Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Koin di Balik Jubah Kathina: Mengusut “Komisi” Dana Umat di Vihara

Koin di Balik Jubah Kathina: Mengusut “Komisi” Dana Umat di Vihara

September 24, 2025
Pendahuluan

Di balik perayaan Kathina yang khidmat, terselip praktik kontroversial: beberapa vihara diduga meminta komisi dari dana persembahan umat. Investigasi ini menyoroti tarik-menarik antara idealisme etika Buddhis dan kebutuhan operasional vihara, disertai reaksi umat serta Sangha. Pengamatan ke negara Buddhis lain menguak pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam mengelola dana suci umat.

 

Beberapa umat mulai berbisik resah. Seusai upacara Kathina – ritual tahunan di akhir masa vassa di mana umat Buddha mempersembahkan dana dan jubah baru kepada para bhikkhu sebagai ungkapan syukur 1 – mereka mempertanyakan ke mana larinya sebagian donasi yang terkumpul. Di satu vihara kota besar, misalnya, terkumpul dana puluhan juta rupiah pada perayaan Kathina tahun lalu. Umat mengira seluruhnya bakal diserahkan untuk kebutuhan Sangha (komunitas bhikkhu). Namun belakangan terungkap, panitia vihara tersebut hanya menyerahkan sebagian dana kepada para bhikkhu, sementara sisanya masuk ke kas vihara. “Ada ‘potongan’ sekian persen untuk vihara,” ujar seorang donatur yang enggan disebut namanya, mengibaratkan praktik ini bak komisi tak resmi atas dana suci umat. Kasus semacam ini tidak berdiri sendiri – sejumlah vihara dikabarkan menerapkan kebijakan serupa, diam-diam mengambil jatah dari dana Kathina yang seharusnya diperuntukkan bagi para bhikkhu.

Etika vs. Kebutuhan Operasional Vihara

Praktik meminta persentase dari dana persembahan segera memicu perdebatan mendasar: apakah moral mengalihkan sebagian dana umat untuk kepentingan vihara? Dari sudut pandang etika Buddhis, dana atau berdana merupakan laku suci yang mengedepankan ketulusan hati. Donasi yang diberikan umat – baik berupa uang maupun barang – adalah wujud dukungan tulus bagi kegiatan spiritual dan sosial di vihara 2. Kepercayaan umat melekat di situ: mereka berharap dana tersebut dipakai semestinya untuk keperluan mulia seperti pemeliharaan tempat ibadah, pelayanan Sangha, kegiatan pendidikan Dhamma, atau bantuan bagi yang membutuhkan 3. Vinaya, aturan disiplin monastik Buddhis, bahkan melarang para bhikkhu secara langsung menerima atau mengelola uang 4. Para bhikkhu idealnya hidup lepas dari urusan material; mereka mengandalkan umat atau petugas (kappiya) untuk memegang dan mengatur dana demi mencegah keterikatan 5. Aturan ini menegaskan bahwa dengan menjadi bhikkhu, seseorang “menunjukkan dengan memberi teladan bahwa mengejar kekayaan bukanlah jalan yang benar untuk mencapai kebahagiaan” 6.

 

Di sisi lain, pengurus vihara kerap menghadapi tekanan realitas: listrik, air, perawatan gedung, honor staf, hingga biaya ritual harian – semua menuntut dana operasional. Dalam lingkungan minoritas dengan sumber daya terbatas, sebagian vihara mengaku terpaksa “mengakali” aliran dana perayaan besar seperti Kathina demi kelangsungan kegiatan. Sangha Dana Kathina memang biasanya melimpah; ribuan umat hadir membawa amplop dan sesaji. Bagi pengurus vihara, inilah kesempatan mengumpulkan cukup dana untuk menutup anggaran tahunan. “Bukan ingin mengambil untung – tapi kalau tidak ada alokasi, bagaimana vihara membayar rekening dan merawat fasilitas?” demikian alasan tak resmi yang kerap terdengar.

 

Beberapa vihara bahkan secara sistematis membagi hasil dana Kathina. Sebuah studi kasus di Vihara Buddha Metta Arama, Jakarta, mengungkap bahwa dana Kathina di sana dibagi dua: “Dari dana yang diperoleh, sebesar 50% diserahkan kepada Sangha dan 50% lainnya digunakan untuk biaya operasional vihara serta kegiatan sosial lainnya” 7. Pengaturan 50:50 ini diakui salah satu bhikkhu pengurus vihara tersebut dalam wawancara penelitian pada 2006, dan konon sudah lama menjadi kebijakan internal. Artinya, separuh dari uang yang umat niatkan bagi para bhikkhu, oleh vihara dialihkan untuk kas internal dan program sosial.

 

Secara logis, argumentasi pihak vihara ada benarnya: para bhikkhu umumnya hanya membutuhkan pemenuhan empat kebutuhan pokok (pangan, sandang, papan, obat). Bila dana yang terkumpul jauh melebihi kebutuhan langsung Sangha, kelebihannya dapat dimanfaatkan untuk keperluan umat yang lebih luas – misalnya memperbaiki atap vihara yang bocor, membiayai kelas Dhamma bagi anak-anak, atau membantu fakir miskin melalui bakti sosial. Dalam pandangan ini, mengambil porsi dana Kathina dianggap win-win solution: Sangha terbantu, vihara pun terpelihara. Bahkan di negara Buddhis seperti Thailand, tradisi Kathina memang mencakup sumbangan bagi vihara. Umat biasanya mempersembahkan “pohon uang” bersama jubah Kathina – lembaran uang digantung pada pohon hias – yang secara terbuka diperuntukkan bagi operasional dan pembangunan vihara 8. Kathina di sana juga kerap menjadi ajang fundraising untuk proyek khusus; donasi uang sengaja dikumpulkan selain persembahan jubah, agar “vihara memiliki dana untuk beroperasi” 8 9. Dengan kata lain, menyumbang bagi pemeliharaan vihara di saat Kathina bukan hal tabu – selama dilakukan transparan dan sesuai kesepakatan.

 

Namun masalah muncul ketika niat dan pelaksanaan tidak sejalan dengan etika keterbukaan. Berbeda dengan contoh Thailand di atas, di mana umat sadar dan rela memberi sebagian dana untuk vihara, di Indonesia beberapa kasus menunjukkan lack of transparency. Umat kaget mendapati tak semua donasinya sampai ke tangan Sangha. “Saya pikir uang itu full untuk para bhante, tapi ternyata dipotong buat kas ini- itu,” keluh seorang umat. Ada kesan seolah-olah panitia “memungut komisi” secara sepihak atas nama biaya administrasi. Makna suci berdana pun terciderai – alih-alih spontan dan bebas pamrih, umat merasa pahala mereka seakan dikenai pajak oleh pengurus vihara. Apalagi jika potongannya signifikan, hingga puluhan persen, wajar muncul tudingan bahwa praktik ini dekat-dekat dengan penyalahgunaan wewenang.

Suara Umat dan Sangha: Antara Kecewa dan Pemakluman

Dari pihak umat, respons beragam mengemuka. Sebagian merasa kecewa dan marah. Mereka ikhlas menyisihkan rezeki demi kebajikan, namun belakangan mendapati dana “disunat”. “Kalau butuh biaya listrik atau renovasi, mestinya diumumkan jelas sejak awal. Saya pasti dukung,” kata seorang donatur senior. Baginya, bukan besaran nominal yang jadi soal, melainkan transparansi dan kejujuran. Umat Buddha diajarkan berdana dengan tulus tanpa mengharapkan imbalan, tetapi juga berhak tahu penggunaannya agar yakin donasi mereka tidak disalahgunakan. Kisah-kisah penggelapan dana umat di rumah ibadah agama apapun telah banyak merontokkan kepercayaan publik. Dalam konteks vihara, kasus penyelewengan dana umat bukan lagi isu langka – media kerap menyorot fakta pahit bahwa tidak semua dana dikelola transparan dan akuntabel 10. Praktik penggelapan dana vihara jelas merugikan secara finansial sekaligus menggoyahkan kepercayaan umat 10. Di balik kedok kesucian vihara, ada saja oknum tergoda menyelewengkan donasi untuk kepentingan pribadi. Mulai dari dana pembangunan yang digelapkan, sumbangan rutin yang “bocor”, hingga penyalahgunaan kas operasional harian – modusnya beragam 11. Kasus-kasus inilah yang menghantui benak umat ketika mendengar kabar komisi Kathina. Sekecil apapun alasan “potongan” itu, trauma kolektif terhadap uang umat yang diselewengkan membuat umat spontan curiga. “Jangan-jangan cuma dalih, siapa yang ngawasin?”, begitu gumam beberapa anggota komunitas.

Di sisi lain, ada pula umat yang memaklumi kebutuhan vihara. Mereka berpendapat selama potongan dana tersebut benar-benar dipakai untuk kemajuan vihara dan bukan memperkaya oknum, hal itu masih dalam koridor wajar. “Bhante juga manusia, vihara butuh biaya,” ujar seorang umat yang aktif sebagai pengurus harian. Golongan ini biasanya lebih memahami detail operasional vihara. Mereka tahu betapa sulitnya membayar tagihan bulanan atau membiayai perawatan arama jika mengandalkan kotak dana mingguan yang sering kosong. Bagi mereka, asal dilakukan dengan persetujuan bersama dan jumlah yang pantas, alokasi sebagian dana Kathina untuk vihara justru investasi jangka panjang demi kelangsungan pelayanan Dhamma. “Daripada vihara tutup karena bangkrut, lebih baik kan dikelola bersama dana umat itu,” tambahnya. Meski begitu, kelompok ini pun sepakat: pengelolaan dana harus terbuka. Jika memang 30% atau 50% dana Kathina dialihkan, harus diumumkan di papan pengumuman atau laporan publik, agar tak menimbulkan fitnah.

 

Bagaimana dengan suara dari Sangha sendiri? Secara resmi, organisasi Sangha biasanya enggan terseret polemik finansial. Para bhikkhu, terutama tradisi Theravāda, lazimnya menyerahkan urusan uang kepada Dayaka Sabha (dewan penyantun/majelis vihara yang terdiri dari umat awam). Namun, sejumlah bhikkhu senior tak menutupi keprihatinan mereka. Seorang bhante dalam satu khotbah pernah mengingatkan agar pengurus vihara jangan sampai “berbisnis” dengan dana umat. Ia menegaskan, bhikkhu yang sejati telah meninggalkan urusan duniawi demi Dhamma, maka pengurus wajib menjaga kesucian niat umat dengan tidak bermain-main soal uang. Larangan Vinaya tentang bhikkhu menerima atau meminta uang ada untuk alasan kuat: mencegah timbulnya keserakahan dan konflik kepentingan di lingkungan spiritual 4.

 

Bila ada bhikkhu terlibat mengarahkan umat demi keuntungan materi – misal menjanjikan karma baik berlipat ganda jika berdonasi besar – hal itu justru melanggar semangat kemoralan. Kenyataannya, pernah ada oknum pemuka agama yang memanfaatkan pengaruhnya menggerakkan umat menyumbang dengan iming-iming pahala berlebih atau janji surgawi, tapi belakangan dana itu tidak jelas juntrungannya 12. Sangha Theravāda Indonesia sebagai wadah resmi para bhikkhu pun kerap menekankan hidup sederhana sesuai Dhamma. Bhikkhu seharusnya menjadi teladan antikemelekatan, bukan malah menumpuk harta. Ajaran Buddha penuh kisah para bhikkhu yang menolak emas permata; dalam Vinaya, terang disebutkan bhikkhu yang menerima atau menyuruh orang lain menerima uang atas nama dirinya telah melanggar aturan 4. Nilai moral yang dikhianati oleh penyimpangan finansial ini tak bisa dianggap enteng: “Ketika dana yang dikumpulkan dengan niat suci justru disalahgunakan demi keuntungan pribadi, hal ini mencederai kepercayaan umat dan mencoreng nama baik vihara” tegas sebuah artikel keagamaan, menyerukan agar pelaku penyimpangan dihukum sesuai hukum dan norma 13 14.

Cermin dari Negara Buddhis Lain

Fenomena tarik-ulur antara dana umat, vihara, dan integritas pengelola bukan monopoli Indonesia. Di berbagai negara dengan tradisi Buddhist kuat, isu serupa mencuat dalam bentuk berbeda-beda intensitas. Thailand, misalnya, belakangan menghadapi gelombang skandal yang mengguncang kepercayaan publik terhadap institusi Sangha. Beberapa tahun terakhir, media Thailand ramai memberitakan kasus penyelewengan dana di kuil-kuil besar: ada yang melibatkan tujuh bhikkhu yang dituduh menggelapkan donasi umat hingga 300 juta baht (sekitar Rp130 miliar) dari rekening vihara 15. Para pelaku – termasuk bekas kepala vihara – diduga menilep sumbangan yang mestinya digunakan untuk pembangunan dan operasional, menggunakan uang itu untuk kepentingan pribadi. Otoritas Thailand geram karena tindakan
tersebut “sangat merusak agama Buddha” 15. Para bhikkhu terlibat langsung ditahan dan disrobed (dipecat dari jubah) sebagai bentuk sanksi 16.

 

Kasus demi kasus di Thailand membuktikan bahwa tanpa tata kelola jelas, godaan uang dapat menyusup bahkan ke lingkungan suci. Tahun 2018, pemerintah Thailand melakukan penangkapan besar-besaran terhadap oknum Sangha demi membersihkan citra agama 17. Meski demikian, hingga 2022-2025 pun skandal baru terus bermunculan – mulai dari korupsi dana vihara, pendeta berlagak selebritas dengan barang mewah, hingga tuduhan pelecehan. Media Thai seperti The Nation menggambarkan situasi ini sebagai “krisis kepercayaan” terhadap para bhikkhu 18. Laporan itu menyebut skandal, gaya hidup mewah, dan kurangnya transparansi finansial di vihara-vihara besar telah menggerogoti kepercayaan umat 19 20.

 

Bayangkan, temple di Thailand menerima sumbangan miliaran setiap tahun, namun banyak yang tidak punya pembukuan jelas atau laporan terbuka 21. Publik pun mulai curiga, jangan-jangan uangnya disalahurus. Ternyata benar, audit pemerintah menemukan banyak penyimpangan, bahkan melibatkan sindikat pemalsuan kuitansi donasi untuk mengelabui auditor pemerintah. Reaksi masyarakat? Marah dan sedih. Donasi keagamaan yang diniatkan untuk kebajikan dunia akhirat justru jadi ladang subur korupsi.

 

Sebagai respons, otoritas dan tokoh Buddhis di sana kini menyerukan reformasi. OAB (Office of National Buddhism) – semacam kementerian agama khusus Buddha – mengusulkan aturan yang lebih ketat, bahkan hukuman pidana bagi bhikkhu atau awam yang terlibat penyelewengan dana vihara 22. Wacana modern seperti e-donation muncul: semua sumbangan diwacanakan pakai sistem elektronik agar jejaknya transparan, menghindari amplop tunai yang rawan disalahgunakan. Transparansi dan akuntabilitas jadi kata kunci. Media Thai menekankan perlunya kuil-kuil mengadopsi praktik akuntansi standar dan membuka laporan keuangan ke publik 23. Bahkan, di sejumlah wihara besar, kini terpampang papan digital real-time yang menampilkan jumlah donasi masuk dan penggunaannya – sebuah inovasi untuk memulihkan kepercayaan.

 

Selain Thailand, kasus di negara lain juga patut dicatat. Sri Lanka, misalnya, pernah digemparkan skandal seorang kepala biara terkenal yang dituduh menggelapkan dana pembangunan stupa. Sementara di Myanmar, kontroversi muncul ketika pemerintah junta memanfaatkan donasi umat untuk agenda politik, membuat sebagian bhikkhu protes. Intinya serupa: dana keagamaan rawan disalahgunakan jika mekanisme kontrol longgar dan etika personal rapuh. Di negara-negara tersebut, masyarakat sipil Buddhis mulai lebih vokal menuntut pengelolaan terbuka. Banyak vihara kini menyambut audit independen dan membentuk panitia umat untuk ikut mengawasi keuangan. Mereka belajar dari pahitnya skandal bahwa sekali kepercayaan hilang, dampaknya luas: umat enggan berdana lagi, citra agama tercoreng, dan akhirnya kegiatan keagamaan yang rugi.

 

Menariknya, di tengah badai skandal, praktik positif tetap ada. Banyak vihara di luar negeri menjalankan manajemen dana umat secara profesional. Tiap akhir tahun, misalnya, vihara-vihara di Singapura dan Malaysia mengirim laporan keuangan terperinci ke para donatur dan menempelkan ringkasannya di papan pengumuman. Di Jepang, kuil Buddha yang kaya raya sekalipun tunduk pada audit pemerintah dan wajib melaporkan pemasukan dari umat. Hal-hal semacam ini menunjukkan bahwa transparansi bukan hal mustahil dalam lingkup keagamaan, tanpa mengurangi khidmatnya ibadah.

Membangun Transparansi dan Akuntabilitas Dana Umat

Kembali ke tanah air, apakah praktik “komisi Kathina” ini akan dibiarkan abu-abu atau dijernihkan? Jalan keluarnya sebetulnya jelas: transparansi dan akuntabilitas. Pakar dan tokoh lintas majelis Buddhis telah berulang kali menyerukan langkah konkret untuk mencegah penyelewengan dana vihara. Pertama, pengelolaan keuangan harus transparan – buatlah laporan pemasukan dan pengeluaran secara berkala, lalu umumkan kepada umat 24. Di era digital, laporan ini bahkan bisa dikirim via grup WhatsApp umat atau dipampang di media sosial resmi vihara. Umat berhak tahu berapa dana Kathina terkumpul dan ke mana saja dialokasikan. Kedua, perlu sistem pengawasan independen: audit internal oleh tim yang kredibel, melibatkan tokoh umat yang dihormati integritasnya 25. Jika perlu, gandeng akuntan profesional untuk memeriksa buku kas vihara tiap tahun. Ketiga, peningkatan kesadaran hukum bagi pengurus vihara 25. Banyak pengurus awam mungkin tak paham bahwa menyelewengkan dana umat bisa dijerat pasal pidana penggelapan 26. Edukasi tentang konsekuensi hukum dan moral harus ditegakkan – bahwa menjadi bendahara vihara bukan cek kosong untuk memakai uang seenaknya. Keempat, penguatan peran serta umat 27. Umat jangan pasif menyerahkan uang lalu lepas tangan. Partisipasi aktif umat dalam mengawasi keuangan akan menciptakan checks and balances alami. Misalnya, bentuk komite kecil yang mewakili donatur untuk memonitor realisasi penggunaan dana Kathina selama setahun setelah upacara.

 

Lebih jauh, budaya transparansi itu sendiri perlu dibangun sebagai nilai bersama. Vihara yang sehat secara finansial sebaiknya mengumumkan kebijakan dana secara gamblang sebelum acara. Jika memang ada kesepakatan mengambil 10%–20% untuk biaya operasional, utarakan di muka sebagai dana kepanitiaan atau dana vihara. Dengan begitu, umat berdana dengan sadar dan ridha. Tidak ada dusta di antara umat dan pengurus. Akuntabilitas juga berarti siap diaudit dan dikritik. Pengurus mesti lapang dada menerima pertanyaan kritis: Mengapa belanja bulan ini besar? Kenapa bangunan belum selesai padahal dana ada? Sikap defensif atau menutupi hanya menumbuhkan bibit ketidakpercayaan. Sebaliknya, keterbukaan mengundang simpati dan dukungan lebih besar.

 

Pada akhirnya, kontroversi “komisi Kathina” menyisakan pelajaran berharga: pengelolaan dana umat bukan semata perkara administrasi, tapi juga amanah moral. Vihara – sebagai tempat suci – selayaknya menjadi contoh integritas, bukan malah dituding bak perusahaan yang ambil untung. Ketika umat berdana, mereka menitipkan harapan dan kepercayaan. Jika ada kebutuhan operasional, umat pasti tak keberatan membantu, asal dikelola jujur. Seperti diungkap dalam seruan bersama salah satu organisasi Buddhis, “sebagai umat beragama, kita memiliki tanggung jawab menjaga kesucian tempat ibadah dan memastikan dana umat digunakan sesuai peruntukannya” 28. Artinya, semua pihak – bhikkhu, pengurus, dan umat – harus saling mengawasi dan mengingatkan agar dana suci tidak dikotori niat culas.

 

Dengan transparansi sebagai tameng dan akuntabilitas sebagai pedoman, praktik curang dapat ditekan. Umat pun kembali tenang berdana tanpa curiga, karena tahu setiap rupiah dicatat dan dimanfaatkan benar. Inilah tantangan sekaligus kesempatan bagi komunitas Buddhis: membuktikan bahwa nilai-nilai Dhamma bisa diwujudkan hingga ke hal serinci pengelolaan keuangan. Jangan sampai “komisi” diam-diam justru menggerogoti komitmen spiritual yang jauh lebih bernilai. Mengelola dana umat dengan jujur bukan hanya tuntutan hukum, tapi sebuah perwujudan nyata dari sīla (moralitas) dan saṅghānussati (menghormat kepada Sangha) dalam praktik sehari-hari. Dengan begitu, setiap lembar uang yang umat taruh di kaki altar akan benar-benar menjadi berkah – mengalir bersih untuk kemajuan Buddha-Dhamma dan kemaslahatan bersama, tanpa ada koin yang terselip di saku kepentingan pribadi.

Sumber Referensi :

1 Kathina – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas.

 

2 3 10 11 12 13 14 24 25 26 27 28 Bongkar Praktik Licik Pengelolaan Dana Vihara yang Merugikan Umat – Louis Adi Putra.

 

4 5 6 Peraturan.indd.

 

7 Microsoft Word – Upacara Kathina dalam agama Budha studi Kasus pada Vihara Buddha.

 

8 9 Kathina – Annual Buddhist Robe Presentation – Thailand Foundation.

 

15 16 17 Buddhist Monks in Thailand Accused of Embezzling Temple Funds – Buddhistdoor Global.

 

18 19 20 21 22 23 Thailand faces crisis of faith in the monkhood amid scandals and shifting social roles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE