Hari Raya Dīpāli, dikenal luas sebagai Deepavali atau Diwali, adalah sebuah perayaan Festival Cahaya yang sarat makna spiritual dan budaya. Nama Deepavali berasal dari bahasa Sanskerta dīpāvali yang berarti “deretan lampu” 1. Sesuai namanya, perayaan ini ditandai dengan menyalakan lampu-lampu minyak tradisional (dīya) dan lilin yang melambangkan kemenangan terang atas kegelapan 2. Festival ini umumnya dianggap sebagai penanda triumph kebaikan atas kejahatan, cahaya atas kegelapan, dan pengetahuan atas kebodohan, sebuah pesan universal yang melintasi berbagai kepercayaan 3.
Perayaan Dīpāli bermula dari anak benua India dan kini dirayakan oleh berbagai komunitas lintas agama. Awalnya merupakan festival Hindu, Dīpāli telah menjangkau umat Hindu, Jain, Sikh, bahkan sebagian umat Buddha di beberapa daerah 4 5. Lebih dari satu miliar orang turut merayakannya setiap tahun, menjadikannya salah satu festival terbesar di dunia 5. Perayaan ini tidak terbatas di India saja, melainkan telah menjadi hari libur resmi di banyak negara seperti India, Nepal, Sri Lanka, Malaysia, Singapura, Myanmar, Fiji, hingga Trinidad & Tobago 6. Meski latar belakang dan cerita yang diperingati dapat berbeda di tiap agama, semangat yang diusung Dīpāli — cahaya, harapan, dan kebaikan — dirasakan secara universal.
Dīpāli memiliki akar sejarah yang kaya dan makna berbeda dalam tradisi Hindu, Jain, dan Buddha. Masing- masing agama tersebut memaknai Dīpāli berdasarkan peristiwa penting dalam narasi spiritualnya, meski semuanya merayakan tema umum kemenangan terang (kebenaran) atas gelap (kejahatan) 7. Berikut penjelasan asal-usul Dīpāli dalam konteks lintas agama :
Bagi umat Hindu, Deepavali adalah salah satu hari raya utama yang dirayakan secara meriah. Terdapat berbagai kisah dalam tradisi Hindu yang dihubungkan dengan perayaan ini, tergantung wilayah dan aliran kepercayaan. Kisah paling populer berasal dari wiracarita Ramayana, yaitu kembalinya Pangeran Rama ke Ayodhya setelah 14 tahun pengasingan dan kemenangan atas Rahwana. Warga Ayodhya kala itu menyalakan deretan lampu minyak untuk menyambut Rama beserta Sita dan Lakshmana, melambangkan sukacita atas menangnya kebajikan 8. Di India Utara, cerita ini menjadi inti perayaan Diwali: lampu-lampu dinyalakan sebagai simbol terang yang menyertai kembalinya Rama yang triumf.
Di India Selatan, legenda yang sering dikaitkan dengan Deepavali adalah kemenangan Sri Krishna atas naraka asura Narakasura 8. Narakasura melambangkan kekuatan jahat yang ditumpas oleh Krishna, dan cahaya lampu diyakini dirayakan sebagai simbol lenyapnya kekuatan jahat tersebut. Selain itu, tradisi Hindu juga mengaitkan Diwali dengan pemujaan Dewi Lakshmi, dewi kemakmuran dan keberuntungan. Malam Diwali (amalannya jatuh pada bulan gelap Kartika) dipandang sebagai waktu istimewa untuk memanjatkan doa kepada Lakshmi agar mendatangkan berkah di tahun mendatang 9. Berbagai ritual seperti mandi minyak pada fajar, menghiasi rumah dengan rangoli (lukisan tepung berwarna) dan lampu, mengenakan pakaian baru, berbagi penganan manis, serta pesta kembang api merupakan bagian tak terpisahkan dari perayaan Diwali di kalangan Hindu 10 11. Inti dari semua tradisi ini adalah merayakan kemenangan dharma (kebajikan) atas adharma (kejahatan) serta mengungkapkan rasa syukur dan harapan memasuki tahun yang baru dengan terang dan berkah.
Bagi umat Jain, Dīpāli memiliki makna spiritual yang khusyuk. Di kalangan Jainisme, festival ini dikenal sebagai peringatan atas peristiwa moksha (pencapaian kebebasan akhir) dari Mahavira, guru agung ke-24 dalam tradisi Jain 12. Menurut catatan Jain, Mahavira mencapai nirwana pada hari Diwali di tahun 527 SM 13. Oleh karena itu, Diwali bagi umat Jain bukan sekadar perayaan pesta, melainkan momen reflektif untuk mengenang lepasnya jiwa Mahavira dari siklus kehidupan (samsara). Umat Jain menyalakan lampu-lampu sebagai simbol keutamaan ilmu suci yang dibagikan Mahavira kepada dunia – cahaya pengetahuan rohani yang menghalau kegelapan kebodohan 12. Berbeda dengan perayaan Hindu yang riuh, peringatan Diwali dalam Jainisme cenderung khidmat dan penuh renungan. Banyak Jain mengisi hari suci ini dengan berpuasa, membaca kitab suci (seperti Kalpasutra), meditasi, dan ritual doa 14. Bagi komunitas Jain, Dīpāli adalah pengingat untuk meneladani ajaran Mahavira tentang ahimsa (tanpa kekerasan), disiplin diri, dan pelepasan keduniawian. Meski tak ada kembang api atau pesta besar, cahaya lampu Diwali tetap dinyalakan sebagai penanda terang kebijaksanaan Mahavira yang terus menerangi hati para pengikutnya.
Dalam ajaran Buddha, Dīpāli bukanlah festival utama yang bersumber dari kitab suci Tripiṭaka. Tripiṭaka (Kanun Pāli) sebagai kumpulan ajaran Buddha tidak mencantumkan perayaan lampu semacam Diwali, sehingga Diwali tidak memiliki rujukan langsung dalam doktrin Buddha. Kendati demikian, di beberapa komunitas Buddhis, terutama di wilayah anak benua India dan Asia Selatan, perayaan Dīpāli tetap diakui dan dimaknai dengan sentimen spiritual tersendiri. Umat Buddha Newar di Nepal adalah contoh unik: mereka ikut merayakan Diwali (disebut Swanti oleh komunitas Newar) layaknya umat Hindu, bahkan ikut memuja Dewi Lakshmi pada hari tersebut 15. Hal ini menunjukkan adanya pengaruh silang budaya Hindu-Buddha yang kuat dalam masyarakat Nepal, di mana perayaan lampu diterima sebagai bagian tradisi lokal. Di Nepal, festival lima hari ini memang dirayakan baik oleh Hindu maupun Buddha, dengan puncaknya disebut Tihar oleh umat Hindu dan Swanti oleh umat Buddha Newar 16. Lampu-lampu dinyalakan di biara maupun rumah, mengungkapkan harapan akan berkah dan kesejahteraan, terlepas dari perbedaan agama.
Di India sendiri, sebagian umat Buddha memperingati Diwali sebagai hari bersejarah ketika Kaisar Ashoka memeluk agama Buddha pada abad ke-3 SM 4. Menurut tradisi ini, Kaisar Ashoka yang dahulu adalah penguasa yang keras berubah haluan menjadi penganut Buddha yang menyebarkan dhamma (ajaran kebenaran) setelah menyaksikan derita korban perang Kalinga. Bagi kalangan Buddhis yang mengadopsi narasi ini, Diwali menjadi momen mengingat transformasi Ashoka — dari kegelapan agresi menuju terang welas asih. Mereka menyalakan lampu sebagai penghormatan, melambangkan pencerahan batin dan belas kasih, nilai-nilai yang sejalan dengan ajaran Buddha 17. Tradisi ini terutama diikuti oleh komunitas Buddhis di India yang memiliki akar historis dalam gerakan Ashoka atau Buddhisme baru (misalnya beberapa umat Buddha keturunan Dalit). Meskipun perayaannya tidak diamanatkan dalam agama Buddha arus utama, banyak umat Buddha menghargai esensi Diwali sebagai pengingat akan
perdamaian, perubahan menuju kebajikan, dan penyebaran cahaya dhamma. Dalam hal ini, Dīpāli menjadi tradisi budaya yang bisa dimaknai selaras dengan semangat ajaran Buddha, meskipun bukan ritus keagamaan resmi dalam Tripiṭaka.
Sebagai festival yang melintasi batas agama dan budaya, Dīpāli (Deepavali) dirayakan di berbagai negara dengan warna-warni lokalnya. Meskipun asalnya dari India, diaspora dan komunitas lokal di Asia hingga penjuru dunia turut menjadikan Festival Cahaya ini bagian dari kalender perayaan tahunan. Berikut beberapa contoh perayaan Dīpāli di berbagai negara, termasuk negara mayoritas Buddhis dimana perayaan ini tetap terasa gaungnya:
Secara keseluruhan, jangkauan global Dīpāli mencerminkan kemampuannya menyatukan beragam bangsa. Baik di India, Asia Selatan, diaspora di Eropa-Amerika, hingga komunitas kecil di Afrika dan Karibia, Festival Cahaya dirayakan dengan gembira. Setiap negara memberi sentuhan unik – misalnya Singapura dan Malaysia menggelar bazaar Little India yang meriah, Fiji dan Guyana menetapkan Diwali sebagai libur nasional karena penduduk keturunan Indianya yang signifikan 6, dan di Inggris atau Amerika, perayaan Diwali diakomodasi di sekolah maupun komunitas multikultural. Intinya, Diwali/Deepavali telah berevolusi dari sebuah hari raya keagamaan menjadi perayaan lintas budaya yang mengusung pesan positif universal: terang, harapan, dan persaudaraan.
Karena Dīpāli tidak secara langsung diajarkan dalam kitab suci Tripiṭaka, perayaan ini dapat dikategorikan sebagai tradisi budaya alih-alih ritual keagamaan resmi dalam Buddhisme. Meski demikian, bukan berarti Dīpāli tidak relevan bagi umat Buddha. Banyak nilai spiritual yang dirayakan dalam Festival Cahaya ini sejalan dengan ajaran Dhamma (dharma dalam istilah Hindu/Jain, dhamma dalam Pali) yang diajarkan Buddha. Pertama, simbolisme cahaya dalam Dīpāli sangat relevan dengan konsep pencerahan dalam Buddhisme.
Menyalakan pelita atau lampu diyakini sebagai lambang menerangi kegelapan – paralel dengan menerangi kebodohan (avijjā) dengan cahaya pengetahuan (paññā) dalam ajaran Buddha. Buddha Dīpankara dalam kisah Jataka digambarkan meramalkan kelahiran Bodhisatta Gautama saat seorang gadis menyalakan lampu dengan penuh bakti. Bahkan dalam praktik pūja di vihara, umat Buddha kerap mempersembahkan lilin atau lampu minyak di altar Buddha, melafalkan: “yanggha dipaṃ āropemī” (aku persembahkan lampu ini) sebagai simbol menerangi jalan menuju Nibbana. Walau tidak terkait langsung dengan Diwali, hal ini menunjukkan makna lampu sebagai simbol pencerahan batin juga dihayati dalam tradisi Buddhis.
Kedua, nilai moral kemenangan kebaikan atas kejahatan yang diusung Dīpāli juga merupakan inti ajaran Buddha. Buddha mengajarkan bahwa pada akhirnya Dhamma (kebenaran) akan mengalahkan Adhamma (ketidakbenaran). Perjuangan kebaikan melawan kejahatan bukanlah perang fisik, melainkan perjuangan batin setiap individu melawan keserakahan, kebencian, dan kebodohan dalam diri (tiga akar kejahatan). Dalam konteks Diwali, cerita Rama mengalahkan Rahwana, Krishna mengalahkan Narakasura, atau Ashoka mengalahkan sifat kejamnya sendiri – semua itu dapat dimaknai oleh umat Buddha sebagai alegori penaklukan māra (setan penggoda) dalam diri manusia. Terang Dīpāli mengingatkan bahwa kegelapan batin bisa dikalahkan oleh cahaya kebijaksanaan dan cinta kasih. Hal ini selaras dengan sabda Buddha: “N’atthi jhānaṃ apaññassa, paññā n’atthi ajhāyato” – “tanpa kebijaksanaan tak ada meditasi sejati, tanpa meditasi tak berkembang kebijaksanaan”, yang menekankan perlunya melenyapkan kegelapan batin dengan dua pelita: samādhi dan paññā.
Ketiga, semangat welas asih dan memberi yang tampak dalam perayaan Diwali juga sesuai dengan nilai- nilai Dhamma. Selama Diwali, orang-orang saling berbagi hadiah dan makanan manis, juga berderma kepada yang membutuhkan. Ini sejalan dengan ajaran dāna (memberi dengan ikhlas) dalam Buddhisme. Emperor Ashoka yang dikenang umat Buddha pada Diwali adalah figur yang menonjolkan welas asih universal – setelah menjadi Buddhis, ia menyebarkan ajaran ahimsa dan kesejahteraan sosial. Diyakini pada perayaan Diwali versi Buddhis, lampu-lampu tidak hanya untuk menerangi rumah sendiri, tapi juga melambangkan penerangan hati penuh cinta kasih kepada semua makhluk 17. Spirit karuṇā (belas kasih) dan mettā (cinta kasih) ini merupakan pondasi etika Buddhis. Dengan demikian, meskipun Dīpāli bukan bagian doktrin formal Tripiṭaka, nilai-nilai yang dikandungnya – pencerahan batin, kemenangan kebenaran, kedermawanan, dan kasih sayang – sangat selaras dengan jalan Dhamma.
Seorang praktisi Buddha dapat ikut bergembira dalam suasana Diwali tanpa harus terjebak dalam aspek ritual yang tidak sesuai ajaran. Misalnya, umat Buddha bisa menyalakan pelita di rumah atau vihara pada hari tersebut sebagai simbol tekad memperteguh terang Dhamma dalam diri, sembari merenungkan ajaran Buddha. Tidak ada doa khusus Diwali dalam Buddhisme, namun doa universal Sabbe sattā bhavantu sukhitattā (semoga semua makhluk berbahagia) sangat cocok diucapkan saat festival cahaya – mendoakan kebahagiaan dan terang batin bagi semua. Dengan cara demikian, Dīpāli dimaknai bukan sebagai dogma baru, melainkan sebagai tradisi budaya yang memperkaya penghayatan spiritual umat Buddha, mengingatkan bahwa cahaya kebajikan harus senantiasa dipelihara dalam kehidupan sehari-hari.
Salah satu keistimewaan Hari Raya Dīpāli adalah kemampuannya menjembatani perbedaan dan menyatukan berbagai umat beragama dalam semangat kegembiraan bersama. Diwali dirayakan oleh pemeluk Hindu, Jain, Sikh, Buddha, bahkan dihormati oleh umat agama lain seperti Kristen dan Islam di beberapa komunitas plural. Momen festival ini kerap menjadi ajang silaturahmi lintas iman – misalnya di India dan Malaysia, tak jarang tetangga Muslim dan Kristen turut hadir dalam open house Diwali untuk menikmati jamuan, atau di Singapura dan Indonesia, pejabat dari berbagai agama menghadiri perayaan Deepavali sebagai wujud penghargaan. Hal-hal semacam ini meneguhkan bahwa tradisi luhur dapat menjadi wadah mempererat toleransi. Seperti diungkap dalam sebuah refleksi antariman, merayakan hari suci umat lain bukanlah ancaman bagi iman sendiri, justru kesempatan indah “untuk turut merayakan festival agama lain dan membangun budaya toleransi serta inklusivitas” 22. Dīpāli, dengan pesan universalnya, mengundang semua orang untuk ikut bersukacita atas kemenangan terang. Tanpa harus mengaburkan keyakinan masing-masing, orang dari latar belakang berbeda bisa menemukan nilai-nilai bersama dalam cerita-cerita Diwali: kejujuran Rama, keberanian Krishna, penerangan jiwa Mahavira, pertobatan Ashoka – semua mengandung hikmah moral yang universal. Nilai-nilai seperti cinta keluarga, kesetiaan, keadilan, keberanian, dan kemurahan hati yang terkandung dalam kisah Diwali mudah dihargai oleh siapa pun, terlepas dari agamanya 3. Dengan demikian, festival ini menciptakan ruang bagi dialog budaya dan spiritual, di mana kesamaan nilai kemanusiaan ditonjolkan di atas perbedaan ritual.
Bagi generasi muda, terutama di era globalisasi yang majemuk, semangat Diwali menawarkan pelajaran berharga untuk membangun masa depan yang damai dan penuh welas asih. Kaum muda masa kini hidup di tengah masyarakat yang plural secara agama dan budaya. Merayakan dan memahami festival seperti Dīpāli dapat membuka wawasan mereka akan kekayaan tradisi lain, sekaligus menumbuhkan sikap saling menghormati. Partisipasi pemuda dalam perayaan lintas agama terbukti mampu menumbuhkan budaya dialog dan empati. Misalnya, inisiatif konferensi pemuda lintas iman di Indonesia mendorong generasi muda untuk bertukar pikiran demi dunia yang lebih damai dan toleran 23. Dalam konteks Diwali, generasi muda lintas iman bisa dilibatkan untuk bersama-sama menyalakan lampu perdamaian, mengikuti kegiatan bakti sosial selama festival, atau lomba kreatif bertema “cahaya persatuan”. Hal-hal ini bukan sekadar seremoni, melainkan pengalaman yang menanamkan nilai bahwa perbedaan agama bukan penghalang untuk bekerja sama dan saling mengasihi.
Semangat Dīpāli juga mengajarkan pemuda tentang optimisme dan harapan. Diwali jatuh pada malam tergelap (bulan baru) dan justru pada kegelapan itulah cahaya kecil dari ribuan lampu menjadi sangat berarti. Ini mengandung filosofi mendalam: walau dunia terkadang diliputi kegelapan konflik dan prasangka, cukup satu cahaya kebaikan dapat memulai perubahan. Generasi muda diajak menjadi “pelita” itu – pelopor kebaikan dan perdamaian di komunitasnya. Dengan meneladani nilai Diwali, pemuda dapat berkomitmen untuk menghalau “kegelapan” modern seperti intoleransi, diskriminasi, dan kebencian, digantikan terang berupa toleransi, persaudaraan, dan cinta kasih antar sesama manusia. Seorang tokoh lintas agama pernah menyatakan bahwa perayaan Diwali membuka peluang “menabur benih kerukunan di tengah keberagaman dan perbedaan”, yang mana hal ini adalah tanggung jawab semua orang berkehendak baik 24 25. Pemuda sebagai generasi penerus harus mengambil peran aktif: memperkuat persaudaraan lintas iman, mengedukasi teman sebayanya akan pentingnya hidup rukun, dan mencontohkan sikap inklusif dalam pergaulan sehari-hari.
Pada akhirnya, Hari Raya Dīpāli (Deepavali) lebih dari sekadar festival keagamaan – ia adalah warisan budaya dunia yang memancarkan pesan-pesan kebaikan universal. Bagi umat Hindu, Jain, Sikh, Buddha, ataupun kepercayaan lainnya, cahaya Diwali mengingatkan bahwa ada harapan di tengah kegelapan, ada pengetahuan menghalau kebodohan, dan ada kebajikan menaklukkan kejahatan. Dalam dunia yang sering terpecah oleh sekat perbedaan, semangat Diwali ibarat nyala lampu yang mengajak kita semua duduk bersama dalam terang, berbagi kehangatan, dan merayakan kemanusiaan yang satu. Generasi muda, sebagai penjaga masa depan, diharapkan mampu menangkap api kecil dari pelita Diwali ini untuk menyalakan obor besar perdamaian dan welas asih di zamannya. Dengan demikian, Festival Cahaya akan benar-benar menerangi jalan kita menuju masyarakat yang harmonis, penuh toleransi, dan cinta kasih lintas iman – sesuai dengan inti ajaran semua agama besar di dunia. Selamat Hari Deepavali, semoga cahaya kebajikan senantiasa bersinar di dalam hati setiap insan.
1 6 10 11 15 16 Diwali – Wikipedia
2 4 9 12 Diwali | Indian Religious Holiday, Observances, & Facts | Britannica
3 22 Reflection on Diwali – promoting a culture of encounter | ICN
5 8 13 14 17 Diwali Is Popular In Several Religions. Here’s How It Is Celebrated In Buddhism, Sikhism And Jainism
7 24 25 Message of the Dicastery for Interreligious Dialogue to Hindus on the occasion of the feast of
Deepavali 2024
18 19 20 Deepavali: Sri Lanka’s Festival of Lights – Khiri Travel
21 Festival of Lights (Thadingyut) – Htet Aung Shine Real Estate
23 VOPI Ajak Anak Muda di Bali Berdiskusi Tentang Toleransi Beragama
Leave a Reply