Kita kian sering menyaksikan berita pejabat publik terjerat korupsi atau menyalahgunakan kekuasaan tanpa sedikit pun ekspresi malu atau takut. Bahkan tidak jarang, pelaku korupsi masih bisa tersenyum tanpa rasa bersalah ketika digiring petugas KPK ke penjara 1. Banyak pula kasus di mana kekayaan seorang pejabat melonjak luar biasa dan anggota keluarganya memamerkan gaya hidup mewah, namun saat terendus KPK bahwa hartanya didapat secara tidak sah, ia malah mati-matian membantah dan melawan aparat penegak hukum tanpa rasa malu 2. Fenomena pejabat yang “tidak memiliki rasa malu sebelum benar-benar terbukti kesalahannya oleh hukum” ini menunjukkan betapa rasa malu dan takut berbuat salah telah menipis di kalangan pemimpin kita 3. Mereka seolah kehilangan hiri (malu) dan ottappa (takut akan akibat perbuatan salah) – dua kualitas moral yang dalam ajaran Buddha disebut sebagai “Pelindung Dunia” 4. Artikel reflektif ini akan mengupas mengapa rasa malu dan takut tersebut kian pudar dari perspektif sosial-politik dan budaya Indonesia saat ini, serta bagaimana ajaran Buddha Dharma – khususnya nilai hiri-ottappa, sila, dan karma – dapat menjelaskan gejala ini. Pada akhirnya, kita akan melihat dampaknya bagi masyarakat dan mencari jalan keluar menurut Dharma Buddha untuk membentuk kepemimpinan yang lebih jujur, berwelas asih, dan bertanggung jawab.
Budaya malu yang dulunya menjadi kendali sosial perilaku kini tampak tergerus di Indonesia 5. Guru Besar Fisipol UGM, Wahyudi Kumorotomo, mengingatkan bahwa terus tergerusnya rasa malu telah menyebabkan etika dan moral politik menjadi masalah serius di Indonesia 5. Jika di negara seperti Jepang para pejabat sangat menjunjung rasa malu – mereka bahkan mundur dan meminta maaf apabila melakukan kesalahan – maka politik di Indonesia justru berjalan di rel berlawanan, di mana banyak politisi yang jelas bersalah tidak memiliki rasa malu sebelum kesalahannya dibuktikan secara hukum 3. Pengakuan atas kesalahan kerap hanya muncul jika sudah terpojok oleh putusan hukum formal, bukan berasal dari hati nurani atau standar etika 6. Dengan kata lain, mahkamah hati nurani seakan tidak berfungsi, tergantikan oleh dalih “belum dinyatakan bersalah di pengadilan” sebagai tameng perilaku tidak etis.
Dari sudut pandang sosial-budaya, pudarnya rasa malu (hiri) ini berakar pada perubahan nilai di masyarakat. Dalam tradisi kita, malu sebenarnya adalah penjaga moral yang penting – pepatah lama mengajarkan “malu bertanya sesat di jalan”, menandakan malu pada hal buruk adalah baik. Namun kini, tanda-tanda hilangnya rasa malu tampak jelas: maraknya korupsi, kebohongan publik, skandal asusila, hingga kejahatan-kejahatan lainnya merupakan contoh menipisnya rasa malu dan bersalah di masyarakat 7. Pada tataran elite, malu bukan lagi menjadi rem perilaku. Seorang kepala daerah bisa bergaya hidup borjuis bak “toko perhiasan berjalan” sementara rakyatnya menderita kemiskinan
8, tanpa merasa itu sesuatu yang memalukan. Pejabat lain memperoleh jabatan melalui suap, lalu sibuk “balik modal” dengan korupsi saat menjabat, alih-alih malu telah mengkhianati amanah rakyat 9.
Semua contoh ini menunjukkan suatu pergeseran budaya, di mana kemewahan, kekuasaan, dan impunitas lebih diagungkan daripada integritas dan rasa hormat pada norma. Ketika lingkungan di sekitar para pemimpin turut permisif – banyak kolega, atasan, atau bahkan sebagian masyarakat yang menoleransi atau mengagumi “kesuksesan” materiil tanpa peduli caranya – maka wajar rasa malu individu kian tumpul. Budaya malu yang dulunya kuat kini merosot, digantikan budaya unapologetic yang menganggap wajar selama “tidak ketahuan” atau “bisa lolos hukum”.
Selain memudaranya malu, rasa takut untuk berbuat jahat (ottappa) juga kian melemah. Takut yang dimaksud bukan takut secara pengecut, melainkan takut akan konsekuensi buruk dari perilaku salah. Secara politik-hukum, hilangnya rasa gentar pejabat terhadap sanksi disebabkan oleh lemahnya penegakan hukum itu sendiri. Banyak koruptor merasa tidak akan dihukum berat, atau percaya bisa “main mata” dengan aparat. Fakta di lapangan mendukung anggapan ini: mayoritas terdakwa korupsi divonis ringan; rata-rata hukuman untuk koruptor hanya sekitar 2 tahun 2 bulan penjara saja 10. Vonis yang rendah dan peluang mendapat remisi membuat efek jera bagi koruptor amat minimal – mereka tidak lagi benar- benar takut pada hukuman duniawi. ICW mencatat lebih dari 80% putusan kasus korupsi tergolong ringan, situasi yang jelas tidak menimbulkan efek jera bagi pelaku maupun pejabat lain yang menonton 11. Hukuman yang tidak setimpal dengan kejahatan besar ini justru mengirim pesan salah: bahwa korupsi adalah high return, low risk.
Di sisi lain, rasa takut bersalah di hadapan Tuhan atau moralitas pun meredup. Indonesia dikenal religius, tapi paradoksnya banyak pejabat yang rajin beribadah masih tega korupsi. Ini menunjukkan adanya pemisahan antara ritual agama dan akhlak sehari-hari – nilai spiritual seperti takut dosa tak tercermin dalam perbuatan. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad SAW ditegaskan: “Jika engkau tidak malu, berbuatlah sesukamu”, mengisyaratkan bahwa ketiadaan malu dan takut akan dosa membuka pintu segala kejahatan 12. Ketika para pemimpin kita tidak lagi takut melanggar sumpah jabatan, tidak takut mengkhianati rakyat, bahkan mungkin tidak takut pada hukuman Tuhan – entah karena merasa bisa tobat nanti atau menganggap kekuasaan dapat melindungi mereka – maka sempurnalah hilangnya dua rem moral itu.
Secara ringkas, faktor sosial-politik dan budaya di balik perilaku pejabat yang tampak kebal rasa malu dan takut ini antara lain: (1) Budaya malu yang terkikis oleh pola pikir materialistis dan permisif, (2) Lemahnya penegakan hukum yang membuat jera menghilang, (3) Lingkaran sosial dan politik yang koruptif sehingga perilaku menyimpang dianggap lumrah (“sama-sama basah”), dan (4) Krisis nilai spiritual di mana ajaran moral/agama tidak dihayati secara mendalam dalam menjalankan tugas publik. Kombinasi ini melahirkan apa yang kita saksikan hari ini: pejabat yang tanpa malu dan takut berbuat korupsi, menyalahgunakan kekuasaan, serta menggadaikan integritas demi kepentingan pribadi.
Hilangnya rasa malu dan takut di kalangan pemimpin bukan sekadar urusan pribadi mereka, melainkan membawa dampak luas bagi masyarakat dan masa depan bangsa. Pertama-tama, maraknya korupsi dan penyimpangan ini jelas merusak sendi-sendi kesejahteraan rakyat. Uang negara yang dicuri berarti lebih sedikit anggaran untuk pembangunan sekolah, rumah sakit, infrastruktur, dan program pengentasan kemiskinan. Tak heran jika korupsi disebut kejahatan luar biasa yang menimbulkan kerusakan multidimensi: menghancurkan keuangan negara, merusak kepercayaan publik, menghambat pembangunan, dan menimbulkan ketimpangan sosial 13. Ketika pejabat sibuk memperkaya diri, rakyat jelata hidup sengsara 14 – kemiskinan dan ketidakadilan pun meningkat. Ini selanjutnya bisa memicu ketidakpuasan sosial yang mendalam.
Dampak lainnya yang sangat serius adalah hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan hukum. Saat wakil rakyat dan pejabat pemerintah terang-terangan berlaku culas tanpa malu, rakyat kehilangan respek. Masyarakat melihat drama para elit yang “berjibaku tanpa rasa malu melawan hukum” 2 dan merasa muak. Akibatnya, muncul sikap apatis dan sinis: untuk apa patuh aturan jika para pembuat aturan saja melanggar? Krisis kepercayaan ini berbahaya bagi demokrasi. Partisipasi publik bisa menurun – orang enggan memilih pada pemilu karena “semua sama saja korup”. Lebih parah, rakyat bisa mengambil jalan pintas sendiri: main hakim sendiri, enggan bayar pajak, atau terpecah belah oleh provokasi populis yang memanfaatkan kemarahan terhadap elit. Integritas yang lenyap di atas melahirkan ketidakpatuhan di bawah.
Secara moral dan kultural, ketika pejabat tak lagi menjadi teladan moral, rusaknya bukan hanya di birokrasi tapi menjalar ke seluruh masyarakat. Generasi muda tumbuh dengan contoh buruk: mereka menyaksikan orang sukses kok justru yang licik, sementara yang jujur tersingkir. Ini mengacaukan kompas moral generasi penerus. Nilai kejujuran, kerja keras yang halal, dan pengabdian jadi pudar pesonanya, tergantikan pragmatisme: yang penting kaya dan berkuasa, tak peduli cara. Jika dibiarkan, siklus ini akan mereproduksi korupsi lintas generasi – kita mencetak calon-calon koruptor baru alih-alih pemimpin berintegritas.
Dampak lain yang tak kalah mengkhawatirkan adalah terganggunya harmoni dan bahkan keseimbangan kehidupan berbangsa. Ajaran Buddha mengingatkan bahwa kepemimpinan yang zalim dan tanpa moral dapat menimbulkan kekacauan besar. Dalam Sutra Raja Berbudi digambarkan bahwa ketika sebuah negara kacau dan para “pencuri negara (koruptor) merampok negara”, rakyat akan hidup menderita, para pejabat tinggi menimbulkan huru-hara politik, dan alam pun seolah ikut murka menurunkan bencana 14.
Bahasa sutra ini memang simbolik, tetapi pesan intinya jelas: ketika integritas para pemimpin runtuh, akibatnya adalah derita rakyat dan rusaknya tatanan kehidupan. Kita sudah merasakan “bencana” sosial-ekonomi dari korupsi: anggaran jebol, utang menumpuk, proyek terbengkalai, krisis keadilan hukum, hingga kemungkinan munculnya gejolak sosial. Ibarat tubuh, negara yang sakit moral pemimpinnya akan melemah daya tahannya menghadapi tantangan apapun.
Singkatnya, dampak hilangnya rasa malu, takut, dan moralitas di kalangan pejabat sangat destruktif: keuangan negara dirugikan, pembangunan tersendat, kesenjangan melebar, kepercayaan publik anjlok, budaya masyarakat rusak, dan stabilitas bangsa terancam. Inilah sebabnya krisis integritas ini tidak boleh dipandang remeh. Ia adalah penyakit sosial yang harus segera diobati pada akarnya – yaitu di dimensi moral-spiritual – selain tentu melalui reformasi sistem. Pada titik inilah, ajaran Buddha Dharma menawarkan perspektif berharga untuk memulihkan kesehatan moral kepemimpinan kita.
Ajaran Buddha menekankan bahwa perbaikan sejati harus berakar dari perubahan batin manusia 15. Reformasi hukum dan sistem penting, namun tanpa revolusi kesadaran, penyakit akan kambuh lagi. Karena itu, solusi fundamental untuk krisis ini adalah menghidupkan kembali nilai-nilai moral dalam diri para pemimpin – yaitu rasa malu dan takut berbuat salah (hiri-ottappa), penegakan sila (moralitas/etika), dan pemahaman mendalam tentang hukum karma (akibat perbuatan). Nilai-nilai Dharma ini sejalan dengan kearifan lokal dan agama manapun, dan dapat menjadi fondasi kepemimpinan yang jujur, berwelas asih, dan bertanggung jawab.
Pertama, menumbuhkan hiri dan ottappa. Hiri adalah rasa malu berbuat jahat, ottappa adalah rasa takut akan konsekuensi perbuatan jahat. Buddha menyebut keduanya sebagai “Lokapāla-Dhamma” atau “Pelindung Dunia” – penjaga moral universal yang mencegah kekacauan 4 . Mengapa disebut pelindung dunia? Karena selama manusia masih memiliki malu dan takut untuk berbuat salah, ia tidak akan sembarangan melanggar norma. Sebaliknya, saat seseorang kehilangan malu dan takut, ia akan leluasa berbuat amoral dan merusak tatanan 4. Inilah yang terjadi pada para pejabat korup: tanpa hiri-ottappa, mereka “tidak merasa terganggu saat melakukan kesalahan”, bahkan kesalahan yang berdampak pada rakyat banyak 16. Jalan keluarnya ialah menghidupkan kembali dua perasaan moral ini dalam diri pemimpin. Secara praktis, hiri bisa dipupuk dengan pendidikan karakter: menyadarkan calon pemimpin tentang hina dan nistanya perbuatan korupsi. Perlu ditanamkan sejak dini bahwa korupsi adalah aib besar bagi diri dan keluarga – sesuatu yang membuat nama tercoreng dan tak layak dibanggakan 17.
Demikian pula, ottappa bisa dikuatkan dengan membangun kesadaran akan akibat: membuat mereka membayangkan derita rakyat yang timbul akibat korupsi mereka, serta ancaman hukuman (duniawi maupun ukhrawi) yang pasti menanti. Upaya ini seperti “vaksin moral”: jika rasa malu dan bersalah kuat tertanam, seseorang akan tercegah melanggar aturan dan norma karena ia tak sanggup menanggung aib dan penyesalannya 18. Tentu, menumbuhkan hiri-ottappa tak bisa instan – perlu keteladanan, pembinaan mental spiritual berkelanjutan, dan stigma sosial yang jelas. Masyarakat pun berperan dengan memberi sanksi sosial tegas pada pejabat tak tahu malu, misal dengan kecaman publik dan tidak memilih mereka lagi. Lambat laun, ketika korupsi benar-benar dianggap memalukan dan menakutkan, para pemimpin akan berpikir seribu kali untuk menyimpang.
Kedua, menegakkan sila (moralitas) sebagai fondasi kepemimpinan. Sila dalam Buddha Dharma berarti disiplin moral – menjaga ucapan, tindakan, dan niat agar selalu berada di jalan kebaikan. Inti sila antara lain tidak mencuri (tidak mengambil yang bukan haknya), tidak berbohong, tidak menyakiti sesama, hidup sederhana, dan menjauhkan diri dari keserakahan. Jelas sekali, korupsi dan penyalahgunaan kuasa adalah pelanggaran sila: mengambil yang bukan hak (pencurian), membohongi rakyat, serta didorong nafsu serakah. Seorang pemimpin tanpa sila ibarat kapal tanpa kemudi – mudah oleng oleh godaan. Buddha mengajarkan bahwa sila adalah prasyarat terciptanya kepercayaan dan keharmonisan. Dalam Majjhima Nikāya, Sang Buddha bersabda: bila seorang pemimpin berharap dicintai, dihormati, dan dipercaya rakyatnya, “hendaknya ia menyempurnakan sila (etikanya)” 19. Ajaran Pancasila kita pun menempatkan moralitas/akhlak mulia sebagai landasan kehidupan berbangsa. Jadi, solusi Dharma sejalan dengan falsafah bangsa: kembalikan moral dan etika sebagai kompas utama pemimpin. Implementasinya, partai politik dan lembaga pemerintah harus menjadikan integritas dan rekam jejak moral sebagai syarat utama promosi jabatan. Code of conduct yang tegas perlu ditegakkan: pemimpin yang melanggar etika harus dikenai sanksi sosial dan politik, tak hanya sanksi hukum. Selain itu, sila juga berarti disiplin diri bagi pejabat: menjalankan hidup sederhana, jujur, dan melayani. Buddha mengingatkan para pemimpin untuk tidak terjebak dalam kemewahan kekuasaan dan menjalani kehidupan yang sederhana agar bisa menjadi teladan 20 21. Kesederhanaan hidup dan ketulusan melayani rakyat akan memupus kecenderungan untuk korup, karena pemimpin sadar jabatannya adalah amanah, bukan kesempatan memperkaya diri.
Sebagai panduan konkret, dalam khazanah Buddhisme terdapat konsep “Dasa Raja Dharma” (Sepuluh Kebajikan Raja), yakni sepuluh prinsip etika bagi seorang pemimpin negara. Menariknya, kesepuluh prinsip ini justru merupakan kualitas yang sekarang hilang dari banyak pejabat kita. Dasa Raja Dharma mengamanatkan seorang pemimpin untuk: dermawan dan berpihak pada kesejahteraan rakyat (dāna), berpegang teguh pada moralitas dan etika (sīla), mau berkorban demi kepentingan umum (pariccāga), menjunjung kejujuran dan integritas (ajjava), memiliki kelembutan hati dan empati (maddava), menjaga kesederhanaan hidup (tapa), menahan diri untuk tidak dikuasai amarah (akkodha), menerapkan tanpa kekerasan (avihiṃsā), melatih kesabaran (khanti), dan menjadi pemersatu, tidak memecah-belah (avirodhana) 22 23. Nilai-nilai universal ini menekankan kejujuran, welas asih, keadilan, dan antikekerasan sebagai fondasi kepemimpinan 24. Dapat kita bayangkan, bila para pemimpin bangsa benar-benar menghayati dan menjalankan prinsip-prinsip tersebut, niscaya korupsi dan penyalahgunaan kuasa tak akan mendapat tempat. Seorang pemimpin yang jujur (ajjava) tidak mungkin mau menipu rakyatnya. Yang empati dan berwelas asih (maddava) pasti akan merasakan penderitaan rakyat miskin sehingga malu hati bila sampai korupsi. Yang adil dan tidak kejam (avihiṃsā) tidak akan tega menyengsarakan orang lain demi keuntungan pribadi. Dan yang sederhana serta tidak dikuasai nafsu (tapa) tidak akan tergiur memperkaya diri secara haram. Dengan kata lain, mengembalikan sila dan kebajikan sebagai pedoman utama akan mencetak pemimpin yang otomatis alergi terhadap korupsi dan penyimpangan.
Ketiga, menyadarkan tentang hukum karma: setiap perbuatan pasti berbuah konsekuensi. Dalam pandangan Buddha Dharma (juga selaras dengan ajaran Hindu), hukum karma adalah hukum alam yang adil dan tak terelakkan. Karma berarti perbuatan, phala berarti buah hasil. Setiap tindakan – baik atau jahat – akan mendatangkan akibat pada pelakunya, entah cepat atau lambat, entah terlihat maupun tidak. Tak ada perbuatan yang benar-benar hilang tanpa bekas; kebaikan akan berbuah kebahagiaan, kejahatan akan membawa penderitaan 25. Prinsip ini mengingatkan bahwa meski seorang koruptor tampak hidup mewah dan seolah kebal hukum, sesungguhnya ia tengah menabung karma buruk yang pasti akan menuai buahnya 26. Sering kali kita memang melihat para koruptor akhirnya mengalami nasib tragis: di akhir hidup dipenjara, kehilangan kehormatan, keluarga berantakan, atau hidup dihantui kecemasan dan rasa bersalah. Semua itu adalah konsekuensi batin dan spiritual yang tak bisa dihindari 27. Keyakinan akan hukum karma ini mestinya ditanamkan kuat-kuat pada setiap pemimpin: bahwa tidak ada yang bisa lari dari akibat perbuatannya. Mungkin akibat itu tidak langsung datang hari ini atau esok, tetapi karma tidak pernah lupa alamat 28. Cepat atau lambat, hasil dari korupsi dan kezaliman akan kembali kepada pelaku – jika tidak berupa hukuman badan, bisa berupa penderitaan batin, sakit-penyakit, kehancuran reputasi, ataupun ganjaran di alam berikutnya. Kesadaran ini akan menumbuhkan ottappa (takut berbuat salah) yang sejati dari dalam diri. Pemimpin yang yakin hukum karma bekerja adil akan takut korupsi meski tak ada CCTV atau KPK yang melihat, karena ia tahu hukum semesta selalu menyaksikan perbuatannya 29 30. Sebaliknya, pemimpin yang tetap nekat korupsi padahal paham hukum karma ibarat orang yang menantang petir di tengah badai – sangat dungu dan angkuh, pasti akan celaka oleh perbuatannya sendiri.
Selain tiga nilai utama di atas, ajaran Buddha juga menekankan pengembangan cinta kasih (mettā) dan welas asih (karuṇā) dalam kepemimpinan. Seorang pemimpin ideal adalah yang mengasihi rakyat layaknya orang tua mengasihi anaknya. Dengan welas asih, pejabat akan memandang jabatan sebagai kesempatan untuk menyejahterakan orang banyak, bukan sarana menumpuk harta. Welas asih melunakkan hati yang keras oleh ambisi, sehingga memunculkan ketulusan melayani. Kualitas belas kasih ini sangat relevan bagi Indonesia yang bhinneka: pemimpin berwelas asih akan peka terhadap penderitaan semua golongan, memperlakukan warga dengan empati dan kehumanisan. Ia akan malu bila dirinya menikmati fasilitas mewah sementara masih banyak rakyat miskin; ia akan takut melukai hati rakyat karena baginya itu sama saja melukai diri sendiri. Dengan welas asih, lahir pula tanggung jawab sejati – karena kasih selalu membawa rasa tanggung jawab untuk menjaga, melindungi, dan memenuhi kebutuhan yang dikasihi. Inilah potret kepemimpinan Buddha Dharma: jujur, bermoral, penuh kasih, non-diskriminatif, dan mengayomi. Bukan kebetulan, kualitas ini juga selaras dengan nilai semua agama besar dan falsafah Pancasila kita 24.
Pada akhirnya, krisis hilangnya malu dan takut di kalangan pejabat adalah panggilan bagi kita semua untuk menggugah kembali kesadaran moral bangsa. Kita perlu menyadari, solusi hukum saja tidak cukup – diperlukan revolusi mental dan spiritual. Penegakan hukum yang tegas wajib dilanjutkan, tetapi di saat yang sama pendidikan antikorupsi berbasis nilai harus dimulai dari rumah, sekolah, hingga lingkungan kerja 31. Setiap keluarga, guru, tokoh agama, dan pemimpin masyarakat harus menanamkan bahwa menjadi pribadi jujur, adil, dan bertanggung jawab adalah kebajikan luhur – itulah wujud pengamalan hukum karma dalam keseharian 31. Rakyat pun mesti berani menolak politik uang dan tidak tergiur ikut-ikut jalan pintas korupsi. Dengan demikian, kita membangun ekosistem yang mendukung lahirnya pemimpin berintegritas.
Ajaran Buddha memberi optimisme bahwa perubahan itu mungkin. Hyang Buddha menegaskan, akar permasalahan ada di pikiran manusia, dan di sanalah pembenahan harus dilakukan 15. Perubahan dari dalam diri inilah yang akan bertahan lama. Ketika hati nurani para pemimpin kembali hidup oleh rasa malu dan takut berbuat salah, ketika mereka berpegang pada moralitas dan welas asih, niscaya roda pemerintahan akan berputar ke arah yang benar. Rakyat pun akan kembali menaruh hormat dan percaya. Pemerintahan yang bersih dan berwibawa bukan utopia – sejarah mencatat teladan seperti Raja Ashoka di India kuno, yang setelah memeluk Dharma memerintah dengan penuh kasih dan kejujuran demi kesejahteraan semua makhluk 32 33. Ia dikenang sepanjang masa sebagai pemimpin adil nan bijaksana. Kita mungkin tidak berharap pemimpin sekarang langsung menjelma seperti Ashoka, tapi kita bisa mulai dengan membangun budaya malu dan integritas tanpa toleransi pada korupsi 34 35.
Sebagai penutup, marilah kita renungkan: bangsa yang besar bukan hanya dilihat dari ekonomi atau militernya, tetapi dari kesadaran etis dan spiritual warganya 36. Bila setiap individu – terutama yang dipercaya memegang amanah publik – sadar bahwa segala tindak-tanduknya akan menuai akibat dan tercatat dalam hati nurani maupun hukum alam, tentu ia akan lebih hati-hati. Pemimpin yang baik lahir dari manusia yang baik secara moral. Karena itu, pembenahan karakter dan kesadaran ini harus menjadi gerakan bersama. Dengan meneladani nilai-nilai Buddha Dharma seperti hiri-ottappa, sila, dan karma, para pemimpin dapat menemukan jalan kembali menuju integritas. Rakyat pun perlu terus mengawal dengan suara hati nurani kolektif: memberikan apresiasi kepada pemimpin jujur dan teguran kepada yang khianat.
Saat para pejabat kita kembali memiliki rasa malu untuk berbuat salah dan takut mengkhianati amanah, di situlah harapan Indonesia Maju akan terang. Kepemimpinan yang jujur, berwelas asih, dan bertanggung jawab bukan sekadar impian – ia bisa terwujud jika kita berani berubah dari dalam. Seperti kata pepatah Buddha: “Tidak ada kejahatan yang tak bisa dihentikan, selama kita mau berbalik menuju kebaikan.” Mari bangkitkan lagi malu dan takut untuk salah, demi Indonesia yang lebih bermartabat dan beradab. Jika para pemimpin berani berjalan di jalan Dharma, rakyat pun akan kembali menyanjung: “Semoga Yang Mulia panjang umur” 37 – tanda kepercayaan yang lahir dari kepemimpinan berbudi luhur.
1 12 17 18 34 35 Transformasi Komisi Pemberantasan Korupsi Mendorong Efektivitas Wajah Baru Pemberantasan Korupsi di Indonesia – Birokrat Menulis
2 7 8 9 16 Memupuk rasa malu untuk mewujudkan Indonesia Maju – ANTARA News
3 5 6 Budaya Malu, Mari Belajar dari Jepang
4 14 15 19 20 32 33 37 Etika Berbangsa & Bernegara Dalam Perspektif Ajaran Buddha – Majalah Harmoni
10 11 Vonis Ringan Tidak Membuat Koruptor Jera | ICW
13 25 26 27 28 31 36 Korupsi dan Hukum Karma Phala: Jalan Hidup Tak Pernah Bebas dari Akibat – Kompasiana.com
21 22 23 24 Kepemimpinan Buddhis sebagai Inspirasi Universal bagi Negara di Tengah Krisis | kumparan.com
29 Sradha Bhakti dan Anti Korupsi
30 “Senyum dalam Moha: Ketika Korupsi Jadi Panggung Karma …
Leave a Reply