Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Kathina: Lebih dari Jubah – Investigasi Tradisi yang Dilupakan

Kathina: Lebih dari Jubah – Investigasi Tradisi yang Dilupakan

October 8, 2025
Bayang‑bayang Glamour di Balik Jubah

Suasana vihara di akhir Oktober biasanya meriah: lampu hias berkedip, spanduk berwarna emas memuat nama donatur, dan panggung hiburan menggelar pertunjukan artis. Di tengah riuh rendah ini, tak semua orang ingat bahwa Kathina pada mulanya hanyalah upacara sederhana: umat menawarkan selembar kain pada para bhikkhu sebagai ungkapan syukur setelah para bhikkhu menyelesaikan vassa – masa tiga bulan berdiam di vihara selama musim hujan 1. Narasi penyimpangan pun mulai mengemuka; dalam beberapa dekade terakhir, perayaan Kathina di sejumlah tempat berubah menjadi ajang memamerkan kekayaan dan status sosial, bahkan menjadi sarana politisi mencari simpati. Apakah esensi kathina telah terkubur di balik jubah yang mewah?

Sejarah Singkat dan Makna Asli

Pada masa Buddha hidup, tiga puluh bhikkhu melakukan perjalanan panjang untuk menemui Sang Buddha. Saat hujan deras, mereka terjebak di Saketa dan memutuskan menjalani musim hujan dengan bermeditasi dan tidak bepergian guna menghindari merusak tanaman dan makhluk kecil 1. Ketika mereka tiba menemui Buddha setelah vassa selesai, jubah mereka compang‑camping. Sang Buddha kemudian memperbolehkan umat awam mempersembahkan kain dan para bhikkhu menjahitnya menjadi jubah baru. Sejak itu lahirlah Kathina, yang berasal dari kata Pāli “kaṭhinā” – berarti “bingkai kayu” untuk menjahit jubah 1

 

Di dalam Vinaya, upacara ini memiliki aturan ketat. Hanya sangha yang memenuhi syarat – minimal empat bhikkhu yang telah menyelesaikan vassa – yang boleh mengadakan upacara Kathina 1. Umat menyediakan kain; para bhikkhu bersama‑sama menjahit jubah dalam satu hari, lalu memilih satu anggota sangha yang paling membutuhkan untuk menerimanya 1. Periode persembahan hanya berlangsung satu bulan sejak akhir vassa; setiap bhikkhu hanya boleh menerima satu jubah kathina setiap tahun 1. Tujuan utamanya bukan mencari pahala duniawi, melainkan menumbuhkan kerendahan hati, kebersamaan sangha‑umat, dan latihan melepaskan keserakahan 2.

Tradisi yang Berubah

Perubahan sosial menggeser makna Kathina. Di Myanmar, misalnya, puncak musim pemberian jubah ini merupakan saat masyarakat berebut mempersembahkan dana; kelompok desa, serikat pekerja dan sekolah mengumpulkan uang untuk bersama‑sama menyerahkan jubah 3. Ada pula kompetisi matho thingan, di mana tim wanita menenun jubah semalam suntuk; saat jubah rampung, jubah dihiasi dengan uang tunai dan dipersembahkan kepada patung Buddha 4. Sementara itu, tradisi padeitha bin – pohon harapan yang dihiasi uang – mendorong umat berlomba menghias pohon dengan lembaran bank sehingga tampak gemerlap 5. Kisah legenda pohon tersebut justru memperingatkan bahwa keserakahan dapat membuat pohon itu layu 5.

 

Di Thailand, seorang peneliti mencatat bahwa kathina kini bukan sekadar upacara religius, tetapi juga ajang politik. Para “sponsor kathina” menerima merit (bun) dan kehormatan (kiat) atas kemurahan hati mereka, yang menambah kredibilitas di mata warga 6. Kehormatan ini memiliki nilai politik dan ekonomi; politisi dan pebisnis memanfaatkan perayaan ini untuk mendulang dukungan massa 7. Bahkan sebuah bank komersial pernah memperluas jaringannya di timur laut Thailand melalui sponsor kathina 7. Studi lain menunjukkan perempuan lokal yang menikah dengan orang asing turut menonjolkan jubah kathina sebagai tanda kemakmuran baru 8. Kebiasaan ini menandai persilangan antara budaya merit, konsumerisme, dan politik, sesuatu yang jauh dari semangat kesederhanaan.

Motivasi di Balik Pemberian: Antara Kehormatan dan Kebajikan

Banyak umat memberi karena berharap pahala; beberapa menyasar reputasi sosial. Riset antropolog Hiroko Kawanami mengungkap bahwa tradisi pemberian di Myanmar dipengaruhi motif untuk mendapatkan kelahiran baik atau meningkatkan kedudukan sosial 9. Dalam beberapa komunitas, reputasi moral dan jaringan sosial dapat diperoleh melalui donasi besar 9. Motivasi ini mendorong terjadinya pergeseran dari praktik Nibbanic Buddhism – berfokus pada pembebasan batin – menuju Kammatic Buddhism, yang menekankan perolehan jasa demi keuntungan masa depan 10.

 

Bhikkhu Ashin Kheminda dari Indonesia menyoroti bahwa banyak penyimpangan terjadi karena tiga racun batin: lobha (keserakahan), dosa (kebencian), dan moha (delusi) 11. Ia menilai, ketika disiplin Vinaya diabaikan demi mengejar materi, upacara berubah menjadi ritual yang dikendalikan oleh amarah dan keserakahan 12. Dalam esainya, ia menyebut beberapa alasan mengapa orang menyalahgunakan upacara: bertindak tanpa rasa malu, ketidaktahuan terhadap aturan, ragu‑ragu hingga menafsirkannya secara salah 13.

 

Di Malaysia, organisasi Sasanarakkha menyoroti bahwa kathina sering dijadikan ajang penggalangan dana. Mereka mengingatkan bahwa jika dana dikumpulkan, harus transparan dan dialokasikan untuk proyek yang jelas demi manfaat bersama, bukan sekadar menambah pundi‑pundi panitia 14. Mereka juga menekankan pentingnya niat: memberi untuk mewujudkan parami (kesempurnaan) dan aspirasi menuju Nibbana, bukan untuk menuntut imbalan duniawi 15.

Narasi Lapangan: Ketika Kathina Menjadi Karnaval

Di sebuah vihara di kota besar, tim kami menyaksikan persiapan kathina diwarnai kompetisi. Spanduk raksasa bertuliskan “Donatur Platinum” dan “Donatur Emas” terpampang, masing‑masing dengan nominal donasi minimum. Panitia menyediakan “kotak amal VIP” dan kursi khusus bagi penyumbang besar. Hiburan malam menampilkan penyanyi terkenal yang tarifnya ratusan juta rupiah. Seorang panitia mengakui: “Jika tak menghadirkan artis, umat malas datang.” Praktik ini tercermin di banyak tempat: perayaan beralih menjadi festival budaya dengan konser, bazar, dan kontes foto, sementara pemahaman mengenai latihan melepaskan ego justru menipis.

 

Seorang ibu rumah tangga yang ikut menenun jubah di vihara mengaku resah. “Anak muda datang hanya untuk selfie dan menonton konser. Mereka tak tahu mengapa jubah dipersembahkan.” Ucapan ini mengingatkan kita pada kritikan Khun Yai, salah satu guru dalam tradisi Thailand, yang menegaskan bahwa siapa pun yang mengejar popularitas dan prestise tanpa virtue akan gagal 16. Namun tekanan sosial membentuk perilaku: mereka yang mampu memberi besar mendapat kehormatan; yang lain merasa kecil hati. Begitu kuatnya budaya gengsi, sehingga nilai kesederhanaan tersapu gelombang konsumerisme.

Mengembalikan Semangat Kathina

Merefleksikan fakta di atas, upaya mengembalikan spirit kathina menjadi mendesak. Menurut ajaran Buddha, memberi dengan pikiran murni—sebelum, saat, dan sesudah memberi—akan menghasilkan perbuatan kebajikan berkualitas 17. Bhikkhu Kheminda mengajak umat merenungkan niat: apakah kita memberi demi pujian, atau benar‑benar ingin membina batin? Ia menyarankan empat poin: 

  1. Memahami aturan Vinaya: hanya sangha yang menyelesaikan vassa yang boleh melaksanakan kathina; umat tidak boleh memaksa atau mempolitikkan upacara 1.
  2. Mengendalikan niat: menghindari keserakahan, kebencian, dan delusi; memberi dengan hati gembira 11.
  3. Transparansi dana: jika menggalang dana, panitia harus menyatakan tujuan jelas dan menyalurkannya untuk proyek kebajikan 14.
  4. Pendidikan spiritual: vihara sebaiknya memfasilitasi pembabaran Dharma tentang makna Kathina dan latihan dana, bukan hanya ritual formal.

Mereka yang mengikuti prinsip ini diyakini memperoleh manfaat spiritual dan memperkuat hubungan antara sangha dan umat. Dalam Digha Nikāya, Buddha berkata, “Barang siapa dengan jalan mampu berbuat kebajikan dan meninggalkan perbuatan‑perbuatan buruk pernah dilakukan, maka ia akan menerangi dunia ini, seperti rembulan yang terbebas dari awan.”

Kathina dalam Konteks Kekinian

Perayaan kathina sebenarnya menyimpan potensi sosial yang besar ketika diselenggarakan dengan benar. Masyarakat berkumpul untuk bekerja sama, memasak bersama, menenun jubah, dan mengumpulkan dana bagi vihara. Upaya ini mempererat gotong royong komunitas, meneruskan tradisi budaya, dan mengenalkan generasi muda pada nilai berbagi 18. Dalam suasana modern, kegiatan bersama seperti menenun jubah semalam dapat menjadi momen kebersamaan keluarga; anak‑anak belajar tentang kesederhanaan, bukan hanya menikmati pesta.

 

Sebagai latihan spiritual, Kathina menantang umat untuk melepaskan ego. Melatih diri memberi tanpa pamrih tak mudah di tengah budaya konsumtif. Namun, sebagaimana ditunjukkan oleh tradisi padeitha bin, pohon harapan akan layu jika keserakahan meraja 5. Pesan ini relevan dalam masyarakat yang haus pujian dan “like” di media sosial. Apapun bentuk jubah yang diberikan—kain sederhana atau jubah yang dijahit sendiri—nilai utamanya terletak pada niat. 

Kesimpulan: Melampaui Formalitas

Investigasi ini menunjukkan bahwa pergeseran makna Kathina bukan sekadar isu lokal, melainkan fenomena di berbagai negara. Budaya kompetisi, konsumerisme, dan politik memanfaatkan momen suci ini, sehingga esensi latihan dana memudar. Namun di balik kabut glamor, masih banyak komunitas yang menjaga semangat awal: menyediakan kebutuhan sangha, melatih pelepasan, dan mempererat kebersamaan. Mereka membuktikan bahwa Kathina lebih dari sekadar jubah—ini adalah latihan batin yang menuntun pada kebajikan dan kebijaksanaan.

 

Sebelum mengirimkan amplop atau memposting foto, mari bertanya pada diri sendiri: apa niat kita memberi? Karena Kathina tidak diukur dari besarnya donasi, melainkan dari hati yang rela berbagi.

Sumber Referensi :

1 18 The Significance of the Kathina Robe Offering Ceremony – Buddhistdoor Global

 

2 Buddhist Channel | Opinion

 

3 4 5 9 10 The Culture of Giving in Myanmar: Buddhist Offerings, Reciprocity and Interdependence – DOKUMEN.PUB

 

6 7 8 kpfgo_content_attach_file_24_1.pdf – Khonthai 4.0

 

11 12 17 Persembahan Jubah Kaṭhina: Sebuah Renungan – Dhammavihārī Buddhist Studies

 

13 Buddhazine | Persembahan Jubah Kathina: Sebuah Renungan

 

14 15 Kathina – Then and Now – Sasanarakkha Buddhist Sanctuary

 

16 Khun Yai Teachings – Dhammakaya Foundation

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE