Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada, Masihkah Kita Berdoa?

Jika Surga dan Neraka Tak Pernah Ada, Masihkah Kita Berdoa?

October 27, 2025
Pendahuluan: Pertanyaan tentang Motivasi Beragama

Bayangkan sebuah malam hening ketika pertanyaan eksistensial muncul di benak: “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah aku akan berdoa dan taat pada agamaku?” Pertanyaan ini menggelitik hati nurani dan memaksa kita merenung tentang motivasi terdalam di balik ketaatan spiritual. Begitu banyak orang beragama diajarkan untuk berbuat baik demi janji surga atau menjauhi dosa karena takut neraka. Namun, seandainya iming-iming pahala dan ancaman siksa itu lenyap, apakah makna beragama kita juga ikut sirna?

 

Secara intuitif, pertanyaan ini menantang kita menilai ketulusan iman. Apakah doa-doa kita tulus lahir dari hati yang mencintai kebaikan, ataukah selama ini hanya sebatas transaksi demi “hadiah” surgawi? Bagi seorang Buddhis, dilema ini menjadi kesempatan refleksi yang sangat penting. Ajaran Buddha sejak awal menekankan pemahaman langsung atas realitas dan motif murni, alih-alih ketaatan yang didorong harapan hadiah atau ketakutan hukuman. Untuk menjawab pertanyaan tersebut, mari kita tengok bagaimana pandangan Buddhisme – baik Theravāda maupun Mahāyāna – mengenai surga, neraka, dan esensi berdoa dalam jalan spiritual.

Surga dan Neraka dalam Pandangan Buddhis: Simbol Keadaan Batin dan Alam Samsara

Dalam ajaran Buddha, konsep “surga” dan “neraka” memang ada, tetapi berbeda dari bayangan umum tentang tempat kekal. Buddhisme mengenal berbagai alam kehidupan dalam siklus samsara tempat makhluk dapat terlahir, mulai dari alam sengsara (niraya/neraka, alam hantu lapar, alam hewan) hingga alam bahagia para dewa (surga) 1. Namun semua alam ini sementara sifatnya – tidak ada yang abadi. Tidak seperti doktrin yang menggambarkan surga dan neraka sebagai tujuan final yang kekal, Buddha menegaskan bahwa tiada satu pun kondisi keberadaan yang permanen; bahkan siksa neraka sekalipun akhirnya akan usai ketika karma buruk yang menyebabkannya telah habis 2 3. Setelah masa penderitaan di neraka selesai, makhluk yang terjerumus ke sana akan terlahir kembali di alam lain sesuai benih perbuatan (karma) yang masih dimilikinya 2.

 

Lebih penting lagi, neraka dalam pandangan Buddhis bukanlah hukuman dari sosok mahakuasa yang murka. Neraka bukan “penjara abadi” ciptaan Tuhan untuk menghukum makhluk berdosa, melainkan konsekuensi alamiah dari perbuatan jahat yang dilakukan makhluk itu sendiri 4. Ibaratnya, makhluk “terbakar” oleh api kemarahannya sendiri atau “tenggelam” dalam kebencian dan derita yang diciptakan oleh karma buruknya. Sebaliknya, alam surga dipahami sebagai buah karma baik – keadaan penuh kenikmatan dan kebahagiaan yang juga sementara adanya. Akan tetapi, meskipun kehidupan di surga penuh kesenangan, Buddhisme mengingatkan bahwa terlahir di sana bukanlah tujuan akhir. Surga tetap bagian dari siklus samsara yang fana, dan makhluk di sana pun suatu saat akan jatuh lagi ketika pahala karmanya habis 5.

 

Sebagian aliran Buddhisme bahkan menafsirkan surga dan neraka secara lebih simbolis – bukan sekadar lokasi fisik di alam lain, melainkan juga cerminan dari keadaan batin kita sendiri 6 7. Pernahkah kita merasakan amarah yang membara hingga dada bagai terbakar? Saat itulah neraka tengah hadir di hati kita. Demikian pula ketika batin diliputi cinta kasih dan ketenangan mendalam, kita seakan merasakan secercah kedamaian surga. Pandangan ini mengajarkan bahwa surga dan neraka “bersemayam” di hadapan mata kita setiap saat, tergantung bagaimana kondisi pikiran kita. Dengan kata lain, kualitas batin kitalah yang menciptakan surga atau neraka di dunia ini – baik dalam hidup sekarang maupun dalam kelahiran selanjutnya.

Beragama Tanpa Pamrih: Kebijaksanaan Karma, Bukan Imbalan dan Hukuman

Karena surga dan neraka dipahami sebagai akibat perbuatan (karma) dan bukan ganjaran kekal, maka praktik keberagamaan dalam Buddhisme tidak didasarkan pada sistem pahala-hukuman eksternal. Sang Buddha mengajarkan hukum sebab-akibat yang berlaku adil: perbuatan bajik akan membawa kebahagiaan, perbuatan jahat berbuah penderitaan – entah dalam bentuk pengalaman batin, konsekuensi di kehidupan ini, ataupun kelahiran di alam tertentu sebagai akibat karmanya 8. Prinsip ini bersifat otomatis dan impersonal, tanpa perlu ada “hakim” supranatural yang mengaturnya. Dengan memahami hukum karma, seorang Buddhis terdorong berbuat kebajikan bukan karena mengharap imbalan surgawi, melainkan karena menyadari perbuatan itu sendiri membawa manfaat dan mengurangi derita bagi diri sendiri serta makhluk lain.

 

Tujuan tertinggi dalam Buddhisme juga bukanlah “masuk surga”, melainkan mencapai Nibbana atau Nirvana – keadaan terbebas dari siklus kelahiran kembali dan lenyapnya segala penderitaan. Bahkan ada bhikkhu yang berujar, “Sejak menjadi bhikkhu, tidak sedetik pun saya berpikir ingin masuk surga… Namun tujuan kita adalah mencapai Nibbana; suatu alam di mana sudah tidak ada lagi kelahiran dan kematian.” 9. Pernyataan ini menegaskan bahwa dalam pandangan Buddhis, surga hanyalah pencapaian sementara yang relatif dangkal dibanding kebebasan sejati. Tentu saja, terlahir di alam surga dianggap lebih baik daripada menderita di neraka; tetapi kebahagiaan tertinggi bukanlah kenikmatan indrawi surga, melainkan berakhirnya akar-akar penderitaan (keserakahan, kebencian, kebodohan) dalam batin. Oleh karena itu, seorang praktisi Dhamma berupaya menjalankan sīla (moralitas), samādhi (pemusatan batin), dan paññā (kebijaksanaan) demi mengikis kekotoran batin – bukan demi “mengamankan tiket” ke surga, melainkan demi kebaikan intrinsik dan pembebasan dirinya sendiri.

 

Menjalankan agama tanpa pamrih pahala juga berarti meninggalkan motivasi takut hukuman semata. Buddhisme menekankan perlunya memahami daripada sekadar patuh karena takut. Seseorang yang menghindari perbuatan buruk karena mengerti bahwa hal itu akan menanam benih derita, ia bertindak dengan bijaksana – berbeda dari orang yang taat hanya karena merasa diawasi atau ngeri membayangkan siksa. Jadi, sekalipun konsep alam bahagia dan alam sengsara diakui dalam kosmologi Buddhis, dorongan utamanya adalah kesadaran bahwa setiap perbuatan membawa akibatnya. Inilah yang membuat ajaran Buddha condong pada pendidikan moral dan pengembangan hati nurani, bukan pada dogma berbasiskan ketakutan. Spiritualitas Buddhis mengajak kita berbuat benar walaupun tak ada yang “mengawasi”; berbuat baik karena tahu itulah yang akan menumbuhkan damai di dalam diri sendiri maupun di dunia sekitar.

Arti Berdoa dan Ibadah dalam Buddhisme: Latihan Batin, Bukan Permintaan

Lantas, bagaimana dengan doa dan ibadah? Apakah seorang Buddhis masih akan berdoa jika tidak ada janji surga atau ancaman neraka? Untuk menjawabnya, kita perlu memahami apa makna “berdoa” dalam tradisi Buddhis. Berdoa dalam pengertian umum – yaitu memohon kepada Tuhan atau dewa agar mengabulkan keinginan – tidaklah menjadi inti praktik agama Buddha. Dalam agama Buddha tidak ada doa-doa permohonan untuk meminta keselamatan, rezeki, berkah, pengampunan dosa, dan semacamnya; baik ditujukan kepada Dewa, Brahma, Sang Buddha sendiri, maupun Tuhan 10. Sang Buddha tidak pernah menjanjikan hadiah duniawi ataupun jaminan surga bagi mereka yang menyembahnya, dan beliau bahkan mengkritik sikap pasif yang hanya berharap pada doa tanpa diiringi usaha nyata 10.

 

Alih-alih permohonan, doa atau puja dalam Buddhisme berbentuk penghormatan dan perenungan batin. Umat Buddha memuja Sang Buddha bukan untuk “mencari muka” demi imbalan, dan tidak pula didorong rasa takut akan hukuman. Kita bersujud di hadapan Buddha-rūpa (rupa Buddha) sebagai ungkapan hormat dan terima kasih atas bimbingan beliau menemukan Jalan Pembebasan. Dengan mempersembahkan bunga dan dupa di altar, umat berintensi seolah berhadapan langsung dengan Sang Buddha, sehingga terinspirasi oleh keteladanan beliau yang penuh kasih dan kebijaksanaan. Seperti ditegaskan dalam sebuah sumber, “Umat Buddha memuja Sang Buddha sama sekali tidak dengan harapan untuk memperoleh hadiah-hadiah duniawi maupun spiritual… atau pamrih apapun. Bukan juga karena perasaan takut akan hukuman… Puja bakti dalam agama Buddha adalah betul-betul murni dan tulus.” 11. Jadi, berdoa bagi seorang Buddhis berarti melatih kualitas batinnya sendiri: membangkitkan keyakinan, cinta kasih, dan kejernihan hikmat di dalam diri, bukan menyampaikan daftar permintaan kepada kekuatan gaib.

 

Praktik spiritual Buddhis seperti meditasi, chanting (melantunkan paritta atau mantra), dan puja bhakti bisa dianggap “doa” dalam arti luas, tetapi tujuannya adalah transformasi diri alih-alih permintaan eksternal. Ketika seorang Buddhis berdoa, yang ia panjatkan bukanlah “Ya Tuhan, berikanlah aku ini dan itu,” melainkan aspirasi seperti “Semoga semua makhluk berbahagia” atau “Semoga hatiku terbebas dari kebencian.” Bahkan dalam tradisi Mahāyāna yang mengenal devosi kepada para Bodhisattva atau Buddha (misalnya berdoa kepada Bodhisattva Avalokiteśvara untuk memohon welas asih, atau kepada Buddha Amitābha agar terlahir di Sukhavati), pemahaman dasarnya tetap bahwa para makhluk suci tersebut membantu melalui inspirasi serta kondisi karma baik yang kita miliki sendiri. Doa semacam itu berfungsi membuka hati terhadap kebajikan dan bimbingan spiritual, bukan sebagai transaksi meminta mukjizat instan. Ujung dari semua puja dan sembahyang dalam Buddhisme adalah pemurnian batin: mengendapkan kekotoran hati dan menanam benih-benih kebajikan. Dengan batin yang kian jernih dan penuh kasih, tindakan kita pun berubah menjadi lebih baik. Singkatnya, doa dalam Buddhisme adalah upaya mengubah diri sendiri – bukan upaya “mempengaruhi” kehendak Tuhan atau makhluk adikodrati.

 

Seorang praktisi Dhamma terkemuka pernah mengaku bahwa sejak memeluk Buddha-Dhamma, ia tak pernah lagi berdoa memohon agar dijauhkan dari penderitaan atau diberi rezeki; sebagai gantinya, ia menggunakan kebijaksanaan hasil belajar dan meditasi Dhamma untuk menghadapi segala masalah kehidupan 12. Kisah ini menunjukkan esensi ajaran Buddha: kita diajarkan mengandalkan usaha dan pengembangan diri ketimbang menggantungkan nasib pada doa permohonan. Bila menginginkan suatu hasil, Buddhisme mendorong kita menanam sebab-sebabnya melalui perbuatan nyata. Prinsip ini sejalan dengan pepatah umum, “Berdoa sambil bekerja,” dengan penekanan bahwa tanpa kerja yang sesuai hukum karma, doa saja takkan membuahkan hasil. Analogi Buddha menjelaskan: petani yang berdoa siang-malam agar biji jagungnya tumbuh menjadi mangga jelas akan kecewa; hanya benih yang ditanam yang akan tumbuh sesuai sifatnya 13. Doa tanpa diiringi tindakan ibarat menyiram lahan tanpa menanam benih – sia-sia karena tidak ada sebab bagi hasil yang diharapkan 13. Maka dari itu, meditasi dan perbuatan nyata dipandang jauh lebih ampuh daripada sekadar doa pasif. Doa hanyalah pupuk dan air penyubur; benih kebaikanlah yang utama harus ditanam agar harapan bisa tumbuh dan berbuah.

Ketulusan: Inti Ketaatan Spiritual tanpa Iming-Iming

Pada akhirnya, kembali ke pertanyaan awal: jika surga dan neraka tidak ada, akankah seorang Buddhis atau siapa pun – tetap berdoa dan taat beragama? Dari uraian di atas, jelas bahwa dalam Buddhisme, landasan beragama justru tidak bertumpu pada surga-neraka sebagai imbalan dan hukuman. Seorang Buddhis idealnya akan tetap tekun berbuat kebajikan serta berdoa (dalam makna bermeditasi dan berlatih batin) meskipun konsep surga dan neraka ditiadakan, karena motivasinya datang dari tempat yang lebih tulus dan mendalam. Ketaatan yang paling mulia lahir dari ketulusan, dari kesadaran bahwa hidup bermoral dan penuh kasih sayang itu baik pada dirinya sendiri – bukan karena mengincar hadiah atau takut cambuk neraka. Spiritualitas tanpa iming-iming ganjaran memang menuntut kedewasaan batin: berani berbuat benar karena cinta pada kebenaran itu sendiri, bukan sebagai alat untuk mencapai tujuan lain.

 

Sang Buddha bahkan memberikan empat jaminan bagi mereka yang hidup bajik dan melatih batinnya 14. Intinya, jika ternyata ada kehidupan selanjutnya dengan hukum karma yang bekerja, orang yang menjalani hidup benar tak perlu cemas – ia akan memperoleh tujuan baik di alam depan; namun jika ternyata tidak ada kelahiran kembali maupun balasan karma, ia pun tak rugi apa-apa – karena telah merasakan kebahagiaan dan kedamaian hasil hidup bajik di sini dan sekarang 14. Dengan kata lain, orang yang berbuat baik karena ketulusan hatinya tidak akan pernah rugi. Kebajikan yang ia tanam membawa buah manis yang bisa dinikmati saat ini, ibarat bunga yang mekar di sepanjang perjalanan – bukan sekadar bayangan hadiah di ujung jalan.

 

Maka, spiritualitas dalam kacamata Buddhisme dapat berdiri tegak tanpa iming-iming surga maupun ancaman neraka. Berdoa dan taat beragama bukan lagi soal “transaksi” dengan kekuatan adikodrati, melainkan wujud kasih, pengertian, dan disiplin diri yang tumbuh dari dalam. Generasi spiritual yang kritis seperti Gen Z pun dapat menghargai pendekatan ini: agama sebagai jalan pembebasan batin dan etika, bukan dogma berbasis rasa takut. Ketulusan menjadi inti ketaatan – ketika kita berdoa, kita sesungguhnya tengah berbicara dengan nurani sendiri; ketika kita menaati ajaran, kita melakukannya karena telah memahami kebenarannya dan merasakan nilainya bagi kesejahteraan semua makhluk.

 

Pada akhirnya, pertanyaan “Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau berdoa dan taat?” mengajak kita menemukan keikhlasan itu. Bagi umat Buddha, jawabannya cenderung “ya.” Doa dan ketaatan tetap bermakna karena sejak awal tujuannya adalah mengubah diri menuju welas asih dan kebijaksanaan, bukan sekadar mengejar janji metafisis. Dalam sunyi, seorang praktisi Dhamma akan terus bermeditasi dan menebar cinta kasih meski tak ada yang menjanjikan surga; dalam derita, ia berusaha sabar dan tidak menyakiti meski tak ada ancaman neraka. Kebaikan dilakukan demi kebaikan itu sendiri. Di sinilah spiritualitas menemukan kemurniannya – ketika hati berbuat benar tanpa pamrih, laksana teratai yang tetap mekar indah menjulang di atas air keruh. Ia tak membutuhkan janji-janji apapun untuk memancarkan keharumannya, dan ketulusan itulah yang menjadi esensi tertinggi dari ketaatan beragama 11 3.

Sumber Referensi :

1 3 Questions and Answers on Heaven and Hell in Buddhism – The London Buddhist Vihara

 

2 4 31 Alam Kehidupan Menurut Ajaran Agama Buddha – Sariputta

 

5 6 7 8 How Does the Concept of Hell and Heaven Work in Buddhism? – Reddit Buddhism

 

9 12 Tantangan Seorang Buddhis – Buddhazine

 

10 11 13 Doa, Bisakah Terkabul? – Majalah Harmoni

 

14 The Four Assurances of a Holy Life – Buddhistdoor Global

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE