Budaya dāna (berdana) di kalangan umat Buddha umumnya sangat kuat, terutama ketika berdana untuk keperluan tradisional seperti kebutuhan Saṅgha (para bhikkhu) dan pembangunan sarana ibadah. Setiap tahun pada musim Kathina, antusiasme umat untuk berdana sangat tinggi. Misalnya, saat perayaan Kathina di Vihara Giri Santi Loka Jepara, ratusan umat dengan sukacita mempersembahkan dana jubah (pakaian bhikkhu) dan paket kebutuhan pokok para bhikkhu 1. Dana makanan bagi bhikkhu juga melimpah; umat berebut kesempatan memberikan pindapāta atau berdana makanan setiap hari. Di berbagai kampanye penggalangan dana, kebutuhan untuk Sangha Dana kerap terpenuhi 100%. Contohnya, kampanye dana makan bagi 2.000 anggota Saṅgha di Bodhgaya berhasil mengumpulkan lebih dari Rp 1,08 miliar (100% dari target) 2. Bahkan acara Mahā Dana Waisak di Borobudur mampu menggalang dana hingga Rp 605 juta demi mendukung ritual besar tersebut 3. Hal serupa terjadi untuk proyek pembangunan fisik: penggalangan dana pembuatan rupaka (patung Buddha) atau pembangunan vihara baru cenderung cepat terdanai berkat kemurahan hati para donatur besar. Para umat merasa bangga turut berpartisipasi mendirikan vihara atau mempersembahkan rupaka; tak jarang kebutuhan ratusan juta rupiah dapat terkumpul dalam waktu relatif singkat.
Berbanding terbalik dengan dana untuk Saṅgha dan sarana ibadah yang berlimpah, pendanaan untuk kegiatan operasional pemuda vihara dan program penyebaran Dhamma berbasis teknologi masih sangat minim. Upaya penggalangan dana untuk acara kepemudaan kerap sepi peminat. Sebagai contoh, Sekber Pemuda Buddhayana Jawa Tengah pernah menggalang dana Rp 36 juta untuk acara Sarasehan dan Temu Karya Daerah dengan 250 peserta muda-mudi, namun hingga batas waktu hanya terkumpul sekitar 14% (Rp 4,9 juta) saja 4. Ini berarti acara pemuda tersebut terpaksa berjalan dengan anggaran pas- pasan. Minimnya dukungan dana membuat kegiatan anak muda Buddhis sering kurang inovatif dan kalah menarik dibanding kegiatan lain.
Para pemuda vihara terpaksa memanfaatkan sarana gratis atau seadanya untuk dakwah digital. Misalnya, dalam pembuatan konten podcast Dhamma, video YouTube, atau pengelolaan website vihara dan media sosial, banyak pemuda menggunakan peralatan dan perangkat lunak gratis yang terbatas fiturnya. Alhasil, kualitas konten dakwah sering kalah bersaing dengan konten kreator profesional di internet. Padahal, di era ekonomi digital seharusnya konten Dhamma bisa dikemas menarik dan bahkan berpotensi monetisasi demi mendukung finansial vihara. Namun tanpa dukungan dana operasional (untuk membeli plugin berbayar, lisensi software editing, peralatan kamera, dll), standar produksi konten tetap sederhana. Ibaratnya, para pemuda Buddhis sedang berlomba di arena digital dengan modal minim. Sementara itu, dana umat yang tersedia sering kali “dikunci” untuk keperluan tradisional atau bahkan disimpan sebagai dana abadi organisasi.
Beberapa yayasan Buddhis menerapkan kebijakan konservatif: misalnya Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) hanya memakai 50% dari sumbangan sukarela bulanan untuk kegiatan, sedangkan separuhnya ditahan sebagai dana abadi yang tidak boleh dipakai 5. Kebijakan semacam ini memang bertujuan baik (menjamin kestabilan finansial jangka panjang), namun jika semua dana hanya ditabung dan enggan dialokasikan untuk inovasi, perkembangan program pembinaan generasi muda akan tersendat.
Minimnya investasi terhadap kegiatan dan pengembangan pemuda berdampak serius pada regenerasi umat Buddha. Perkembangan agama Buddha di kalangan anak muda berjalan lambat, bahkan cenderung stagnan. Sering kali di vihara, pemuda hanya dilibatkan sebagai sukarelawan pelaksana acara rutin, tanpa diberi ruang berkreasi apalagi kepercayaan mengelola program baru. Akibatnya, banyak pemuda merasa “tidak diberdayakan” dan kurang terikat batin dengan vihara. Ironisnya, ketika ide-ide inovatif muncul (misalnya membuat kanal YouTube Dhamma kreatif, atau mengadakan pelatihan keluar negeri), sering kali mentok karena ketiadaan anggaran dan dukungan dari para tetua.
Kondisi internal vihara yang terlalu didominasi generasi tua dan kadang diwarnai konflik atau birokrasi politik internal juga membuat anak muda kurang betah. Mereka enggan terlibat jika setiap inisiatif tersandung perdebatan atau curiga dari para orang tua. Tanpa otonomi pemuda yang jelas, anak muda takut “terkontaminasi” drama internal. Alhasil, banyak dari mereka memilih menjauh. Beberapa mungkin “pindah server” – istilah gaul yang menggambarkan anak muda Buddha yang beralih ke komunitas lain atau bahkan agama lain yang dirasa lebih relevan bagi mereka. Fenomena ini mulai tampak; misalnya dalam studi lokal di Wonogiri, generasi muda Buddhis lebih tertarik pada karier di bidang digital dan kurang berminat menjadi penyuluh agama karena merasa lingkungan pelayanan keagamaan tidak sesuai minat mereka 6. Jika dibiarkan, gap antargenerasi makin melebar: jumlah umat muda aktif di vihara makin sedikit, sedangkan umat lansia menua tanpa penerus. Perlu disadari bahwa tantangan masa depan jauh lebih berat. Para pengurus vihara dituntut mereformasi pola pikir dan manajemen, karena tanpa regenerasi, vihara bisa kehilangan relevansi di mata generasi zaman now.
Melihat ketimpangan di atas, sudah saatnya dilakukan perubahan strategi pendanaan di lingkungan umat Buddha. Konsep subsidi silang antar-pos anggaran layak dipertimbangkan: ketika pos dana untuk Saṅgha dan ritual sudah terpenuhi berlebih, sebagian dapat dialokasikan untuk program pengembangan umat, terutama generasi muda. Tentu, ini perlu dilakukan secara transparan dan etis – misalnya atas persetujuan donatur atau diarahkan sejak awal bahwa sumbangan “kelebihan” akan dialihkan ke pendidikan dan pemuda. Pihak Saṅgha dan majelis-majelis agama Buddha juga diharapkan mendukung upaya ini dengan kebijaksanaan. Alih-alih menumpuk dana operasional sebagai cadangan pasif, lebih baik diinvestasikan dalam bentuk beasiswa pemuda, pelatihan keterampilan, atau pembangunan unit kegiatan pemuda. Beberapa langkah konkrit yang bisa dilakukan antara lain :
Sudah waktunya umat Buddha, terutama para dermawan dan pengurus vihara, melakukan refleksi mendalam. Apakah dana yang kita keluarkan sudah seimbang antara mendukung Saṅgha dan membina umat? Jangan sampai dana melimpah hanya untuk hal-hal tradisional, sementara masa depan agama – yakni para pemudanya – dibiarkan kekurangan dukungan. Kita perlu mengubah paradigma bahwa berdana kepada pemuda atau untuk hal “operasional” itu nilainya lebih rendah. Justru, berdana untuk pendidikan, pembinaan, dan kreativitas generasi muda merupakan investasi spiritual jangka panjang. Bayangkan, dari dana yang kita alihkan untuk melatih seorang pemuda Buddhis hari ini, bisa jadi 10-20 tahun lagi dialah yang akan memimpin vihara, mengajarkan Dhamma, dan membawa umat Buddha lebih maju.
Tentu, perubahan ini tidak berarti mengurangi rasa hormat atau kewajiban kita kepada Saṅgha. Kebutuhan dasar para bhikkhu tetap prioritas, namun setelah terpenuhi, kelebihan berkah bisa diarahkan untuk hal produktif. Para bhikkhu senior pun kiranya mendukung, karena sejatinya penyebaran Dhamma kepada generasi baru juga sejalan dengan misi Saṅgha. Dalam semangat mudita (simpati sukacita), mari saling mendukung lintas generasi. Para orang tua dengan kemurahan hatinya, para pemuda dengan kreativitas dan energinya. Jika subsidi silang dan kerjasama ini terjalin, perkembangan agama Buddha tidak lagi jalan di tempat. Kita akan melihat lebih banyak pemuda aktif di vihara, bangga dengan identitas Buddhisnya, terampil memanfaatkan teknologi untuk dharma, serta mampu mengajak rekan-rekannya turut belajar Dhamma daripada kehilangan mereka ke “server” lain.
Singkat kata, “Dana Jubah” dan sumbangan serupa hendaknya tidak sekadar dipandang sebagai tradisi rutinitas, melainkan sebagai “bahan bakar” untuk menggerakkan kendaraan Dharma ke depan. Dengan manajemen yang bijak, limpahan dana umat dapat membiayai mesin-mesin baru: generasi muda yang tangguh, berpengetahuan, dan berdedikasi. Inilah perubahan paradigma yang perlu kita mulai bersama. Hanya dengan inisiatif inilah roda Dharma akan terus berputar kencang, tidak terperangkap di altar, tapi hadir di tengah-tengah pergaulan anak muda dan kehidupan modern. Mari berani berubah demi kelangsungan Buddha-Dhamma di masa mendatang, karena masa depan agama Buddha bertumpu pada mereka yang muda. Refleksi bagi kita semua: sudahkah dana yang kita keluarkan hari ini sungguh menjadi ladang subur bagi tumbuhnya tunas-tunas Bodhi di hati kaum muda? Semoga kita dapat mengambil langkah nyata ke arah sana, Sadhu, Sadhu, Sadhu.
1 Buddhazine | Selamat Datang, Bulan Kathina..
2 3 Sumbangan Kasih Dana Sangha Dana | Yayasan Dana Everyday (DEV)
4 Dana Makan 250 Peserta STKD Pemuda Buddha Jateng | Yayasan Dana Everyday (DEV)
5 Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) Merenovasi Vihara …
6 ejournal.radenintan.ac.id
7 8 9 Vihara Surya Adhi Guna, Perahu Dhamma: Juni 2009
10 Wujudkan Pengelolaan Dana Sosial Keagamaan Buddha yang Transparan, Ditjen Bimas Buddha Finalisasi Rancangan PMA | Ditjen Bimas Buddha Kemenag RI
11 Vihara Perlu Membuat Kegiatan Kreatif untuk Anak Muda
Leave a Reply