Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Grounding: Terhubung Kembali dengan Bumi untuk Kesehatan Tubuh dan Pikiran

Grounding: Terhubung Kembali dengan Bumi untuk Kesehatan Tubuh dan Pikiran

October 22, 2025

Bayangkan melepas alas kaki dan menjejakkan kaki telanjang di atas tanah atau rumput yang basah oleh embun pagi. Anda merasakan dinginnya bumi, tekstur tanah, dan denyut kehidupan alam di bawah telapak kaki. Di tengah dunia modern yang hiruk-pikuk, momen sederhana ini dapat menjadi terapi alami yang menyejukkan. Inilah konsep grounding – praktik bersentuhan langsung dengan Bumi, entah dengan berjalan tanpa alas kaki di tanah, berdiri di atas rumput, atau memeluk pohon – sebagai cara alami untuk menyehatkan tubuh dan pikiran.

Penjelasan Ilmiah tentang Grounding

Grounding (juga disebut earthing) didasari teori bahwa permukaan Bumi memiliki muatan listrik negatif (elektron bebas) dan tubuh kita dapat menyerap elektron tersebut saat bersentuhan langsung. Para ilmuwan mulai meneliti efek praktik sederhana ini terhadap kesehatan. Hasilnya, meski masih berkembang, cukup menjanjikan:

  • Mengurangi Peradangan: Kontak kulit dengan tanah diketahui mengurangi tanda-tanda utama peradangan – seperti kemerahan, bengkak, nyeri – setelah cedera 1. Penjelasan sementara, elektron dari Bumi membantu menetralkan radikal bebas berlebih dalam tubuh yang memicu stres oksidatif dan peradangan kronis. Sebuah review bahkan menyebut grounding sebagai “remedi anti inflamasi universal”.
  • Meredakan Stres dan Kortisol: Grounding berdampak pada hormon stres dan sistem saraf otonom. Paparan elektronik berlebih dan tekanan hidup modern sering membuat tubuh terjebak dalam mode fight-or-flight. Penelitian awal menunjukkan praktik grounding dapat menurunkan kadar hormon kortisol berlebih, hormon stres utama 2. Normalisasi ritme kortisol ini berhubungan dengan perasaan lebih tenang dan stress yang berkurang.
  • Menyeimbangkan Sistem Saraf: Dengan menempel ke tanah, tubuh cenderung beralih ke keadaan rest-and-digest (parasimpatis) yang menenangkan. Riset menunjukkan grounding dapat membantu menyeimbangkan sistem saraf otonom – mengurangi aktivitas simpatik (respon tegang) dan meningkatkan aktivitas parasimpatik (respon relaks) 3. Ini berarti detak jantung lebih teratur, tekanan darah lebih stabil, dan tubuh lebih rileks.
  • Meningkatkan Kualitas Tidur: Banyak orang melaporkan tidur lebih nyenyak setelah rutin grounding. Penelitian klinis mendapati earthing pada malam hari bisa memperbaiki pola tidur dan ritme sirkadian dengan menyeimbangkan hormon 4. Dalam sebuah studi, partisipan yang melakukan grounding menunjukkan durasi tidur lebih lama dan tidur lebih nyenyak dibanding sebelum grounding 2. Efek ini diduga terkait penurunan kortisol malam hari dan rasa tenang pada sistem saraf.
  • Mengurangi Nyeri dan Meningkatkan Mood: Secara subjektif, peserta berbagai studi grounding melaporkan berkurangnya rasa nyeri, stres, depresi, dan kelelahan, disertai peningkatan rasa nyaman 5. Beberapa bahkan menunjukkan penyembuhan luka lebih cepat dan pengenceran darah (penurunan kekentalan darah) yang baik untuk sirkulasi 6. Meskipun banyak temuan berdasarkan sampel kecil, trennya konsisten: kontak dengan bumi cenderung mendukung kondisi fisiologis yang lebih seimbang.

Perlu dicatat bahwa penelitian tentang grounding masih dalam tahap awal dan beberapa temuan bersifat pendahuluan. Namun, hasil-hasil di atas memberikan dasar ilmiah kenapa grounding mungkin bermanfaat bagi kesehatan holistik tubuh dan pikiran. Dampaknya terlihat pada sistem saraf, hormon stres, tidur, hingga respons imun tubuh terhadap peradangan.

Praktik Grounding di Berbagai Budaya

Manusia sebenarnya telah lama “berakar” pada alam. Beragam budaya memiliki tradisi yang mirip konsep grounding – memanfaatkan sentuhan langsung dengan alam untuk kesehatan jiwa raga:

  • Shinrin-Yoku di Jepang: Salah satu contoh terkenal adalah Shinrin-Yoku atau “mandi hutan” dari Jepang. Sejak 1980-an, masyarakat Jepang mempopulerkan praktik berjalan santai di hutan dengan kesadaran penuh, menghirup udara hutan, dan menyentuh pepohonan. Penelitian menunjukkan Shinrin-Yoku menurunkan hormon stres seperti kortisol serta meningkatkan fungsi imun. Dalam sebuah uji, kadar kortisol saliva partisipan menurun signifikan saat berada di hutan dibanding di kota 7. Paparan phytoncides (aroma alami pohon) juga dikaitkan dengan peningkatan sel pembunuh alami (NK cells) dalam tubuh, komponen imun yang penting 8. Jepang bahkan mendirikan Forest Therapy resmi karena bukti manfaat forest bathing terhadap suasana hati, tekanan darah, dan metabolisme 9 10.
  • Tradisi Lintas Budaya: Banyak budaya tradisional menghargai hubungan langsung dengan bumi. Misalnya, masyarakat adat di berbagai belahan dunia terbiasa berjalan tanpa alas kaki di tanah sebagai bagian kehidupan sehari-hari. Mereka percaya bumi adalah Ibu yang memberi energi dan menyembuhkan. Literatur kuno dan praktik pengobatan tradisional pun menyebutkan berjalan nyeker (tanpa alas) dapat menghadirkan perasaan sehat dan sejahtera 11. Di India dan tradisi Yoga, latihan sering dilakukan di atas tanah atau rumput, memanfaatkan energi prana bumi. Sementara itu, ajaran pengobatan Tiongkok menganggap manusia sebagai perantara antara langit dan bumi maka berkemah di alam atau latihan Tai Chi di taman dianggap mengembalikan keharmonisan energi tubuh.
  • Pengobatan Modern & Earthing: Dalam budaya Barat modern, konsep grounding muncul kembali dalam bentuk earthing therapy. Perintis seperti Clint Ober memperkenalkan alas tidur atau tikar grounding yang menyambungkan tubuh ke tanah lewat kabel. Meskipun perangkat ini menuai skeptisisme, tren barefoot walking di taman kota dan pantai semakin populer sebagai bentuk back to nature. Klinik naturopati juga mulai merekomendasikan pasien untuk “mengisi ulang” dengan berjalan di rumput demi kesehatan mental. Hal ini senada dengan pepatah Barat “earthing reconnects you to the Earth’s energy” – bahwa menyentuh tanah secara harfiah memberikan grounding (dasar) bagi keseimbangan listrik tubuh.

Setiap budaya pada intinya mengakui: ketika kita meluangkan waktu di alam, entah dengan berjalan di hutan, duduk di tanah, atau merendam kaki di sungai, ada sesuatu yang berubah dalam diri kita. Stres mereda, napas melambat, dan pikiran menjernih. Grounding bukanlah hal baru – ia hanya mengingatkan kita pada kearifan lama yang sering terlupakan di era modern.

Keterhubungan dengan Alam dalam Ajaran Buddha

Dalam ajaran Buddha, manusia dipandang tidak terpisah dari alam, melainkan bagian utuh dari jalinan kehidupan. Konsep keterhubungan (interbeing) yang dipopulerkan Thich Nhat Hanh – seorang guru Zen ternama – menekankan bahwa kita dan Bumi saling terikat. “Bumi adalah dirimu. Kamu adalah Bumi,” tulis Thich Nhat Hanh, “ketika kamu menyadari tiada pemisah, kamu akan jatuh cinta sepenuhnya pada planet yang indah ini” 12. Pernyataan ini menggemakan pemahaman Buddhis bahwa merusak alam berarti merusak diri sendiri, karena kita inter-exist dengan pohon, air, tanah, dan semua makhluk.

 

Buddhisme sejak awal sangat lekat dengan alam. Gautama Buddha mencapai pencerahan saat bermeditasi di bawah pohon Bodhi, simbol kuat hubungan manusia dengan alam. Menurut kisah tradisional, setelah mencapai penerangan sempurna, Buddha berdiri diam menatap pohon Bodhi selama seminggu penuh dalam sikap hening dan syukur atas perlindungan dan keteduhan yang diberikan pohon tersebut 13. Para biksu awal adalah petapa hutan yang hidup sederhana di tengah rimba, merenung di bawah pepohonan dan gua. Dalam kitab suci Pali, Buddha sering menasihati murid-muridnya: “Ada hutan-hutan dan akar-akar pohon; berlatihlah meditasi di sana, jangan lengah!” – anjuran langsung untuk memanfaatkan keheningan alam sebagai tempat mengembangkan kesadaran.

 

Latihan mindfulness (kesadaran penuh) yang dijunjung dalam Buddhisme dapat dipraktikkan selaras dengan grounding. Ketika kita berjalan perlahan di alam, merasakan setiap pijakan kaki di tanah, kita sebenarnya sedang melakukan meditasi berjalan. Thich Nhat Hanh mengajarkan praktik walking meditation dengan indah: “Berjalanlah seakan-akan engkau mencium Bumi dengan kakimu” 14. Setiap langkah dalam keheningan menjadi sebuah keajaiban – “Keajaiban bukanlah berjalan di atas air atau udara, melainkan berjalan di atas Bumi pada saat ini, menghargai kedamaian dan keindahan yang tersedia sekarang” 15. Kata kata Thich Nhat Hanh tersebut mengajak kita menyadari mukjizat kehidupan ketika kaki menyentuh tanah dengan penuh kesadaran: kita hidup, kita terhubung, dan kita hadir sepenuhnya di Bumi.

 

Bagi umat Buddha, alam seringkali menjadi tempat perenungan mendalam. Retret-retret meditasi banyak dilaksanakan di pegunungan atau hutan yang jauh dari hiruk pikuk kota. Dalam keheningan alam, praktisi melatih noble silence (keheningan mulia) – tidak hanya berdiam dari bicara, tapi juga menenangkan “kebisingan batin”. Suara angin di pepohonan, kicau burung, atau gemericik air terjun menjadi background alami yang membantu menenangkan pikiran. Alam menyediakan ruang sunyi agar latihan mindfulness dan kontemplasi berlangsung optimal. Seorang guru Buddhist mungkin akan berkata bahwa mendengarkan suara hening di tengah alam adalah cara mendengar diri sendiri dan memahami hakikat kehidupan. Keheningan di alam bukanlah kekosongan menakutkan, melainkan “suara” kebijaksanaan yang muncul ketika kita selaras dengan bumi.

 

Ajaran interbeing, mindfulness, dan keheningan dalam Buddhisme pada intinya sejalan dengan gagasan grounding: semua mengajak kita kembali pada alam dan diri sejati. Dengan menapak tanah, menyadari napas, dan merasakan kesatuan dengan lingkungan, kita mengalami kualitas batin yang disebut mudita (kegembiraan sejati) dan upekkha (kedamaian seimbang). Alam menjadi guru yang menunjukkan kebijaksanaan impermanensi (ketidakkekalan) – seperti daun gugur mengajarkan tentang pasang surut kehidupan. Keterhubungan yang dirasakan lewat grounding bisa memperdalam pengertian spiritual: kita bukan entitas terpisah, melainkan bagian dari jalinan besar kehidupan. Insight inilah yang dalam Bahasa Buddha disebut “melihat Dhamma di alam”.

Cara Praktis Memulai Grounding di Era Digital

Kehidupan modern penuh polusi digital – notifikasi tak henti, layar bercahaya, dan pikiran yang selalu online. Bagaimana kita dapat memulai praktik grounding di tengah kesibukan dan paparan dunia digital? Berikut beberapa cara praktis dan sederhana yang bisa dicoba dalam keseharian:

  • Jalan Kaki Tanpa Alas di Alam: Luangkan waktu setiap hari (atau setidaknya beberapa kali sepekan) untuk berjalan kaki tanpa alas di permukaan alami. Anda bisa melakukannya di halaman rumah, taman kota, atau pinggir pantai. Rasakan tekstur rumput, tanah, atau pasir di bawah kaki. Cukup 10-20 menit berjalan nyeker di rumput atau pasir sudah dapat memberikan efek menenangkan 16. Pastikan area aman dari benda tajam, lalu biarkan kaki Anda “bernapas” bebas menyentuh bumi.
  • Bersentuhan dengan Pohon atau Air: Jika melepas alas kaki tidak memungkinkan, Anda bisa menyentuh elemen alam lain secara langsung. Misalnya, tree hugging – merangkul atau menyentuh batang pohon besar dan merasakan kekuatannya. Atau celupkan kaki dan tangan di air sungai, danau, atau laut sejenak. Air adalah konduktor yang baik untuk grounding. Berenang di alam (danau, pantai) juga merupakan metode grounding yang menyenangkan, sekaligus olahraga yang menyegarkan. Banyak orang merasa stres luruh saat tubuh terendam air alami.
  • Berkebun atau Merawat Tanaman: Interaksi dengan tanah bisa dilakukan lewat aktivitas berkebun. Cobalah menanam bunga, sayuran, atau sekadar merawat pot tanaman. Sentuhkan tangan langsung ke tanah saat mencangkul atau menanam tanpa sarung tangan (pastikan tanah bersih). Berkebun tidak hanya membuat Anda grounded secara literal, tapi juga memberikan kepuasan batin melihat tanaman tumbuh. Ini alternatif bagus jika Anda tinggal di perkotaan buatlah “oase” kecil di rumah untuk tetap terhubung dengan bumi.
  • Matikan Gawai, Nikmati Forest Bathing Mini: Ambil jeda dari gadget dan lakukan “mandi hutan” kecil-kecilan. Misalnya, sore hari di taman, lepas sejenak ponsel Anda. Duduk atau berjalan perlahan memperhatikan sekeliling: lihat warna daun, dengar suara burung, hirup aroma tanah. Praktikkan mindfulness dengan pancaindra terhadap alam sekitar. Hanya 15 menit sesi Shinrin-Yoku terbukti dapat mengurangi gejala kecemasan dan memperbaiki mood 17 7. Ini juga cara detoksifikasi digital – mengganti scrolling media sosial dengan mengamati keindahan nyata di sekitar.
  • Ritual Pagi atau Petang di Luar Ruangan: Mulailah atau akhiri hari dengan sedikit waktu di luar rumah. Pagi hari, Anda bisa berdiri telanjang kaki di halaman sambil melakukan peregangan ringan atau meditasi singkat. Sinar matahari pagi plus sentuhan bumi adalah kombinasi yang menyehatkan. Di malam hari, mungkin duduk di teras menghadap taman kecil, merasakan embusan angin malam di kulit. Buat ini sebagai ritual rutin “turun ke bumi” agar tubuh dan pikiran Anda lepas dari tekanan aktivitas digital seharian.
  • Ikut Kegiatan Alam & Digital Detox: Sesekali, luangkan waktu di akhir pekan untuk hiking, berkemah, atau retret meditasi di alam. Banyak komunitas pemuda dan Buddhist mengadakan mindfulness retreat di pegunungan atau tepi pantai di mana pesertanya diajak meninggalkan gawai dan kembali ke kesederhanaan. Kegiatan seperti ini dapat recharge mental Anda. Jika waktu terbatas, coba atur jadwal harian tanpa gawai (misal setiap malam 1 jam sebelum tidur, matikan internet dan berjalan di halaman rumah). Disiplin kecil ini membantu melatih diri hadir di momen kini dan merasakan dunia nyata di luar layar.

Setiap langkah kecil di atas dapat membantu Anda memulai perjalanan grounding. Kuncinya adalah konsistensi dan kesadaran penuh. Grounding tidak membutuhkan alat canggih atau biaya mahal – hanya niat untuk terkoneksi dengan alam. Bahkan di kota sekalipun, selalu ada cara untuk menemukan “tanah” di tengah beton: pohon rindang di tepi jalan, rumput di taman kompleks, atau sekadar menyentuh tanah dalam pot tanaman Anda. Dimulai dari hal-hal sederhana, grounding bisa menjadi gaya hidup yang menjaga kewarasan di tengah era digital.

Menemukan Kesehatan dan Kedamaian di Bumi

Pada akhirnya, grounding mengingatkan kita bahwa Bumi adalah pijakan sekaligus penyembuh bagi manusia. Ilmu pengetahuan modern mulai menguak mengapa bersentuhan dengan tanah menyehatkan dari menetralkan radikal bebas hingga menenangkan sistem saraf. Berbagai budaya dan tradisi telah lama mempraktikkannya, dari mandi hutan di Jepang hingga laku bertapa di alam dalam ajaran Buddha. Pesan universalnya jelas: ketika kita kembali membumi, kita memulihkan keseimbangan diri.

 

Ada sebuah kebijaksanaan indah yang bisa kita renungkan. Thich Nhat Hanh berkata, “Orang biasanya menganggap keajaiban adalah berjalan di atas air atau di udara. Tapi keajaiban sejati adalah berjalan di atas Bumi. Setiap hari kita turut serta dalam mukjizat yang tak kita sadari… Langit biru, awan putih, daun hijau, mata hitam seorang anak – semua adalah keajaiban.” 18. Kutipan ini mengajak kita merenung: betapa banyak “keajaiban” sederhana yang bisa kita rasakan hanya dengan berada hadir di Bumi, di sini-kini, secara sadar.

 

Apakah kita sudah menyentuh keajaiban itu hari ini? Di tengah dunia digital yang serba cepat, luangkanlah waktu untuk memperlambat langkah. Lepaskan alas kaki, biarkan kaki Anda merasakan tanah di bawahnya. Dengarkan suara sunyi alam yang selama ini tertutup bising gadget. Rasakan bahwa Anda terhubung dengan setiap elemen di sekitar – angin yang menyentuh kulit, aroma bumi yang lembap, kokokan ayam atau riuh serangga di kejauhan. Sadari bahwa dalam momen hening itu, tubuh dan pikiran Anda tengah disegarkan.

 

Grounding adalah tentang kembali ke rumah – rumah kita yang sesungguhnya, yaitu planet Bumi. Dengan mempraktikkannya, kita belajar merawat diri sekaligus merawat bumi. Tubuh menjadi lebih sehat, pikiran lebih jernih, dan jiwa lebih tenang. Seperti halnya pohon yang kuat karena akarnya menancap dalam di tanah, kita pun dapat menemukan kekuatan dan kedamaian dengan mencabut diri dari dunia virtual sejenak dan menghubungkan akar kita kembali pada Ibu Pertiwi.

 

Ajakan reflektif: Cobalah luangkan beberapa menit hari ini untuk berhubungan dengan alam sekitar Anda. Matikan ponsel, keluar rumah, dan berdirilah di atas tanah atau rumput. Tarik napas dalam, rasakan energi bumi menjalar perlahan dari telapak kaki ke seluruh tubuh. Apa yang Anda rasakan? Barangkali ada ketenangan halus yang menyelimuti, atau perasaan “diisi ulang” yang sulit dijelaskan. Renungkanlah bahwa tanah yang Anda pijak adalah sumber kehidupan yang sama yang menopang Anda setiap hari. Semoga dengan grounding, kita semua senantiasa diingatkan akan indahnya keterhubungan dengan alam, menemukan kesehatan raga, dan ketenangan batin yang selama ini dicari-cari. Selamat mencoba, semoga Anda menemukan diri Anda kembali di Bumi. Sabbe satta bhavantu sukhi-tatta – semoga semua makhluk berbahagia. 

Sumber Referensi :

1 3 4 5 6 7 8 9 10 16 17 19 Forest Bathing and Grounding: Natural Practices for Stress Relief and Healing – AANMC

 

2 What Are Grounding Sheets? – Sleep Foundation

 

11 The Effects of Grounding (Earthing) on Inflammation, the Immune Response, Wound Healing, and Prevention and Treatment of Chronic Inflammatory and Autoimmune Diseases – PMC

 

12 Thich Nhat Hanh’s Love Letter to the Earth – Lion’s Roar

 

13 Life of Buddha: 7 Weeks After Enlightenment (Part One) – Buddhanet

 

14 Walking Meditation – Poem by Thich Nhat Hanh – Plum Village

 

15 18 Nhat Hanh Quotes About Miracles – A-Z Quotes

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE