungsi hakim di Naraka (neraka) tetapi bukan obyek sujud puja layaknya Buddha atau Bodhisattva. Karena itu, Bao Zheng sebagai “manifestasi Yama” lebih merupakan kepercayaan rakyat (folk belief) yang tidak dicantumkan dalam kitab suci manapun. Para Bhikkhu Buddhis biasanya menempatkan kisah-kisah semacam ini dalam kategori upaya kausalya (sarana pengajaran yang bijaksana) – artinya, legenda Hakim Bao dapat dipakai untuk menyampaikan pesan karma (bahwa kejahatan akan mendapat ganjaran, jika tidak di dunia ya di akhirat). Namun, umat Buddhis Tionghoa awam banyak yang menerima begitu saja sinkretisme ini sebagai bagian dari lanskap kepercayaan mereka.

 

Di banyak klenteng atau bio di Tiongkok dan mancanegara, penyembahan bersifat sinkretis: altar Buddha, Tao, dan dewa-dewi lokal berdiri berdampingan. Sering kali, patung Bao Gong ditempatkan tidak jauh dari altar Buddha atau Bodhisattva sebagai pengawal dharma atau simbol keadilan. Sebagai contoh, di beberapa vihara Mahayana di Asia Timur, terdapat ruang khusus yang memajang Shi Dian Yanluo (Sepuluh Raja Neraka) lengkap dengan diorama penyiksaan dan pahala, guna mengajarkan hukum karmaphala. Dalam setting seperti itu, sosok Bao Zheng (Raja Kelima Yanluo) mungkin ikut ditampilkan, meskipun umat tahu bahwa ini bukan Buddha melainkan figur legenda yang mendukung ajaran karmis. Sebagaimana tercatat, Yanluo Wang bahkan dianggap salah satu dari “Twenty Devas” (20 dewa pelindung) dalam kosmologi Buddhisme Tiongkok 66. Artinya, kehadiran Raja Neraka (dengan siapa pun personifikasinya) diakui sebagai bagian dari alam pelindung ajaran Buddha.

 

Banyak umat Buddha Tionghoa menyikapi kisah Bao Zheng secara kultural-edukatif. Mereka mungkin berziarah atau berdoa di depan patung Bao Gong memohon keadilan, namun dalam hati menyadari bahwa esensi akhirnya kembali ke karma dan restu Buddha. Bagi mereka, Hakim Bao adalah figur mitologis yang menginspirasi – teladan pejabat jujur sekaligus peringatan bahwa kejahatan pasti dihukum, entah oleh hakim di dunia atau oleh hakim di akhirat. Dalam diskusi komunitas Buddhis progresif, sering ditekankan bahwa mempercayai Bao Zheng sebagai reinkarnasi Yama sebaiknya dimaknai simbolis saja: spirit keadilan Bao yang “hidup” di pengadilan akhirat berarti setiap perbuatan akan ada balasannya. Ini selaras dengan prinsip karma dan retribusi dalam ajaran Buddha.

 

Namun demikian, bagi kalangan Buddhis-Tionghoa awam, batas antara yang religius dan yang mitologis sangatlah kabur. Mereka tidak terlalu mempermasalahkan apakah Bao Zheng “benar-benar” dewa atau sekadar pahlawan rakyat. Yang penting adalah fungsi sosial dan spiritualnya: memberikan harapan bahwa alam semesta mempunyai penegak keadilan. Umat bisa saja sembahyang di altar Bao Gong pagi hari lalu sore harinya membaca paritta sutra – tanpa merasa ada kontradiksi, karena tradisi Tionghoa memang non dogmatis dan sinkretis 67. Hal ini diamini oleh fakta sejarah bahwa integrasi Bao Zheng ke ranah religius berlangsung mulus, sejalan dengan integrasi figur-figur lain (misalnya Guan Yu – jenderal dari sejarah yang menjadi dewa pelindung Buddhisme dan Taoisme, atau Mazu – gadis nelayan yang didewakan sebagai Dewi Laut). Masyarakat melihat moralitas luhur sebagai tanda keberkahan ilahi, sehingga orang seperti Bao Zheng pantas “naik kelas” menjadi semacam dewa keadilan pasca wafat.

 

Dalam konteks sinkretisme Buddhis-Tionghoa, kasus Bao Zheng menunjukkan bagaimana nilai-nilai Konfusianisme (pengabdian pejabat yang bersih), ajaran Buddhisme (karma dan pembalasan di alam berikutnya), serta sistem Taoisme populer (birokrasi langit dan dewa-dewa lokal) bertemu dan melahirkan tradisi unik. Umat Buddhis Tionghoa yang ingin memahami sinkretisme perlu melihat bahwa mengagungkan Hakim Bao bukan penyimpangan dari Dharma, melainkan bentuk akulturasi ajaran moral ke dalam sosok yang dekat dengan hati rakyat. Selama esensinya – keyakinan pada hukum moral alam semesta – terjaga, keberadaan figur seperti Bao Gong justru memperkaya khazanah spiritual.

Penutup

Bao Zheng atau Hakim Bao adalah contoh luar biasa dari tokoh sejarah yang berkembang menjadi legenda lintas dimensi: dari pejabat istana yang jujur, menjadi pahlawan rakyat, hingga dilambangkan menjabat di pengadilan neraka sebagai Raja Yama. Perjalanan kultusnya mencerminkan harapan kolektif masyarakat akan keadilan imanen, yang kadang sulit didapat di dunia nyata sehingga dicari di ranah supra-dunia. Dalam tradisi Buddhis-Tionghoa, sosok Bao Zheng memperlihatkan fleksibilitas kepercayaan Mahayana yang mampu beradaptasi dengan kearifan lokal – menempatkan figur ini sebagai mitra karma yang memastikan roda keadilan berputar. Bagi pembaca umum maupun komunitas Buddhis, memahami sinkretisme Hakim Bao memberikan wawasan tentang bagaimana nilai Dharma dapat diwujudkan melalui tokoh budaya, serta bagaimana keyakinan akan hukum sebab-akibat diharmoniskan dengan cerita dan kepercayaan setempat.

 

Akhir kata, apakah Bao Zheng benar-benar manifestasi Raja Neraka? Secara literal historis, tentu tidak. Tetapi dalam kenyataan kultural, jawabannya “iya dalam arti simbolis” – Bao Zheng menjelma Yama di hati rakyat sebagai lambang tegaknya kebenaran. Hampir seribu tahun setelah wafatnya, nama Bao Zheng masih dipuja dan dikenang, menembus batas waktu dan dimensi 68. Ia hidup dalam doa orang yang mencari keadilan, dalam drama dan upacara, serta dalam nilai-nilai moral yang disemai turun-temurun. Inilah bukti nyata sinkretisme Buddhis-Tionghoa: alih-alih benturan, terjadi peleburan harmonis antara sejarah, agama, dan folklor demi menjunjung tinggi keadilan dan kebenaran. 

Sumber Referensi :

Ganany, Noga. Baogong as King Yama in the Literature and Religious Worship of Late-Imperial China. Asia Major 28.2 (2015): 1–44 69 48

 

“Yama (Buddhism) – Wikipedia” (akses 2025) 2 34

 

“Bao Zheng – Wikipedia (English)” (akses 2025) 1 3

 

“Bao Zheng – Wikipedia (Bahasa Indonesia)” (akses 2025) 28

 

Temple Trail: “Bao Gong Temple, Kaifeng” (2014) 20 70

 

Longhu Mountain Taoism: “The Ten Kings of Hell” (2025) 39 40

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE