Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Kesamaan Sufisme Rumi dan Buddha Dharma dalam Jalan Menuju Kebaikan dan Pembebasan Spiritual

Kesamaan Sufisme Rumi dan Buddha Dharma dalam Jalan Menuju Kebaikan dan Pembebasan Spiritual

September 8, 2025
Pendahuluan

Jalaluddin Rumi, seorang sufi dan penyair besar abad ke-13, serta Siddhartha Gautama Buddha, pendiri Buddha Dharma di abad ke-5 SM, berasal dari tradisi dan zaman yang berbeda. Namun secara mengejutkan, ajaran spiritual keduanya memiliki banyak kesamaan yang mendalam. Baik Rumi melalui sufisme cintanya maupun Buddha melalui Dharma-nya sama-sama menuntun manusia menuju kebaikan hati dan pembebasan spiritual dari belenggu ego dan penderitaan. Tulisan ini akan menguraikan kesamaan tersebut dari segi filosofis dan spiritual, aplikasinya dalam kehidupan sehari-hari, serta relevansinya di dunia modern yang dilanda polarisasi dan krisis spiritual. Kita akan melihat bagaimana cinta ilahi Rumi dan welas asih Buddha seakan berdialog, saling mengisi, dan menginspirasi manusia masa kini.

Aspek Filosofis: Hakikat Diri, Realitas, dan Pencerahan

Lukisan Buddha bermeditasi di bawah pohon Bodhi, dilindungi oleh raja ular Mucalinda. Baik Rumi maupun Buddha sama-sama memandang bahwa pencerahan sejati dicapai dengan melampaui ilusi duniawi dan ego pribadi.

 

Secara filosofis, baik tradisi sufisme Rumi maupun ajaran Buddha sama-sama merenungi hakikat terdalam diri manusia dan realitas alam semesta di balik penampakan lahiriah. Rumi memandang bahwa jati diri manusia yang sejati bukanlah ego atau nafsu rendah, melainkan ruh ilahi yang merupakan percikan dari Tuhan . Ego dipandangnya sebagai tabir yang menutupi cahaya Tuhan dalam diri. “The Ego is a veil between humans and God,” tulis Rumi, menggambarkan bahwa ego adalah penghalang antara manusia dan Tuhan 1.

 

Oleh karena itu, perjalanan spiritual sufisme bertujuan menghancurkan ego tersebut (disebut fana’, peleburan diri) agar sang ruh dapat menyatu kembali dengan Yang Ilahi. Dalam puisi-puisinya, Rumi kerap mengibaratkan kehidupan duniawi sebagai mimpi atau ilusi yang menipu. Ia menulis: “Tempat ini bagai mimpi. Hanya orang tidur yang menganggapnya nyata. Lalu kematian datang laksana fajar, dan kau terbangun sambil tertawa melihat kesedihan yang kau anggap nyata tadi”  2.

 

Dengan kata lain, realitas material menurut Rumi bukanlah satu-satunya realitas; ada Realitas Hakiki yang transenden (Tuhan, Sang Kekasih) yang baru tersingkap ketika manusia “terjaga” dari mimpi duniawi. Konsep Rumi tentang dunia sebagai ilusi ini paralel dengan pandangan filsafat mistik Buddha maupun Hindu. Bahkan para sufi awal mengadopsi istilah khud’a (tipuan/ilusi) untuk menyifatkan dunia materi, serupa dengan konsep maya dalam filsafat India 3. Inti ajaran Rumi secara filosofis adalah bahwa diri individu mesti dileburkan ke dalam Cinta Ilahi; ego yang semu harus “mati” agar jiwa dapat “hidup” dalam kebenaran Tuhan.

 

Sementara itu, Buddha Dharma secara filosofis menekankan hal senada dari sudut berbeda. Buddha mengajarkan doktrin anatta (tanpa-inti-diri) – bahwa tidak ada inti diri pribadi yang kekal dalam diri manusia. Yang kita anggap “aku” sejatinya hanyalah rangkaian fenomena fisik-mental yang terus berubah. Ajaran ini membongkar ilusi ego seperti halnya sufisme membongkar nafsu diri. Selain anatta, Buddha juga menggarisbawahi anicca (ketidak-kekalan) seluruh fenomena. “Segala sesuatu yang berkondisi tidak kekal adanya. Apabila dengan kebijaksanaan orang dapat melihat hal ini, maka ia akan merasa jemu terhadap penderitaan. Inilah jalan menuju kesucian,” demikian sabda Buddha dalam Dhammapada 4. Realitas dunia dipandang laksana mimpi yang senantiasa berubah dan tidak dapat dijadikan sandaran abadi – tidak ada yang tetap kecuali perubahan itu sendiri. Ini mengingatkan pada pandangan Rumi bahwa dunia ini fana bagai mimpi. Bahkan tujuan akhir Buddha, Nirwana, sering diartikan sebagai “padamnya ilusi” – terbebasnya kesadaran dari khayalan ego dan lingkaran samsara (kelahiran-penyakit-kematian berulang). Dalam Nirwana, seorang Buddha “terjaga” (bodhi) dari mimpi panjang ketidaktahuan, serupa dengan analogi Rumi terbangun laksana fajar.

 

Dengan demikian, secara filosofis keduanya mengajak manusia melampaui ilusi dan mengenali hakikat sejati. Bagi Rumi, hakikat sejati adalah Ketunggalan Cinta Ilahi (Tuhan di dalam batin manusia); bagi Buddha, hakikat sejati adalah kekosongan dari diri pribadi namun sekaligus kesatuan dengan semua makhluk dalam welas asih. Keduanya bertemu dalam pandangan bahwa pencerahan dicapai ketika batas-batas ego runtuh dan kesadaran kita melebur dalam Kebenaran Universal – entah disebut sebagai Tuhan, Cinta, atau Nirwana. Pada titik puncak itu, manusia mencapai pembebasan spiritual: Rumi menyebutnya bersatu dengan Sang Kekasih, Buddha menyebutnya terbebas dari dukkha (penderitaan). Walau istilah dan konsep berbeda, esensinya sama: suatu transformasi kesadaran di mana manusia mengalami kedamaian agung dan cinta tak terbatas setelah menyingkap tabir realitas semua.

 

Di pihak lain, Buddha menjadikan meditasi sebagai jantung ajarannya. Sejak awal pencerahannya, Buddha mengajarkan Dhyana ( Jhana) atau bhavana – pengembangan batin melalui ketenangan (samatha) dan wawasan (vipassana). Para biksu dan umat Buddhis dilatih bermeditasi: memperhatikan napas, mengamati sensasi tubuh, menyelami pikiran, hingga mencapai kejernihan mindfulness (sati) dan konsentrasi mendalam (samadhi). Tujuan akhirnya adalah menembus hakikat realitas (melihat dengan pannya atau kebijaksanaan) bahwa segala sesuatu tidak kekal dan tiada aku di dalamnya. Proses meditasi ini sangat selaras dengan jalan sufisme: menundukkan nafsu indriah, menyepi dari hiruk-pikuk dunia, memusatkan hati hanya kepada Yang Haq. Bedanya, meditasi Buddhis biasanya nir-teistik (tidak berfokus pada sosok Tuhan personal), melainkan pada fenomena batin sendiri. Namun efek akhirnya serupa – munculnya kejernihan batin dan kedamaian. Rumi pernah menyampaikan, “Diamlah, hanya dengan keheningan jiwa kita bisa mendengar suara Tuhan.” Sikap hening penuh perhatian ini identik dengan samadhi dalam tradisi Buddha. Keduanya mengajarkan bahwa kontemplasi rutin penting untuk membersihkan cermin hati dari debu-debu ego, hingga realitas tertinggi memantul dengan jelas.

Aspek Spiritual: Cinta, Welas Asih, Kontemplasi, dan Pelepasan Ego

Lukisan abad ke-18 karya Jean Baptiste Vanmour yang menggambarkan para darwis berputar (Mevlevi Sema) di Istanbul. Praktik meditasi dalam tarian sufi ini bertujuan melebur dalam cinta Tuhan. Baik tradisi sufi maupun Buddhis menekankan disiplin spiritual untuk menumbuhkan cinta kasih dan mematahkan ego.

 

Dari sisi spiritual-praktis, sufisme Rumi dan ajaran Buddha sama-sama memberikan jalan batin untuk mengolah hati dan pikiran melalui cinta, welas asih, kontemplasi, serta pelepasan ego.

 

1. Jalan Cinta dan Welas Asih :

Cinta Ilahi merupakan roh dari spiritualitas Rumi. Ia menekankan mahabbah (cinta kasih) sebagai tenaga pendorong utama manusia menuju Tuhan 5. Bagi Rumi, mencintai Tuhan tidak bisa dilepaskan dari mencintai sesama makhluk, sebab di mata sang sufi, seluruh makhluk adalah penampakan Sang Kekasih. Ia berseru, “Di balik semua perbedaan, terdapat satu kemanusiaan yang serupa” 6.

 

Puisi-puisi Rumi penuh dengan ekspresi cinta universal yang melampaui sekat agama dan identitas – ia bahkan menyebut “Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Muslim… Cintaku meliputi semua.” Cinta dalam sufisme Rumi bukan cinta sentimental semata, tapi cinta spiritual yang aktif. Misalnya, Rumi mendorong kita menjadi agen kebaikan dengan berkata: “Jadilah pelita, atau perahu penyelamat, atau tangga. Bantu jiwa seseorang sembuh. Keluar dari rumahmu laksana gembala”, mengisyaratkan sikap melayani dengan cinta kasih. Dengan hati yang dipenuhi cinta Ilahi, seorang sufi otomatis memancarkan welas asih dan belas kasih kepada sesama. Rumi
menggambarkan hati yang tercerahkan bagaikan “rumah tamu” yang siap menerima siapa pun dan apa pun dengan kelapangan hati 7. Dalam puisi “Rumah Tamu”, ia menasihati agar kita menyambut setiap pengalaman – suka maupun duka – dengan keikhlasan, seolah-olah tamu yang diutus Tuhan 7. Sikap penerimaan penuh kasih ini dekat sekali dengan praktik mindfulness dan equanimity dalam meditasi Buddhis, di mana kita mengamati tiap perasaan dan pikiran tanpa penolakan.

 

Sementara itu, welas asih (karuṇā) dan cinta kasih universal (mettā) adalah inti dari etika spiritual Buddha. Buddha Dharma mengajak setiap orang mengembangkan ketulusan hati untuk mencintai semua makhluk layaknya ibu menyayangi anak tunggalnya. Salah satu syair Dhammapada menyebut: “Kebencian tak dapat dipadamkan dengan kebencian. Hanya dengan tidak membenci (cinta kasih) ia bisa berakhir. Inilah hukum abadi” 8. Ajaran ini selaras dengan semangat Rumi yang menekankan cinta sebagai jawaban atas kebencian. Para praktisi Buddhis melatih batin mereka dengan meditasi metta, mendoakan semua makhluk berbahagia dan terbebas dari sengsara, tanpa diskriminasi. Sikap penuh welas asih ini pada hakikatnya setara dengan rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi semesta) yang dipraktikkan para sufi. Baik Rumi maupun Buddha sama-sama memancarkan kasih sayang mendalam kepada siapa pun, bahkan kepada musuh sekali pun. Dalam kisah hidup Buddha, tercatat bagaimana beliau dengan tenang penuh kasih menghadapi angulimala (seorang bandit pembunuh), dan berhasil menyadarkannya.

 

Dalam kisah Rumi, terdapat anekdot bagaimana ia tidak menolak saat didatangi orang-orang dari berbagai latar belakang (Muslim, Nasrani, Yahudi, bahkan orang mabuk sekalipun), semua diterima dengan kasih karena baginya setiap tamu adalah utusan Tuhan. Spiritualitas cinta dan welas asih inilah yang menjadi titik temu utama sufisme dan Buddha Dharma – yakni mengasihi tanpa syarat, melihat Ilahi dalam setiap insan atau dalam bahasa Buddha, melihat semua makhluk layak dicintai karena memiliki benih pencerahan (Buddha-nature) yang sama.

 

2. Kontemplasi dan Meditasi :

Kedua tradisi juga mementingkan praktik kontemplatif untuk mencapai transformasi batin. Rumi menekankan dzikrullah (mengingat Tuhan) secara kontinu, entah lewat doa, puisi, musik, atau tarian. Praktik sema yaitu tarian berputar para darwis Mevlevi (pengikut Rumi) bukan sekadar tarian, melainkan bentuk meditasi aktif yang mendalam. Sambil berputar mengikuti irama seruling, para darwis meletakkan satu tangan menghadap ke langit (menerima anugerah Ilahi) dan satu tangan ke bumi (menyalurkan rahmat bagi dunia) 9 10. Dalam pusaran meditasi itu, mereka melupakan ego dan larut dalam kesadaran ketuhanan. Rumi sendiri kerap tenggelam dalam kontemplasi sunyi (khalwat) maupun ekstase puitis; banyak bait Masnawinya lahir dari perenungan mendalam tentang makna hidup. Ia mendengarkan “musik sunyi” di dalam jiwanya – mirip dengan praktik meditasi hening dalam Buddhisme.

 

3. Pelepasan Ego dan Pengendalian Diri :

Baik ajaran Rumi maupun Buddha sepakat bahwa musuh terbesar manusia ada di dalam diri, yakni egoisme, nafsu, dan kebodohan batin. Jalan spiritual karenanya bertumpu pada disiplin diri dan pelepasan ego. Rumi dengan indah menulis, “Tugasmu bukanlah mencari cinta, melainkan mencari dan menemukan semua penghalang dalam dirimu sendiri yang telah kamu bangun untuk melawannya.” 11. Kutipan ini menegaskan bahwa untuk merasakan cinta dan kebaikan (yang sebenarnya sudah tersedia dari Tuhan), kita mesti membongkar tembok ego yang kita bangun – seperti keserakahan, kebencian, keangkuhan. Sufi berusaha mematikan “nafsu amarah” melalui zuhud (hidup sederhana) dan mujahadah (latihan spiritual gigih).

 

Konsep fana’ Rumi berarti lenyapnya keakuan fana agar digantikan oleh Kehendak Ilahi. Setelah fana (lebur), barulah tercapai baqa’ (kekal dalam sifat-sifat Tuhan) – semacam ego baru yang suci. Dalam praktik, sufisme mengenal maqamat (tahapan pengolahan diri) seperti tobat, sabar, tawakal, ridha, hingga mahabbah, yang semuanya menuntut pengekangan ego negatif. Rumi sendiri terkenal sangat tawadhu (rendah hati); ia menyebut dirinya “tak lebih dari debu di kaki guruku”. Sikap tanpa ego inilah yang justru memancarkan keindahan jiwanya.

 

Menariknya, Buddha juga mengajarkan “menaklukkan diri sendiri” sebagai kemenangan tertinggi. Dhammapada ayat 103 menyatakan: “Walaupun seseorang dapat menaklukkan ribuan musuh dalam pertempuran, namun sesungguhnya penakluk terbesar adalah orang yang dapat menaklukkan dirinya sendiri.” 12. Pengendalian diri (dama) dan disiplin moral (sila) sangat ditekankan. Para bhikkhu menjalani hidup tanpa kepemilikan, makan sekali sehari, menjaga kesucian moral, semua demi melemahkan ego dan keinginan. Buddha menggunakan berbagai metode untuk melepas keakuan: meditasi anatta, analisis lima khanda (aggregates) yang menunjukkan tiada inti diri, hingga hidup berbagi sedekah (dana) yang melatih sifat tidak egois. Ada ayat Dhammapada lain yang sejalan dengan semangat fana’ Rumi, yaitu: “Patahkanlah rasa cinta terhadap diri sendiri, bagaikan memetik bunga teratai di musim gugur. Kembangkanlah jalan kedamaian Nibbana” 13. Buddha mengibaratkan ego seperti bunga teratai liar yang harus dipetik/dipotong agar jalan Nirwana terbuka. Jadi, baik sufi maupun Buddhis menjalani pelepasan ego – sufi dengan menyerahkan diri sepenuhnya pada Tuhan, Buddhis dengan melepaskan kemelekatan pada “aku” dan apapun yang “milikku”. Keduanya berujung pada kebebasan batin luar biasa: hati menjadi lapang, tenang, dan penuh kasih tanpa pamrih.

 

Dapat kita simpulkan, tradisi Rumi dan Buddha Dharma memberikan “peta” spiritual yang mirip: menumbuhkan cinta dan belas kasih, melatih kontemplasi/meditasi untuk membersihkan batin, serta mengikis ego lewat pengendalian diri dan kerendahan hati. Jalan cinta Rumi dan jalan meditasi Buddha sebenarnya saling melengkapi – akal budi diterangi, hati pun disucikan. Keduanya membimbing manusia dari “gelap” sifat-sifat egois menuju “cahaya” sifat-sifat mulia. Tidak heran bila buah spiritual yang dihasilkan pun serupa: pribadi yang penuh kasih, bijaksana, tenang, dan bebas.

Aplikasi dalam Kehidupan Sehari-hari: Pembentukan Karakter, Relasi, dan Cara Hidup

Satu hal yang membuat ajaran Rumi dan Buddha begitu bernilai adalah praktikalitasnya – keduanya menawarkan bimbingan konkret untuk menjalani hidup sehari-hari dengan lebih baik. Tujuan akhirnya bukan melangit di menara gading spiritual semata, tetapi membumikan spiritualitas dalam karakter, relasi, dan laku hidup kita sehari-hari.

 

1. Pembentukan Karakter Mulia :

Ajaran Rumi maupun Buddha sama-sama membentuk insan yang berkarakter penyayang, sabar, dan rendah hati. Misalnya, setelah membaca dan merenungi puisi-puisi Rumi, seseorang akan terdorong menjadi lebih lembut hatinya. Rumi mengajari kita untuk tidak mudah menghakimi orang lain karena setiap orang sedang berproses dengan “tamu-tamu” ujian hidupnya masing-masing 7. Ia juga mengingatkan bahwa luka dan kegelapan dalam hidup justru bisa menjadi tempat cahaya masuk – ini mengajarkan kita sikap optimis dan sabar menghadapi kesulitan. Di sisi lain, Buddha Dharma melalui Sīla (aturan moral) secara langsung melatih karakter: tidak membunuh, tidak berbohong, tidak mencuri, tidak berzina, tidak mabuk-mabukan. Dengan memegang lima latihan moral dasar ini, karakter seseorang pelan-pelan terbentuk menjadi jujur, disiplin, berbela rasa, dan sederhana. Buddha berkata: “Jangan meremehkan kebajikan sekecil apa pun, sebagaimana tempayan terisi penuh oleh tetes air demi tetes”. Artinya, setiap perbuatan baik sekecil apapun (menyingkirkan duri di jalan, tersenyum pada orang lain, dsb) bila dilakukan terus-menerus akan membentuk karakter yang mulia. Sufi pun demikian: Rumi menasihati untuk senantiasa bersyukur dan melihat sisi baik, sehingga lahir pribadi pemurah dan bersahaja. Ia sendiri dikenal suka berbagi – konon ia pernah menghentikan pengajian hanya untuk melayani seorang tamu yang lapar. Keteladanan-keteladanan kecil semacam ini menginspirasi kita dalam membentuk kebiasaan hidup yang penuh kebaikan.

 

2. Relasi dan Interaksi Sosial :

Dalam hal relasi, ajaran cinta Rumi jelas berdampak besar. Jika seseorang meneladani Rumi, ia akan berusaha memandang sesama manusia sebagai saudara seperjalanan, bukan lawan atau “orang lain” yang asing. Rumi begitu inklusif; ia digelari “Jiwanya agama” karena mampu merangkul semua golongan. Misalnya, Rumi pernah berkata bahwa lampu-lampu mungkin berbeda, tapi cahayanya sama. Ini kiasan bahwa meski manusia berbeda suku, agama, ras, semuanya mempunyai esensi nurani (cahaya) yang sama.

Sikap demikian mendorong toleransi dan persaudaraan lintas perbedaan. Dalam kehidupan sehari-hari, pengaruhnya sangat terasa: kita menjadi lebih mudah memaafkan kesalahan orang lain, lebih mendengarkan daripada menghakimi, dan mampu berempati terhadap penderitaan siapa pun. Ajaran Buddha pun menekankan hal serupa. Dengan memahami Hukum Karma dan perspektif reinkarnasi, umat Buddha diajar melihat semua makhluk pernah menjadi kerabat di kehidupan lampau, sehingga pantas dikasihi. Latihan metta bhavana (meditasi cinta kasih) tiap hari dimulai dari mendoakan diri sendiri bahagia, lalu orang terdekat, lalu orang netral, sampai bahkan orang yang tidak disukai, dan akhirnya semua makhluk di seluruh penjuru. Bayangkan jika latihan mental ini dilakukan rutin – tentu hati akan luluh dan tidak ada lagi tempat bagi kebencian. Dalam pergaulan, orang yang menempuh jalan Dharma akan mengedepankan ahimsa (tanpa kekerasan) dan mudita (turut berbahagia atas kebahagiaan orang lain). Ini jelas memperkuat hubungan sosial yang harmonis. Tidak mengherankan, baik komunitas sufi maupun komunitas Buddhis sering menjadi agen perdamaian di tengah masyarakatnya, karena mereka mempraktikkan ajaran welas asih secara nyata.

 

3. Cara Hidup Sehari-hari :

Hal penting lainnya, kedua ajaran ini menawarkan pola hidup (way of life) yang bisa diterapkan siapa saja, bukan hanya rahib atau sufi. Sufisme ala Rumi menuntun kita untuk selalu mengingat Tuhan di tengah kesibukan dunia. Misalnya, sambil bekerja atau berkeluarga, seorang murid Rumi diajari untuk berzikir dalam hati, bersikap jujur, dan bekerja dengan niat melayani Tuhan.

 

Rumi mengajarkan “kemana pun kau melangkah, di situlah Wajah Tuhan menghadap” – artinya dalam setiap aktivitas duniawi pun kita bisa menemukan jejak Ilahi bila hati sadar. Cara hidup sufi sangat menekankan kesederhanaan: makan secukupnya, tidak berlebihan dalam hal duniawi. Rumi sendiri konon pernah berpuasa berhari-hari demi melatih diri. Namun ia juga bukan pertapa yang mengisolasi diri; ia menekankan pentingnya khidmat (pelayanan). Ia berkata, “Hanya dengan melayani orang lain engkau benar-benar melayani Tuhan.” Maka, sehari-hari para sufi mewujudkan cinta dengan menolong tetangga, memberi makan fakir miskin, mengajarkan ilmu dengan sabar, dll. Demikian pula Buddha Dharma memberikan panduan yang sangat gamblang. Dalam satu kalimat, Buddha merumuskan panduan hidup etis: “Jangan berbuat jahat, perbanyaklah berbuat baik, sucikan hati dan pikiran – itulah ajaran para Buddha.” 14.

 

Prinsip ini dapat diaplikasikan setiap hari. Contohnya, di pagi hari umat Buddha bertekad menghindari perbuatan buruk (sekecil apapun, bahkan tidak mau membunuh nyamuk), lalu bertekad melakukan kebajikan (sesederhana membagi makanan, mengucapkan kata-kata penuh kasih), dan melatih batin (melalui meditasi singkat atau mengulang paritta/sutra). Pola hidup ini menjadikan hari-hari penuh dengan kesadaran (mindfulness) dan niat baik. Bahkan aktivitas rutin seperti menyapu lantai atau bekerja di kantor dapat menjadi ladang latihan spiritual – asalkan dilakukan dengan kesadaran dan niat yang benar. Seorang guru Buddha berkata, “Bahkan membuang sampah pada tempatnya bisa menjadi karma baik jika dilakukan dengan penuh kesadaran dan niat bermanfaat.” 15 16. Ini mirip dengan pandangan Rumi bahwa “apapun yang kau kerjakan, kerjakanlah sebagai ibadah cinta.”

 

Dengan mengikuti arahan dua tradisi ini, gaya hidup kita akan mengalami transformasi halus. Kita menjadi tidak boros dan tidak serakah, karena menyadari berlebihan justru mengotori jiwa. Kita lebih menghargai alam dan makhluk lain – misalnya umat Buddha banyak yang vegetarian atas dasar welas asih, para sufi pun kerap memilih hidup hemat agar bisa berbagi pada yang membutuhkan. Kebahagiaan dalam hidup sehari-hari pun jadi lebih mudah dicapai, karena kita tidak lagi mengejar hal-hal dangkal untuk memuaskan ego. Baik Rumi maupun Buddha mengajarkan kecukupan batin – bahagia dengan apa yang ada. Rumi menyampaikan, “Syukuri setiap momen; di sana ada cahayaNya.” Buddha mengajarkan santutti (puas dengan yang sedikit). Alhasil, keseharian penganut ajaran ini diwarnai aura tenteram yang berbeda dengan gaya hidup modern yang terburu nafsu. Ketika tantangan datang, mereka lebih tenang karena memiliki pegangan batin. Ketika berinteraksi, mereka lebih tulus karena hati telah ditempa cinta kasih. Dan ketika sendirian, mereka tidak merasa sepi karena batin tersambung pada Yang Ilahi atau menikmati kedamaian sunyi. Singkatnya, sufisme Rumi dan Buddha Dharma membumikan spiritualitas ke dalam rutinitas – menjadikan setiap harinya sebagai langkah di jalan pencerahan, langkah menuju manusia yang lebih baik daripada kemarin.

Relevansi di Dunia Modern: Nilai-Nilai Rumi dan Dharma di Tengah Polarisasi dan Krisis Spiritualitas

Dunia modern saat ini tengah menghadapi krisis yang bukan hanya bersifat sosial-politik, tetapi juga krisis jiwa. Di tengah kemajuan teknologi dan kemakmuran material, banyak orang merasa terasing, stres, kehilangan arah dan makna. Selain itu, kita menyaksikan polarisasi masyarakat yang mengkhawatirkan – perpecahan karena perbedaan suku, agama, ideologi, hingga maraknya egoisme dan kultus individu. Di sinilah, ajaran abadi Rumi dan Buddha Dharma menemukan relevansinya yang sangat tinggi. Nilai-nilai yang mereka tawarkan bak oasis penyegar di padang gersang jiwa modern.

 

1. Mengatasi Polarisasi dengan Cinta dan Welas Asih :

Saat dunia terbelah oleh sekat perbedaan dan konflik, pesan cinta universal Rumi dan welas asih universal Buddha bisa menjadi jembatan emas. Rumi, misalnya, telah menjadi tokoh lintas peradaban – puisinya dibaca orang Barat-Timur, Muslim-Kristen, religius-ateis, semua merasa terinspirasi. Mengapa? Karena Rumi selalu menekankan persatuan di balik keragaman. Ia menulis bahwa agama-agama bagai jalur sungai yang berbeda, namun semuanya bermuara di samudera yang satu 17. Pandangan inklusif seperti ini amat relevan di tengah fanatisme dan intoleransi zaman sekarang. Jika kita menyerap nilai Rumi, kita akan lebih mampu melihat persaudaraan antarumat manusia. Demikian pula, Buddhisme dikenal sangat inklusif dan toleran. Buddha tidak pernah mengajarkan kekerasan terhadap agama lain; justru Raja Asoka (penganut Buddha) dalam prasastinya memuji semua ajaran suci layak dihormati. Nilai toleransi dan kasih ini dapat meredam pertikaian. Sebagai contoh, dalam konflik, ajaran Buddha menyarankan memandang pihak lawan dengan empati: mereka berbuat jahat mungkin karena menderita atau belum tercerahkan, sehingga bukannya dibenci malah dikasihani.

 

Sulit memang, tapi beginilah ajaran luhur bekerja. Kita diingatkan kembali pada syair Dhammapada “kebencian tidak berakhir dengan kebencian, hanya dengan cinta kasih dapat berakhir” 8. Bayangkan jika prinsip ini dijadikan pedoman politik dan sosial, tentu dunia akan lebih damai. Dengan metta dan kasih, tembok polarisasi bisa runtuh. Orang modern diajak melihat manusia lain bukan sebagai kelompok lawan, melainkan sebagai sesama makhluk yang menginginkan kebahagiaan seperti diri kita sendiri.

 

2. Meredam Ego dan Materialisme :

Era kini sangat menonjolkan ego individu. Budaya media sosial misalnya, mendorong orang membangun citra diri, mencari validasi eksternal, kadang sampai narsis. Konsumerisme juga mengajarkan “kebahagiaan” lewat memiliki barang dan prestise. Semua ini bisa menjauhkan manusia dari jati diri spiritualnya. Di sinilah ajaran Rumi dan Buddha memberikan penawar. Keduanya menekankan kerendahan hati dan kesederhanaan.

 

Rumi berujar, “Jadilah tanah di bawah pijakan kaki semua orang – dan dari sanalah bunga tulip akan tumbuh.” Ia mengibaratkan rendah hati (tidak egois) seperti tanah subur yang justru menghasilkan keindahan. Buddha pun mengajarkan humility – para bijak digambarkan seperti air mengalir ke tempat rendah. Nilai ini menantang arus zaman yang serba self-centric. Banyak tokoh modern terinspirasi ajaran ini. Misalnya, Dalai Lama (pemimpin Buddhis Tibet) kerap berdialog dengan para sufi dan pemuka agama lain, selalu dengan sikap rendah hati dan humor.

 

Ia sendiri mengatakan, “Jika kita menemukan perbedaan, cobalah pahami tujuan sebenarnya dari pendekatan berbeda ini” 18– artinya bukannya menonjolkan ego “aku paling benar”, tetapi saling belajar. Sikap semacam ini sangat dibutuhkan di ruang publik modern agar dialog terjadi alih-alih debat kusir. Selain itu, kesederhanaan yang diajarkan Buddha (the Middle Way) dan sufi berguna menghadapi hiruk pikuk materialisme. Banyak orang terjebak utang, depresi, karena gaya hidup konsumtif. Ajaran contentment (qana’ah dalam Islam, santutti dalam Buddha) bisa mengembalikan fokus pada “cukup”. Ketika orang merasa cukup dan bersyukur, ego pun melunak. Kita tidak lagi hidup untuk pamer atau berlomba gengsi, melainkan menjalani hidup apa adanya dengan bahagia. Nilai anti-ego dan anti-materialisme ini jelas sangat relevan untuk generasi muda yang mencari jati diri di tengah banjir informasi dan fake happiness di internet.

 

3. Pemulihan Arah Spiritual :

Banyaknya kasus bunuh diri, kecanduan narkoba, kekosongan hidup di masyarakat maju menunjukkan krisis spiritualitas. Orang kehilangan makna dan tujuan luhur. Ajaran Rumi dan Buddha bisa menjadi kompas penunjuk arah. Rumi mengingatkan manusia modern yang jiwanya haus: “Kau dicipta untuk tujuan mulia – mengapa merangkak di bumi bagai cacing?”. Ia mengajak kita menemukan kembali hakikat diri sebagai kekasih Tuhan, makhluk penuh cinta. Pesan-pesan puitisnya mengisi kekosongan hati dengan kehangatan cinta dan keindahan makna. Banyak orang Barat yang jenuh dengan materialisme beralih membaca Rumi, dan mengaku menemukan “arah spiritual baru”.

 

Demikian pula, Buddha Dharma menawarkan jalan praktis untuk mencapai ketenangan batin di tengah stres modern. Meditasi mindfulness kini mendunia sebagai teknik mengatasi kecemasan dan depresi – padahal itu sejatinya bagian dari latihan Buddhis. Nilai-nilai Buddha tentang impermanensi juga membantu orang melepaskan beban. Misalnya ketika kehilangan pekerjaan atau orang tercinta, mengingat ajaran anicca (segala yang lahir akan sirna) dapat memberi keikhlasan. Demikian juga konsep interbeing (saling keterhubungan) dalam Buddha bisa mengurangi rasa kesepian di era isolasi digital – kita sadar semua makhluk terhubung, sehingga tumbuh empati dan rasa terkoneksi dengan kehidupan luas, bukan terkungkung di kamar sempit ego.

 

Secara konkret, saat ini terjadi kebangkitan minat pada tasawuf Rumi dan ajaran Buddha di berbagai belahan dunia. Banyak seminar, buku, komunitas yang mengkaji keduanya untuk solusi masalah modern. Misalnya, terapis psikologi mengutip puisi Rumi “Rumah Tamu” untuk terapi penerimaan emosi (mirip konsep terapis mindfulness) 7. Para pendidik mengajarkan living values Buddha seperti welas asih dan empati di sekolah-sekolah untuk mengatasi bullying. Bahkan dalam manajemen bisnis, nilai spiritual seperti servant leadership (pemimpin melayani, bukan mendominasi) terinspirasi dari ajaran kerendahan hati sufi dan Buddhis. Semua ini menegaskan relevansi kuat nilai-nilai Rumi dan Dharma. Di tengah dunia yang galau, ajaran tersebut bagaikan lampu penerang. Rumi memberikan cahaya cinta dan pengabdian, Buddha memberikan cahaya kebijaksanaan dan kedamaian. Keduanya menuntun kita kembali ke jalan tengah – jalan keseimbangan antara kebutuhan lahir dan batin. Dengan menghidupkan kembali spiritualitas ini, manusia modern dapat menemukan tujuan hidup lebih tinggi daripada sekadar konsumsi dan kompetisi: yakni menjadi pribadi penuh kasih yang bermanfaat bagi semesta.

Dialog dan Saling Memperkaya: Harmoni Dua Tradisi untuk Pengalaman Spiritual Masa Kini

Menyadari banyaknya kesamaan dan saling melengkapi antara sufisme Rumi dan Buddha Dharma, para pemuka dari kedua tradisi di era modern pun telah memulai dialog spiritual yang indah – suatu “perjumpaan dua samudra” 19. Pertemuan antara Samudra Cinta Ilahi dan Samudra Kebijaksanaan Buddha berpotensi besar memperkaya khazanah spiritual umat manusia.

 

Bayangkan, ketika seorang sufi dan seorang Buddhis duduk bersama berbagi pengalaman meditatif, mereka akan saling memahami di tingkat hati meskipun istilah yang dipakai berbeda. Dalai Lama ke-14 pernah berdialog dengan para cendekiawan sufi di Amerika (2013), dan beliau takjub dengan banyaknya analogi serupa dalam praktik kedua tradisi 20 17. Misalnya, perumpamaan mengupas ego laksana mengupas bawang ditemukan baik dalam literatur sufi maupun Buddhis 21. Dalam dialog itu, Dalai Lama bahkan mengakui adanya konsep mirip “Tuhan” dalam Buddhisme, yaitu Buddha-nature (sifat dasar murni setiap insan) yang seolah menjadi potensi ilahiah dalam diri 22. Ini menunjukkan bahwa alih-alih bersikap eksklusif, tokoh bijak kedua tradisi justru saling mencari jembatan pemahaman. Dalai Lama berkata, “Percakapan semacam ini sungguh luar biasa… ketika kita temukan perbedaan, ada gunanya mencoba memahami tujuan sebenarnya dari pendekatan yang berbeda-beda ini.” 18. Sikap inilah – mencari esensi di balik perbedaan – yang membuat sufisme dan Buddhisme bisa berdialog produktif.

 

Dari sisi sintesis pengalaman, seorang praktisi masa kini bisa mengambil inspirasi keduanya tanpa harus kehilangan akar tradisinya. Seorang Muslim bisa tetap menjalankan syariat Islam, namun memperdalam ihsan-nya dengan belajar meditasi pernapasan dari Buddhisme untuk menenangkan hati saat berdzikir. Sebaliknya, seorang Buddhis dapat memperkaya devosi dan cintanya dengan membaca syair-syair Rumi, sehingga jalan pencerahannya tidak hanya dingin di ranah intelek, tapi juga hangat di ranah hati. Sudah banyak contoh individu yang menjembatani keduanya: misalnya, Kabir Helminski, seorang guru sufi kontemporer di Barat, mengajarkan mindfulness dalam tradisi Mevlevi; atau Thich Nhat Hanh, biksu Zen terkenal, yang mengutip Jalaluddin Rumi dalam dharma talk-nya untuk menjelaskan konsep interbeing. Ini menunjukkan bahwa dua aliran ini bisa saling memperkaya pengalaman spiritual.

 

Apa yang dimiliki sufisme namun kurang ditekankan di Buddhisme, bisa ditawarkan sebagai tambahan rasa. Sufisme sangat menekankan ekspresi cinta yang memabukkan kepada Tuhan, dengan seni, musik, dan puisi – hal ini dapat menyuntikkan jiwa seni ke dalam praktik Buddhis yang kadang dianggap kaku. Sebaliknya, Buddhisme yang terkenal dengan ketelitian dan metode meditasinya dapat memberikan struktur dan teknik yang bermanfaat bagi para sufi. Misalnya, teknik vipassana dapat membantu seorang sufi lebih mawas diri dalam mengidentifikasi sifat-sifat buruk yang halus. Keduanya bersama-sama membantu pejalan spiritual mengimbangi dimensi hati dan pikiran. Sufi tanpa kebijaksanaan bisa tersesat dalam sentimentalitas; meditator tanpa cinta bisa jatuh dalam kekosongan hampa. Kombinasi nilai Rumi dan Buddha mencegah hal itu – cinta mendapatkan arah, kebijaksanaan mendapatkan hati.

 

Pada akhirnya, dialog Rumi dan Buddha ini mengantarkan kita pada pemahaman bahwa kebenaran spiritual itu universal. Bagaikan dua puncak gunung yang tampak terpisah, namun dasarnya bersatu di bumi yang sama. Rumi menyebutnya “Kebenaran itu cermin di tangan Tuhan, jatuh dan pecah berkeping- keping. Setiap orang mengambil pecahan cermin itu, melihat bagian dari kebenaran di dalamnya”. Baik sufisme maupun Buddhisme memegang pecahan cermin kebenaran yang berkilau. Dengan saling mendekatkan, kita bisa melihat pantulan cahaya kebenaran yang lebih utuh. Di tengah dunia yang diliputi gelap ego dan konflik, sinar hikmah Maulana Rumi dan Buddha Gautama bak dua pelita yang menerangi jalan. Keduanya mengarahkan kita pada satu tujuan hakiki: menjadi manusia yang penuh cinta, bijaksana, dan bebas secara spiritual. Inilah kebaikan dan pembebasan sejati yang dibutuhkan di era modern. Dengan merangkul kedua warisan agung ini, kita dapat melangkah maju dalam perjalanan jiwa – lebih utuh, lebih dalam, dan lebih dekat pada Sumber segala cinta dan cahaya. Semoga kita semua tersentuh oleh inspirasi Rumi dan petunjuk Buddha untuk meniti jalan kebaikan dan pencerahan dalam hidup ini. 18 8

Sumber:

1 The Ego is a veil between humans and God’.” “…” – Rumi – Goodreads

 

2 The Dream That Must Be Interpreted – Rumi – Stillness Speaks

 

3  Hubungan antara Ajaran Buddha dan Sufi — Study Buddhism

 

4 8 12 13 Dhammapada – Wikisumber bahasa Indonesia

 

5 Repository.uinjkt.ac.id

 

6 17 18 19 20 21 22 Dalai Lama dalam Percakapan dengan Para Cendekiawan Sufi — Study Buddhism

 

7 Rumah Tamu – Suluk Blog : :

 

9 10 File:Dansende derwisjen Rijksmuseum SK-A-4081.jpeg – Wikimedia Commons

 

11 Agar Kopi Tak Terlalu Pahit, Pelajaran Kecil tentang Moderasi Beragama Halaman 3 – Kompasiana.com

 

14 15 16 I am Buddhist

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE