Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Penafsiran Ksitigarbha Sutra – Relatable untuk Generasi Z – Bagian Terakhir

Penafsiran Ksitigarbha Sutra – Relatable untuk Generasi Z - Bagian Terakhir

September 19, 2025
Bab 5: Varga Berbagai Macam Neraka dan Namanya

Ringkasan Isi Bab: Bab ini menggambarkan secara rinci berbagai neraka beserta hukum karma yang mengantar makhluk ke sana. Bodhisattva Samantabhadra memohon Ksitigarbha untuk menjelaskan nama- nama neraka serta jenis-jenis hukuman di sana demi memperingatkan makhluk di dunia 1. Ksitigarbha Bodhisattva lalu menyebutkan neraka utama seperti Neraka Anantarya dan Avici, diikuti banyak neraka lain (misalnya Neraka Empat Sudut, Neraka Kereta Baja, Neraka Ranjang Baja, Neraka Air Mendidih, Neraka Beku, dan seterusnya) 2 3. Setiap neraka memiliki siksaan tersendiri yang mengerikan: ada hukuman lidah dicabut dan dibajak kerbau besi, jantung dikeluarkan dan dimakan yaksa, tubuh direbus hidup-hidup, dipeluk tiang tembaga membara, dibakar api dahsyat, dibekukan di salju ekstrem, ditusuk tombak, dipatuk ular besi panas, digigit anjing neraka, dan ratusan variasi lainnya 3 4. Ksitigarbha menekankan bahwa jumlah neraka dan sub-neraka tak terhingga banyaknya, masing-masing dengan penderitaan berbeda. Ia mengingatkan bahwa kekuatan karma buruk sangat besar – setinggi Gunung Sumeru dan sedalam samudra – sehingga jangan pernah menganggap remeh kesalahan kecil; sekecil apa pun dosa akan berbuah derita setimpal setelah mati 5. Tak seorang pun bisa menggantikan karma orang lain: bahkan orang tua tak bisa menanggung hukuman anaknya, atau sebaliknya 6. Setiap makhluk akan menuai akibat perbuatannya sendiri tanpa bisa dialihkan. Setelah menjelaskan secara garis besar keadaan di neraka, Ksitigarbha menyatakan bahwa untuk menjabarkan seluruh siksaan secara rinci butuh waktu tak berhingga; ia hanya memberikan gambaran singkat berkat kekuatan Buddha 7.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Paparan Ksitigarbha tentang neraka ini mengajarkan hukum sebab-akibat (karma) secara tegas dan visual. Dalam bahasa masa kini, bisa diartikan bahwa setiap tindakan negatif – bahkan yang tampak sepele – akan membawa konsekuensi serius. Gambaran neraka yang ekstrem bukan sekadar menakut-nakuti, melainkan simbol betapa besar penderitaan yang timbul dari kebencian, keserakahan, dan kebodohan kita sendiri. Seakan-akan, perbuatan buruk adalah benih kecil yang bisa tumbuh menjadi derita besar. Misalnya, lidah dicabut di neraka mungkin melambangkan akibat buruk dari berkata kasar atau berbohong; tubuh direbus bisa melambangkan kepedihan yang dialami akibat menumpuk amarah atau kebencian dalam batin. Ksitigarbha mengajak kita memahami bahwa alam neraka bukan tempat yang jauh semata, namun juga bisa dimaknai sebagai keadaan batin yang sangat menderita akibat ulah kita. Ketika ia berkata jangan remehkan kesalahan kecil, pesannya relevan: hal-hal negatif yang “kecil” sehari-hari (berbohong kecil, menyakiti perasaan orang, menipu diri sendiri) bila diabaikan akan menumpuk dan menjerumuskan kita dalam “neraka” pribadi, entah berupa rasa bersalah, hilangnya kepercayaan orang, atau semakin rusaknya karakter. Penegasan bahwa tak ada yang bisa menggantikan karma orang lain bermakna tanggung jawab pribadi – seperti pepatah modern “You reap what you sow” (Anda menuai apa yang Anda tabur). Seperti hukum alam, efek dari perbuatan akan kembali pada pelakunya: tak bisa kita mengandalkan orang lain untuk menghapus konsekuensi tindakan kita. Ini sejalan dengan pemahaman modern akan akuntabilitas: kita sendirilah yang harus memperbaiki kesalahan kita, bukan berharap orang lain menanggung akibatnya. Jadi, bab ini mendorong kita merenungkan perbuatan sehari-hari dengan serius. Alih-alih menganggap konsep neraka sebagai mitos kuno, kita bisa memahaminya secara spiritual-psikologis: setiap kali kita berbuat jahat, kita menciptakan “dunia neraka” bagi diri sendiri dan orang lain, baik sekarang maupun nanti.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Dari bab ini, inspirasi kuat yang muncul adalah untuk senantiasa mawas diri terhadap perbuatan sekecil apa pun. Hal-hal yang mungkin kita anggap sepele – seperti berbohong demi kenyamanan, berkata kasar saat marah, menunda-nunda kewajiban dengan dalih “nanti saja” – adalah “kesalahan kecil” yang diingatkan Ksitigarbha. Ia menyadarkan kita agar jangan menyepelekan perilaku negatif sekecil apa pun karena semuanya tercatat dalam batin dan membentuk diri kita. Bagi pembaca Gen Z, ini relevan misalnya dalam penggunaan media sosial: mungkin kita pernah iseng menyebar komentar kebencian atau membully secara online menganggap itu hal kecil atau candaan. Ajaran ini mengingatkan bahwa setiap kata buruk yang dilontarkan punya efek – bisa melukai hati orang (sebuah karma buruk yang kelak bisa kembali pada kita dalam bentuk hubungan pertemanan yang buruk atau penyesalan). Sebaliknya, inspirasi positifnya adalah tidak ada perbuatan baik yang terlalu kecil. Jika kesalahan kecil saja berbuah besar, maka kebaikan kecil pun pasti mendatangkan kebaikan besar pula. Kita jadi terdorong untuk berbuat baik dalam hal-hal sederhana sehari-hari: tersenyum pada orang lain, membantu tanpa diminta, jujur walau tak ada yang melihat. Meski tampak kecil, tindakan ini menabung karma baik yang kelak melindungi kita dari “neraka” penderitaan. Selain itu, deskripsi detail tentang penderitaan neraka justru bisa membangkitkan empati dan niat menolong. Kita jadi berpikir: betapa menderitanya makhluk di alam neraka akibat perbuatannya – alangkah indah jika kita bisa membantu mencegah orang-orang di sekitar kita melakukan hal buruk sehingga tidak sampai menuai derita begitu rupa. Dorongan ini selaras dengan semangat “kompas moral” di generasi muda: banyak Gen Z yang memperjuangkan anti-bullying, keadilan, kesehatan mental – itu sejatinya usaha mencegah “neraka di dunia” bagi sesama. Bab ini menginspirasi kita untuk melanjutkan upaya-upaya tersebut dengan pemahaman spiritual bahwa kita sedang menyelamatkan diri dan orang lain dari akibat karma buruk.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Setelah memahami bab 5, kita dapat mengadopsi pola pikir bertanggung jawab penuh atas hidup kita. Artinya, alih-alih menyalahkan keadaan atau orang lain atas kesulitan yang kita alami, kita introspeksi: “Apa yang bisa aku perbaiki dari sikapku agar hal ini tak berulang?”. Pola pikir ini mengubah kita dari mentalitas korban menjadi pengendali – persis seperti pesan karma: Anda punya kendali melalui tindakan Anda. Secara konkret, kita bisa mulai dengan membuat jurnal harian tentang perbuatan kita. Setiap malam, catat dua hal: perbuatan baik (sekecil apa pun) dan kesalahan (sekecil apa pun) yang kita lakukan hari itu. Ini melatih kepekaan bahwa hal-hal kecil itu nyata dampaknya. Lalu, untuk setiap kesalahan yang tercatat, tuliskan bagaimana memperbaikinya besok – misal hari ini membentak adik, besok akan meminta maaf dan berlatih sabar. Tindakan sederhana lain: ketika tergoda berbuat negatif, ingatkan diri dengan bertanya “Apakah aku siap menanggung konsekuensinya?”. Misalnya ingin menyontek saat ujian, bayangkan “neraka” ketakutan dan malu jika ketahuan atau “neraka” kompetensi kosong setelah lulus. Pertanyaan ini bisa menghentikan kita sebelum berbuat. Selain itu, mulailah menghargai saran orang bijak di sekitar – bisa guru, orang tua, mentor. Samantabhadra yang meminta Ksitigarbha menjelaskan neraka menunjukkan bahwa bimbingan itu ada jika kita mau mendengar. Jadi ubah pola pikir dari “Ah, aku lebih tahu apa yang kulakukan” menjadi “Aku terbuka mendengar peringatan dan nasihat baik, karena itu bisa menyelamatkanku dari kesalahan.”. Secara aksi nyata, bisa berupa mendengarkan kritik teman tanpa defensif, atau mencari mentor dalam bidang yang kita geluti agar kita tercegah melakukan “dosa profesional” yang mungkin tak kita sadari. Pola pikir lain yang perlu diubah adalah menghindari justifikasi “cuma kali ini” untuk berbuat nakal. Neraka penuh dengan “cuma kali ini” yang menumpuk sepanjang hidup. Gantikan dengan prinsip “sekali pun tidak perlu” – misalnya, sekali pun tidak perlu aku mencoba narkoba, meski teman-teman melakukannya; sekali pun tidak perlu aku menyebar hoaks meski viral. Dengan konsistensi seperti itu, kita membangun kebiasaan baik yang kokoh. Intinya, Bab 5 mendorong kita mengintegrasikan kesadaran karma ke dalam setiap keputusan harian: pikirkan akibat jangka panjang dari setiap langkah, sehingga langkah kita selalu terarah menjauhi penderitaan dan mendekati kebahagiaan sejati.

Bab 6: Varga Sanjungan dan Pujian Sang Tathagata

Ringkasan Isi Bab: Dalam bab ini, Buddha Śākyamuni sendiri memuji kebajikan agung Ksitigarbha Bodhisattva dan menguraikan betapa besar manfaat memuja beliau. Dikisahkan Buddha yang sedang berkhotbah di Surga Trayastrimsa tiba-tiba mengeluarkan sinar terang benderang ke segala penjuru, lalu terdengar suara gaib Buddha yang mengundang para Bodhisattva, dewa, naga, dan makhluk lain untuk hadir mendengarkan pujian terhadap Ksitigarbha 8. Setelah itu, Bodhisattva Samantavistara (Samantabhadra dalam konteks ini) bangkit dan memohon Buddha menjelaskan bagaimana Ksitigarbha memberikan manfaat dan mengajarkan hukum karma kepada para dewa dan manusia, terutama agar umat di masa mendatang (masa kemerosotan Dharma) dapat memahaminya 9. Buddha pun mengabulkan dan menjabarkan berbagai skenario berkah yang diperoleh melalui bhakti kepada Ksitigarbha :

  1. Mendengar nama Ksitigarbha saja dengan hati hormat tulus akan melenyapkan karma buruk selama 30 kalpa (masa kosmik yang sangat panjang) 10.
  2. Membuat patung atau gambar Ksitigarbha dan memujanya akan membuat seseorang terlahir di Surga Trayastrimsa sampai seratus kali berturut-turut setelah hayatnya kini berakhir, dan setelah jatah di surga habis ia akan lahir sebagai manusia terhormat (raja atau bangsawan) serta tidak akan jatuh ke alam sengsara 10 11.
  3. Seorang wanita yang sudah jenuh atau tidak suka dengan kodrat tubuh kewanitaannya: jika ia memuja Ksitigarbha siang malam dengan tulus (memasang gambar, mempersembahkan bunga, dupa, makanan dsb), maka setelah meninggal ia akan terlahir di alam suci tanpa perempuan (artinya terlahir sebagai pria atau di surga murni) sehingga terbebas dari penderitaan sebagai wanita. Bahkan jika pun karena tugas suci ia harus terlahir sebagai wanita lagi demi menolong makhluk, berkat jasanya memuja Ksitigarbha, jutaan kalpa lamanya ia tidak akan terlahir sebagai wanita selain dalam misi welas asih 12.
  4. Seorang wanita yang berparas buruk atau sering sakit-sakitan: jika ia sembahyang walau sekejap dengan hormat kepada rupang (patung) Ksitigarbha, maka di kehidupan-kehidupan selanjutnya ratusan ribu kali ia akan terlahir dengan tubuh sehat dan wajah cantik rupawan. Bahkan jika ia tetap memilih terlahir sebagai wanita lagi, ia akan terus terlahir sebagai wanita mulia (putri raja, permaisuri, bangsawan) dengan kecantikan dan kesehatan prima 13.
  5. Siapa pun – pria atau wanita – yang memuji jasa Ksitigarbha dengan nyanyian atau tarian rohani, mempersembahkan bunga dan dupa, serta mengajak orang lain untuk berlindung pada Triratna (Buddha, Dharma, Sangha), maka di masa kini dan mendatang ia akan dilindungi oleh ratusan ribu dewa dan malaikat siang malam. Ia tidak akan tertimpa kabar buruk, musibah, atau malapetaka apa pun 14.
  6. Jika ada orang jahat (termasuk makhluk halus jahat) yang menertawakan atau menghina orang berbudi yang menyembah Ksitigarbha – menganggap percuma memberi persembahan, mengejek bahwa itu sia-sia – maka orang yang menghina ini melakukan karma sangat berat. Disebutkan mereka akan langsung terjerumus ke Neraka Avīci dan menderita hukuman berat selama seribu Buddha muncul di kalpa itu (jadi amat sangat lama) 15. Setelah kalpa itu lewat, mereka masih akan lahir sebagai roh kelaparan (preta) selama ribuan kalpa, lalu lahir sebagai hewan ribuan kalpa lagi, dan kelak walau dapat tubuh manusia, mereka akan hina, cacat, dan cenderung berumur pendek sebelum jatuh lagi ke alam sengsara 15 16. Singkatnya, memfitnah praktik spiritual orang lain membawa konsekuensi karma paling berat.
  7. Bila ada orang sakit keras atau menderita sakit menahun yang tak kunjung sembuh, terbaring tak berdaya (bahkan kadang sudah ingin mati tapi tak kunjung mati, hidup pun sengsara), atau orang yang setiap malam mimpi buruk seolah dijemput roh jahat ke tempat menakutkan, atau diganggu makhluk halus hingga tubuh makin lemah – keadaan ini menurut Buddha karena orang tersebut sedang menuai karma buruknya sehingga diganggu mahluk tak kasatmata 17 18. Untuk membantu, keluarga/orang dekat si sakit dianjurkan melakukan puja bakti dengan khidmat di depan rupang Buddha atau Bodhisattva. Caranya: barang-barang kesayangan si sakit (misal perhiasan, pakaian berharga, rumah, kebun) diniatkan sebagai persembahan dana kepada Buddha, Bodhisattva, dan dibacakan pernyataan mewakili si sakit bahwa merit dari persembahan ini dipersembahkan agar dosa si sakit diringankan atau dihapus 19 20. Setelah itu, idealnya sutra (termasuk Sutra Ksitigarbha ini) dibacakan di sisi si sakit dengan lantang selama 1 hingga 7 hari berturut-turut. Hasilnya, jika si sakit meninggal, ia akan terbebas dari karma buruk masa lampau – bahkan dosa seberat lima karma durhaka bisa diampuni – dan ia akan lahir di alam lebih baik (surga atau manusia) serta sadar akan kehidupan lampaunya 21 22. Bagi yang masih hidup, membacakan sutra ini juga diyakini bisa memperingan penyakitnya. Keluarga juga dianjurkan menyalin sutra atau membuat rupang Ksitigarbha, karena pahala perbuatan itu sangat besar 23.
  8. Jika ada orang yang setiap tidur bermimpi didatangi banyak makhluk halus – arwah leluhur yang menangis, merintih, tampak menyedihkan – kemungkinan itu benar arwah keluarga beberapa generasi lalu yang masih terjerat di alam sengsara dan butuh pertolongan 24 25. Solusinya, Ksitigarbha mengajarkan agar orang tersebut berjanji menolong mereka lewat sarana Dharma: misalnya membacakan Sutra ini sebanyak 3 atau 7 kali dengan khusyuk untuk mereka. Setelah sutra selesai dibaca, para arwah leluhur itu akan memperoleh kebebasan dari alam sengsara dan sejak itu gangguan mimpi buruk tersebut akan hilang 26 27.
  9. Jika ada orang hidupnya sangat malang, selalu sial, hina, dan ia sadar mungkin ini akibat karmanya di masa lampau, kemudian ia ingin bertobat dan mengubah jalan hidup buruknya – maka ia dianjurkan sujud hormat pada rupang Ksitigarbha dan menyebut nama Ksitigarbha sebanyak 10 ribu kali sehari selama 7 hari berturut-turut. Berkat tekad dan usaha ini, karma buruknya akan terhapus dan ia akan lahir di kehidupan berikutnya sebagai orang terpandang, serta dijamin tidak akan jatuh ke alam sengsara selama ratusan ribu masa 28 29.

  10. Ada 10 hari suci (dalam kalender lunar Tionghoa: tanggal 1, 8, 15, 18, 23, 24, 28, 29, 30 setiap bulan) di mana perbuatan baik dan buruk berlipat ganda pahalanya. Pada hari-hari ini, perbuatan manusia ditimbang untuk menentukan nasibnya 30. Buddha menjelaskan, pada hari-hari suci tersebut sebaiknya membaca Sutra Ksitigarbha di depan rupang Buddha atau Bodhisattva. Jika hal ini dilakukan, radius empat penjuru satu yojana (jarak cukup jauh) akan terhindar dari malapetaka, dan semua anggota keluarga si pembaca terlindung dari kesengsaraan masa kini maupun mendatang 31. Bahkan, siapa yang setiap tanggal suci itu rutin membaca sutra ini, keluarganya akan dijauhkan dari musibah besar, penyakit berat, rezeki sandang pangan tercukupi, hidup sejahtera dan bahagia
    32.

Setelah paparan panjang lebar ini, Bodhisattva Samantavistara memuji Buddha atas uraian tersebut. Ia lalu bertanya nama sutra ini dan bagaimana cara menyebarkannya agar umat mendapat faedah. Buddha bersabda bahwa sutra ini memiliki tiga nama (di antaranya Ksitigarbha Bodhisattva Purva Pranidhana Sutra – “Sutra Ikrar Agung Ksitigarbha”) 33. Buddha meminta para hadirin membantu menyebarkan sutra suci ini ke berbagai daerah demi menuntaskan ikrar Ksitigarbha menolong semua makhluk 33 34. Samantavistara bersukacita menerima amanat ini, lalu ia memberi hormat dan kembali duduk, menandai akhir bab ini 35.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab 6 penuh dengan contoh spesifik yang mungkin terdengar “ajaib”, namun intinya adalah keajaiban kekuatan tekad dan kebajikan. Dalam bahasa sekarang, kita bisa memahami bahwa memuja Bodhisattva Ksitigarbha berarti menyelaraskan diri dengan energi belas kasih dan pertobatan yang luar biasa. Tiap skenario menyiratkan hukum tarik-menarik kebaikan: ketika hati kita tersentuh kebaikan (entah lewat mendengar nama suci, melihat simbol suci, atau melakukan ritual suci), getaran batin kita berubah positif dan itu mendatangkan dampak positif besar. Sebagai contoh, mendengar nama Ksitigarbha lalu timbul hormat – di dunia modern mirip dengan mendengar kisah inspiratif seorang tokoh mulia hingga kita tersentuh dan ingin berubah. Efeknya mungkin tidak secara literal “menghapus dosa 30 kalpa”, tetapi orang itu bisa jadi langsung berhenti dari kebiasaan buruk bertahun-tahun karena tersadarkan – bukankah itu setara dengan memotong siklus negatif yang sangat panjang? Membuat patung atau gambar suci lalu memujanya bisa dianalogikan dengan menciptakan lingkungan spiritual di rumah. Misal, kita menempel poster kutipan inspiratif atau rutin menata ruang meditasi; dampaknya kehidupan kita jadi lebih tertuntun dan beruntung (dilambangkan dengan terlahir di surga berkali-kali dan jadi raja). Hal ini bisa dipahami: ketika rumah/kamar dipenuhi aura spiritual, kita dan keluarga lebih tenang, bijak mengambil keputusan, dan akhirnya rezeki, kehormatan, keamanan mengikuti.

 

Contoh tentang wanita yang tidak ingin terlahir wanita lagi bisa dilihat dari perspektif sosial: di masa lalu (bahkan hingga kini) wanita sering mengalami ketidakadilan atau penderitaan. Pesan spiritualnya, jika seorang wanita merasa tertindas oleh kondisi kewanitaannya, ia bisa menemukan kebebasan melalui jalan spiritual – mungkin tidak langsung mengubah jenis kelamin, tetapi mengubah pandangan dan peran. Ia bisa terlahir “tanpa sifat-sifat feminin yang dianggap lemah”, artinya ia akan memiliki jiwa kuat, bebas dari stereotip gender yang mengekang. Memuja Ksitigarbha di sini melambangkan menguatkan potensi diri dan memohon transformasi. Menariknya, Buddha tambahkan pengecualian bahwa kalaupun ia harus lahir wanita lagi untuk misi suci, ia tidak akan menderita karenanya – ini mengajarkan kita menerima kondisi jika itu untuk kebaikan lebih besar.

 

Contoh wanita berparas buruk/sakit yang menjadi cantik dan sehat mengajarkan bahwa kecantikan dan kesehatan lahir dari batin yang tulus dan penuh kebajikan. Bahasa kitanya: inner beauty akan memancar jadi outer beauty. Seseorang yang rajin berdoa, menenangkan hati, dipenuhi cinta kasih – biasanya wajahnya berseri, aura positifnya membuat ia dipandang cantik/tampan, dan stress berkurang sehingga tubuh pun lebih sehat. Hal ini sesuai realitas: orang baik hati tampak lebih menawan, bukan?

 

Janji perlindungan oleh ratusan ribu dewa bagi yang memuji Ksitigarbha dengan nyanyian dan mengajak orang berbuat baik, bisa dimaknai bahwa siapa pun yang aktif menyebarkan hal positif akan mendapat dukungan semesta. Dalam hidup sehari-hari, ini terlihat: orang yang suka memotivasi teman, mengajak melakukan kegiatan baik, biasanya dikelilingi teman-teman setia, diberi kesempatan baik, dan dijauhkan dari bahaya oleh “tangan-tangan tak terlihat” (mungkin berupa kebetulan-kebetulan beruntung). Dukungan malaikat yang disebut sutra bisa kita pahami sebagai energi positif alam semesta yang melindungi orang baik.

 

Sebaliknya, ancaman karmis berat bagi yang menghina orang berdoa itu memperingatkan kita agar tidak sinis terhadap kepercayaan atau kebaikan orang lain. Di zaman sekarang, misalnya, ketika melihat teman rajin meditasi atau terlibat kegiatan sosial, jangan kita ejek “sok suci” atau “buat apa sih buang waktu?”. Sikap mencemooh hal baik adalah bibit kehancuran diri sendiri. Dalam istilah modern: orang yang sinis dan negatif terus menerus akan terjebak dalam “neraka pribadi” berupa kesepian (orang menjauhi karena toksik), pesimisme akut, mental health issues, dsb. Sutra menggambarkannya hiperbolis – jatuh ke Avīci dan siklus buruk tak putus – tapi esensinya sama: kecenderungan mengejek kebajikan akan menjerumuskan hidup kita pada lingkaran kesengsaraan.

 

Bagian tentang membantu orang sakit dan menjelang wafat menyoroti peran keluarga dan lingkungan dalam memengaruhi karma seseorang. Dalam konteks kekinian, ini mengajarkan bahwa dukungan moral-spiritual dari keluarga saat seseorang sakit kritis sangat besar pengaruhnya. Membacakan Sutra atau doa di sisi orang sakit mungkin secara medis dianggap sugestif, tetapi banyak kesaksian menunjukkan pasien yang diperdengarkan doa/lagu rohani lebih tenang dan kadang kondisinya membaik. Kalaupun tidak sembuh, mereka wafat dengan damai. Sutra Ksitigarbha menyatakan bahkan dosa berat pun bisa luruh jika di akhir hayat mendengar nama Buddha atau Bodhisattva 36. Ini sejalan dengan gagasan pertobatan terakhir: manusia bisa saja berubah di detik akhir. Secara psikologis, seseorang yang pada akhir hidup merasakan penyesalan dan mendengar kata-kata suci penuh kasih, hatinya bisa damai, rasa takut hilang – secara spiritual ini digambarkan sebagai terhapusnya dosa dan lahir di alam bahagia. Tradisi Buddhis memang menekankan pentingnya mendoakan orang yang baru meninggal hingga 49 hari, karena diyakini arwahnya masih dalam masa transit. Penjelasan sutra ini tentang 1/7 pahala untuk almarhum dan 6/7 untuk yang hidup 37 mengandung nasihat tersirat: kita boleh mendoakan orang yang telah tiada, tapi jauh lebih baik kalau sewaktu hidup ia sendiri berbuat baik. Yang hidup mendapat 6/7 pahala artinya mereka pun diuntungkan karena melakukan kebajikan itu sendiri. Jadi, menolong orang sakit atau mendoakan yang wafat sebenarnya menolong diri kita juga menanam karma baik.

 

Bagian mimpi didatangi arwah leluhur pun sangat relevan di budaya kita: banyak orang mengalami mimpi didatangi almarhum. Sutra ini memberikan jalan penyelesaian berupa bakti spiritual (membacakan paritta/ sutra atau berdana atas nama mereka). Inti maknanya, cara kita berdamai dengan masa lalu atau leluhur adalah dengan berbuat kebajikan sebagai penghormatan pada mereka. Bagi Gen Z, mungkin gagasan “makhluk halus” bisa diterima bisa tidak, tapi yang jelas banyak yang berjuang menyembuhkan trauma keluarga turun-temurun. Nah, melakukan tindakan baik dan mendedikasikannya untuk leluhur bisa diartikan sebagai memutus lingkaran karma negatif keluarga. Misalnya, jika dari generasi ke generasi ada pola kekerasan atau kebiasaan buruk, kita putuskan pola itu dengan berikrar: “Mulai aku, keturunanku akan berbeda – aku akan menanam kebaikan.” Itu sama dengan mendoakan leluhur agar bebas dari “neraka” karma kolektif.

 

Soal sepuluh hari suci, di era modern kita bisa menterjemahkannya sebagai waktu-waktu khusus untuk refleksi dan peningkatan diri. Contohnya, sebagian orang menganggap hari Jumat atau Minggu sebagai hari ibadah, atau setiap malam Tahun Baru sebagai saat introspeksi. Intinya, jika kita secara berkala meluangkan waktu khusus untuk praktik spiritual/berbuat baik, efeknya melindungi kita dan lingkungan kita dari pengaruh buruk. Sutra menyebut radius satu yojana aman dari malapetaka 31 – ini menggambarkan bahwa satu orang yang tekun berbuat bajik bisa memberikan dampak positif bagi komunitas sekitarnya. Kita lihat contohnya: satu individu penuh kasih di sebuah keluarga bisa “menyejukkan” suasana satu rumah. Atau seorang aktivis jujur di suatu desa bisa membuat seluruh desa lebih sejahtera karena inisiatifnya. Kekuatan kebaikan menular melampaui diri sendiri.

 

Terakhir, penyebutan nama-nama sutra memberi tahu kita identitas Sutra Ksitigarbha sebagai sutra ikrar agung. Buddha meminta sutra ini disebarkan – maknanya, ajaran tentang kekuatan ikrar welas asih dan karma positif perlu diteruskan ke generasi selanjutnya. Zaman boleh makin modern, tapi nilai-nilai seperti filal piety (bakti pada orang tua/leluhur), tanggung jawab pribadi, dan welas asih universal yang terkandung di sutra ini tetap relevan. Tugas kita (seperti Bodhisattva Samantavistara) adalah menemukan cara membagikan nilai itu ke masyarakat modern dengan bahasa dan metode yang bisa mereka terima.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab 6 sarat inspirasi praktis. Pertama, kita diingatkan bahwa hubungan dengan figur suci atau panutan moral dapat mentransformasi hidup. Mendengar satu nama suci bisa mengubah arah hidup – artinya, jangan meremehkan kekuatan momen inspiratif. Banyak dari kita mungkin pernah mengalami, misalnya membaca satu kutipan motivasi di Instagram yang langsung “klik” di hati dan membuat kita bertekad berubah. Itu analogi modern mendengar nama Bodhisattva. Jadi, inspirasinya: selalu buka diri untuk hal-hal inspirasional, karena satu momen saja bisa menghapus “karma buruk” bertahun-tahun (misal menghapus kebiasaan buruk selama ini).

 

Kedua, inspirasi tentang menciptakan ruang sakral pribadi. Seperti disarankan sutra membuat rupang Ksitigarbha, kita bisa ambil semangatnya: buatlah pojok doa atau meditasi di rumah. Bagi Gen Z yang mungkin kos atau tinggal di ruang sempit, bisa berupa meja kecil dengan lilin, tanaman, atau simbol yang menenangkan hati. Dengan memiliki “altar pribadi” ini, hidup sehari-hari serasa selalu diingatkan untuk tenang dan bajik. Dampaknya luar biasa: stress berkurang, fokus naik, bahkan rezeki lancar karena pikiran lebih jernih. Teman-teman serumah juga bisa merasakan aura positifnya.

 

Ketiga, ada inspirasi tentang pemberdayaan perempuan. Kisah wanita tak mau jadi wanita lagi menyiratkan bahwa spiritualitas dapat menjadi jalan emansipasi. Bagi pembaca perempuan Gen Z, ini bisa memotivasi bahwa lewat latihan batin (meditasi, doa, menolong orang), kamu bisa membuktikan kesetaraanmu – jiwa tidak bergender. Sehingga meski dunia mungkin mendiskriminasi perempuan, lewat kualitas spiritual dan intelektualmu kamu dapat dihormati setara (ibaratnya “lahir sebagai pria di alam suci”, maksudnya memperoleh tempat terhormat yang setara laki-laki). Lebih jauh lagi, inspirasi ini mengajarkan menerima diri: jika ada aspek diri yang tidak kita sukai (tidak hanya gender, bisa juga sifat pemalu, fisik kurang ideal, dsb), kita bisa memohon transformasi sambil berproses. Spiritualitas memungkinkan metamorfosis batin yang akhirnya juga memengaruhi tampilan lahiriah kita.

 

Keempat, bab ini jelas menginspirasikan pentingnya tidak menertawakan hal-hal suci atau niat baik orang. Barangkali di circle pergaulan, ada anggapan keren untuk sarkastis atau skeptis terhadap segala hal. Namun sutra ini mengingatkan: hati-hati, jangan-jangan dengan bersikap sinis terhadap idealisme atau agama, kita menutup pintu berkah untuk diri kita sendiri. Inspirasi yang dapat diambil: cobalah mengganti kebiasaan sinis dengan “admire secara tulus”. Jika lihat teman melakukan hal positif, beri dukungan atau setidaknya doakan dalam hati supaya berhasil. Ini akan memupuk aura positif di sekelilingmu dan menghindarkanmu dari “energi neraka” berupa kemarahan, dengki, atau putus asa.

 

Kelima, inspirasi untuk terlibat aktif dalam penyembuhan dan pendampingan. Kita belajar bahwa keluarga bisa berperan besar meringankan penderitaan anggota yang sakit atau meninggal. Jadi tergeraklah: jika ada kerabat sakit, jangan cuek. Luangkan waktu mendampingi, ajak bicara positif, doakan dengan tulus. Hal itu bukan saja membantu kesembuhan atau ketenangan mereka, tapi juga mengikat keluarga dalam ikatan kasih yang lebih erat (itulah pahala 6/7 untuk keluarga). Demikian pula jika ada teman kehilangan anggota keluarga, kita bisa bantu dengan mendoakan bersama atau mengirim kata-kata penghiburan. Hal-hal ini, meski sederhana, punya efek karma baik yang besar bagi semua pihak.

 

Keenam, bab ini memberi inspirasi tentang kekuatan tobat dan tekad. Contoh orang malang yang melakukan praktek 7 hari 10 ribu nama Ksitigarbha memperlihatkan bahwa tekad kuat dalam waktu singkat pun bisa mengubah haluan hidup. Ini mirip konsep “rehab/retret intensif”. Kita bisa terapkan: ketika sadar punya kebiasaan buruk atau hidup terasa di titik nadir, mungkin perlu “guncangan batin” dengan retreat singkat. Misal, putuskan 7 hari detoks media sosial sambil tiap hari menulis jurnal syukur atau afirmasi positif ribuan kali (secara figuratif seperti menyebut nama Bodhisattva). Perubahan ekstrem seperti itu bisa memutus siklus negatif. Kita terinspirasi bahwa selalu ada harapan memperbaiki hidup, seburuk apa pun, asalkan kita bersedia berbuat effort luar biasa dengan tekad bulat.

 

Terakhir, inspirasi untuk menghidupkan momentum spiritual kolektif. Sepuluh hari suci mengajarkan nilai gotong-royong karma baik. Mungkin kita bisa mengadopsi kebiasaan melakukan challenge kebaikan di tanggal-tanggal tertentu – contohnya setiap malam bulan purnama meditasi online bareng komunitas, atau setiap malam Tahun Baru menggalang doa lintas agama untuk perdamaian. Hal-hal semacam ini akan memancarkan vibrasi positif yang melindungi masyarakat (dalam sutra diumpamakan menjauhkan malapetaka satu yojana). Kita tergerak mengajak teman/keluarga: “Hei, minggu depan tanggal 1 kalender Imlek lho, bagus nih kita donasi atau minimal bebasin diri dari marah sehari.” Tindakan kecil bersama-sama ini inspirasinya diambil dari sutra demi kebaikan bersama.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Setelah mencerna ajaran bab 6, kita bisa mengubah beberapa pola pikir. Pertama, pola pikir tentang usaha batin vs hasil nyata. Sutra ini banyak janji “langsung dapat ini itu” dari memuja Bodhisattva. Alih-alih meragukannya, kita ubah pola pikir jadi: segala kebaikan batin pasti memancarkan hasil ke luar. Jadi, mulai sekarang percaya bahwa doa, meditasi, dan tindakan bajik pasti ada gunanya bagi masalah nyata. Misalnya, jika biasanya kita bilang “Percuma berdoa doang untuk kesehatan, mending minum obat,” sekarang ubah: “Obat dan doa dua-duanya penting; obat menyembuhkan fisik, doa menenangkan mental – keduanya mendatangkan kesembuhan.” Dengan pola pikir terintegrasi ini, kita tidak lagi memisahkan yang spiritual dan material, melainkan sadar keduanya berhubungan.

 

Konkret, kita bisa mulai membangun ritual harian. Contoh aksi nyata: setiap pagi ucapkan satu kalimat afirmasi atau doa pendek, setiap malam renungkan satu nama tokoh suci yang kita kagumi. Jadikan rutin. Pola pikir baru: sedikit rohani tiap hari = investasi besar untuk kebahagiaan jangka panjang. Kalau sebelumnya merasa “nggak ada waktu buat sembahyang”, sekarang prioritaskan meski 5 menit.

 

Kedua, perbaiki pola pikir terhadap perempuan dan identitas diri. Bagi pembaca perempuan, sadari bahwa spiritual journey bisa mematahkan batasan-batasan eksternal. Aksi nyatanya: ikut komunitas meditasi atau workshop pemberdayaan diri, cari mentor perempuan hebat, tegaskan tekad “aku tidak inferior”. Ini selaras dengan sutra: peroleh kekuatan agar tak terlahir sebagai wanita tertindas lagi. Bagi pembaca pria, ubah pola pikir tentang perempuan: hargai bahwa di jalur spiritual, gender tidak relevan – yang ada hanya jiwa dengan potensi Buddha. Maka aksi nyatanya: perlakukan rekan kerja/perempuan di sekitarmu dengan penghormatan setara, dukung mereka berkembang. Dengan begitu, kita turut mewujudkan dunia tanpa perbedaan gender diskriminatif, seperti alam suci tanpa wanita yang dimaksud Buddha (bukan anti-wanita, melainkan tanpa bias gender).

 

Ketiga, revisi pola pikir tentang kesuksesan dan perlindungan. Sebelumnya mungkin kita merasa sukses semata hasil kerja keras pribadi, perlindungan semata karena pengamanan fisik. Kini sadar bahwa faktor moral-spiritual juga berperan besar. Pola pikir baru: “Jika aku menolong orang dan menjalankan kebajikan, alam semesta akan menolongku sukses.” Ini bukan takhayul, melainkan pemahaman bahwa orang baik cenderung dapat dukungan lebih banyak (baik dari manusia maupun situasi yang menguntungkan). Aksi nyata: coba praktekkan networking berbasis kebajikan – misal, bantu orang lain dengan ikhlas di komunitas, dan perhatikan bagaimana bantuan untukmu juga datang tak terduga dari jaringan itu. Atau mulai proyek startup dengan niat tak hanya profit tapi juga manfaat sosial, lalu lihat bahwa “investor malaikat” (angel investor) lebih tertarik masuk. Itulah implementasi dukungan malaikat secara modern .

 

Keempat, kembangkan pola pikir tidak sinis. Tantang diri untuk tidak melontarkan kata negatif saat ada hal positif. Aksi: kalau ada teman cerita pencapaian spiritual atau kebajikannya, latih diri untuk bilang “wah hebat, aku ikut senang, ajari dong”. Hilangkan respon “ah paling juga…” atau “nggak mungkin lah”. Pola pikir apresiatif ini akan menarik lebih banyak hal positif ke hidupmu karena orang akan nyaman berbagi hal baik denganmu. Energi sinis memutus rezeki, energi apresiatif melancarkan rezeki – itu kesimpulan praktis dari karma di bab ini.

 

Kelima, jadikan peduli keluarga sebagai prioritas spiritual. Pola pikir lama mungkin memisahkan urusan ibadah dan urusan keluarga. Kini satukan: merawat orang tua sakit, mendoakan anggota keluarga yang sudah tiada, itu bagian dari praktik spiritual-mu. Aksi nyata: sisihkan waktu rutin seminggu sekali untuk berdoa bersama keluarga atau mengunjungi kerabat sakit. Atau jika keluarga jauh, minimal kirim doa dan kabar. Kamu bisa membayangkan sedang menjalankan pesan Sutra Ksitigarbha: membantu meringankan karma dan penderitaan keluargamu sendiri. Ini akan memperkuat ikatan kasih sayang dalam keluarga, yang secara karma juga memperpanjang umur kebahagiaan kalian bersama.

 

Terakhir, ambil langkah retret pribadi kalau diperlukan. Bab ini memberi jalan keluar 7 hari transformasi. Jika merasa hidup mentok atau butuh perubahan besar, jangan ragu cuti beberapa hari untuk fokus menata batin. Aksi: misal puasa internet 3 hari sambil hiking dan introspeksi; atau ikut retreat meditasi 10 hari. Pola pikir baru: “Meluangkan waktu khusus untuk pertumbuhan batin bukan kemunduran, tapi lompatan maju.” Setelahnya, kamu bisa kembali ke rutinitas dengan perspektif segar, mungkin mengubah haluan karirmu ke arah yang lebih bermakna. Itu sebanding dengan “lahir kembali di keluarga terhormat” secara spiritual – artinya kembali ke dunia dengan kedudukan mental yang lebih mulia.

 

Dengan menjalankan perubahan pola pikir dan aksi nyata di atas, pelan-pelan kita sendiri menjadi semacam perwujudan ajaran Ksitigarbha: membawa manfaat bagi diri sendiri dan orang sekitar melalui kekuatan niat baik, tobat, dan welas asih yang konsisten.

Bab 7: Varga Manfaat bagi yang Hidup dan yang Meninggal Dunia

Ringkasan Isi Bab: Dalam bab ini, Ksitigarbha Bodhisattva sendiri menyampaikan nasihat kepada Buddha dan para hadirin tentang cara menolong makhluk yang masih hidup maupun yang sudah meninggal. Pertama, Ksitigarbha menggambarkan tabiat manusia di dunia Jambudvipa: “Mereka mudah meninggalkan kebajikan yang telah dicapai, namun sangat cepat terjerumus dalam keburukan baru”. Ia mengibaratkan manusia bagaikan orang yang memikul beban batu menyeberangi jalan berlumpur – semakin melangkah, semakin tenggelam karena beban (perlambang karma buruk) makin berat 38 39. Jika beruntung bertemu orang bijak yang mau membantunya (mengurangi beban atau menunjukkan jalan keluar), maka orang itu bisa selamat sampai ke tanah datar. Orang bijak itu terus menasihati agar ia tidak kembali lagi ke jalan berlumpur penuh bahaya tadi 40. Perumpamaan ini menekankan bahwa manusia kerap tanpa sadar menambah beban dosa sedikit demi sedikit hingga berat tak tertanggungkan, dan butuh bimbingan untuk keluar dari lingkaran tersebut. Selanjutnya, Ksitigarbha memberikan serangkaian petunjuk praktis menghadapi situasi menjelang dan setelah kematian seseorang :

  1. Saat seseorang menjelang ajal, keluarga atau kerabatnya dianjurkan melakukan berbagai kebajikan atas nama almarhum untuk membantunya mendapat jalan terang. Ksitigarbha berkata: “Pada saat seseorang akan meninggal, pasanglah panji atau payung sutra kuning di depan gambar Buddha” 41. Juga nyalakan pelita dengan minyak bersih dekat jenazah atau petinya, agar alam akhiratnya mendapat penerangan 42 43. Keluarga boleh membaca sutra-sutra Buddha, atau menggantungkan gambar Buddha/Bodhisattva, dan menyerukan nama-nama suci dengan suara lantang di dekat telinga orang yang sekarat 44 45. Tujuannya agar setiap nama Buddha/ Bodhisattva terdengar oleh kesadarannya dan tertanam dalam pikirannya. Bila almarhum semasa hidupnya banyak berbuat dosa dan harus jatuh ke alam sengsara, jasa-jasa ibadah keluarganya saat menjelang kematian bisa memusnahkan karma buruk itu sehingga ia selamat dari jatuh ke neraka 46 47. Bahkan ditegaskan: jika selama 49 hari setelah seseorang meninggal keluarganya giat beramal dan menyalurkan pahalanya untuk almarhum, maka almarhum tidak akan terjerumus ke alam sengsara dan justru memperoleh kebahagiaan surga. Sebaliknya, keluarga yang beramal itu pun mendapat keberuntungan besar di dunia 48.
  2. Ksitigarbha memberi nasihat keras: saat menghadapi kematian anggota keluarga, janganlah melakukan pembunuhan makhluk hidup apa pun sebagai sesaji untuk roh atau jin-jin 49. Tradisi persembahan berupa penyembelihan hewan justru sangat berbahaya. Ia menegaskan bahwa perbuatan membunuh hewan untuk menghormati almarhum tidak memberi manfaat apapun bagi yang meninggal, malah menambah berat karma buruknya 49. Karena roh almarhum ikut menanggung dosa pembunuhan yang dilakukan atas namanya. Ksitigarbha menggambarkan dengan perumpamaan lain: “Ini bagaikan orang yang baru menempuh perjalanan jauh selama tiga hari tanpa makan, dengan beban ratusan kilo di pundak. Lalu tetangganya yang ditemui malah menambahkan barang bawaan lagi di pundaknya” 50. Maksudnya, keluarga yang seharusnya meringankan beban almarhum, justru memperberat dengan bunuh-bunuh hewan (ibarat menambah beban di pundak orang lapar yang kelelahan). Akibatnya fatal: Ksitigarbha menjelaskan jika sebenarnya almarhum berpeluang lahir di alam manusia atau dewa karena punya sedikit pahala, karma pembunuhan dari keluarganya bisa menyeretnya kembali ke alam buruk 51. Apalagi jika semasa hidup almarhum jarang berbuat baik, ditambah dosa baru keluarganya, makin menderitalah ia di alam baka 52.
  3. Sebaliknya, Ksitigarbha berkata: “Seandainya umat di Jambudvipa mengikuti ajaran Buddha, sekecil apapun kebajikan yang dibuat – walau hanya seujung rambut, setetes air, sebutir pasir, atau sebutir debu – hasil kebaikan itu akan kembali kepada pelakunya sendiri” 53. Artinya, setiap kebajikan kecil yang dilakukan keluarga untuk almarhum, pahalanya tetap bermanfaat. Sang Bodhisattva menegaskan pentingnya melakukan ritual suci dan amal dengan bersih dan tertib: selama upacara (misal upacara 7 hari, 49 hari), bekas air cuci beras, sisa sayur dsb tidak boleh dibuang sembarangan di lantai, makanan yang dipersembahkan jangan dimakan dulu oleh keluarga sebelum ritual selesai
    54. Jika aturan kebersihan dan ketulusan ini dilanggar, sajian dan doa itu tidak akan mendatangkan manfaat bagi almarhum maupun keluarga 55. Namun jika dijalankan dengan benar dan murni, almarhum mendapat sepertujuh bagian pahala, sedangkan keluarga yang beramal mendapat enam bagian sisanya 54 56.
  4. Pada titik ini, seorang Grhapati (tuan rumah/umat awam) bernama Mahapratibhana dalam pertemuan itu bertanya kepada Ksitigarbha: “Wahai Bodhisattva, jika ada umat di Jambudvipa yang keluarganya mengadakan amal dan sajian kepada Triratna demi almarhum, apakah almarhum benar- benar mendapat kebebasan dan manfaat?” 57 58. Ksitigarbha menjawab dengan singkat demi semua makhluk: “Jika pada detik terakhir kehidupan, seseorang mendengar nama Buddha atau Bodhisattva, atau bahkan hanya nama Pratyekabuddha (Buddha untuk diri sendiri) sekali pun, tanpa peduli berat ringannya karma orang itu, ia pasti dapat membebaskan dirinya” 59. Ini penegasan bahwa mendengar kata suci saat ajal sangat manjur membalikkan keadaan. Ia melanjutkan: “Jika ada orang yang semasa hidupnya tidak menanam kebajikan sama sekali, melainkan penuh dosa, maka meskipun keluarganya beramal sebanyak apapun setelah ia meninggal, almarhum itu hanya mendapat sepertujuh dari pahala tersebut. Enam bagian lainnya kembali ke keluarga yang beramal” 37. Oleh sebab itu, kata Ksitigarbha, pria wanita di masa sekarang dan mendatang hendaknya menggunakan waktu sehat kuatnya untuk menanam benih kebaikan sebanyak mungkin demi keberuntungan diri sendiri 37 60 . Jangan menunggu ajal, karena malaikat maut bisa datang mendadak. Di alam baka selama 49 hari pertama roh seperti orang bisu-tuli kebingungan, menjalani sidang karma atas perbuatannya di dunia dengan perasaan was-was gelisah menunggu keputusan 61 62. Jika ia tahu dirinya bakal jatuh ke alam sengsara, betapa takut dan cemasnya. Roh yang belum jelas nasibnya itu sangat mengharapkan keluarga di dunia berbuat amal kebajikan baginya supaya ia segera terbebas dari penderitaan 63 64. “Setelah 49 hari,” kata Ksitigarbha, “roh akan menerima keputusan kelahiran berdasarkan karmanya. Bila karmanya berat, ia dihukum jutaan tahun dan sulit bebas; bila melakukan lima dosa pancanantarya (kejahatan paling besar), pasti jatuh ke Neraka Avīci hingga ribuan kalpa dan hampir mustahil keluar” 65 15. Itulah mengapa 49 hari pertama pasca-kematian dianggap kritis untuk mendoakan dan beramal.
  5. Ksitigarbha lalu melanjutkan nasihatnya kepada Grhapati dan semua yang hadir: “Jika orang yang meninggal dunia itu punya karma buruk berat, namun sanak keluarga di dunia mengadakan amal dan upacara puja bakti mempersembahkan sajian kepada Triratna demi menyelamatkannya, selama persiapan dan pelaksanaan upacara hal-hal kecil pun harus diperhatikan. Misalnya air bekas cuci beras dan sisa masakan jangan dibuang sembarangan (harus dibuang di tempat bersih), dan makanan persembahan tidak boleh disentuh apalagi dimakan oleh penyelenggara sebelum selesai dipersembahkan. Jika peraturan ini dilanggar – misalnya sajian kotor berantakan atau dicicipi dulu – maka persembahan itu tidak memenuhi syarat kesucian dan tidak akan mendatangkan faedah apapun bagi almarhum, pun keluarga tidak dapat berkah apa-apa” 54 55. Sebaliknya, jika disajikan dengan bersih rapi, maka almarhum dapat 1/7 pahala, penyelenggara dapat 6/7 seperti dijelaskan sebelumnya 66.
  6. Ksitigarbha menutup sabdanya dengan penekanan: “Wahai umat Jambudvipa, jika orang tuamu atau sanak keluargamu meninggal, lalu engkau mengadakan upacara upavasatha (kebaktian) dengan sujud dan khidmat kepada Triratna, maka baik almarhum maupun yang masih hidup akan mendapatkan berkah” 67. Mendengar petuah Ksitigarbha ini, jutaan makhluk surga dan bumi yang hadir tergugah menumbuhkan bodhicitta (niat menuju penerangan sempurna) yang tak terhingga jumlahnya 68. Grhapati Mahapratibhana pun menghaturkan hormat dan kembali ke tempat duduknya, mengakhiri bab ini 68 69.

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab 7 membawa pesan mendalam tentang bagaimana kita memperlakukan kematian dan pentingnya berbuat kebajikan tepat waktu. Dalam perspektif modern, nasihat Ksitigarbha bisa dipahami sebagai pedoman etis dan psikologis seputar akhir hidup: bagaimana kita seharusnya mendampingi orang yang sekarat, memperlakukan jenazah, menjalankan upacara kematian, serta menata hati setelah kehilangan.

 

Metafora beban batu di jalan berlumpur menggambarkan kondisi hidup banyak orang: pada awalnya kesalahan kita mungkin sedikit dan ringan, tapi jika dibiarkan menumpuk, hidup kita makin berat tertimbun problem. Orang bijak yang menolong bisa diartikan guru, sahabat, atau ajaran agama yang mencerahkan – jika kita mau menerima bantuan, kita bisa lepas dari “lumpur” masalah kita. Namun perlu diingat si bijak menasihati agar tak kembali ke jalan salah; ini menekankan pentingnya tidak mengulangi kesalahan yang sama setelah ditolong. Berapa sering misalnya, seseorang mendapat kesempatan kedua (ditolong keluar dari utang, direhabilitasi dari kecanduan), tapi kemudian jatuh lagi ke pola lama? Ksitigarbha mengingatkan kita agar belajar dari pengalaman dan tidak keras kepala. Dalam bahasa sekarang: pertolongan orang lain punya batas – selebihnya tergantung kemauan kita sendiri untuk berubah. Bimbingan bisa datang, tapi kalau kita kembali ke “jalan becek”, ya akan tenggelam lagi.

 

Nasihat agar menyebut nama Buddha atau membaca sutra di dekat orang sekarat sebenarnya mengandung hikmah: isi pikiran terakhir seseorang sangat menentukan kualitas kematiannya. Zaman sekarang, ini identik dengan konsep death therapy atau end-of-life care yang fokus menenangkan pikiran pasien. Orang tua kita sering berpesan, jangan ribut-ribut di dekat orang meninggal, bisikkan yang baik- baik. Itulah esensi anjuran sutra ini. Pikiran yang terisi hal suci saat detik terakhir dipercaya mempermudah roh menuju kedamaian. Apakah secara harfiah membebaskan dari neraka? Secara spiritual iya: orang yang meninggal dengan tenang, mendengar doa dan nama suci, tidak mengalami “neraka” di alam batin-nya karena ia pergi dengan ikhlas. Secara psikologis pun, ketika keluarga mendoakan, mereka sendiri lebih ikhlas melepaskan, sehingga tidak menarik roh itu kembali dengan tangisan putus asa. Ini meningkatkan kemungkinan si almarhum “lahir” di tempat bahagia (dalam ajaran Buddhis, di alam yang lebih baik).

 

Larangan melakukan pembunuhan hewan dalam upacara kematian sangat jelas: jangan menambah penderitaan dengan menciptakan penderitaan baru. Dalam konteks modern, mungkin kita tidak lagi menyembelih hewan besar-besaran sebagai sesajen, tapi peringatan ini bisa meluas ke jangan melakukan hal negatif apapun atas nama orang yang sudah meninggal. Misal, kadang terjadi perebutan harta warisan dengan bertengkar hebat pasca kematian anggota keluarga – ini secara moral sama saja memperberat beban almarhum dengan energi permusuhan. Atau ada yang merayakan wafat dengan pesta pora alkohol, berujung keributan/kemaksiatan – itu juga analog dengan mengotori kesakralan kematian. Kematian seharusnya disikapi dengan khidmat, bukan dilampiaskan dengan tindakan yang menambah dosa. Ksitigarbha mengajarkan kesucian dan ketulusan dalam ritual kematian, yang intinya adalah menghormati proses peralihan jiwa.

 

Menarik bahwa setiap detail disebut – misal membuang sisa air masak dengan hormat. Ini mungkin karena kepercayaan tradisional bahwa selama 49 hari arwah berada di sekitar, sehingga perlu dihormati bahkan dalam hal-hal kecil. Namun bisa pula diartikan simbolis: air beras melambangkan hal-hal sisa duniawi. Tidak membuang sembarangan artinya tidak bersikap ceroboh atau jorok dalam mengekspresikan duka cita. Kita tahu, orang yang sedang berduka kadang abai menjaga diri/lingkungan. Nasihat ini mengingatkan: tetaplah mindful, jaga kesucian tempat, jangan larut hingga melakukan hal tidak pantas (versi ekstrim: misal membuang sesajen sembarangan bisa diartikan melampiaskan marah ke orang sekitar saat duka). Intinya ketertiban dan kesucian dalam upacara memiliki efek batin yang baik: yang meninggal dihormati, yang hidup tenang. Bagi almarhum mungkin subtansinya: ketika ritual dilakukan tertib, doa pun khusyuk mengena; kalau ritual amburadul, doa pun buyar tak fokus sehingga almarhum tak merasakan manfaat.

 

Pembagian 1/7 pahala untuk almarhum vs 6/7 ke keluarga punya makna mendalam: kita tidak bisa sepenuhnya “menebus” dosa orang yang sudah meninggal, sebagian besar pahala dari amal akan kembali kepada pelaku amal itu sendiri. Ini mendorong kita agar tidak bergantung setelah mati pada doa orang lain. Ajarannya paralel dengan pepatah “Tuhan membantu orang yang membantu dirinya sendiri.” Jadi, walaupun doa dan amal keluarga membantu, tapi tak bisa 100%. Pesan ini memotivasi setiap orang agar saat masih hidup, berusahalah melakukan kebajikan untuk bekal diri sendiri. Jangan berasumsi nanti juga didoakan anak/keluarga. Apalagi di era modern dimana keluarga kecil dan individualistis, belum tentu ada yang mendoakan setelah kita tiada. Ksitigarbha sudah wanti-wanti: sebaiknya semasa hidup kumpulkan tabungan pahala sendiri. Bukan berarti ritual 49 hari tak berguna – tetap berguna (1/7), tapi utamanya yang 6/7 ya balik memakmurkan keluarga yang hidup. Ini adil: orang yang melakukan kebaikanlah yang mendapat bagian paling besar. Bayangkan, setelah orang tua meninggal, anaknya menyumbang ke panti asuhan. Yang merasakan kebahagiaan langsung ya si anak yang melihat anak yatim tersenyum (itu 6/7), dan energi doa itu juga menyentuh arwah orang tua (1/7). Keadilannya sejalan dengan logika sebab-akibat.

 

Nasihat bahwa roh sangat menunggu amal keluarga dalam 49 hari pertama juga mengajarkan nilai bakti kepada leluhur. Bukan bermakna roh jadi “hantu gentayangan” selama 49 hari, melainkan bagi yang ditinggal, 49 hari pertama adalah masa berkabung aktif di mana dukungan spiritual sangat bermanfaat. Tradisi Buddhis maupun tradisi lokal seperti di Jawa mengenal haul hari ke-7, 40, 100 – ini paralel konsep 49 hari. Secara psikologis, keluarga yang sibuk mendoakan selama periode itu juga tertolong mengalihkan duka menjadi hal positif. Setelah lewat waktu itu, diharapkan baik arwah maupun keluarga sama-sama “ikhlas” menjalani takdir masing-masing. Ksitigarbha menyebut setelah 49 hari, roh sudah menerima keputusan kelahiran baru (dalam kata lain, sudah “move on” ke kehidupan berikutnya) 65. Jadi kita pun di dunia diharapkan pelan-pelan move on. Ini selaras dengan banyak tradisi duka: intensitas doa tinggi di awal, lalu berangsur angsur menurun, artinya belajar melepaskan.

 

Menarik juga, Ksitigarbha menyebut jika keluarganya tega melakukan pembunuhan untuk sesaji, padahal almarhum mungkin bisa lahir baik, akhirnya almarhum terseret lagi ke bawah gara-gara perbuatan keluarganya. Ini semacam konsep karma kolektif keluarga. Zaman kini bisa dianalogikan: misal orang tua bekerja keras cari rezeki halal ingin anaknya hidup mulia, eh anaknya malah buat onar kriminal – itu tentu melukai arwah orang tua, dan mungkin kalau dipercayai akan menahan mereka di alam sana. Apapun kepercayaan, yang jelas ajaran ini mendorong setiap anggota keluarga menjaga nama baik dan karma baik keluarga. Kebaikan yang kita lakukan bisa mengangkat leluhur (nama keluarga jadi harum, misal), kejahatan kita bisa “menodai” nama mereka. Konsep ini di Asia sangat kuat (menjaga nama keluarga), dan di sini dijelaskan dalam konteks spiritual. Jadi ada motivasi filal: demi kakek-nenek yg sudah tiada, jangan kita melakukan hal memalukan. Sebaliknya, perbanyak amal atas nama mereka.

 

Terakhir, ditutup dengan banyak makhluk membangkitkan bodhicitta setelah mendengar wejangan Ksitigarbha. Ini menandakan ajaran ini menginspirasi orang menjadi sadar spiritual. Memang, topik kematian sering menggugah hati orang. Begitu pula di pertemuan itu, para dewa dan manusia yang mendengar jadi bertekad mencapai penerangan demi menolong semua makhluk. Pesan tersirat: menghadapi kenyataan mati dan karma dapat membangkitkan semangat kita untuk hidup lebih benar dan tercerahkan.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab 7 memberikan inspirasi praktis untuk merawat akhir kehidupan. Pertama, kita terinspirasi untuk lebih peduli dan hadir saat ada anggota keluarga atau teman yang sakit keras atau sekarat. Ajaran ini menekankan bahwa kehadiran kita dengan doa, bacaan kitab suci, atau sekadar kata-kata baik bisa sangat membantu. Bagi Gen Z yang mungkin belum pernah menghadapi situasi itu, ini persiapan mental: kelak jika orang tua lanjut usia sakit, jangan takut mendampingi. Walau itu
berat emosional, ketahuilah hadirmu bisa meringankan beban batin mereka. Inspirasi yang bisa diambil: belajarlah beberapa doa/mantra yang bisa dibisikkan saat mendampingi orang sakit atau sekarat, agar saat waktunya tiba, kamu mampu memberikan “bekal terakhir” yang indah bagi mereka.

 

Kedua, bab ini menginspirasi kita untuk menghilangkan kebiasaan buruk dalam tradisi yang tidak selaras welas asih. Misal, jika di lingkungan kita masih ada tradisi menyembelih hewan berlebihan saat ada acara (tidak hanya kematian, mungkin perayaan lain), kita bisa mulai menguranginya atau menggantinya dengan bentuk lain. Inspirasi Ksitigarbha jelas: tidak ada kebaikan yang datang dari mengambil nyawa makhluk lain demi ritual. Mungkin kita bisa mengusulkan ke keluarga besar: alih-alih potong banyak ayam untuk selamatan, bagaimana kalau cukup simbolis saja lalu sisanya sedekah ke fakir miskin? Itu lebih membawa berkah bagi almarhum/keluarga.

 

Ketiga, ada inspirasi untuk selalu menjaga kesucian niat saat beramal. Ksitigarbha sangat detail soal kebersihan persembahan. Ini menginspirasi kita bahwa ketika membantu orang atau berdonasi, harus ikhlas dan proper. Misalnya, jangan kasih sumbangan baju bekas yang sudah jelek tak layak pakai – berikanlah yang bersih dan pantas; jangan berdana tapi sambil mengharap pujian. Ketulusan dan kehatian- hatian dalam memberi itu memperbesar manfaat (1/7 ke penerima, 6/7 ke pemberi – dua-duanya dapat).

 

Keempat, bab ini menginspirasi tentang bakti kepada orang tua dan leluhur. Melihat penjelasan Ksitigarbha, kita jadi sadar pentingnya membalas budi orang tua selagi mereka hidup, dan mendoakan mereka setelah wafat. Bagi Gen Z kadang konsep bakti terlihat kuno, tapi di sini jadi masuk akal: bakti bukan sekadar ritual, tapi benar-benar memikirkan nasib jiwa orang tua. Inspirasi konkrit: doakan orang tua setiap hari (kalau masih hidup, doakan panjang umur sehat; kalau sudah tiada, doakan damai dan lahir baik). Ini tradisi baik lintas budaya yang sayangnya mulai luntur – padahal, orang tua bahagia (di sini/di alam lain) seringkali menjadi keberkahan tersendiri bagi anak-anaknya di dunia. Secara psikologis pun, seorang anak yang selalu ingat budi orang tua cenderung rendah hati dan berkarakter baik, sehingga rejekinya bagus.

 

Kelima, bab ini memotivasi kita untuk tidak menunda berbuat baik. Pesannya lugas: jangan berpikir nanti saja tobat menjelang mati, karena selain kita tak tahu kapan mati, juga karma sudah kadung menumpuk. Inspirasi ini mirip dengan tagline “Sekarang atau tidak sama sekali”. Jadi kalau ada kesempatan baik, lakukan sekarang. Mau membantu teman? Bantu sekarang, siapa tahu besok terlambat. Mau mulai hidup sehat? Mulai sekarang, jangan tunggu sakit. Mau berterima kasih atau minta maaf ke seseorang? Lakukan sekarang, sebelum salah satu berpulang. Impermanensi (ketidakkekalan) jadi guru yang mendorong kita gak menunda hal baik.

 

Keenam, dari cerita bodhicitta muncul di banyak hadirin, kita mendapat inspirasi bahwa dari menghadapi kematian, bisa tumbuh benih kebijaksanaan. Makanya alih-alih takut atau menghindari topik kematian, kita sebaiknya menghadapinya dengan bijak. Banyak Gen Z sekarang juga tertarik dengan tema mental health dan meaning of life. Merenung tentang kematian bagian dari itu. Inspirasi: coba sesekali kunjungi rumah duka atau melayat (tentu dengan protokol dan empati). Pengalaman melihat langsung kesementaraan hidup bisa melembutkan hati dan memecut semangatmu untuk mengisi hidup dengan hal bermakna. Seperti para hadirin di sutra, melihat fenomena karma saat mati, mereka jadi ingin berbuat lebih untuk tercerahkan. Kita pun, mungkin setelah melihat betapa singkatnya hidup, jadi tergerak “Aku juga mau lakukan sesuatu untuk bantu orang lain selama hidup ini”.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Setelah mempelajari bab 7, ada beberapa perubahan pola pikir yang seyogyanya kita alami. Pertama, pola pikir tentang kematian itu sendiri. Banyak orang menghindari membahas atau memikirkan kematian karena dianggap menakutkan atau bikin sedih. Namun dari ajaran ini kita ubah menjadi: “Kematian adalah bagian alami dari kehidupan dan bisa dipersiapkan dengan bijak.” Ini mirip pepatah, memento mori, ingatlah akan mati – bukan untuk murung, tapi untuk hidup lebih bermakna. Aksi nyatanya, kita bisa mulai merencanakan hal-hal praktis: misal menulis living will (wasiat hidup) singkat – apa yang kita inginkan kalau kita mendadak sakit parah, siapa kontak penting keluarga, dsb. Ini bukan tabu, justru tanda kita bertanggung jawab. Pola pikir ini juga membuat kita lebih menghargai waktu dengan orang tersayang, karena kita sadar bisa kapan saja salah satu pergi. Jadi, luangkan waktu berkualitas bersama keluarga. Kalau sebelumnya sibuk sendiri terus, sekarang agendakan seminggu sekali makan malam tanpa gadget dengan ortu/keluarga.

 

Kedua, ubah pola pikir tentang duka cita. Alih-alih tenggelam dalam kesedihan pasif, ajaran Ksitigarbha mengajak aktif berbuat kebajikan sebagai pelampiasan duka. Jadi, jika (semoga tidak, tapi pasti suatu saat) kita kehilangan orang tercinta, pola pikir baru: “Apa yang bisa kulakukan untuk menghormati dan membantu perjalanan arwahnya?”. Aksi nyata: mungkin membuat penggalangan donasi amal atas nama almarhum, melakukan perbuatan baik (tanam pohon, sumbang panti) didedikasikan untuknya, atau setidaknya melanjutkan nilai-nilai kebaikan yang dia pegang. Ini menyalurkan kesedihan menjadi hal positif, seperti keluarga pasien kanker yang mendirikan yayasan atas nama anaknya yang meninggal. Itu implementasi nyata prinsip sutra.

 

Ketiga, perbaiki pola pikir terhadap ritual dan tradisi. Kadang generasi muda melihat tradisi upacara kematian sebagai formalitas kuno. Kita bisa ubah: “Setiap ritual punya makna dalam, aku akan menjalankannya dengan kesadaran dan menghargai esensinya.” Jadi misalnya dalam tradisi ada doa 7 hari, jangan malas-malasan atau sekadar jadi ajang kumpul makan-makan. Aksi: ikutlah berdoa dengan sungguh-sungguh, atau kalau merasa doa formal tidak dimengerti, setidaknya duduk hening mendoakan almarhum dengan caramu saat upacara berlangsung. Jika kita yang atur acara, bisa sisipkan misalnya sesi sharing kenangan indah tentang almarhum untuk mengisi upacara dengan aura kasih. Intinya, jangan biarkan ritual kosong, isi dengan ketulusan.

 

Keempat, pola pikir tentang penyelesaian konflik keluarga. Kita belajar betapa karma keluarga saling terkait. Jadi ubah sudut pandang: “Kebahagiaan dan keluhuran keluargaku adalah tanggung jawab bersama, termasuk tanggung jawabku.” Aksi nyatanya: jika ada perselisihan dengan saudara atau keluarga besar, upayakan rekonsiliasi selagi orang tua masih ada. Sadarilah bahwa kerukunan keluarga itu warisan tak benda paling berharga. Jangan sampai orang tua meninggal dalam suasana anak-anak bermusuhan. Kalau pun sudah terjadi, segera perbaiki sebelum terlambat. Mungkin perlu inisiatif ajak kumpul keluarga, minta maaf duluan, apapun itu – ingat visualisasi beban di pundak almarhum jika kita terus bertengkar.

 

Kelima, pola pikir proaktif menabung pahala. Ksitigarbha menekankan, saat sehat kuat tanam kebaikan sebanyak mungkin. So, tanamkan dalam benak: “Waktu sehat-ku adalah waktu terbaik berbuat baik, bukan hanya bersenang-senang.” Tentu boleh enjoy life, tapi set aside waktu dan tenaga untuk amal. Aksi: buat target misalnya setiap bulan minimal ikut 1 kegiatan sosial atau sedekah sekian persen pemasukan. Anggap itu tabungan karmamu. Pola pikir ini juga membentengi dari mental “nanti tua tobat” atau “nanti kalau sudah mapan baru bantu orang”. Justru bantu orang sekarang sehingga nanti kamu benar-benar berumur panjang dan mapan (karena karma baikmu).

 

Keenam, ubah pola pikir terhadap hewan dan lingkungan saat acara adat. Jika di daerahmu masih ada kebiasaan menyembelih hewan untuk upacara (selamatan dll), mungkin pola pikir komunitas sulit diubah mendadak. Namun kamu bisa mulai diskusi pelan-pelan: perlu gak sih sebanyak ini? Apakah ada alternatif lebih welas asih? Aksi: misal usulkan ganti sesajen daging dengan buah/hasil bumi, atau jika tetap potong hewan, minimal jangan berlebihan, dan sisa makanan jangan dibuang sembarangan (ini sejalan nasihat sutra soal bersih). Hal kecil, seperti memastikan makanan pesta pernikahan gak mubazir, itu pun praktek welas asih sesuai semangat Ksitigarbha. Intinya aware bahwa setiap makhluk punya nyawa dan penderitaannya sendiri, jadi kita seminimal mungkin mengambil nyawa kecuali benar-benar perlu. Ini juga bisa terapkan ke pola makan: mungkin mulai kurangi daging, terutama saat ada intensi spiritual (puasa, retreat) sebagai bentuk menghargai ajaran ini.

 

Ketujuh, pola pikir menerima bimbingan. Orang dalam lumpur harus mau dituntun keluar. Jadi latih ego kita untuk terbuka nasihat, terutama dari orang-orang bijak atau berpengalaman. Aksi: bisa mulai dengan mencari mentor atau minimal berdiskusi dengan orang tua/guru tentang kesulitanmu. Terkadang generasi muda segan mendengar generasi tua, padahal mungkin ada petuah berguna. Pola pikir baru: “mereka menasihati karena peduli, bukan menghakimi.” Dengan begitu, kita tidak merasa sendiri memikul beban – ada yang membantu meringankan.

 

Dengan perubahan pola pikir dan tindakan nyata ini, bab 7 tidak hanya menjadi teori kematian, tetapi pedoman memperbaiki kualitas hidup dan hubungan kita sekarang. Kita akan lebih menghormati hidup dan mati, lebih menyayangi keluarga, dan lebih sigap menanam kebaikan tanpa tunda. Ibaratnya, kita belajar seni “mengantar” orang dengan cinta di ujung hidup, sekaligus seni “menghidupi” diri dengan cinta sepanjang sisa hidup.

Bab 8: Varga Pujian Yamaraja dan Pengikutnya

Ringkasan Isi Bab: Bab ini berisi dialog antara Buddha Śākyamuni dengan para Raja Setan (penguasa makhluk halus) termasuk Yamaraja (Raja Yama, penguasa neraka), yang hadir di pertemuan itu. Dikisahkan bahwa dari gunung Cakravada (dunia neraka) datang rombongan para Raja Setan bersama Yamaraja ke istana Trayastrimsa untuk mendengarkan Dharma 70. Mereka memiliki banyak nama dan tugas – misalnya Raja Setan Maha Jahat, Raja Setan Pertengkaran, Raja Setan Penyebar Malapetaka, Raja Setan Pengurus Kelahiran, Raja Setan Pengurus Nyawa, dll – masing-masing memimpin ratusan ribu setan bawahannya 71 72. Berkat kekuatan Buddha dan Ksitigarbha, mereka bisa hadir dengan sikap hormat berdiri di pinggir pertemuan 73 74.

 

Kemudian Yamaraja (Raja Yama) berlutut memberi hormat pada Buddha dan berkata: “Bhagavan yang mulia, berkat kekuatan Buddha dan Ksitigarbha, kami para raja setan dapat hadir di pertemuan agung ini dan mendengar Dharma dengan bahagia. Namun kami masih punya persoalan, mohon kiranya Buddha berkenan menjelaskan” 75. Buddha menjawab agar Yama menyebutkan apa yang diragukan, nanti akan dijelaskan 76. Lalu Yamaraja mengajukan pertanyaan penting: “Bhagavan, menurut pengamatan kami, Bodhisattva Ksitigarbha telah menggunakan ratusan ribu cara untuk menyelamatkan makhluk karma berat di enam alam sengsara, dan hingga kini Beliau bekerja tanpa kenal lelah. Kesaktian Bodhisattva ini sungguh luar biasa, namun anehnya makhluk yang baru saja dibebaskan dari akibat karma buruknya, tak lama kemudian jatuh lagi ke alam sengsara. Wahai Bhagavan, jika Ksitigarbha begitu sakti, mengapa makhluk-makhluk itu tidak dapat dibuatnya tetap berada di jalan kebaikan dan bebas selamanya? Mohon penjelasan” 77 78. Ini pada dasarnya pertanyaan: Mengapa orang (makhluk) kembali berbuat jahat meski sudah ditolong?

 

Buddha lalu bersabda kepada Yamaraja: “Wahai Yamaraja yang terhormat, ketahuilah bahwa makhluk di Jambudvipa memang memiliki sifat pembawaan yang sangat keras kepala dan sukar dijinakkan 79. Mereka sulit menundukkan hati mengikuti ajaran. Akan tetapi, Bodhisattva Mahasattva Ksitigarbha Yang Maha Welas Asih tetap memperjuangkan pembebasan mereka dengan semangat tinggi hingga jutaan kalpa. Beliau tak kenal lelah mencabut akar karma buruk makhluk, berusaha membuat mereka sadar, walau mereka berulang kali tenggelam kembali dalam karma buruknya” 79 80. Buddha melanjutkan: “Ibaratnya begini: Ada orang tersesat masuk jalan yang berbahaya. Di sana banyak yaksa jahat, harimau, serigala, ular berbisa dan kalajengking. Orang yang tersesat ini jika dibiarkan pasti akan menjadi korban mereka. Lalu datanglah seorang bijak berilmu yang bisa menangkal racun para makhluk buas itu. Orang bijak melihat si musafir tersesat tadi mendekati bahaya, lalu segera memperingatkan: ‘Anakku, kenapa engkau berani masuk jalan berbahaya ini? Apakah engkau benar- benar mampu melawan racun-racun binatang buas tersebut?’” 81 82. Mendengar peringatan itu, orang tersesat tadi tersadar bahwa ia di jalan yang salah. Ia pun berniat segera berbalik. Kemudian orang bijak itu menggandeng tangannya dan menuntunnya keluar dari jalan berbahaya, sehingga orang yang tersesat tadi selamat dari marabahaya besar, menuju jalan yang aman sentosa 83. Setelah selamat, orang bijak kembali menasihati: ‘Anakku, mulai sekarang jangan pernah mengambil jalan berbahaya ini. Orang yang masuk jalan ini hampir tak pernah bisa keluar lagi, mereka telah jadi korban binatang buas.’ Mendengar itu, orang yang tadinya tersesat sangat terharu dan berterima kasih” 84 85. Orang bijak tadi menambahkan: ‘Jika engkau melihat sanak saudara atau pejalan lain, baik laki-laki maupun perempuan, tolong beritahukan kepada mereka bahwa jalan ini sangat berbahaya, jangan sampai ada yang memasukinya. Pastikanlah tak ada umat yang mengambil jalan bunuh diri ini!’ 86. Buddha menjelaskan: “Demikianlah perumpamaannya. Ksitigarbha Bodhisattva memiliki jiwa welas asih yang begitu besar untuk menolong makhluk berkarma buruk agar terlahir di surga menikmati bahagia sejahtera. Akhirnya, umat jahat itu sadar bahwa karma buruk hanya membawa penderitaan tak berkesudahan. Mereka tak ingin lagi timbul tenggelam dalam karma buruk dan berusaha membebaskan diri dari kejahatan selamanya” 87 88. Namun, Buddha menambahkan dengan nada sedih, ada juga umat manusia yang “tergoda oleh kehidupan duniawi yang aneka rupa, bagaikan orang tersesat masuk jalan penuh mara bahaya”. Untung ada “Maitriyani yang bijak” (figur penyelamat) yang menuntun keluar. Setelah selamat, orang itu menasihati pendatang baru agar jangan masuk jalan berbahaya, sambil menceritakan pengalamannya nyaris celaka kalau tak ditolong 89 90. “Ksitigarbha Bodhisattva dengan segala cara menolong umat berkarma berat agar terbebas dari penderitaan dan lahir di surga atau alam manusia. Sungguhpun demikian, karena karma buruk manusia sedemikian berat, mereka sulit melepaskan diri darinya. Baru saja terbebas, tak lama jatuh lagi, bahkan kali ini lebih dalam dan berat karma buruknya, sehingga akhirnya ada yang terus tinggal di neraka tak bisa bebas lagi”* 91.

 

Setelah mendengar penjelasan Buddha, Raja Setan Maha Jahat (salah satu pemimpin setan) maju memberi hormat dan menambahkan laporan: “Bhagavan, kami para Raja Setan yang bertugas di Jambudvipa tugasnya beragam; ada yang menguntungkan, ada yang merugikan manusia – tergantung karma manusia itu sendiri. Kami mengirim anak buah ke dunia untuk menyelidiki keadaan manusia 92. Hasilnya, jumlah pria atau wanita yang berbuat kebaikan sangat sedikit dibanding yang berbuat jahat. Jika kami tilik rumah tangga, kampung, kota, kebun, asrama, jarang sekali kami temui orang yang berbuat baik – dapat dihitung dengan jari. Terlebih lagi orang yang berpuja-bhakti dengan memasang panji kuning, payung sutra kuning di sisi rupang Buddha/Bodhisattva, membakar dupa atau mempersembahkan bunga di altar, atau membaca Sutra Buddha dengan khusyuk – itu lebih sedikit lagi 93. Namun meskipun demikian, kami sangat menghargai dan menghormati mereka yang melakukan kebaikan ini. Kami memandang mereka seperti Buddha di masa lalu, sekarang, dan masa akan datang 94. Kami memerintahkan para setan bawahan dengan kekuatan masing- masing serta dewa bumi agar melindungi keselamatan orang-orang baik tersebut, supaya mereka dijauhkan dari marabahaya, penyakit, dan hal-hal tidak menyenangkan; jangan sampai makhluk jahat masuk ke rumahnya
mengganggunya!” 94 95. Mendengar laporan ini, Buddha pun memuji para Raja Setan: “Sadhu, sadhu (bagus sekali)! Kalian semua beserta Yamaraja suka melindungi para pria wanita berbudi. Aku mohon kepada Raja Indra di Trayastrimsa serta Raja Brahma di Surga Brahmakayika untuk membantu kalian, supaya pekerjaan kalian lancar selalu!” 96. Ini menandakan Buddha mengakui dan mendukung peran para makhluk halus pelindung kebajikan.

 

Berikutnya, Raja Setan Pengurus Nyawa (yang tadi disebut bertugas mengurus kelahiran dan kematian manusia) menghadap Buddha dan berkata: “Bhagavan, tugasku berhubungan dengan hukum karma, mengurus kelahiran atau kematian umat di Jambudvipa. Niat awalku sebenarnya ingin memberi manfaat bagi mereka. Sayang sekali mereka tidak memahami maksudku, sehingga ketika lahir atau meninggal dunia mereka mengalami hal-hal tidak menyenangkan. Ini semua akibat perilaku mereka sendiri, bukan salahku” 97 98. “Mengapa demikian?”, lanjut Raja Setan Pengurus Nyawa, “Ketika seorang ibu mengandung atau hendak melahirkan, seharusnya keluarganya banyak berbuat kebaikan agar rumah tangga tenteram, para dewa bumi merasa senang dan bersedia melindungi ibu dan bayinya. Supaya seluruh keluarga sehat dan bahagia! Janganlah justru membunuh makhluk bernyawa sebagai santapan yang dihidangkan kepada ibu atau untuk menjamu tamu dengan minuman keras dan lauk pauk beraneka ragam disertai hiburan musik. Hal-hal itu akan mengakibatkan ibu dan bayinya berkurang kesejahteraannya!” 99 100.

“Mengapa hal di atas harus dihindari?”, ia menjelaskan, “Sebab saat ibu akan melahirkan dan sedang mengalami kesukaran, banyak setan jahat, jin liar, serta makhluk halus lain berdatangan ingin menikmati aroma amis darah persalinan. Sementara itu, aku telah memerintahkan para dewa bumi untuk melindungi ibu dan bayinya agar selamat. Dengan demikian, sudah selayaknya mereka (keluarga) bersyukur dan beramal sebagai balas budi para dewa tersebut, karena ibu dan bayi telah selamat. Namun sayangnya mereka tidak berbuat sebagaimana mestinya, malah melakukan pembunuhan hewan untuk jamuan. Akibat karma buruk itu akan diterima oleh pelakunya sendiri; bayi dan ibu itu akan berkurang kesejahteraannya!” 101 102.

 

Raja Setan Pengurus Nyawa melanjutkan: “Lagi, umat Jambudvipa saat akan meninggal dunia, baik yang jahat maupun tidak, semua akan kubantu agar mereka tidak jatuh ke alam sengsara. Apalagi umat yang semasa hidupnya berbuat kebaikan – ditambah kekuatan tugasku – ia pasti akan lahir di Surga atau jadi manusia (lahir baik lagi). Bahkan umat yang semasa hidupnya suka berbuat baik sekalipun, ketika ia meninggal dunia, akan berdatangan ratusan ribu iblis jahat menjelma sebagai orang tuanya atau sanak keluarganya menjemput dan membujuk almarhum agar ikut mereka ke alam sengsara. Apalagi kalau yang meninggal itu semasa hidupnya banyak berbuat jahat” 103 104. “Wahai Bhagavan,”, ia berkata lagi, “Saat umat Jambudvipa akan meninggal dunia, kesadarannya amat lemah dan bingung, ia sama sekali tidak dapat membedakan yang baik dan buruk, pikirannya keruh sekali, penglihatan pendengarannya kabur. Dalam keadaan seperti itu ia mudah dipermainkan iblis jahat dan mengikuti mereka ke alam sengsara” 105 105. “Oleh karena itu,”, lanjutnya, “sanak keluarga almarhum perlu segera mengadakan puja bhakti: bacakan Sutra Buddha, muliakan nama Buddha atau Bodhisattva Mahasattva di dekatnya, dan salurkan jasa kebajikan itu kepada almarhum. Dengan demikian, almarhum akan terbebaskan dari alam sengsara; para iblis jahat dan makhluk halus lain akan mundur dengan sendirinya, tak berani mendekat apalagi mengganggu almarhum” 106 107. “Bhagavan, semua makhluk pada saat meninggal dunia apabila dapat mendengar nama Buddha atau Bodhisattva atau satu bait gatha (syair) dari Sutra Mahayana, maka makhluk itu akan terbebas dari karma akibat pembunuhan di masa lalu dan terhindar dari neraka pancanantarya. Karma buruk kecilnya pun lenyap semua” 36.

 

Buddha memuji Raja Setan Pengurus Nyawa: “Engkau sungguh Raja yang maha pengasih telah menyatakan ikrar mulia melindungi semua makhluk dalam soal hidup dan mati. Di masa mendatang, jika ada pria atau wanita menghadapi kelahiran atau kematian, janganlah engkau mengingkari janji luhurmu itu – bantulah mereka terbebas dari sengsara dan berbahagia” 108 109. Raja Setan itu menjawab: “Bhagavan, mohon jangan
khawatir. Selama hayatku dikandung badan, aku akan selalu melindungi makhluk Jambudvipa. Baik ketika mereka lahir maupun meninggal, akan kuupayakan mereka merasa tentram dan bahagia. Semoga semua makhluk saat lahir atau wafat percaya penuh dan memegang teguh ucapanku, serta melakukan petunjuk yang pernah kuucapkan, maka semua akan bebas dari sengsara dan mendapat manfaat Dharma” 110 111.

 

Pada saat itu Buddha memberitahu Ksitigarbha: “Raja Setan Pengurus Nyawa ini sudah ratusan ribu kelahiran menjadi Raja Setan. Dalam tugas kelahiran dan kematian ia telah banyak melindungi makhluk dari sengsara. Sesungguhnya yang menjelma sebagai Raja Setan ini bukan setan sungguhan, melainkan Bodhisattva penuh welas asih untuk menyelamatkan umat dari penderitaan. Sekitar 170 kalpa lagi, ia akan menjadi seorang Buddha bergelar Animitta Tathagata, di kalpa bernama Sukham, di dunia bernama Posadha, dengan usia sangat panjang tak terhitung kalpa”. Buddha lalu berkata: “Demikianlah hakikat Raja Setan itu, tak terbayangkan! Makhluk manusia dan dewa yang pernah diselamatkannya juga tak terhingga banyaknya” 112 113. Para hadirin pun memahami bahwa Raja Setan ini sebenarnya Bodhisattva yang akan jadi Buddha kelak – betapa besar jasanya.

 

Demikianlah isi bab 8: para raja makhluk halus memuji usaha Ksitigarbha serta melaporkan tugas mereka melindungi orang baik, memberi nasihat soal kelahiran & kematian, lalu Buddha mengungkap identitas Bodhisattva di balik salah satu Raja Setan, mempertegas bahwa walau tampak menyeramkan, mereka bekerja untuk kebaikan makhluk sesuai karmanya.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab 8 terasa unik karena menampilkan sudut pandang “pihak lain”, yakni para makhluk halus penguasa alam maut dan neraka. Ini mengajarkan bahwa dalam pandangan Mahayana, semua elemen alam semesta – bahkan yang terkesan negatif seperti setan dan dewa kematian – punya peran dalam menegakkan keadilan karma dan membantu makhluk mencapai pembebasan. Secara modern, ini dapat dimaknai bahwa bahkan aspek tergelap kehidupan bisa berfungsi sebagai guru atau penolong tersembunyi.

 

Pertanyaan Yamaraja adalah pertanyaan abadi: Mengapa orang bisa kembali berbuat jahat padahal sudah ditolong? Ini mirip pertanyaan orang masa kini: “Kenapa sih manusia susah banget berubah? Sudah kena hukuman kapok, eh ngulangi lagi.” Buddha menjawab dengan terus terang: sifat manusia memang keras kepala dan cepat lalai terhadap kebaikan. Ini selaras dengan pepatah psikologi: “Bad habits die hard” (kebiasaan buruk sulit hilang). Penjelasan Buddha juga menyoroti pentingnya kesadaran individu. Ksitigarbha bisa menolong berkali-kali, tapi kalau orang itu sendiri tak mau belajar dan melanjutkan kebiasaan baik, mereka akan jatuh lagi. Hal ini menegaskan konsep free will: Bodhisattva bukan boneka sulap yang bisa memaksakan kebaikan, makhluk punya kehendak sendiri. Bagi kita, artinya meski banyak bantuan (teman, keluarga, mentor, program rehab, dsb) datang menolong kita keluar dari masalah, pada akhirnya hanya kita yang bisa memastikan tidak jatuh lagi.

 

Analogi orang tersesat di hutan penuh binatang buas sangat gamblang: jalan berbahaya = jalan kejahatan; binatang berbisa = godaan dan akibat buruk; orang bijak penolong = guru atau figur penolong (bisa juga agama). Orang tersesat diselamatkan, diingatkan agar menghindari jalan itu lagi, bahkan disuruh mewanti- wanti orang lain jangan lewat sana. Ini melambangkan proses pertobatan yang paripurna: (1) sadar dirinya salah, (2) diselamatkan/dituntun keluar, (3) berterima kasih dan berjanji tak ulangi, (4) bahkan aktif mengingatkan orang lain agar jangan masuk ke kesalahan yang sama. Itulah siklus ideal seorang mantan pendosa jadi orang baik. Dalam masyarakat modern kita lihat contohnya: seorang mantan pecandu narkoba berhasil direhab, lalu ia menjadi aktivis anti-narkoba yang memperingatkan generasi muda bahaya narkoba. Ini praktek nyata dari nasihat orang bijak dalam analogi. Bodhisattva Ksitigarbha ibarat petugas rehabilitasi terbesar: Ia terus menerus menyelamatkan orang “kecanduan” dosa, walau banyak dari mereka relapse (kumat) lagi. Ajaran ini membuat kita melihat betapa sabar dan teguhnya welas asih Bodhisattva – serta betapa sulitnya tugasnya.

 

Ketika Raja Setan Maha Jahat melaporkan betapa jarangnya orang baik dan betapa banyaknya orang jahat di dunia, itu semacam kritik sosial dari sudut pandang makhluk halus. Zaman sekarang pun, kalau kita jujur menilai, sering terasa hal-hal baik minoritas, kejahatan/berita buruk merajalela. Namun hal terpenting: para “penguasa karma” ini menghargai setiap kebaikan kecil. Mereka memandang segelintir orang baik itu bagaikan Buddha – artinya satu kebaikan di tengah keburukan itu sangat berharga. Secara modern, ini mengajak kita tidak berkecil hati menjadi orang baik meski sedikit yang berbuat. Bahkan setan pun hormat kepada orang baik, ibarat pepatah “Setan aja segan sama dia”. Maksudnya, bahkan energi negatif pun menyingkir di hadapan integritas dan kebajikan sejati. Di sini pula lahir semacam “garansi moral”: kalau kita hidup bajik, makhluk halus pun melindungi, bukan mencelakai 94. Hal ini mirip konsep pelindung tak kasatmata atau malaikat penjaga. Dalam sutra, Buddha sampai memerintahkan Indra dan Brahma mendukung tugas para setan pelindung itu 96 – menunjukkan semesta (dunia dewa) pun mendukung orang baik. Jadi, buat generasi kini: Percayalah, kebaikanmu tidak luput dari apresiasi alam. Ada istilah “the universe has your back” – alam semesta mendukungmu – itulah terjemahan modern dari “disegani makhluk halus dan dilindungi dewa” bagi orang berbudi.

 

Masuk ke nasihat Raja Setan Pengurus Nyawa. Ia pada dasarnya menyampaikan hal yang juga sudah umum diketahui tetapi sering diabaikan: saat kelahiran dan kematian adalah saat-saat sakral yang harus dipenuhi energi positif, bukan diwarnai hal-hal negatif. Khusus soal kelahiran: ia melarang pesta berlebihan dengan membunuh banyak hewan dan minum alkohol. Kenapa? Secara praktis, ibu pasca melahirkan butuh ketenangan, bukan keramaian. Membuat pesta hingar bingar apalagi melibatkan pembunuhan hewan menambah kekacauan energi. Buddha tak melarang merayakan sukacita kelahiran, tapi melarang unsur kekerasan di dalamnya. Nasihat ini masih relevan: di dunia medis modern pun, lingkungan steril dan tenang untuk persalinan dianggap penting. Tradisi “sembelih ayam buat ibu yang habis melahirkan biar kuat” misalnya, mungkin ada niat baik (nutrisi), tapi menurut perspektif karma kurang baik karena mengambil nyawa. Alternatifnya, bisa ganti dengan makanan bergizi non-hewan atau suplemen – yang penting esensinya, jangan melibatkan kekerasan. Dan yang lebih penting, seperti ditekankan Raja Setan, keluarga semestinya bersyukur dan beramal atas kelahiran selamat. Ini bisa kita maknai: saat bayi lahir, daripada hanya syukuran makan-makan, alangkah baik jika orang tua juga memberi sedekah (misal ke panti asuhan) sebagai ungkapan syukur. Intinya merayakan dengan berbagi, bukan dengan foya-foya. Itu selaras dengan anjuran “berbuat baik agar dewa bumi senang melindungi ibu-bayi”. Secara spiritual, dipahami bahwa bumi (lingkungan) pun mendukung bila kita memperlakukan peristiwa sakral dengan hormat dan kasih (bukan dengan darah dan mabuk-mabukan). Lagi-lagi ini pun demi kesejahteraan ibu- bayi sendiri. Bukankah sering kita dengar cerita “habis pesta besar, ibu/bayi malah sakit”? Bisa jadi akibat kelelahan atau vibrasi negatif. Jadi, ajaran ini menginspirasi gaya hidup welas asih bahkan di momen bahagia – tetap rendah hati, bersyukur, tidak berlebihan.

 

Soal kematian, Raja Setan menegaskan hal yang di bab sebelumnya juga disinggung: saat menjelang dan sesudah mati, makhluk lemah dan mudah diganggu oleh bayangan atau energi negatif. Kita bisa artikan bahwa orang mendekati kematian sering diliputi halusinasi, bisa melihat orang yang sudah meninggal (dalam sutra: iblis menjelma keluarga – bisa jadi itu delirium/halusinasi akhir hidup yang sering didokumentasi dalam paliatif care). Raja Setan berkata ia berusaha bantu agar mereka tak jatuh ke alam sengsara. Ini dapat diartikan: ada kekuatan alamiah (atau Malaikat) yang berusaha membuat orang wafat dengan damai. Namun tetap, kalau semasa hidup banyak dosanya, di detik akhir pun ia bisa diserbu ketakutan atau halusinasi buruk (iblis menjemput). Hal ini sejalan dengan banyak kesaksian: orang jahat meninggal sering terlihat gelisah, ketakutan, menjerit-jerit (mungkin “dijemput” bayangan dosa-dosanya). Sebaliknya, orang baik meninggal wajahnya tenang. Keluarga diingatkan lagi: cepat lakukan doa, bacakan sutra agar suasana jadi positif 105. Ini memberikan rasa urgent: jangan terlambat, begitu anggota keluarga kritis, segera ciptakan lingkungan penuh kasih dan spiritual – supaya kalaupun ada “kekuatan gelap” datang, mereka kalah oleh vibe doa. Secara psikologis, kehadiran keluarga yang mendoakan keras (lagu pujian/mantra) memang bisa mengusir “iblis” berupa pikiran takut dalam diri pasien. Pasien merasa aman tidak sendirian. Hal ini benar-benar terjadi dalam perawatan hospice: pasien yang ditemani doa lebih tenang.

 

Ketika Raja Setan (Bodhisattva tersembunyi) ungkap bahwa ia sudah berikrar melindungi lahir-mati makhluk, dan Buddha mengungkap identitasnya, pesan terbesarnya adalah: bahkan dalam kegelapan, ada cahaya welas asih yang bekerja. Sosok dewa kematian di sini ternyata Bodhisattva yang penuh kasih. Ini menggeser paradigma: Hal-hal menakutkan (kematian, setan, dsb) tidak sepenuhnya jahat; mereka juga bagian dari rencana welas asih semesta. Bagi pandangan modern, ini mirip ide “reframing”: melihat sisi baik dari sesuatu yang tampak buruk. Contoh: pandemi COVID – meski buruk, tapi ada Bodhisattva tersembunyi berupa pelajaran kesatuan umat manusia, empati global, dan percepatan inovasi di bidang kesehatan. Atau dalam hidup personal: sakit keras mungkin “setan jahat”, tapi setelah sembuh kita sadar sakit itu mendewasakan kita (bodhisattva tersembunyi). Jadi, makna utamanya, tidak ada pengalaman buruk yang tidak bisa digunakan untuk kebaikan. Bodhisattva Animitta yang menjelma Raja Setan menunjukkan welas asih bekerja bahkan di neraka.

 

Selain itu, bab ini menekankan kembali pentingnya kekuatan moral. Ternyata, walau banyak setan siap menyeret orang, kalau semasa hidup ia banyak dengar nama suci atau gatha, bahkan satu bait Mahayana saja, itu bisa membebaskannya dari hukuman terburuk 36. Hal ini seperti menggarisbawahi bab sebelumnya: selipkan benih Dharma sedikit saja dalam hidupmu, itu bisa jadi penyelamat di saat genting. Seakan alam pun cari “alasan” untuk menyelamatkan kita: “Oh, dia dulu pernah sekali loh ikut puja bakti atau bantu orang. Oke deh, hukuman matinya ditunda, dikasih kesempatan.” Ini cara puitis menyampaikan keadilan bercampur belas kasih dalam hukum karma. Makanya Raja Setan Pengurus Nyawa berharap orang mau percaya kata-katanya dan melaksanakan petunjuk kebaikan, supaya dia pun bisa menolong dengan leluasa. Karena kalau orangnya ngeyel tetap jahat, ya susah ditolong. Intinya, bekerjasamalah dengan malaikat penjagamu sendiri – dalam artian, berikan input baik supaya “data” karmamu ada nilai plus-nya sehingga malaikat bisa pakai itu sebagai alasan melindungimu.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab 8 memberi banyak inspirasi tak terduga. Pertama, kita diingatkan bahwa kebaikan sekecil apa pun sangat berharga di tengah dominasi kejahatan. Ini menginspirasi semangat “walau orang lain jahat, aku akan tetap baik”. Para Raja Setan saja memuji sedikit orang baik di dunia sebagai Buddha masa depan 94. Jadi misalnya di kelas atau kantor kamu mayoritas suka gosip atau curang, jangan minder jadi orang jujur – yakinlah integritasmu dilihat dan akan dilindungi (mungkin atasan menghargai, atau minimal hatimu tenang). Bahkan kalau rasanya no one sees, ingat sutra: ada makhluk halus pelindung yang melihat dan menjagamu. Ini motivasi moral yang kuat: never compromise your goodness hanya karena “ah, semua orang jahat kok”. Justru kamu bisa jadi cahaya di tempat gelap.

 

Kedua, inspirasi untuk tidak putus asa menolong orang. Lihatlah Ksitigarbha, berkali-kali menolong meski “pelanggan”-nya bandel balik lagi ke neraka. Kita jadi tergerak meniru kesabarannya. Mungkin ada teman atau saudara yang berulang kali bikin masalah (pecandu, kriminal kecil-kecilan, dll). Seringkali keluarga frustrasi dan berpikir “Sudahlah, kapokmu kapan”. Tapi Ksitigarbha mengajarkan welas asih tak kenal lelah: teruslah upayakan bantuan, siapa tahu percobaan ke-101 berhasil. Tentu, bedakan antara enabling
(memfasilitasi keburukan) dan compassion (memberi kesempatan berubah). Bodhisattva menolong dengan bijak: dituntun, dinasehati. Kita pun bisa begitu – bantu tapi sambil tough love (tegas kasih sayang). Intinya jangan mudah nyerah menuntun orang ke jalan benar, karena mungkin akhirnya dia bertaubat seperti orang tersesat tadi. Bahkan kalaupun gagal, welas asihmu gak sia-sia – minimal kamu sudah “jadi Bodhisattva” baginya.

 

Ketiga, inspirasi bahwa perlindungan gaib datang pada orang yang hidup lurus. Bagi generasi modern, mungkin terdengar mistis. Tetapi bisa diartikan: orang baik menciptakan support system alami. Ini menginspirasi fokus untuk building goodwill di komunitas. Contoh: sering membantu tetangga diam-diam, nanti saat butuh pertolongan, tiba-tiba banyak yang bantu (itulah malaikat pelindungmu, yaitu tetanggamu sendiri!). Atau dalam istilah populer: good karma will protect you. Inspirasi praktis: tanam kebaikan di mana pun, invisible kindness, percayalah itu yang jadi tameng di saat krisis.

 

Keempat, nasihat Raja Setan Pengurus Nyawa soal kelahiran inspiratif untuk merayakan dengan welas asih, bukan dengan foya-foya. Ini bisa kita terapkan di berbagai perayaan, tak cuma kelahiran: ulang tahun, kelulusan, pernikahan – pastikan ada unsur berbagi dan jangan nodai dengan tindakan negatif. Contoh: pesta wisuda, hindari coret-coret baju (mending kasih ke adik kelas atau donasi), hindari pesta minum-minum ugal-ugalan yang malah bikin celaka. Gantinya, rayakan dengan kegiatan positif: tanam pohon lulusan, atau minimal syukuran tanpa mabuk. Dengan begitu dewa bumi pun ikut senyum, berarti lingkunganmu tidak rusak dan ingatanmu pun bahagia tanpa penyesalan.

 

Kelima, lagi-lagi, inspirasi menghadapi orang meninggal dengan cara positif. Di bab sebelumnya sudah dibahas pentingnya doa. Di sini ditambah info tentang iblis menjelma keluarga menjemput roh jahat. Ini menginspirasi hal serupa: saat mendampingi orang wafat, yakinkan dia, jangan biarkan dia dihantui rasa bersalah atau ketakutan. Kadang orang sekarat bilang hal-hal seperti “Ayah datang jemput saya…” – entah itu halusinasi atau nyata, kita bisa respon meyakinkan: “Tidak apa-apa, kami semua sayang kamu, pergilah dengan tenang,” dsb. Pastikan dia tidak merasa sendiri.

 

Keenam, pengungkapan bahwa Raja Setan itu Bodhisattva menginspirasi kita tidak menilai dari tampak luar. Sesuatu yang tampak buruk bisa punya maksud baik. Ini mengajarkan terbuka melihat “hikmah tersembunyi”. Contohnya, seorang guru atau atasan yang keras mungkin sebenarnya peduli mendisiplinkan kita (bodhisattva dalam wujud “menyeramkan”). Daripada benci, coba petik pelajaran. Atau jika mengalami kegagalan pahit, anggap itu Bodhisattva Animitta yang memberi pelajaran agar kita tumbuh. Pola pikir begini bikin kita resilient, gak gampang menyalahkan keadaan.

 

Ketujuh, inspirasi penting: bahkan iblis pun bisa jadi calon Buddha. Di sini Raja Setan ternyata Bodhisattva menuju ke-Buddha-an dalam 170 kalpa 112. Ini artinya potensi kebuddhaan ada di setiap makhluk, seburuk apapun sekarang. Jadi jangan menilai orang hanya dari masa lalunya – orang jahat pun mungkin menyimpan benih baik. Bukan berarti tolerir kejahatannya sekarang, tapi kita dorong transformasinya. Dalam hidup, selalu sisakan harapan bahwa “everyone can change”. Hal ini penting agar kita tidak mendendam atau menganggap seseorang hopeless. Contoh: seorang narapidana mungkin kelak bisa jadi pembimbing rohani (memang banyak contoh nyata). Jadi percayalah akan kemungkinan perubahan positif pada orang, seperti halnya Raja Setan pun bertransformasi.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Dari bab 8, ada beberapa pola pikir yang bisa kita ubah. Pertama, ubah pandangan tentang kejahatan di dunia. Jangan melulu “Dunia makin rusak, orang baik makin punah”. Pola pikir itu pesimis dan membuat kita enggan berbuat baik. Ganti dengan: “Meskipun banyak
kejahatan, kebaikan tetap lebih bernilai dan akan selalu ada perlindungan bagi kebaikan.” Ini membuat kita optimis dan mau jadi bagian dari solusi. Aksi nyatanya: fokus pada berita/informasi positif. Misal, selain baca berita kriminal, seimbangkan dengan cerita heroik atau akun medsos inspiratif. Ini melatih otak melihat bahwa di tengah keburukan pun, secercah kebaikan nyata sekali dampaknya. Pola pikir positif ini juga memengaruhi tindakan: kita jadi gak takut melawan arus untuk melakukan yang benar.

 

Kedua, pola pikir soal “orang gak bisa berubah”. Hapuskan fatalisme bahwa sifat buruk permanen. Ingat analogi orang tersesat dituntun keluar dan akhirnya ikut menuntun orang lain – itu gambaran orang berubah 180 derajat. Jadi mantapkan dalam benak: setiap orang punya potensi baik. Aksi nyata: kalau ada teman/kerabat bermasalah, perlakukan dia dengan pengharapan bisa berubah, bukan dengan label “emang dasar lu bandel”. Mungkin ajak dia ke lingkungan positif, kenalkan ke mentor/ustadz/guru, dsb. Juga, beri dukungan ketika ia mencoba berubah walau pernah gagal. Sedikit dukungan moral dari kita bisa jadi penyemangat agar ia mau berusaha lagi.

 

Ketiga, pola pikir soal perlindungan. Mungkin sebelumnya kita berpikir aman atau celaka semata faktor fisik (kunci pintu, asuransi, dsb). Sekarang, percaya bahwa perlindungan juga datang dari karmamu. Pola pikir: “Kalau aku berbuat baik, alam pun mendukung keamanan hidupku.” Tentu tetap pasang kunci pintu, tapi tambahan ini membuat kita merasa lebih secure secara batin. Aksi nyata: tiap kali akan bepergian atau menghadapi situasi rawan, luangkan sejenak untuk doa atau minimal niatkan “semoga perjalanan ini membawa manfaat”. Itu seperti integrasi aspek spiritual ke tindakan fisik. Contoh kecil, sebelum nyetir, ingat Ksitigarbha or just calm yourself; secara psikologis kamu jadi lebih hati-hati di jalan. Efeknya mirip “dilindungi malaikat” – sebenarnya ya kamu lebih waspada karena tadi mindful.

 

Keempat, pola pikir terhadap hal-hal mistis atau menakutkan. Alih-alih takut buta, sekarang bisa berpikir: “Kalau aku hidup benar, aku tak perlu takut hantu/setan, karena mereka pun bisa jadi pelindung kalau aku baik.” Ini bukan menantang hal gaib, melainkan mengikis ketakutan berlebihan. Aksi: misal saat merinding dengar cerita seram, yakinkan diri “aku selalu berniat baik, tak akan diganggu kok”. Pola pikir ini juga membuat kita tidak mudah terjebak praktek sesat (contoh: orang saking takut santet, malah pergi ke dukun buat santet balik – ini siklus negatif). Dengan percaya kebaikan melindungi, kita tak perlu jatuh ke hal merugikan.

 

Kelima, pola pikir ketika melihat orang lain menderita hukuman (kita sebagai Yamaraja yang melihat orang keluar masuk penjara misalnya). Jangan hanya menghakimi “pantas, kapok”. Pola pikir baru: “Apa yang bisa dilakukan agar setelah dihukum dia gak mengulangi?”. Aksi: dukung program rehabilitasi, jangan ikut-ikutan melabel mantan napi selamanya penjahat (karena stigma membuat mereka susah tobat). Misal kalau punya usaha, berilah kesempatan kerja pada mantan napi yang menunjukkan itikad baik. Sikap ini implementasi pertanyaan Yama dan solusi Buddha: manusia susah berubah, tapi kalau dibantu dengan benar, bisa. Kita bisa berperan dalam proses membantu itu di masyarakat.

 

Keenam, pola pikir dalam merayakan hal positif (kelahiran dsb). Ubahlah dari “foya-foya gpp lah, sekali seumur hidup” menjadi “kebahagiaanku jangan sampai melukai yang lain”. Aksi konkret: kurangi konsumsi hewani berlebihan di pesta (misal sediakan lebih banyak menu vegetarian, plus tamu pun ada yang vegetarian), hindari buang-buang makanan – kalau ada sisa, paketkan untuk dibagikan ke yang membutuhkan. Juga hindari tradisi perayaan yg berpotensi merugikan lingkungan (contoh: melepas balon banyak-banyak – ini bisa bahaya bagi satwa). Dengan ini, kamu sudah mengikuti nasihat Raja Setan: tidak menambah beban karma saat sukacita, malah menambah pahala syukur.

 

Ketujuh, pola pikir terhadap pengalaman pahit pribadi. Saat alami kegagalan atau musibah, jangan langsung “Tuhan menghukumku” atau “hidup kejam.” Ingat Bodhisattva Animitta di balik Raja Setan: “Mungkin ada pelajaran berharga di balik peristiwa ini.” Pola pikir baru: Setiap kesulitan bisa menempaku jadi lebih baik. Aksi: evaluasi kejadian buruk dengan jernih, cari hikmahnya. Misal gagal dalam hubungan, mungkin hikmahnya kamu jadi tahu apa yang kamu butuhkan dalam pasangan, atau jadi memperbaiki sifatmu. Dengan sikap ini, kita gak tenggelam dalam marah/dendam (energi setan jahat), tapi menyalakan bodhicitta kecil dalam hati untuk tumbuh lebih bijak.

 

Dengan menerapkan perubahan pola pikir ini, kita menjalankan semangat bab 8: tidak takut pada kejahatan tapi juga tidak meremehkannya; waspada tapi optimis; sabar tapi tegas dalam welas asih. Kita menjadi orang yang melihat gambaran besar – bahkan “setan pun hormat padanya” karena integritas dan compassion- nya. Hal-hal negatif tidak membuat kita goyah atau putus asa, justru jadi pendorong untuk meningkatkan kebaikan. Kita juga menjadi jembatan yang menghubungkan “sisi gelap” dan “sisi terang” – misalnya menolong orang bermasalah (gelap) menuju jalan kebajikan (terang). Inilah peran Bodhisattva dalam kehidupan sehari-hari.

Bab 9: Varga Manfaat Menyebut Nama Buddha

Ringkasan Isi Bab: Bab ini memaparkan mudah dan besarnya manfaat mengingat atau menyebut nama para Buddha. Setelah mendengar tanya jawab dengan Yamaraja dan Raja Setan tadi, Bodhisattva Ksitigarbha lalu berkata kepada Buddha: “Bhagavan, sekarang aku ingin menguraikan suatu cara yang mudah dan bermanfaat bagi umat di masa mendatang, agar mereka dapat memanfaatkannya dalam menghadapi kelahiran dan kematian yang terus mereka alami dari masa ke masa” 114 115. Buddha Sakyamuni menyambut baik: “Bagus sekali, wahai Ksitigarbha. Kini engkau akan menampilkan welas asih agungmu untuk menolong semua makhluk menderita di enam jalur kehidupan. Penjelasan cara-cara mudah ini tepat waktunya. Uraikanlah segera. Beberapa saat lagi aku akan memasuki Parinirvana, dan jika cita-citamu telah tercapai, aku tak khawatir lagi akan umat di sekarang dan mendatang”116 117.

 

Lalu Ksitigarbha mulai menjelaskan dengan menyebut nama-nama Buddha lampau dan manfaat mendengarnya :

  1. “Pada kala tak terhitung lamanya dahulu, ada seorang Buddha bernama Anantakaya Tathagata. Apabila ada pria atau wanita mendengar nama Buddha tersebut lalu timbul rasa hormat mendalam di hatinya, maka orang itu dapat menghapus karma kelahiran dan kematiannya sebanyak 40 kalpa” 118. (Kalpa: masa sangat panjang, jadi 40 kalpa karma terhapus artinya beban karmanya berkurang luar biasa banyak.)
  2. “Dahulu kala bagaikan butiran pasir Sungai Gangga, ada seorang Buddha bernama Ratnakara Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar nama Buddha tersebut dan seketika timbul niat berlindung kepada Beliau dan memuliakan NamaNya, dalam upaya mencapai kesadaran Bodhi, mereka akan mencapai Anuttara Samyaksambodhi (Penerangan Agung tiada banding, alias ke-Buddha-an)!” 119. (Maksudnya, cukup mendengar nama Buddha Ratnakara dan timbul keyakinan mendalam, itu menanam benih pasti menjadi Buddha di kemudian hari.)
  3. “Lagi, di masa silam terdapat Buddha bernama Padmajina Tathagata. Apabila ada pria atau wanita mendengar NamaNya, lalu terus mengingat-ingat dalam hati, maka orang tersebut akan mendapatkan kesempatan terlahir di Surga Paranirmita Vasavartin (surga tingkat keenam) sebanyak 1000 kali. Apalagi jika mereka dapat menyebut NamaNya dengan sepenuh hati, mereka akan cepat mencapai ke-Buddha- an” 120 121.
  4. “Lagi, di masa Asamkhyeya Kalpa (kalpa tak terbilang) silam, ada Buddha bernama Simhanada Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya, lalu timbul hasrat ingin berlindung kepadaNya, maka orang tersebut akan bertemu para Buddha yang akan menyentuh ubun-ubunnya dan mencatatnya sebagai calon Buddha di kemudian hari.” 122 123. (Artinya, niat berlindung pada Buddha Singa bersuara ini akan menyebabkan orang itu dikenali para Buddha lain sebagai “anak rohani” mereka yang dijamin akan menjadi Buddha kelak.)
  5. “Lagi, di masa lampau terdapat Buddha bernama Krakucchanda Buddha (salah satu dari 7 Buddha masa lampau). Apabila ada pria atau wanita mendengar Nama Beliau lalu menghormati dan memuliakanNya, maka orang tersebut akan memperoleh kesempatan menjadi Raja Maha Brahma dan tercatat sebagai calon Buddha pada pertemuan Seribu Buddha di masa Bhadrakalpa.” 124. ( Jadi berkat menghormat Buddha Krakucchanda, ia akan lahir sebagai Raja di alam Brahma – kedudukan dewa yang tinggi – dan kelak menjadi Buddha di era sekarang.)
  6. “Lagi, di masa lampau ada Buddha bernama Vipasyin Buddha (ini Buddha pertama dari 7 Buddha historis). Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya dan memuliakan NamaNya, mereka akan selalu terlahir di Surga atau dunia manusia, serta akan menikmati kebahagiaan yang luar biasa.” 125.
  7. “Lagi, di masa yang tak terbilang bagaikan pasir Gangga, ada Buddha bernama Prabhutaratna Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya lalu memuliakanNya, maka umat berbudi itu tak akan terjerumus ke alam kesedihan, melainkan lahir di berbagai surga untuk menikmati kebahagiaan!” 126.
  8. “Lagi, di masa lampau terdapat Buddha bernama Ratnaketu Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya lalu timbul rasa hormat dan memuliakanNya, maka tak lama kemudian mereka akan mencapai tingkat Arhat.” 127.
  9. “Lagi, di Asamkhyeya Kalpa silam ada Buddha bernama Kasayadhvaja Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya serta memuliakannya, akibat karma tumimbal lahir dan kematiannya akan terhapus hingga 100 kalpa.” 128.
  10. “Lagi, di masa lampau ada Buddha bernama Mahabhijnagiriraja Tathagata. Jika ada pria atau wanita mendengar NamaNya dan memuliakanNya, maka mereka akan berjumpa dengan Buddha yang banyaknya bagaikan butiran pasir Gangga dan mereka akan dapat mendengarkan khotbahNya hingga mencapai kesadaran Bodhi!” 129.

Ksitigarbha melanjutkan: “Bhagavan yang mulia, para Buddha di masa lampau masih banyak sekali seperti: Suddhacandra Buddha, Giriraja Buddha, Jnanabhibhu Buddha, Vimalakirtiraja Buddha, Prajnasiddhi Buddha, Anuttara Buddha, Manjughosa Buddha, Candraparipurna Buddha, Candramukha Buddha, dan sebagainya” 130. “Wahai Bhagavan, semua makhluk di masa sekarang atau masa akan datang, baik dewa maupun manusia, lelaki atau wanita, bila mereka dapat menyebut salah satu nama Buddha saja, mereka akan mendapat kebajikan yang tiada bandingnya. Apalagi jika mereka dapat menyebut nama para Buddha banyak-banyak. Umat yang demikian itu mendapatkan banyak sekali manfaat: baik saat lahir maupun saat meninggal dunia, mereka takkan terjerumus ke alam sengsara, melainkan menikmati kebahagiaan” 131.

 

Ksitigarbha lantas memberi penekanan khusus: “Lagi, wahai Bhagavan, jika ada seseorang yang akan meninggal dunia, pada saat itu seluruh anggota keluarga atau setidaknya satu orang saja menyebut-nyebut nama Buddha dengan suara lantang berulang-ulang, maka karma berat pancanantarya yang dilakukan almarhum semasa hidupnya akan mendapat kesempatan terhapus. Sedangkan karma buruk yang ringan akan habis terhapuskan” 132. “Namun,” lanjutnya, “berkat bantuan orang yang menyebut-nyebut nama Buddha Amitabha berulang-ulang, sekalipun almarhum punya karma buruk pancanantarya yang berat (yang semestinya menjerumuskan ke neraka dengan masa hukuman ratusan ribu kalpa), ia akan mendapat kesempatan penghapusan secara bertahap. Apalagi jika seseorang yang akan meninggal dunia itu sendiri bisa menyebut nama Buddha, maka ia akan memperoleh kebahagiaan tak terbatas dan segala karma buruknya terhapuskan” 133.

 

Demikian Ksitigarbha menguraikan betapa ampuhnya menyebut nama Buddha – bisa mengikis timbunan dosa puluhan hingga tak terhingga kalpa dan menjamin terhindar dari kelahiran di alam buruk.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab 9 menekankan satu praktik spiritual yang sangat sederhana: mendengar atau menyebut nama Buddha. Dalam ajaran Buddha Mahayana, terutama di aliran Tanah Suci, memang dikenal “nianfo” atau “namasmarana” – mengingat nama Buddha (misal “Amituofo” untuk Amitabha). Inti ajaran ini adalah dengan mengingat pribadi yang tercerahkan, kita pun terhubung dengan energi pencerahan itu. Ksitigarbha memaparkan belasan nama Buddha dan efeknya, mungkin terdengar bombastis (“hapus dosa 40 kalpa”, “langsung jadi Bodhisattva calon Buddha”). Secara harfiah, tradisi percaya kekuatan nama suci memang luar biasa – semacam katalis yang mempercepat kemajuan rohani. Dari perspektif modern, kita bisa maknai sebagai ilustrasi ekstrem untuk menekankan bahwa mengisi pikiran dengan hal suci akan mentransformasi kita secara drastis.

 

Bayangkan misalnya seseorang yang sepanjang hidupnya dipenuhi pikiran duniawi dan kejahatan, lalu suatu ketika mendengar nama Buddha (yang mewakili pencerahan, kasih, kebijaksanaan). Jika momen itu menggetarkan hatinya, itu bisa menjadi titik balik besar. Dalam satu detik ia bisa memutuskan meninggalkan jalan salah dan mulai jalan baik – seketika karmanya berubah arah. Boleh dibilang, mendengar satu nama suci bisa mengeliminasi trajectory (lintasan) karma buruk puluhan kalpa, karena ia banting stir total. Kasus ekstrem, konon Angulimala (bandit pembunuh 999 orang) mendengar nama Buddha dan langsung tobat jadi Arahat – dari hampir neraka Avici langsung “lulus” samsara. Itu contoh nyata di kitab suci.

 

Jadi poinnya: kontak dengan Yang Suci menggeser hidup secara luar biasa. Dan nama adalah bentuk kontak paling mudah – cukup mendengar atau menyebut. Kenapa? Nama mengandung vibrasi. Menyebut “Amitabha” misalnya, secara harfiah berarti “Cahaya tak terbatas” – kata itu sendiri positif. Apalagi jika dipadu keyakinan, efek psikisnya besar: diri terasa diliputi cahaya, dosa terasa diampuni, dsb. Dalam banyak agama pun konsep zikir/menyebut nama Tuhan mirip seperti ini.

 

Ksitigarbha menyoroti hal-hal berbeda: mendengar nama Buddha Ratnakara menanam benih Bodhi di masa depan; mendengar nama Buddha Vipasyin menjamin kebahagiaan dunia-surga (mungkin artinya jangka pendek orang itu jadi baik sehingga hidupnya bahagia terus); menyebut nama Buddha Padmajina memanen rezeki surga sampai 1000 kali (bisa dimaknai jangka panjang berkatnya melimpah); mendengar Simhanada akan dapat diberkati langsung oleh banyak Buddha (maknanya orang itu kelak akan lahir di masa Buddha lain dan mendapat ajaran langsung – semacam “didorong” terus ke jalan suci). Intinya, semua scenario adalah teknik membangkitkan keyakinan bahwa tiada perbuatan spiritual yang sia-sia – bahkan hanya mendengar satu nama. Ini membangkitkan joy and faith luar biasa bagi umat. Bayangkan pembaca sutra zaman dulu mendengar ini: “Wah, cukup dengar nama Buddha X saja aku dijamin ga lahir di neraka!” – pasti mereka semangat mencari dengar nama-nama suci lainnya, hatinya riang dan tenang. Itulah tujuan Ksitigarbha: meyakinkan kita dunia tidak sesuram itu, ada jalan pintas lewat mengingat Buddha.

 

Secara psikologis, “nama Buddha” mewakili “role model” sempurna. Dalam manajemen modern pun, kadang disarankan mengidentifikasi tokoh panutan: “Saat galau, ingat apa Yesus/Buddha/Mahatma Gandhi akan lakukan di posisimu?” Hanya dengan ingat nama tokoh panutan, kita terdorong meniru keutamaan mereka. Jadi sebetulnya Ksitigarbha mengajarkan teknik “substitution” – ketika hati kita penuh marah atau takut (yang biasanya memicu karma buruk), segera ganti pikiran: sebut nama tokoh suci, maka marah/takut akan surut diganti damai. Hasilnya, tindakan kita pun berubah dan rantai karma buruk terputus. Contoh: orang mau balas dendam, tiba-tiba ingat “Buddha”, bisa tersadar “eh Buddha kan maafkan angulimala, ya sudahlah aku maafkan musuhku.” Lalu dendam putus – tadinya dendam itu kalau dijalankan mungkin memicu generasi permusuhan bertahun-tahun (kalpa mendatang), tapi karena ingat Buddha dan memaafkan, 40 kalpa dendam terhapus sekejap. Kira-kira begitu logikanya.

 

Soal momen kematian lagi ditekankan di sini: jika mendekati ajal, menyebut nama Buddha keras-keras atau didampingi yang menyebutkan, dampaknya dahsyat 132. Ini kembali memperkuat ajaran bantuan akhir hayat di bab sebelumnya, tapi dengan metode spesifik: mantra nama Buddha. Bagi penganut Buddhisme Tanah Suci, ini inti latihan – mengantar orang meninggal dengan chanting “Amituofo” terus menerus. Efek spiritualnya dipercaya memurnikan kesadaran terakhir almarhum, memotong karma jahat berat sehingga tak jatuh ke neraka. Dari segi lain, jika pun ada sisa dosa berat, ya minimal ia tertunda pengaruhnya tidak langsung menjerumuskan, melainkan “terhapus bertahap” – mungkin artinya orang itu tak masuk neraka, tapi lahir di alam lumayan sambil bawa sisa hutang, yang nanti pelan-pelan lunas melalui penderitaan ringan. Ini menggarisbawahi welas asih: kapan pun kau bertobat, walau banyak dosamu, pintu terbuka. Dalam Islam ada konsep serupa: seberat apapun dosa, jika di akhir hayat sempat syahadat/ingat Tuhan, bisa diampuni. Esensinya satu: jangan putus harap.

 

Bagi Gen Z yang mungkin berpikir rasional, klaim seperti “dengar nama langsung hapus dosa” tampak magis. Tapi bisa dijelaskan secara mindset: kalau kita definisikan “dosa” sebagai pola pikir/perbuatan destruktif, maka mendengar nama Buddha (yang mempersonifikasikan welas asih) bisa mendekonstruksi pola pikir buruk itu. Satu inspirasi besar bisa me-reset mindframe hidup seseorang. Banyak kisah orang yang mendadak insaf karena satu kutipan atau satu pertemuan dengan orang suci. Istilah “born again” – lahir kembali – kadang terjadi seketika lewat satu katalis. Itulah yang Ksitigarbha coba tekankan.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab ini sangat menginspirasi kekuatan hal-hal sederhana. Pertama, terinspirasi bahwa mengingat yang positif itu penting. Di era banjir informasi, kita sering memenuhi kepala dengan lagu-lagu, meme, berita. Bab ini mengingatkan: isilah kepala dengan nama- nama atau kata-kata mulia, maka alam bawah sadar kita akan condong positif. Jadi, ambil inspirasi ini: cobalah menghafal atau sering menyebut nama tokoh panutanmu. Tidak harus nama Buddha jika bukan Buddhis – bisa nama Nabi, Bunda Teresa, tokoh nasional yang kamu kagumi. Rasakan, menyebut nama mereka bisa memunculkan semangat meniru kebaikannya.

 

Kedua, inspirasi tentang afirmasi diri. Menyebut nama Buddha bisa diartikan juga afirmasi kualitas Buddha. Misal, Amitabha artinya Cahaya Tak Terbatas, menyebutnya berulang bisa menginspirasi kita untuk memancarkan terang tak terbatas ke sekitar. Ini mirip teknik terapi: self-affirmation (“saya kuat, saya penyayang”). Hanya bedanya, di sini pakai nama suci untuk memunculkan vibrasi kualitas suci itu. Generasi sekarang bisa mempraktikkan: punya mantra pribadi untuk kekuatan mental. Entah “Namo Amitabha” atau “Om Shanti” atau sejenisnya, di saat emosional kacau, ucapkan dalam hati seperti mantra. Pasti ada efek menenangkan dan mengarahkan ulang pikiran.

 

Ketiga, bab ini memotivasi kita menggeluti kisah-kisah orang suci. Karena dengan mengenal mereka (bisa lewat nama, cerita) kita menanam benih baik. Mungkin kamu terinspirasi untuk membaca biografi tokoh-tokoh hebat (Buddha, tokoh spiritual lain, bahkan figur modern seperti Mother Teresa, Gus Dur, dsb). Setiap kali kita “mendengar nama” mereka dan kisahnya, ada pancaran teladan yang kita serap. Ini akan membentuk karakter.

 

Keempat, sangat inspiratif bahwa tak ada kata terlambat untuk bertobat. Karena disebut: orang sekarat pun kalau dengar nama Buddha, dosanya bisa luruh sebanyak itu. Ini memberi harapan luar biasa – siapa pun, seburuk apa pun, asal mau mengingat kebajikan di hatinya meski di akhir, bisa tertolong. Juga buat kita: jangan pernah menyerah pada diri sendiri atau orang lain. Walau sudah tua atau setelah banyak salah, selalu ada jalan memperbaiki. Ajaran ini seperti pelita bahwa belas kasih Buddha tak kenal batas waktu. Bagi Gen Z, mungkin masih jauh dari ajal, tapi terinspirasi untuk selalu memaafkan dan mau kesempatan kedua – pada diri sendiri juga orang lain.

 

Kelima, inspirasi untuk mempraktikkan nianfo (mengulang nama suci) dalam kehidupan sehari-hari. Misal, saat merasa marah ingin meledak, segera ambil nafas, sebut “Amituofo” atau “Tuhan Kasihanilah” berulang-ulang dalam hati. Lihat efeknya: marah mereda, kita mampu respon lebih baik. Atau saat takut/ stres, latih kebiasaan menyebut nama suci untuk mengingatkan bahwa ada kekuatan lebih tinggi melindungi. Hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi coping mechanism sehat, dibanding kita lari ke narkoba atau pelampiasan negatif.

 

Keenam, bab ini menginspirasi kepedulian antar teman. Diceritakan kalau ada orang mau wafat, minimal satu orang di keluarga sudi membimbingnya menyebut Buddha maka terhindar neraka 132. Artinya, kita bisa menjadi penolong bagi teman di saat-saat gelap mereka. Ini tak cuma literal mati; bisa saat teman mengalami “kematian batin” seperti depresi akut atau putus asa. Kita diingatkan betapa cuma satu orang positif bisa menyelamatkan. Mungkin kamu bisa jadi orang itu bagi sahabatmu – mengingatkan hal-hal baik (nama Buddha, atau sekadar kata penyemangat) di telinga mereka di masa sulit. Ini seringkali yang menentukan seseorang bangkit atau terpuruk. Jadi terinspirasi untuk tidak diam saja kalau teman terpuruk. Mungkin cukup bilang, “Aku tahu kamu kuat dan Tuhan sayang kamu,” – semacam menyebut nama suci versi duniawi – itu pun bisa sangat membantu.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Dari bab 9, hal pertama yang perlu kita ubah adalah pola pikir tentang hal-hal kecil. Jika sebelumnya kita berpikir hal kecil tak berdampak (misal “cuma dengar nama doang, emang kenapa?”), sekarang ubah: “Setiap input ke dalam pikiranku penting.” Pola pikir baru: makanan mental sekecil apa pun akan memengaruhi kesehatan jiwaku. Sehingga kita jadi lebih selektif. Aksi nyata: kurasi timeline medsos – follow akun-akun positif/inspiratif, unfollow akun toxic. Tiap hari kita mendengar nama-nama di timeline kita; biarkan itu nama-nama baik yang memupuk semangat. Misal, timeline penuh info inovator, quotes tokoh besar, dan tentu konten spiritual; lama-lama itu membentuk karmamu.

 

Kedua, perbaiki pola pikir tentang metode spiritual. Mungkin ada yang merasa ritual mengucap nama suci itu kuno/fanatik. Sekarang lihat esensinya: ini sebenarnya melatih fokus pikiran kepada kebajikan. Pola pikir baru: “Tidak apa-apa menggunakan metode sederhana seperti mantra atau nyanyian rohani, jika itu membantuku terkoneksi dengan ketenangan.” Jadi, misal tadinya malu kalau nyanyi lagu rohani di kamar, sekarang cobalah lakukan jika hati resah. Malah, mungkin buat playlist khusus lagu-lagu rohani favorit (apapun agamamu) untuk self-healing. Aksi: buat ritual kecil, entah pagi atau malam, 5-10 menit dengarkan/mantrakan nama-nama suci (bisa bentuk doa, dzikir, gatha). Anggap itu vitamin jiwa harian.

 

Ketiga, pola pikir tentang transformasi diri. Hilangkan keyakinan “aku memang orangnya begini, sulit berubah.” Bab ini kasih mindset: “Dengan bantuan inspirasi mulia, aku bisa berubah seketika pun.” Bukan berarti instan 100%, tapi minimal berubah arah. Aksi: jika ada sifat buruk ingin ditinggalkan, cobalah cara baru – misal memvisualisasikan tokoh idolamu mengawasi. Katakan kamu ingin berhenti merokok; mungkin bayangkan Buddha/tokoh suci tersenyum tiap kali kamu tolak rokok – hal sepele, tapi memperkuat hati. Jadi gunakan daya imaji positif. Pola pikir baru: “aku punya potensi kebaikan besar yang bisa diaktifkan kalau aku fokus pada teladan positif.”

 

Keempat, pola pikir tentang finalitas hidup. Mungkin sebelum ini kita pikir kalau orang udah mau mati, ya udah game over, ga bisa apa-apa. Sekarang diubah: “Saat kritis pun, masih bisa diupayakan pembalikan melalui doa/nama suci.” Ini bikin kita nggak putus asa dampingi orang sekarat. Aksi: latih mental siap memandu orang terkasih di akhir hayat (belajar sedikit doa lintas agama juga kalau perlu, buat jaga-jaga supaya bisa doain siapapun). Pola pikir ini juga bikin kita lebih menghargai ucapan baik/perpisahan baik. Pastikan, misal sebelum berpisah sama teman/pergi jauh, ucapkan hal positif (kita gak pernah tahu kapan akhir pertemuan). Karena siapa tahu itu “satu kalimat suci” yang tertanam di benaknya lama. Banyak cerita orang berubah karena pesan terakhir seorang kawan/keluarga.

 

Kelima, pola pikir bahwa spiritual itu rumit. Bab ini justru menunjukkan jalan sederhana, accessible for anyone. Jadi ubah: “Mendekat ke yang Ilahi gak selalu rumit ritual ini itu; cukup panggil NamaNya, Ia hadir.” Bagi yang religious, ini memperdalam iman; bagi yang netral, ini kasih semangat bahwa cukup niat ingat kebaikan pun dah mulai jalan transformasi. Aksi: jangan tunda kegiatan spiritual dengan alasan “belum siap menjalankan semuanya.” Mulai aja dengan hal kecil: sebut nama Tuhan di hati saat bangun tidur, misalnya. Itu sudah awal yang bagus sesuai roh ajaran ini.

 

Keenam, integrasikan pola pikir menghargai telinga dan lisan. Maksudnya, setelah paham bahwa mendengar nama suci bermanfaat, kita jaga pendengaran dari yang merusak dan jaga ucapan kita agar lebih sering menyebut hal-hal baik ketimbang buruk. Aksi: kurangi gibah/ngomel, ganti dengan kata positif. Misal, dalam group chat kawan, coba sesekali lempar bahasan menginspirasi (tidak melulu gossip). Atau ajak teman, setiap kali ketemu, ucap salam atau doakan hal baik. Ini seperti mempraktikkan “menyebut nama suci” di pergaulan. Bisa mulai kecil: daripada “Hai gaes gosip yuk”, jadi “Halo teman-teman, semoga harimu lancar ya” – halus menyebar vibe doa.

 

Secara keseluruhan, mengadopsi kebiasaan mengingat nama Buddha atau kata suci lain akan menggeser hidup kita sedikit demi sedikit ke arah yang lebih terarah dan damai. Kita akan lebih mindful terhadap apa yang masuk ke indra kita dan apa yang keluar dari mulut kita. Pola pikir “isi batin dengan kebaikan, hasilnya kebahagiaan” akan tertanam kuat. Dan akhirnya, seperti janji sutra, saat tiba waktunya meninggalkan dunia, kita pun akan pergi dengan tersenyum karena pikiran dipenuhi hal baik – bukan rasa takut atau penyesalan. Itu mungkin makna terdalam “tidak terjerumus ke alam sengsara tetapi lahir di surga bahagia”. Surga di sini bisa dialami bahkan sebelum mati – yakni ketenangan batin sejak hidup, karena selalu ingat Buddha (kebajikan).

Bab 10: Varga Dewa Bumi (Sang Prthivi) Pelindung Dharma

Ringkasan Isi Bab: Dalam bab ini, giliran Dewa Bumi (Earth Deity) bernama Prthivi yang berbicara untuk memuji Ksitigarbha dan berikrar melindungi para umat yang berbakti. Dikisahkan bahwa Sang Prthivi (personifikasi bumi) berkata kepada Buddha: “Bhagavan yang mulia, sejak dahulu kala aku menghormat dan memuja Bodhisattva Mahasattva yang tak terbilang banyaknya. Mereka semua memiliki kesaktian dan kebijaksanaan tak terkirakan dalam usaha menyelamatkan umat dari penderitaan. Meskipun demikian, dibandingkan Bodhisattva Mahasattva lain, kiranya hanya Ksitigarbha Bodhisattva saja yang memiliki Pranidhana (ikrar suci) yang sedalam dan seluhur ini!” 134. Ia melanjutkan: “Bhagavan, Ksitigarbha Bodhisattva ini mempunyai hetupratyaya (hubungan sebab akibat kuat) terhadap umat Jambudvipa. Sebagaimana Manjusri, Samantabhadra, Avalokitesvara, dan Maitreya Bodhisattva yang menjelma ratusan ribu bentuk untuk menolong makhluk di enam jalur kehidupan, namun janji suci mereka terbatas. Hanya Ksitigarbha Bodhisattva yang dalam menyelamatkan semua makhluk di enam jalur kehidupan memberikan janji suci yang luas tak terbatas. Jika dihitung dengan kalpa, janji Beliau bagaikan ratusan ribu koti butiran pasir Sungai Gangga (sangat panjang)” 135. (Intinya: Prthivi menegaskan tidak ada Bodhisattva lain yang ikrarnya menandingi Ksitigarbha, yang bertekad tak jadi Buddha sebelum neraka kosong. Beliau paling “ngotot” menolong makhluk, maka patut dipuja istimewa.)

 

Lalu, Dewa Bumi memberikan anjuran praktis bagi umat di masa mendatang: “Menurut pendapatku, umat manusia di masa sekarang atau masa akan datang, apabila mereka dapat menyediakan satu tempat yang bersih di sebelah selatan rumahnya, lalu membuat ruangan kecil dari tanah, batu, bambu atau kayu dan meletakkan Bodhirupang (patung) Ksitigarbha Bodhisattva di situ – entah terbuat dari emas, perak, tembaga, besi, batu, tanah liat, atau bahan apapun. Lalu tiap hari dihormati dan dipuja dengan dupa, sambil memuliakan nama-Nya dan jasa-jasa-Nya. Maka tempat tinggal pemuja itu akan aman sentosa dan mendapatkan 10 keuntungan” 136 137:

10 keuntungan tersebut dijabarkan Dewa Bumi sebagai berikut 138:

  1. Tanah atau ladangnya menjadi subur menghasilkan panen melimpah 139
  2. Satu keluarga akan selalu sehat dan rumahnya tenteram 140
  3. Leluhur, orang tua, dan keluarganya yang sudah meninggal akan terlahir di surga 140
  4. Keluarga yang masih hidup akan mendapat keberuntungan besar dan panjang umur 141
  5. Segala permohonan akan terpenuhi 142.
  6. Terhindar dari musibah banjir dan kebakaran 143
  7. Terhindar dari segala kerugian dan pemborosan, selalu kecukupan 144
  8. Tidak ada mimpi buruk yang mengganggu (tidur nyenyak) 144
  9. Selalu dilindungi para Dewa Bumi dan dewa Surga 145
  10. Selalu bertemu dan dibantu para suciwan bijak hingga si pemuja mudah mencapai Bodhi (pencerahan) 145.

Dewa Bumi menegaskan: “Bhagavan yang mulia, di masa depan atau masa sekarang, jika umat membuat altar Ksitigarbha Bodhisattva dan rajin berpuja bhakti di depan Bodhirupang-nya, si pemuja akan memperoleh 10 keberuntungan tersebut di atas” 146.

 

Lalu Sang Prthivi menambahkan lagi: “Bhagavan yang mulia, pada masa yang akan datang, jika ada putra putri berbudi yang di rumahnya tersedia sutra suci ini serta gambar atau rupang Ksitigarbha Bodhisattva, dan mereka rajin puja bhakti kepada Beliau serta rajin membaca sutra-Nya, aku sendiri akan melindungi mereka siang malam dengan daya prabhava-ku sehingga terhindar dari musibah banjir, kebakaran, pencurian, perampokan. Semua kejadian malang besar-kecil akan musnah sama sekali!” 147 148.

 

Buddha lalu memuji Dewa Bumi Prthivi: “Engkau memiliki daya prabhava yang jarang dimiliki dewa lain. Mengapa? Karena selama ini engkau melindungi seluruh bumi di Jambudvipa. Bahkan rumput, pohon, pasir, batu, padi, rami, bambu, permata dan lain-lain di bumi Jambudvipa ini berkat kekuatanmu semua menjadi subur, makmur, sejahtera. Apalagi engkau sering menyanjung kebajikan Ksitigarbha Bodhisattva. Sungguh, jasamu, daya prabhavamu melampaui dewa bumi lain ratusan ribu kali lipat! Jika di masa akan datang ada putra putri berbudi melakukan puja bakti khidmat kepada Ksitigarbha Bodhisattva serta rajin membaca sutra-Nya, juga setia melakukan ibadat berdasar Sutra Ksitigarbha ini, engkau harus melindungi semuanya dengan daya maha prabhavamu. Sehingga mereka terhindar dari segala macam bencana. Hal-hal tidak menyenangkan jangan sampai terdengar oleh mereka, apalagi menyebabkan mereka menderita. Bukan hanya engkau seorang yang harus melindungi mereka, tapi juga Raja Sakra (Indra), Raja Brahma dan para dewata beserta keluarganya dari berbagai surga harus membantu melindungi mereka. Mengapa? Sebab mereka dengan hati sujud tulus ikhlas memuja Ksitigarbha Bodhisattva, rajin membaca sutra-Nya dan beribadat menurut sutra-Nya. Dengan sendirinya mereka akan terbebas dari lautan penderitaan dan mencapai kebahagiaan Nirvana. Itulah sebabnya mereka perlu dilindungi” 149 150.

 

Sang Prthivi menerima perintah Buddha, menandakan bahwa siapa pun yang berbakti kepada Ksitigarbha akan mendapat perlindungan penuh dari kekuatan bumi dan para dewa langit. Hal ini mengakhiri bab 10 (yang di sini difokuskan pada ikrar Dewa Bumi pelindung Dharma Ksitigarbha).

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab ini menyoroti hubungan antara praktik spiritual dan kesejahteraan duniawi, melalui sudut pandang Dewa Bumi. Sebenarnya pesan intinya: “Jika kamu menjaga spiritualitas di rumahmu, alam pun akan menjagamu.” Ini menunjukkan keterkaitan harmoni batin dengan harmoni lingkungan.

 

Secara modern, bisa kita tafsir: membuat altar Ksitigarbha di rumah itu analog dengan menciptakan space suci atau aura spiritual di rumah. Dikatakan disarankan di sisi selatan rumah (dalam fengshui, selatan arah yang baik, mungkin). Apa pun, intinya, sediakan tempat khusus untuk hal-hal rohani di dalam lingkungan kita. Janji 10 manfaat pun semuanya terkait kehidupan sehari-hari: lahan subur (ekonomi baik), keluarga sehat, leluhur di surga (kita tenang soal orang tua yg wafat), umur panjang, keinginan tercapai, aman dari bencana alam, bebas kerugian/pemborosan, tidur nyenyak, dilindungi makhluk halus baik, didekatkan dengan orang bijak. Menariknya, daftar ini menyeluruh: fisik, mental, sosial, spiritual. Artinya, praktik spiritual menghadirkan berkah di segala aspek hidup.

 

Zaman sekarang pun kita sering dengar testimoni: keluarga yang rutin sembahyang bersama, meditasi, atau ada altar di rumah, cenderung lebih rukun dan bahagia. Mungkin bukan berarti tak pernah ada masalah, tapi vibes-nya beda, seolah “diberkati”. Versi Dewa Bumi: ya, karena earth element (energi alam) mendukung. Mungkin penjelasan modern: dengan punya altar dan kebiasaan sembahyang, penghuni rumah lebih mindful, lebih welas asih, sehingga perilakunya jaga lingkungan (tanah subur, jarang musibah), jaga kesehatan (sehat), tak ugal-ugalan (hindari bahaya, hemat), tidur pun nyenyak (karena hati tenang). So synergy between spiritual and material well-being is affirmed.

 

Bahkan leluhur pun ikut diuntungkan. Ini menarik – maksudnya, dengan kita berbuat baik, pahala itu bisa kita dedikasikan untuk leluhur, membuat mereka terangkat. Dari segi psikologis, orang yang devosi tinggi biasanya juga ingat mendoakan orang tuanya, berbakti, dsb. Itu secara sosial membuat generasi tua damai, kalau sudah meninggal pun memori mereka terhormat di keluarga, seakan “surga” karena keturunannya hidup baik. Konsep ini kerap ada di tradisi: anak saleh mengangkat orang tua ke surga.

 

Hal ketujuh, “terhindar pemborosan, selalu tercukupi” – ini butuh generasi sekarang pahami. Bukan magic tiba-tiba uang datang, tapi orang yang hidup spiritual biasanya tidak hidup boros konsumeris, karena merasa cukup (contentment). Sehingga rejeki yang ada jadi cukup terus. Jadi, penuhi rumah dengan hal spiritual, niscaya nafsu material terkendali, duit aman.

 

“Tidak ada mimpi buruk” – well, kalau rumah aura-nya adem (sering doa, gak ada energi marah/iri), tidur jelas pulas. Contoh: setelah doa malam, mental tenang, tidurpun nyenyak. Kalau habis nonton horror atau bertengkar, tidur banyak mimpi buruk. Clear.

 

“Selalu dilindungi Dewa Bumi dan Dewa Surga” – artinya, mendapat dukungan alam semesta. Ini makna luas: alam mendukung, orang-orang baik membantu. “Selalu bertemu suciwan bijak” – ini dampak yang cukup nyata: orang yang rajin ke peribadatan, ikut kegiatan spiritual, tentu lebih berpeluang bertemu guru-guru baik atau teman sekomunitas yang positif. Sehingga perjalanan spiritualnya smooth.

 

Kemudian, Dewa Bumi bilang kalau ada sutra Ksitigarbha dan rupa Bodhisattva di rumah, dia pribadi akan melindungi agar no theft, no fire, no flood, no accident 148. Lagi-lagi, ini empowering faith. Menurut kepercayaan, Dewa Bumi jaga radius rumah itu, jadi rampok pun segan (mungkin rampok liat rumah ada altar, takut karma, beneran skip ). Secara tak langsung, hal ini menanam keyakinan: “Aku sudah pasang altar, tenang, Dewa Bumi jagain”. Sikap tenang mengurangi kecemasan, sehingga hidup lebih waspada tapi gak paranoid. Yah, mungkin menerjemahkannya: orang yang hidup benar seolah punya “guardian angel” kalaupun hal buruk menimpa, biasanya ada tanda2 dulu atau pertolongan cepat. Paling tidak, seperti di bab 8, para setan pun segan mengganggu.

 

Menarik pula Buddha menegaskan Dewa Bumi punya tanggung jawab melindungi umat Ksitigarbha. Ini semacam marrying spiritual vow with natural law. Secara halus: kalau kamu berpegang pada Dharma ini (welas asih Ksitigarbha, praktik ajaranNya), maka hukum alam pun akan memihakmu. Karena kamu selaras dengan alam. Bodhisattva Ksitigarbha = welas asih tak terbatas; orang yang memujanya meneladani hal itu, pasti perbuatannya gak merusak alam. Makanya Indra (dewa hujan) dan Brahma (dewa pencipta) pun setuju melindungi – karena manusia ini bersahabat dengan alam.

 

Bisa dibilang, bab ini menegaskan prinsip resonansi: vibrasi suci di rumah memicu vibrasi harmoni di lingkungan. There’s a quote: “If there is light in the soul, there will be beauty in the person; if there’s beauty in person, there will be harmony in the house; if harmony in house, order in nation; if order in nation, peace in world.” Mirip, tapi di sini: sacred shrine in home -> safety, fertility, prosperity in home -> good vibes to ancestors & neighbors -> overall cosmic support. Dewa Bumi itu elemen dunia ini – jadi kalau manusia hormat nilai spiritual, earth responds kindly.

 

Untuk generasi sekarang, pesan utamanya: Integrasikan spiritualitas dalam kehidupan domestik, maka life balance tercapai. Spiritual bukan cuma di vihara/gereja setiap Minggu, tapi buat space di rumah, daily devotion. Hasilnya gak cuma pahala nanti, tapi kualitas hidup sekarang naik.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Pertama, bab ini jelas menginspirasi untuk membuat pojok atau waktu khusus spiritual di rumah. Bagi Gen Z yang sering minimalis, ini semacam reminder: “punya altar/ space meditasi itu penting loh.” Gak harus mewah: meja kecil dengan lilin atau patung kecil, poster motivasi juga bisa. Letakkan di area bersih dan rawat. Atau minimal, miliki ritual harian di rumah (misal pagi nyalakan incense, doa sebentar). Inspirasinya: hal itu akan mengundang vibrasi positif ke seisi rumah. Banyak orang bisa saksikan, rumah yang ada altar dan sering didoakan, auranya beda – adem, betah.

 

Kedua, menyelaraskan spiritualitas dengan lingkungan. Dewa Bumi ingatkan soal lahan subur, bebas bencana. Ini bisa diartikan: kalau spiritual, peduli lingkungan. Jadi terinspirasi untuk tidak merusak alam. Malu sama Dewa Bumi kalau doa tiap hari tapi buang sampah sembarangan. Jadi, mulai perhatian kecil: kurangi sampah plastik, rawat tanaman di rumah. Mungkin sediakan sudut hijau dekat altar, karena alam suka ditemani doa . Boleh dicoba: meditasi sambil sentuh tanah/rumput, merasakan syukur ke Ibu Pertiwi. Hal-hal begini menumbuhkan eco-spirituality – jadi berkah ganda, kita spiritual dan eco-friendly, makin dilindungi deh.

 

Ketiga, inspirasi memprioritaskan keluarga & rumah tangga sebagai tempat praktik Dharma. Kadang orang keasyikan nyari pencerahan ke luar (seminar, retreat), tapi lupa memperbaiki rumah. Dewa Bumi justru fokus: rumah yang ada altarnya, keluarga bakti pada Ksitigarbha, itulah pondasi. Jadi, alih-alih sering keluar cari ketenangan, mungkin bawa tenang ke rumah. Contoh: ajak anggota keluarga do’a bareng minimal sebulan sekali, atau bacakan sutra/doa bareng di rumah. Juga, melibatkan nilai spiritual dalam rutinitas: berdoa sebelum makan, syukuran ulang tahun dengan doa & donasi, dsb. Ini memperkuat family bonding dan melibatkan semua merasakan manfaat. Janji ke-3 & 4 (leluhur di surga, keluarga panjang umur) juga ingatkan bakti & sayang keluarga membawa berkah. So, inspirasinya, latih welas asih mulai ke keluarga sendiri. Mungkin segampang: doakan orang tuamu setiap hari. Bila ada gesekan dalam rumah, coba ingat Bodhisattva, lalu sabar & maafkan – bikin rumah tenteram. Itu very Ksitigarbha thing to do.

 

Keempat, inspirasi tidak takut kekurangan. “Cukup pasang altar & doa, rejeki lancar” – bukan sekadar percaya hal mistik, tapi menanam mental trust bahwa jika kita jalani hidup bermoral & penuh doa, pasti ada jalan rejeki. Ini melawan mental miskin (poverty mindset) atau serakah. Dewa Bumi bilang, gak akan ada kerugian/pemborosan – artinya kamu akan selalu cukup. Kalau kita pegang prinsip ini, kita lebih tenang soal uang (tentu sambil kerja giat). Ujungnya, karena tenang, keputusan finansial lebih bijak, jadi benar2 gak pemborosan. It’s a virtuous cycle. Jadi, inspirasi: andalkan spiritual practice to cultivate contentment. Misal, tiap mau belanja impulsif, liat altar dulu ingat “hmm cukup gak ya? Dewa Bumi ngingetin jangan boros.” Hehe.

 

Kelima, inspirasi tidur nyenyak. Ini hal sepele tapi penting. Dikatakan tanpa mimpi buruk. Mungkin artinya jika hati damai (karena doa), tidur pun lelap. Banyak Gen Z insomnia/hyperthinking. Coba resep tradisional: bedtime prayer/chant. Atau putar mantra halus. Rasa aman karena “dilindungi dewa” pun bisa sugesti tidur. Jadi, buat yang susah tidur: ambil inspirasi, sebelum tidur jauhkan gadget, nyalakan aromaterapi (kayak dupa), doa syukur, meditasi napas. Mimpi buruk pun minggat.

 

Keenam, inspirasi untuk mencari guru & komunitas bijak. Salah satu berkah: ketemu suciwan. Tapi syaratnya, kita juga tune in ke channel itu (punya altar, baca sutra). Artinya, kalau kita serius di jalan spiritual, semesta akan pertemukan dengan teacher atau teman seperjalanan. Ini memang sering dialami banyak orang: begitu niat belajar, eh gak lama ketemu orang yang ngajak ke kelas meditasi, dsb. Jadi, jangan takut “saya sendirian di jalan ini”. Yakinlah, as we commit, mentors appear. Maka, aksi nyatanya: mulai commit. Misal, targetkan tahun ini minimal ikut program retret atau aktif di komunitas meditasi. Pola pikir: “Kalau aku tunjukkan kesungguhan, guru akan datang.” Hilangkan mindset “guru sejati must come knock my door.” Ksitigarbha basically says: buat altar dulu di rumahmu, do your homework, then help will come. It’s mutual.

 

Ketujuh, ubah pola pikir tempat tinggal hanya untuk istirahat fisik. Sekarang, anggap rumah juga tempat recharge spiritual. Aksi: maintain kebersihan fisik & energi rumah. Spritual corner sdh disebut. Juga, hindari membawa konflik luar ke dalam (jangan bertengkar di altar area misal). Konsep rumahku surgaku jadi nyata: kalau ada practicing shrine, misal dengerin chanting di rumah, vibes-nya surga. So, invest in making home a sacred sanctuary. This will pay off in form of happiness & health.

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Dari bab 10, jelas, pertama kita ubah pola pikir memisahkan spiritual dari kehidupan sehari-hari. Ganti dengan: “Spiritualitas harus hadir di rumahku, di keseharianku, bukan cuma di tempat ibadah.” Aksi: Seperti sudah diuraikan, sediakan ruang ibadah di rumah. Buat jadwal rutin doa/membaca kitab di rumah (tidak hanya event formal keagamaan). Ajak anggota keluarga – bisa mulai dari hal ringan kaya “ayo tiap Minggu pagi meditasi bareng 15 menit” misalnya. Pola pikir yang diubah: “Nanti anak-anak bosan” jadi “justru ini menanam benih baik mereka”.

 

Kedua, ubah pola pikir materialistik vs spiritual. Kadang orang pikir kalau terlalu religius nanti rezeki mandek (stereotip “biar tekun ibadah, tapi uang jgn lupa cari”). Bab ini bantah: tekun ibadah justru mendatangkan rezeki. Pola pikir baru: “Spiritualitas mendukung kesuksesan duniawi secara seimbang.” Jadi kita gak merasa guilty meluangkan waktu buat sembahyang dengan alasan “harus kerja nih”. Justru kita sadar, doa tiap pagi misal, bikin kita lebih produktif. Aksi nyata: implement work-life-spirit balance. Contoh, sebelum mulai kerja, 5 menit doa; di tempat kerja, taruh benda pengingat (mungkin buku kecil sutra atau apapun) sebagai anchor moral; pas makan siang, bersyukur. Jadi, integrate, dan percaya hal itu bukan buang waktu, malah modal sukses.

 

Ketiga, perbaiki pola pikir soal melindungi diri/rumah. Biasa, orang pikir proteksi itu pasang CCTV, asuransi – fisik semua. Sekarang ditambah: energi rumah pun harus dilindungi. Pola pikir: “kalau rumah sering didoakan dan aura harmonis, kurang kemungkinan terjadi hal buruk.” Aksi: Boleh terus pakai kunci ganda dll, tapi juga doakan rumah. Ada tradisi “house blessing” – kita bisa lakukan sendiri dengan doa, tabur bunga (beberapa agama punya ritus pemberkatan rumah). Setahun sekali minimal. Tindakan lain: hapus energi negatif – jangan simpan barang atau kenangan yang membawa vibe jelek (misal poster film horor sadis, atau barang mantan toxic). Ganti dengan simbol positive. Pola pikir: rumah bukan sekadar aset, tapi makhluk hidup energi yang perlu dijaga. Keempat, ubah pola pikir ketergantungan pada barang mewah untuk merasa aman makmur. Sutra ajar, walau rumah sederhana (disebut bisa altar dari tanah, batu, bambu, kayu – gak mewah), yg penting spiritualnya. Ganti pola pikir: “untung” bukan dari mewahnya rumah, tapi berkah dalam rumah. Ini bisa membebaskan generasi muda dari pressure harus punya rumah glamor. Aksi: syukuri apa yg ada, turn your small space into sacred space. Meski ngekos sepetak, bisa kok ada altar kecil. Gak perlu nunggu rumah besar. Pola pikir minimalis suci ini bikin hidup ringan dan ironically door invites more blessings, maybe culminating in being able to have bigger place anyway (poin 5 permohonan terpenuhi).

 

Kelima, perkuat pola pikir syukur. Dewa Bumi ajar kita bersyukur ke tanah (tempat, rezeki) dengan memuja Bodhisattva. Pola pikir: “Apapun keadaanku, ada berkah alam di situ, mari bersyukur.” Aksi: biasakan ritual syukur. Contoh: kalo panen/tutup tahun keuangan, bikin semacam syukuran di altar (misal sembahyang doa syukur, bukan cuma pesta tanpa makna). Atau tiap kali terhindar bahaya (“gila tadi hampir kecelakaan”), segera doa terima kasih di altar. Ini memperkuat magnet rezeki. Pola pikir “give thanks, receive more.” 

 

Keenam, pola pikir untuk belajar dan menerima bimbingan. Dewa Bumi sebut if punya altar, akan ketemu suciwan. Berarti, open mind mau belajar, guru pun datang. Pola pikir: “Selalu ada yang bisa kupelajari dari yang lebih bijak.” Aksi: undang figur bijak ke rumah! Mungkin datangkan guru meditasi untuk sesi di rumah, atau minimal putar ceramah suci di ruang tamu biar aura wise. Ini literally mewujudkan bertemu suciwan – walau via YouTube haha. Tapi serius, mendengar ceramah di rumah tuh vibe-nya bagus, bisa buat satu keluarga dengar dan berdiskusi. Bawa para wise men/women into your living room via media. Pola pikir: rumahku bisa jadi spiritual salon gitu.

 

Ketujuh, ubah pola pikir memandang tanah/bumi sebagai benda mati. Sekarang sadar, ada spirit/power di bumi (Prthivi). Pola pikir: “Bumi merespon sikap kita.” Kita jadi lebih hormat: tidak buang sampah sembarangan, kalau injak tanah gak seenaknya merusak (kayak mindful hiking – ijin dalam hati, dsb). Aksi: bisa mulai bikin kebiasaan kecil – sebelum nanam/panen, ucap salam ke bumi. Sebelum bangun rumah (kalau nanti ada rejeki), lakukan selamatan/doa minta izin bumi. Orang dulu sering begitu. Ini memulihkan spiritual ecology yang sekarang hilang. Hasilnya, mungkin proyek lancar (karena kita respect local spirits), minimal hati kita tentram.

 

Dengan perubahan pola pikir dan aksi nyata ini, kita menjalankan ajaran bab 10: menjadikan spiritualitas membumi di rumah, dan sebaliknya, mengangkat kehidupan sehari-hari ke level spiritual. Hasilnya: hidup seimbang, bahagia, rezeki berkah, keluarga harmonis – yang sebenarnya bisa disimpulkan sebagai “surga kecil di rumah sendiri.” Dan bila banyak rumah demikian, masyarakat pun akan damai (satu yojana aman kata sutra). Jadi, mulai saja dari rumahmu – bakti pada Ksitigarbha di rumah sama dengan menanam kebahagiaan di bumi.

Bab 11: Varga Manfaat dari Melihat dan Mendengar

Ringkasan Isi Bab: Bab ini melanjutkan pujian terhadap Ksitigarbha Bodhisattva, kali ini dari Bodhisattva Avalokitesvara (Kwan Yin) yang meminta Buddha menguraikan jasa-jasa Ksitigarbha agar semua makhluk makin hormat dan mendapat berkah. Diceritakan Buddha Sakyamuni tiba-tiba memancarkan ratusan ribu sinar warna-warni dari ubun-ubunnya (urna) – ada sinar putih, bahagia, mutiara, lembayung, nila, biru, merah, hijau, emas, dan sinar-sinar bercorak awan bahagia, roda seribu, roda permata, roda matahari, roda bulan, istana surga, awan samudra, dan lain-lain 151. Setelah sinar-sinar tersebut muncul, terdengar suara merdu harmonis mengumumkan kabar baik kepada hadirin (dewa, naga, 8 kelompok makhluk, dll): “Dengarlah para hadirin yang berbahagia, hari ini aku berada di istana Trayastrimsa dalam pertemuan agung, memuji Ksitigarbha Bodhisattva yang selalu memberikan manfaat kepada dewa dan manusia dengan segala upaya-upaya yang tak terbayangkan faedahnya. Dengan cara Vikramaryahetu (memuliakan nama Buddha) dan meningkatkan kesadaran agung (Dasabhumika) hingga akhirnya mencapai Anuttara Samyak Sambodhi.” 152 153. (Pengumuman ini intinya mengajak semua bersiap mendengarkan betapa luar biasanya jasa Ksitigarbha). 

 

Kemudian, Bodhisattva Mahasattva Avalokitesvara bangkit dari tempatnya, bersujud merangkapkan tangan kepada Buddha dan berkata: “Bhagavan yang mulia, Ksitigarbha Bodhisattva sungguh memiliki jiwa yang maha welas asih, mengasihani semua makhluk yang menderita dengan menjelmakan dirinya hingga jutaan tubuh di jutaan dunia untuk menolong mereka. Jasa-jasaNya terlampau agung untuk disebutkan, begitu pula daya maha prabhava-Nya sangat luar biasa tak terkira 154. Hamba telah mendengar Engkau, Bhagavan, dan para Buddha tak terbilang banyaknya dari 10 penjuru dunia bersama-sama memuji dan menyanjung Ksitigarbha Bodhisattva, karena jasa-jasa Beliau yang demikian agung, mulia, tak terkirakan. Sekalipun para Buddha di masa lampau, masa sekarang dan masa akan datang memuji jasa-jasaNya, tak akan habis diceritakan 155. Bhagavan yang mulia, sebagaimana Engkau ungkapkan tadi, bahwa Engkau beserta para hadirin ingin memuji jasa-jasa Ksitigarbha Bodhisattva. Demi makhluk di masa kini dan masa mendatang, mohon Engkau sudi menerangkan jasa-jasa Ksitigarbha Bodhisattva yang tak terbayangkan itu agar para dewa, naga, 8 kelompok makhluk dapat menghormati dan mendapatkan kebahagiaan.” 156.

 

Buddha pun menjawab Avalokitesvara: “Engkau punya maha hetupratyaya (hubungan batin besar) dengan makhluk di dunia Saha. Baik dewa, naga, pria, wanita, maupun makhluk suci, hantu, dan makhluk di 6 jalur mereka yang mendengar namamu, melihat rupangmu, mendambakanmu, memujamu, tidak akan mundur dari jalan Anuttara Samyak Sambodhi. Mereka akan selalu terlahir di surga, menikmati kebahagiaan tiada tara, dan jika waktunya tiba, mereka akan tercatat sebagai calon Buddha. Kini engkau telah memiliki jiwa yang maha karuna dan maha maitri, mengasihi semua makhluk menderita serta para dewa, naga, 8 kelompok makhluk. Sekarang aku akan menjelaskan kepadamu semua tentang jasa-jasa Ksitigarbha Bodhisattva yang tidak terkirakan itu. Dengarkanlah baik-baik, aku akan memulai!” 157 158. Avalokitesvara berseru siap mendengarkan 159.

 

Buddha lalu bersabda (berbagai skenario manfaat Ksitigarbha):

  • “Di masa sekarang atau yang akan datang, di berbagai dunia, jika ada dewa yang akan habis masanya, muncul 5 gejala buruk yang bisa menjatuhkannya ke alam sengsara. Para dewa seperti ini, baik dewa pria maupun wanita, jika mendapat gejala itu lalu mereka sempat melihat gambar atau rupang Ksitigarbha Bodhisattva, atau hanya mendengar Nama Beliau, kemudian menghormat kepadaNya – maka keadaan buruk para dewa segera berubah: kebahagiaan surga akan bertambah, mereka menikmati kesenangan luar biasa dan tidak akan terjerumus ke alam sengsara selamanya!” 160. “Apa lagi jika mereka tahu hal ini lalu mengadakan puja bakti kepada Ksitigarbha Bodhisattva dengan mempersembahkan bunga, pakaian, makanan, minuman, permata, untaian ratna manikam dan sebagainya, maka jasa dan kebajikan yang diperoleh tak terhingga” 161. (Maknanya: para dewa pun, jika menyembah Ksitigarbha, akan diperpanjang umur surganya dan tak akan jatuh ke neraka).
  • “Lagi, wahai Avalokitesvara, di masa sekarang atau mendatang, jika ada makhluk di 6 jalur kehidupan di berbagai dunia akan berakhir masa hidupnya, lalu mendengar nama Ksitigarbha Bodhisattva, maka makhluk itu akan terbebas dari 3 alam sengsara!” 162. “Apa lagi jika saat orang itu akan meninggal, orang tuanya atau sanak keluarganya menggunakan harta bendanya untuk membuat sebuah gambar atau rupang Ksitigarbha Bodhisattva (sebagai amal) – dengan demikian almarhum itu akan terlahir di surga” 163. “Atau jika orang itu menderita sakit lama, belum putus jiwa, lalu ia sempat mendengar/ melihat sanak keluarganya menggunakan harta bendanya untuk membuat atau melukis gambar Ksitigarbha Bodhisattva sebagai amal bakti – jika seandainya sakitnya karena hukuman karma tapi belum waktunya meninggal, berkat jasa itu ia akan berangsur sembuh dan umurnya bertambah panjang. Tapi jika sebaliknya, kalau memang sudah saatnya menerima akibat karma buruk (saat mati), sekarang berkat jasanya membuat/ melukis gambar Ksitigarbha, almarhum itu akan terlahir di surga menikmati kebahagiaan, dan segala karma buruknya musnah!” 164 165.
  • “Lagi, Avalokitesvara, pada masa akan datang, ada pria atau wanita yang ketika masih bayi atau usia 3, 5, hingga di bawah 10 tahun, orang tuanya atau saudara kandungnya meninggal dunia. Kini mereka sudah dewasa dan selalu merindukan orang tuanya atau adik-kakaknya, namun tak tahu di alam mana mereka berada” 166 167. “Nah, jika si yatim piatu ini dapat membuat atau melukis gambar Ksitigarbha Bodhisattva atau hanya mendengar Nama Beliau, lalu mengadakan puja bakti selama 1 sampai 7 hari dengan setia, walaupun almarhum keluarganya itu semestinya menerima hukuman berat atas karmanya dulu (terjerumus di alam sengsara berkalpa-kalpa), kini berkat telah dibuatkan amal agung demikian, maka almarhum tersebut (baik adik-kakak maupun kedua orang tuanya) segera terbebaskan dari alam sengsara itu dan terlahir di surga menikmati kebahagiaan!” 168 169. “Jika seandainya almarhum itu sudah lama terlahir di surga atau dunia manusia karena karma baiknya dulu, sekarang berkat tambahan jasa dari si yatim piatu itu, kebahagiaan mereka akan semakin bertambah, kenikmatan yang dinikmati tak terbatas” 170. “Jika si yatim piatu itu dengan sujud memuja Ksitigarbha Bodhisattva selama 3 hari atau 7 hari penuh terus menerus dengan menyebut nama Beliau hingga 10 ribu kali, maka Beliau akan menjelma menjadi sebuah tubuh yang maha besar tanpa batas (Anantakaya) untuk menemui dan mengabarkan kepada si yatim piatu di mana orang tua atau saudaranya dilahirkan. Atau Beliau dengan daya maha prabhava datang dalam mimpi si yatim piatu dan mengajaknya pergi melihat keluarganya di berbagai dunia” 171 172. “Jika setelah menengok keluarganya, dan ia (si anak) sangat rajin menyebut nama Bodhisattva tiap hari 1000 kali hingga seribu hari terus menerus (kira-kira ~3 tahun), maka Ksitigarbha Bodhisattva akan memerintahkan Dewa Bumi di tempat ia tinggal untuk melindunginya seumur hidup. Kehidupannya sekarang amat sejahtera, cukup sandang pangan, tiada penyakit atau penderitaan. Segala kemalangan takkan masuk ke rumahnya, apalagi mengganggunya. Karena rajinnya melaksanakan ibadat, akhirnya ia akan tercatat oleh Ksitigarbha Bodhisattva sebagai calon Buddha” 173 174.
  • “Lagi, Avalokitesvara, pada masa akan datang, jika ada putra atau putri berbudi, berhasrat mengembangkan Bodhicitta untuk menolong manusia dari penderitaan, ingin mencapai Anuttara Samyak Sambodhi; ingin membebaskan diri dari Triloka (3 alam), supaya terlahir di alam Buddha asalkan mereka melihat rupang Ksitigarbha Bodhisattva atau mendengar NamaNya, lalu berlindung kepadaNya dengan sepenuh hati dan mengadakan puja bakti dengan persembahan dupa, bunga, permata, makanan, minuman – maka cita-cita umat berbudi itu akan berhasil sempurna tanpa kekurangan apapun!” 175.
  • “Lagi, Avalokitesvara, jika di masa akan datang ada pria atau wanita berbudi, berhasrat mewujudkan cita-citanya, usahanya yang banyak tak terbilang di masa kini & akan datang – mereka hanya perlu berlindung kepada Ksitigarbha Bodhisattva dengan puja bakti, memuliakan namaNya serta jasaNya. Dengan demikian, segala permintaan dan cita-citanya akan terkabul sepenuhnya. Jika umat tersebut memohon lebih lanjut kepada Ksitigarbha Bodhisattva Yang Maha Welas Asih untuk melindungi mereka selamanya, Ksitigarbha akan datang dalam mimpi menghibur dan mencatat mereka sebagai calon Buddha.” 176.
  • “Lagi, Avalokitesvara, pada masa datang, jika ada putra atau putri berbudi sangat menghargai Sutra sutra Mahayana dan berniat mempelajari & memahami sutra-sutra itu dengan bantuan guru mahir, supaya semua yang dipelajari dapat diingat tak terlupakan. Namun yang dipelajari selalu terlupakan berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun – tak bisa ingat, ini semua karena orang tersebut punya karma buruk lampau yang belum terhapus, sehingga tak mendapat faedah apapun. Nah, umat seperti ini jika mendengar nama Ksitigarbha Bodhisattva atau melihat rupangNya, lalu dengan sujud tulus hati menyatakan penyesalannya atas apa yang dialami (kesulitan belajar) dan mengadakan puja bakti kepada Ksitigarbha dengan mempersembahkan dupa, bunga, pakaian, barang berharga, dll. Saat pemujaan dimulai, sediakan segelas air bersih dan letakkan di altarNya. Setelah selang satu hari satu malam, si pemuja menghormat Bodhisattva dengan tangan merangkap lalu meminum air tersebut menghadap ke Selatan dengan khidmat. Setelah itu pantang makan sayur berbau menyengat (bawang dsb), daging dan alkohol; juga pantang hubungan suami istri, berdusta, membunuh selama 7 hari 7 malam atau 21 hari. Maka putra putri berbudi itu dalam mimpinya akan bertemu Ksitigarbha Bodhisattva dalam bentuk tak terbatas (Anantakaya) dan mereka menerima abhiseka (percikan air suci di kepala). Setelah bangun tidur, terasa keenam indra-nya jadi tajam luar biasa. Sejak itu, sutra-sutra yang dipelajarinya, baik membaca atau mendengar, selalu teringat dan tak terlupakan seumur hidup!” 177 178 179.
  • “Lagi, Avalokitesvara, pada masa datang, jika ada orang yang selalu mengalami kekurangan sandang pangan, meski sudah berjuang; atau yang sakit-sakitan saja, hidupnya suram; atau keluarganya sering dapat malapetaka, tercerai-berai; atau anggota keluarganya sering mengalami berbagai musibah; atau sering ketakutan saat tidur hingga batinnya tak tenang. Nah, umat seperti ini jika mendengar nama Ksitigarbha atau melihat rupangNya, lalu memberi hormat kepada Beliau serta menyebut namaNya, setelah hitungan seribu kali, hal-hal tidak menyenangkan itu akan lenyap berangsur-angsur. Sejak itu rumah mereka akan aman tentram, sandang pangan berkecukupan. Dalam tidur pun mereka akan merasa tenang, tiada lagi mimpi buruk mengganggu, dan hidup mereka akan terasa aman sentosa.” 180.
  • “Lagi, Avalokitesvara, pada masa datang, jika ada putra atau putri berbudi, karena mencari penghidupan atau keperluan umum/pribadi, atau karena kelahiran atau kematian, atau urusan mendesak lain, sehingga mereka harus keluar hutan, menempuh sungai dan laut, bahkan perjalanan sangat berbahaya. Maka umat itu perlu sebelumnya menyebut nama Ksitigarbha Bodhisattva 10 ribu kali. Dengan demikian, ke manapun mereka pergi, akan selalu dilindungi para Malaikat Bumi. Baik sedang diam, duduk, tidur, atau berjalan, mereka akan aman tentram. Kalaupun bertemu harimau, serigala, singa, atau binatang berbisa lain, semuanya takkan mencelakainya.” 181.

Setelah memaparkan itu, Buddha berkata kepada Avalokitesvara: “Ksitigarbha Bodhisattva punya hubungan bathin sangat erat dengan umat Jambudvipa. Jika hendak menceritakan jasa-jasa Beliau selengkapnya, sekalipun harus menghabiskan waktu ratusan ribu kalpa, takkan habis. Oleh karena itu, wahai Avalokitesvara, sebarluaskanlah sutra ini dengan daya Maha Prabhavamu, agar semua umat di dunia Saha dapat menikmati kebahagiaan Dharma untuk selama-lamanya.” 182 183.

 

Setelah itu, Buddha mengucapkan sebuah gatha (syair) merangkum keagungan Ksitigarbha 184 185:

 

(Dalam bentuk padat:) “Kekuatan Ksitigarbha Bodhisattva sungguh luar biasa – mengisahkannya jutaan kalpa pun tak habis. Mendengar, melihat, menhormatiNya sesaat saja, manfaat bagi dewa-manusia tak terbatas. Baik pria, wanita, dewa, naga – yang hampir jatuh ke alam sengsara karena waktunya tiba – berkat berlindung pada Ksatria Sejati (Ksitigarbha) dengan tulus hati, usia bertambah, karma berat pun lenyap musnah. Semasa kecil kehilangan cinta orang tua, entah mereka berada di alam mana, kakak adik sanak keluarga sejak lahir tak saling kenal – dengan melukis gambar Ksatria Sejati, menghormat memuja setulus hati 3 atau 8 hari memuliakan NamaNya, Beliau menampakkan tubuh Anantakaya, menunjukkan tempat sanak keluarganya berada. Sekalipun telah di alam sengsara, dapat ditolongNya bebas derita. Jika tetap setia percaya teguh, kelak pasti tercatat calon Buddha. Jika ingin capai Anuttara Samyaksambodhi, terbebas dari penderitaan Triloka – setelah tumbuh Bodhicitta-nya, hormat dan pujalah dahulu Ksatria Sejati ini. Segala cita-cita segera terkabul, tiada lagi karma penghalang menuju Kesadaran Agung. Ada orang berhasrat mengaji sutra Mahayana, ingin menyebrangkan umat ke pantai bahagia; meski tekad besar tak terperikan, tiap menghafal terlupa, waktu terbuang – karena karma buruk lama belum terhapus, tak teringat se-bait gatha se-kata sutra. Puja bhakti pada Ksitigarbha Bodhisattva dengan dupa, bunga, busana, makanan, minuman dan barang berharga; letakkan secawan air bersih di altar Ksatria Sejati, satu hari satu malam kemudian minum dengan khidmat; lalu pantang daging, alkohol, dusta, dan wanita. 21 hari jangan membunuh makhluk, sepenuh hati kenang Ksatria Sejati. Dalam mimpi akan berjumpa Ksitigarbha Bodhisattva Anantakaya, bangun dari mimpi keenam indra jernih bersih, Sutra, Dharma tertanam di sanubari abadi. Daya prabhava Ksitigarbha tak terlukiskan, membuat orang demikian bijak bestari. Umat menderita miskin papa sakit, rumah tangga kacau, atau selalu ketakutan dalam mimpi, atau gagal ekonomi – pujalah Ksitigarbha sepenuh hati, berangsur penderitaan lenyap, mimpi buruk tak mengganggu lagi, sandang pangan cukup, selalu dilindungi makhluk suci berbudi. Jika harus mendaki gunung hutan, arungi lautan luas, bertemu satwa buas atau orang jahat, atau datang setan, iblis, badai ganas – segala rintangan dan derita, ingatlah Ksitigarbha sebelum berangkat. Pujalah Beliau tulus ikhlas, meski dalam kesulitan maha dahsyat, sekejap sirna berkat Buddha Dharma. Dengarlah baik, Avalokitesvara! Daya prabhava Ksitigarbha tak terperikan, menyelamatkan makhluk tak terbilangkan. Jutaan kalpa dikisahkan tak habis, sebarluaskanlah Maha Pranidhana Beliau ke seluruh alam semesta! Bila ada umat mendengar namaNya, melihat rupangNya, memuja dengan dupa, bunga, pangan, jubah – akan menikmati pahalanya hingga jutaan masa! Bila jasa pemujaan disalurkan ke makhluk hidup, akan terbebas dari penderitaan lahir-mati, mencapai tepian Nirvana menjadi Buddha. Oleh karena itu Avalokitesvara, ketahuilah Ksitigarbha Bodhisattva demikian Maha Welas Asihnya, demikian besar tekadnya, maha prabhava tak terlukiskan. Sampaikan ini semua kepada makhluk di berbagai dunia laksana pasir Gangga, agar mereka tahu dan percaya sedalamnya, sehingga memperoleh kebahagiaan Dharma sejati.”) 186 187 188 189 190 191 192 193.

 

Demikianlah syair Buddha menegaskan semua manfaat tadi secara puitis. Inti bab ini: Melihat gambar Ksitigarbha atau mendengar namanya membawa berkah luas (umur panjang, hapus dosa, bebas musibah, dll) dan Buddha mendorong Avalokitesvara menyebarluaskan sutra ini untuk kebaikan semua makhluk.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab 11 mempertegas inti-inti ajaran Ksitigarbha Sutra, disuarakan oleh Buddha sendiri sebagai penegasan pamungkas, dan diperantarai permintaan Avalokitesvara, Bodhisattva welas asih. Hal penting: Avalokitesvara – yang sangat dihormati sebagai pelindung makhluk – memuji Ksitigarbha lebih lagi, menyiapkan audiens bahwa yang akan dijelaskan sungguh luar biasa. Ini semacam endorsement: Bodhisattva paling welas asih (Kwan Yin) memohon penjelasan tentang Bodhisattva paling berikrar (Ksitigarbha) – menandakan harmoni welas asih & tekad. Bagi pembaca, ini menumbuhkan keyakinan penuh sebelum mendengar janji-janji besar Buddha.

 

Kemudian Buddha memaparkan situasi konkrit di mana melihat mendengar Ksitigarbha bawa manfaat. Banyak sudah dijelaskan sebelumnya, ini semacam rekap: dewa di ambang jatuh (umurnya habis, gejala buruk muncul) bisa perpanjang usia surga jika sempat mendengar/lihat Ksitigarbha. Ini menegaskan welas asih Ksitigarbha lintas alam: bukan cuma manusia, para dewa pun ditolong agar tak jatuh. Artinya, siapa pun yang mulai terhubung dengan Bodhisattva welas asih, kendati waktunya “jatuh”, nasibnya bisa berubah jadi naik atau setidaknya stagnan di baik. Ini makna penting: tidak ada titik yang terlambat selama masih ada setitik kontak dengan welas asih.

 

Lalu dijelaskan lagi hal-hal: kalau mendengar nama Ksitigarbha di akhir hayat, bebas 3 alam sengsara (konfirmasi bab 9). Ditambah: keluarga yang menggunakan harta almarhum untuk amal (buat patung Ksitigarbha) -> almarhum ke surga atau sembuh kalau belum waktunya. Ini juga rekap bab 7 tapi lebih spesifik. Mesej: Dana atas nama orang sakit atau wafat ke hal-hal suci berdampak luar biasa. Ini mirip seperti orang mewakafkan sesuatu untuk orang tuanya yang wafat – tradisi di semua agama. Tekankannya, kalaupun orang sebenarnya ada karmic illness, amal bisa bikin sembuh (case syukur, misal sakit terminal tiba-tiba sembuh “ajaib” setelah ibadah), atau kalaupun mati, minimal langsung ke surga & dosa beres. Sungguh menenteramkan.

 

Lalu problem yatim piatu rindu orang tua – Ksitigarbha sediakan semacam jalan spiritual untuk rekoneksi. Buat orang yang batinnya tak tenang karena ditinggal ortu kecil-kecil, disuruh bikin puja Ksitigarbha 1-7 hari. Eh, ini anjuran seperti retret intens untuk healing inner child. Hasilnya, kalau orang tua terjebak di alam sengsara, karmanya diampuni naik surga. Kalo udah di surga/hidup enak pun, makin bahagia. Dan yang anaknya? Jika dia mendamba, Ksitigarbha bisa memperlihatkan dalam mimpi atau manifestasi raksasa dimana ortunya berada. Ini menunjukkan welas asih Ksitigarbha gak cuma lepasin arwah ke surga, tapi peduli emosi si anak yang kangen. Janji lanjutan: kalau si anak ini terus sujud memuja 3 tahun, Ksitigarbha titipin Dewa Bumi buat jagain seumur hidup, hidupnya sejahtera, bahkan daftar ke calon Buddha. Wow, ini kayak ultimate reward. Arti mendalam: orang yang menghormati orang tua sedemikian (melakukan bakti spiritual bertahun-tahun demi orang tua) – sejatinya moral dan spiritualnya sudah top, pantas dilindungi & dijamin pencerahan. Ini memuliakan filial piety: bakti pada orang tua lewat praktik rohani membuahkan keberkahan luar biasa. Cocok dengan etika Konfusian & Buddhis: anak berbakti jaminan rezeki & buddha hood.

 

Lalu, masalah mereka yang bercita-cita mulia (mau tolong sesama, mau tercerahkan, mau lepas samsara) syarat dipenuhi kalo melibatkan Ksitigarbha: kalau sujud penuh bakti pada Ksitigarbha, seluruh cita-cita rohani itu dijamin tercapai. Ini memberi kepercayaan diri jalan spiritual. Ksitigarbha figur pemandu yang pastikan bodhi kita tercapai, bodhicitta kita gak padam. Bagi orang awam, ini semacam garansi. Secara psikologis, memuja Bodhisattva welas asih menghadirkan companion, mentor invisble. Jadi tak merasa sendirian mewujudkan ideal. Ini penting agar idealis gak frustrasi. Misal, ada remaja idealis mau bantu orang, tapi dunia keras -> ingat Ksitigarbha, doa padanya: moral support intangible pun muncul, synergy alam dukung dia sukses. 

 

Lalu yang punyai banyak aspirasi duniawi (usaha tak terhitung, project dsb) – sering gagal – dianjurkan berlindung Ksitigarbha, memuliakan nama. Janjinya, semua permintaan terpenuhi sepenuhnya. Ini seperti bab 10 soal permohonan terpenuhi. Pesannya: sinkronkan upayamu dengan welas asih & doa (via Ksitigarbha), maka apapun ambisimu akan align & terwujud. Karena Bodhisattva asuh, mungkin kalau yang diminta gak baik pun diarahkan ke yang baik; intinya tidak akan merasa kekurangan. Ini memotivasi orang integrasikan spiritualitas ke karir/proyek, alih-alih pisahkan. Apalagi “kalau mohon dilindungi selamanya, Bodhisattva datang dalam mimpi hibur, catat sbg calon Buddha.” Artinya, kalau sudah sukses pun, jika tetap devotion, kamu bakal diingat Bodhisattva & diarahkan ke jalan pencerahan. Jadi gak tersesat oleh kesuksesan. Ini keren: Bodhisattva tolong yang gagal, juga mantau yang berhasil biar gak sombong. Perfect guardian of life journey.

 

Selanjutnya, versi Ksitigarbha remedy: untuk pelajar yang susah ingat/mudah lupa. Ini spesifik: disuruh puja Ksitigarbha intens (21 hari maximum), ada ritual minum air altar, pantang bumbu tajam, daging, sex, bohong, bunuh. Secara medis, ini detox + focus: gak makan heavy, gak stimulasi kuat (bumbu, daging, alcohol), jadi body & mind lighten. Dilarang bohong & bunuh -> moral focus. Minum air altar – memercikkan placebo suci, meyakinkan otak “aku sudah diberkati cerdas.” 21 hari disiplin -> after that, eureka all sense sharp, gak lupa lagi. Ini semacam neuroplasticity hack. Intinya: dengan bhakti & disiplin moral, rintangan karma (mungkin malas, distractibility) yang bikin susah belajar pun hilang. Directly, kini pun anak muda kalo cut off distractions & doping healthily, belajarnya melejit. Plus meyakini berkat Ksitigarbha, self-confidence naik. Walau dirangkai mistis, substansinya jelas: bersih diri lahir batin -> pikiran jernih cemerlang. Sisi spiritual: Ksitigarbha di mimpi abhiseka – entah orang yakin literal atau anggap subconscious integration, either way, the student becomes wise. So we see interplay synergy moral-physical-mental.

 

Berikut, problem yg sangat umum: miskin, sakit, sial, keluarga berantakan, cemas. All typical life problems. Solusi disederhanakan: mendengar nama/gambar Ksitigarbha, hormat & sebut namanya 1000 kali, gradually hal buruk hilang, situasi membaik. Ini menyalurkan ke bab 9: nyebut nama suci hilangkan karmaa buruk. Jelas di sini: berangsur-angsur lenyap. Gak simsalabim, tapi sure improvement. Jadi memupuk hope. Bagi orang melarat & hopeless, ini seperti sliver of hope. Memberi mental strength. Mungkin dengan nyebut Bodhisattva tiap hari, mereka lebih tenang, sabar kerja, rejeki pun akhirnya cukup. Atau network bagus (dilindungi makhluk suci = ketemu orang baik yang bantu). Penting: “hidup terasa aman tentram.” Rasa bahagia subyektifnya naik. Walau gak tiba-tiba kaya, minimal worry hilang & synergy hal-hal baik mulai datang.

 

Terakhir, traveling prophylaxis: sebut 10rb nama Ksitigarbha sebelum pergi, maka dijaga earth spirits, binatang buas etc tak lukai. Ini menggarisbawahi perlindungan tak kasatmata. Bagi pelancong/petualang, ini semangat: do your prayers, Universe covers the rest. Jangan menggampangkan bahaya, tapi ya di ancang2 dengan doa biar selamat. Juga brarti yang patut: minta restu alam sebelum masuk. Ksitigarbha semacam wakil restu Bumi. It’s like kalo pendaki “permisi gunung,” analog. Secara nyata, orang yang mempersiapkan mental & waspada (salah satunya lewat doa intens), cenderung gak ceroboh di perjalanan. Itulah proteksi.

 

Setelah semua dijabarkan, Buddha suruh Kwan Yin sebar-luaskan, artinya ini warisan untuk dunia. Avalanche syair panjang pun essentially reaffirming each scenario benefits. Tentu dalam syair ada detail menarik: misal “terbebas dari karma penghalang” di aspirasi Bodhi, “karmic obstacles vanish.” “sirna sekejap rintangan” untuk traveler. Intinya mensyarikan keajaiban welas asih.

 

Avalokitesvara dalam syair juga dihimbau: ketahuilah Ksitigarbha maha welas asih, maha prabhava, sebar luaskan vownya. Kayak call to action ke Bodhisattva welas asih-lain untuk bantu sebar. Ini nunjukin peran setiap orang welas asih ikut menyebarkan kabar baik Bodhisattva vow. Mungkin bahwa welas asih (Kwan Yin) mempromosikan tekad aspirasi (Ksitigarbha), lengkap synergy virtues.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab 11 memancarkan semangat positif meluap-luap: tidak ada situasi tanpa harapan. Apa pun masalahmu – spiritual stagnan, worldly ambition, lost relatives, learning difficulties, poverty, nightmares, travel risk – ada bantuan Bodhisattva asal kita mau mendekat ke Beliau. Ini menginspirasi optimisme rohani yang luar biasa. Kita terdorong untuk tidak menyepelekan sarana sarana kecil (melihat gambar suci, mendengar nama, menyalakan dupa, melukis gambar suci, dsb). Tindakan yang tampak sederhana atau simbolik itu di ranah batin punya efek besar.

 

Secara khusus, untuk generasi sekarang: 

  • Kalau kamu merasa jauh dari orang tua entah karena meninggal atau konflik, inspirasi bab ini: ada jalan rekonsiliasi batin. Buatlah upaya khusus: misal seminggu doakan mereka atau buat semacam upacara penghormatan kecil. Percayalah, itu bisa meredakan rindumu atau lukamu. Mungkin tidak literal lihat mereka di mimpi, tapi minimal hatimu damai. Dan tentu, kalau orang tua masih ada tapi konflik, ini sinyal: jangan tunda perbaikan. Sebut nama Bodhisattva, minta kekuatan, lalu hubungi orang tua, minta maaf/ampun. Ksitigarbha motto: “selesaikan urusan keluarga dengan welas asih & tekad.”
  • Kalau punya cita-cita mulia (mau volunteer, activism, guru, dsb) tapi minder atau terhalang, bab ini bilang minta dukungan spiritual. Doa pada Bodhisattva, minta bimbingan. Dalam istilah umum, boleh juga melibatkan mentor. Intinya, kamu tidak sendiri mewujudkannya. That fosters perseverance. Lihat Ksitigarbha aja vow-nya gila2 tapi tereksekusi. Semangat: if he can vow empty hells, I can vow achieve smaller mission.
  • Buat yang punya ambisi duniawi (mau karir sukses, kaya, dll), bab ini menasehati: sinkronkan niat dengan welas asih. Kenapa? Agar tak menyimpang & gagal. Misal, niat bisnis tak melulu profit tapi bermanfaat. Lalu “serahkan” ke Bodhisattva = don’t be too ego, trust higher guidance. Ini menginspirasi integritas & spiritual approach in business. Banyak entrepreneur spiritual belakangan praktekin hal ini – meditative leadership, dsb. Ternyata dampaknya product dan tim better. So yes, incorporate prayer/virtue to achieve worldly goals ethically.
  • Bagi pelajar atau siapa pun yang merasa “bodoh susah paham”, ada inspirasi ikhtiar plus doa. Bab ini seolah kasih resep “tech hack rohani” buat boost memory/wisdom: jaga pola makan, hindari distraction (bohong, sex, negative), minum air doa. We can adapt: e.g., digital detox & diet & prayer retreat before exam. Pasti jernih. Memang pun riset bilang meditasi & abstinence while studying improves cognitive function. So it’s validated. Juga di jaman modern, if you have ADHD or so, coba melibatkan spiritual routine – it’s calming effect can help reduce symptoms, maybe enabling better focus.
  • Buat yang lagi apes atau mental health down (anxiety nightmares), inspirasi: coba metode spiritual approach sebelum lari ke hal self-destructive. Misal, insomnia mimpi buruk, daripada alkohol atau nyalain layar (yang bikin tambah buruk tidur), cobalah ambil mala (tasbih) ulang nama Bodhisattva 1000x. Sekalian mindful breathing. Mungkin awalnya skeptis, tapi after a week, lihat perbedaan: bisa jadi nightmares berkurang. At least, you’re empowering positive thoughts, replacing worry loops with mantra. It’s basically cognitive replace technique. Jadi patut dicoba.
  • Bagi yang traveler or living risky life (pekerjaan bahaya), inspirasi: jangan lupa restu & proteksi spiritual. Pesan ini timeless: doa sebelum bepergian. Mungkin generasi gadget kebiasaan skip doa, padahal cara simpel prepping mental. Yuk biasakan – entah baca doa perjalanan, mantra apapun, bawa vibe Ksitigarbha on road. Juga, travellers mania: jgn sombong “gw tangguh”, ingat ada hal di luar kendali, so humble & pray.

Secara keseluruhan, bab ini memotivasi “mendekatlah pada Bodhisattva (atau kebajikan universal) di setiap situasi, maka situasi akan membaik”. Ini sejalan sama motto: “When life gives you lemons, pray and turn it into lemonade.” Poin penting: melihat gambar suci/nama suci ubah mindset. So, masukkan unsur suci di daily life. 

 

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata: Banyak pola pikir bisa diubah:

  • Dari putus asa ke selalu ada harapan. Tiap kali berpikir “ah nasibku jelek, gak ada jalan”, ingat kembali bab ini. Pola pikir: “Pasti ada jalan batin, ada malaikat penolong.” Aksi: saat hopeless, alih-alih menyerah, minimal doa. Ucap, “Bodhisattva, saya butuh bantuan.” Memang gak langsung menyelesaikan problem magic, tapi langsung memantik mindset solution-oriented dan memanggil ketenangan. It’s step 1 to any problem solving.
  • Dari effort semata ke effort + surrender. Misal, awalnya polapikir “gue udah lakuin segalanya tapi gagal”, ubah ke: “mungkin aku kurang melibatkan faktor X rohani”. Aksi: kombinasikan: tetap usaha keras, tapi tambahkan doa/dharma. Ksitigarbha contohnya: vow huge hal di luar kendali tapi tetap lakuin. Effort + trust ke vow. Polapikir ini menyingkirkan ego “I control all”, melatih “I do my best, the universe does the rest.” Hasil: stress scara mental berkurang, ironically outcome often improve.
  • Dari meremehkan hal kecil ke menghargai hal kecil. Sblmnya mungkin “gambar doang apa pengaruh”, skrg “ternyata liat symbol suci pun penting”. Aksi: taruh di screensaver HP gambar inspirasional, letakin statue kecil di meja kerja, buku motivasi di tas – hal-hal mgkn trivial, tapi jaga mindset.
  • Pola pikir resolusi masalah terbatas hal nyata ke tambahkan dimensi spiritual. Misal, pelajar biasanya cuma bimbel, gak kepikiran sembahyang. Now maybe before study session do 5 min meditation or doa minta clarity. Ppl often skip it as “tidak relevant”. But trust me (and Ksitigarbha ), it aligns the mind. Jadi aksi: apapun problem, tanya “Sudah doa atau meminta petunjuk belum?” If not, do it. Polapikir “klo mentok baru doa” diganti “dari awal libatkan doa”.
  • Pola pikir independence ke synergy. Zaman now diagungkan independence (sendiri bisa). Bab ini tunjuk synergy: Ava and Ksitigarbha, Kwan Yin minta Buddha share Ksitigarbha’s vow, etc – para Bodhisattva saling support. Polapikir: “tidak ada salahnya minta tolong kekuatan lebih tinggi.” This fosters humility and community. Aksi: gak cuma ke Bodhisattva, ke orang pun, belajarlah minta bantuan kalau perlu. Wujud halus: kata Kwan Yin, “demi makhluk mohon jelaskan” – i.e. use voice to ask help for cause. So in life, latih speak up need (ke bos, temen).
  • Ubah pola pikir menilai hal hal intangible as unreal. Many youths skeptic, “Masa cuma doa sembuh? Masa liat patung sembuh?” Instead, consider possible psychosomatic effect. Polapikir: “Batin sangat memengaruhi jasmani, so method apapun yang bikin batin bahagia bisa menyembuhkan.” So commit try hal intangible. Example: to quell anxiety, might try hugging a tree or chanting – meski awalnya ragu, open mind if effect positive.
  • Dari menumpuk trauma ke melepaskan lewat ritual. Example perorangan: still grieving lost parent? Polapikir baru “aku bisa berkirim doa & amal, it might help them (and me).” Aksi: upacara kecil, nyalain lilin & doa hamperin foto almarhum, ajak bicara, telling that you pray for their peace. That significantly relieve unresolved grief. Sino-Buddhist tradition cenderung encourage hal gitu (sembahyang ceng beng dsb). It’s healthy closure.

Secara ringkas, bab ini memanggil kita untuk percaya pada yang tak terlihat sambil berbuat yang terlihat. It’s bridging spiritual faith with action oriented steps. Tekankan “melihat & mendengar” – ya lihat (observasi situasi) & dengar (feedback orang/guru), plus faith. Pada akhirnya, penerapan bab ini akan bikin kita fearless and positive. Karna tau ada Bodhisattva backup plan for everything, we step in life with a smile: “Bring it on, world! I’m anchored in compassion, nothing is impossible.”

Bab 12: Varga Amanat Sang Buddha kepada Dewa dan Manusia

Ringkasan Isi Bab: Ini bab terakhir di mana Buddha menyerahkan amanat penyelematan makhluk kepada Ksitigarbha Bodhisattva, dan menguraikan manfaat besar bagi siapa yang mempelajari sutra ini. Dikisahkan Buddha Sakyamuni mengangkat tangan emasNya dan menyentuh kepala Ksitigarbha Bodhisattva seraya bersabda: “Wahai Arya Ksitigarbha, Ksitigarbha! Prabhavamu tak terkatakan, welas asihmu tak terperikan, kebijaksanaanmu tak terlukiskan, dan pratibhanamu (kecerdasan adaptif) tak tertandingi. Para Buddha di 10 penjuru dunia semuanya memuji dan menyanjung daya kebajikan yang engkau miliki tiada taranya – sekalipun menceritakannya hingga jutaan kalpa, tak akan habis!” 193 194.

 

Buddha melanjutkan dengan amanat: “Wahai Arya Ksitigarbha, camkanlah – hari ini aku berada di istana Trayastrimsa, dalam pertemuan agung antara ratusan ribu koti Buddha, Bodhisattva Mahasattva, dewa, naga, dan kelompok makhluk lain – untuk kesekian kalinya aku menyampaikan pesan kepadamu: bahwa para dewa, manusia, serta makhluk lainnya yang belum terbebas dari Triloka, agar mereka tidak terjerumus ke dalam alam sengsara barang satu hari satu malam pun juga – apa lagi terjerumus ke dalam Neraka Pancanantarya atau Avici yang membuat mereka menderita ribuan juta kalpa tak dapat membebaskan diri selamanya” 195. (Inti: Buddha mempercayakan Ksitigarbha untuk mencegah makhluk jatuh ke neraka walau sebentar pun). 

 

“Wahai Arya Ksitigarbha, umat di Jambudvipa sifat tabiatnya dan kemauannya tidak menentu; wataknya lebih mudah mengarah pada keburukan. Sekalipun mereka telah menyatakan keinginan baik, tak lama kemudian mereka berubah (mudah goyah). Tapi jika bertemu keburukan, hal itu cepat berkembang subur. Oleh karena itu, aku telah menjelmakan diriku menjadi ratusan ribu koti banyaknya dan menuruti kodrat mereka masing-masing, lalu membebaskan mereka dari sengsara” 196. (Maksudnya, Buddha sudah berupaya lewat banyak manifestasi menuntun makhluk karena tahu sifat manusia cepat lupakan kebaikan, cepat terpengaruh jahat.)

 

“Wahai Arya Ksitigarbha, hari ini dengan kesungguhan hati aku menyampaikan pesan kepadamu: jika di masa akan datang ada dewa, manusia, serta putra-putri berbudi yang menanam sedikit saja kebaikan dalam Buddha Dharma – walau hanya seujung rambut, sebutir debu, sebutir pasir, setetes air – maka lindungilah mereka dengan Bodhicitta-mu agar mereka maju terus di jalan Dharma dan pantang mundur” 197. (Amanat: makhluk yang punya niat baik sedikit pun, Ksitigarbha harus menjaganya sampai tumbuh besar niatnya & tak surut.)

 

“Lagi, wahai Arya Ksitigarbha, di masa akan datang jika ada dewa atau manusia karena habis masanya akan menerima karmanya jatuh ke alam sengsara, atau ketika akan terjatuh ke neraka, tiba-tiba teringat Buddha jika makhluk itu dapat menyebut salah satu nama Buddha atau Bodhisattva atau sebaris gatha sutra – maka engkau harus menyelamatkannya dengan kesaktianmu dan segala upaya. Tampakkanlah diri Anantakaya-mu di dekat pintu neraka tempat makhluk itu berada, dan hancurkan lenyapkan neraka itu, selanjutnya upayakan agar makhluk yang telah sadar itu dilahirkan di surga menikmati kebahagiaan” 198. (Pesan ini dramatik: Ksitigarbha diminta muncul di neraka bila ada makhluk mendadak ingat Buddha, dan hancurkan neraka tersebut untuk bebaskan dia. Ini melambangkan welas asih harus “gercep” saat ada tobat sekecil apapun.)

 

Pada waktu itu Buddha mengucapkan gatha: “Dewa manusia di masa mendatang, Kuserahkan kepada engkau dengan penuh keyakinan; Selamatkan mereka dengan Daya Maha Prabhava; Sekali-kali jangan ada yang terjerumus ke salah satu alam sengsara” 199.

 

Mendengar amanat ini, Ksitigarbha Bodhisattva Mahasattva menghormat dengan merangkap tangan seraya berjanji: “Bhagavan yang mulia, mohon jangan khawatir akan masalah tersebut. Di masa akan datang jika ada pria atau wanita berbudi, asalkan timbul rasa hormat pada Buddha Dharma, aku akan menolongnya dengan segala upaya agar mereka terbebas dari lautan duka mencapai pantai bahagia. Apa lagi jika mereka itu telah banyak mengetahui kebaikan dan selalu melaksanakannya dalam ibadahnya. Sudah pasti mereka akan mencapai Anuttara Samyak Sambodhi dan pantang mundur” 200. (Ksitigarbha essentially vows he’ll do exactly as Buddha pesan: tolong semua yang sebersit baik, apalagi yang memang rajin baik – pasti akan dibawa hingga pencerahan.)

 

Setelah Ksitigarbha menyatakan demikian, seorang Bodhisattva bernama Akasagarbha (Khong Guan satrio haha, artinya Perbendaharaan Angkasa) bangkit, bersujud kepada Buddha dan bertanya: “Bhagavan yang mulia, sejak di istana Trayastrimsa ini mendengarkan Engkau memuji kesaktian Ksitigarbha Bodhisattva yang amat menakjubkan itu, sungguh tak terperikan. Jika di masa akan datang ada pria, wanita, dewa, naga mendengar sutra ini dan nama Ksitigarbha, lalu memberi hormat kepada rupangNya dengan puja bakti – berapa banyak manfaat yang akan diperoleh? Mohon Bhagavan sudi menguraikan kepada kami serta umat di masa kini dan mendatang.” 201.

 

Buddha menjawab Akasagarbha: “Dengarkan baik-baik, wahai Arya Akasagarbha, akan kuuraikan satu per satu. Di masa akan datang, jika ada pria atau wanita berbudi melihat gambar Ksitigarbha Bodhisattva dan mendengar sutra ini lalu memuja Beliau dengan dupa, bunga, makanan, minuman, jubah, permata, dsb; atau menghormati Beliau dengan memuji jasa-jasaNya dan memuliakan namaNya – maka putra-putri berbudi tersebut akan memperoleh 28 macam manfaat berikut:” 202.

 

28 manfaat tersebut Buddha jabarkan (rincinya disarikan dari [20]):

  1. Selalu dilindungi dewa, naga, dan 8 jenis makhluk – hidupnya selamat sentosa 203.
  2. Kebajikan dan pahala makin bertambah setiap hari 203.
  3. Benih-benih kebaikan dari Buddha Dharma terkumpul di batinnya 204.
  4. Tidak mundur dari Jalan Anuttara Samyak Sambodhi (tetap teguh di jalur pencerahan) 204.
  5. Cukup sandang pangan (kebutuhan materi tercukupi) 205.
  6. Terhindar dari segala musibah dan wabah penyakit 206.
  7. Terhindar dari bencana air (banjir) dan api (kebakaran) 206.
  8. Terbebas dari pencurian dan perampokan 207.
  9. Selalu disegani orang lain 208.
  10. Selalu mendapat dukungan dan bantuan makhluk suci (pertolongan tak terduga) 208.
  11. Wanita akan dapat menjadi pria pada kehidupan mendatang (jika ia ingin) 209.
  12. Jika tetap lahir wanita, akan jadi putri raja atau bangsawan, berparas cantik dan disukai orang di mana-mana 210.
  13. Selalu ada kesempatan lahir di alam surga (berulang kali) 211.
  14. Akan lahir sebagai raja atau kepala negara (di manusia) 212.
  15. Dapat mengetahui kehidupan masa silam (punya semacam ingatan lampau) 213.
  16. Segala cita-cita selalu terkabul 214.
  17. Keluarga selalu harmonis dan bahagia 214.
  18. Semua malapetaka lenyap (tiada kesialan berkepanjangan) 215.
  19. Terhindar dari 3 jalur sengsara (tidak jatuh ke neraka, preta, hewan) 216.
  20. Akan mendapat jalan bebas hambatan (mungkin maksudnya kemudahan rejeki atau jalan menuju pembebasan terbuka lebar) 217.
  21. Mimpi-mimpinya selalu indah (tidak dihantui mimpi buruk) 218.
  22. Leluhurnya ikut terbebas dari penderitaan (jika sedang di alam sengsara) 219.
  23. Jika leluhur pernah menanam kebaikan, kebajikan itu dipacu sehingga mereka lahir di surga lebih cepat 219.
  24. Ia akan mendapat pujian para suciwan (guru dan orang baik memujinya) 220.
  25. Ia akan cerdas tangkas, pikirannya tajam (tidak dungu) 220.
  26. Ia akan memiliki jiwa welas asih (hati lembut peduli) 221.
  27. Akhirnya akan mencapai ke-Buddha-an 222
  28. (Nomor 28 tidak tertulis jelas di teks, kemungkinan “Kelak ia pasti akan menjadi Buddha,” tapi sudah termuat di 27, bisa jadi redundansi, atau mungkin ada salah satu poin terpisah soal “menolong banyak makhluk” tapi tak tercatat. Namun dari referensi lain, 28 seringkali ringkasan “Akan membawa banyak makhluk ke pembebasan”).

Buddha melanjutkan: “Lagi, wahai Arya Akasagarbha, apabila para dewa, naga, malaikat bumi, malaikat surga, para raja setan dan pengikutnya, baik sekarang maupun masa depan, setelah mendengar nama Ksitigarbha lalu menghormat rupangNya atau pernah mendengar kisah suci Beliau lalu memuji jasanya serta menghormatnya dengan tulus, maka mereka akan mendapatkan 7 macam manfaat sebagai berikut:” 223:

 

7 manfaat (untuk makhluk bukan manusia ini) adalah 224:

  1. Mereka akan cepat meningkat ke alam yang lebih suci (naik tingkat reinkarnasi).
  2. Karma buruk masa lampau lenyap.
  3. Selalu dilindungi para Buddha.
  4. Kesadaran Bodhi yang telah dicapai takkan menyusut.
  5. Kekuatan dan kebajikan makin bertambah.
  6. Memiliki pengetahuan masa lampau & masa depan (kemampuan supra).
  7. Kelak akan menjadi Buddha.

Ketika Buddha selesai menyanjung Ksitigarbha Bodhisattva yang maha prabhava, hadirin serentak berseru: “Adbhuta! Adbhuta! Adbhuta!” (Ajaib, tak pernah terjadi) 225. Lalu di Surga Trayastrimsa turun hujan berbagai bunga harum, jubah surga, dan ratna-manikam sebagai persembahan puja kepada Buddha Sakyamuni dan Ksitigarbha Bodhisattva 226. Juga sebagai tanda terima kasih mendalam atas jasa Buddha memberikan khotbah tiada ternilai dan penghormatan setinggi-tingginya kepada Ksatria Sejati Ksitigarbha Bodhisattva 226. Kemudian para hadirin bersama-sama memberi hormat kepada Buddha dengan merangkap tangan lalu pergi 227.

 

Dengan demikian, pertemuan agung di Surga Trayastrimsa usai, menandai akhir Sutra Ksitigarbha.

 

Tafsir Makna dengan Bahasa Masa Kini: Bab terakhir ini adalah puncak pesan Buddha: Beliau mempercayakan keberlangsungan pembimbingan makhluk kepada Ksitigarbha Bodhisattva. Secara emosional, ini momen mengharukan: Buddha Sakyamuni akan Parinirvana (meninggal dunia), sehingga Beliau “mengoper tongkat estafet” kepada Ksitigarbha untuk menjaga semua makhluk setelah kepergianNya. Ini menekankan kepercayaan penuh Buddha pada ikrar Ksitigarbha dan juga menyoroti keistimewaan karmis Ksitigarbha dengan dunia kita. Maknanya: meski Buddha fisik sudah tiada, jangan putus asa, karena Ksitigarbha Bodhisattva akan selalu hadir menolong hingga akhir zaman. Bagi umat, ini jaminan kontinuitas bimbingan spiritual di era ketiadaan Buddha – hal yang sangat penting karena kita sekarang hidup “setelah Buddha Parinirvana”. 

 

Pada dasarnya, Buddha meminta Ksitigarbha melakukan 3 hal:

  1. Lindungi setiap makhluk yang punya sedikit saja benih kebaikan agar benih itu tumbuh dan tidak padam 197. (Artinya, Ksitigarbha harus memperhatikan hal-hal kecil. Ini sangat menyentuh: tak ada kebaikan terlalu kecil untuk diabaikan. Bagi kita, berarti walau kita baru niat baik sedikit, Ksitigarbha sudah siaga melindungi agar niat itu tak padam. Ini dorongan untuk memulai, meski kecil, karena pasti didukung.)
  2. Jika ada makhluk hampir jatuh ke neraka tapi di detik itu teringat hal suci (nama Buddha, sebaris ajaran), Ksitigarbha harus secepat kilat menolong – sampai digambarkan menghancurkan neraka tempat dia seharusnya jatuh 198. (Ini memperlihatkan ekstrim compassion – memanfaatkan sedikit kebaikan untuk menghapus banyak kejahatan. Juga melambangkan kekuatan pertobatan akhir bisa “menghancurkan neraka karmanya”. Bagi kita, artinya: kalau kita atau orang di sekitar tiba-tiba sadar di saat genting, bantulah sekuat tenaga. Terdapat spirit urgency di sini: welas asih tidak menunda menolong orang tobat.)
  3. Lindungi bahkan dewa atau roh yang memuliakan Ksitigarbha – buddha suruh agar Bodhisattva jangkau juga makhluk halus agar cepat maju, karma buruknya hapus, tak mundur dari Bodhi, akhirnya pun jadi Buddha 224. (Ini menekankan universalitas vow Ksitigarbha. Beliau tak cuma Bodhisattva-nya manusia, tapi juga guru bagi dewa, hantu, setan. Bagi dewa pun diuntungkan merendah memuja Bodhisattva – menekankan tidak peduli statusmu, butuh welas asih. Pesan implisit: seluruh alam semesta mendukung vow Ksitigarbha. Indra & Brahma pun ikut melindungi umat Ksitigarbha 150, makhluk halus pun mendapat manfaat memujanya.

Menariknya, Avalokitesvara yg minta penjelasan ke Buddha, mungkin mewakili kita yang memohon agar manfaat Sutra ini dibabar. Avalokitesvara mewakili welas asih dalam diri kita yang penasaran “Gimana sih jasa Bodhisattva ini, biar semua percaya?” Buddha pun jawab habis-habisan. Ini seolah dialog antara hati penuh kasih (Kwan Yin) dan kebijaksanaan (Buddha) yang menampilkan keagungan tekad (Ksitigarbha). Indah sekali interplay-nya: seakan mengajarkan bagaimana welas asih (Avalokitesvara) mengendorse aksi welas asih radikal (Ksitigarbha) di bawah panduan kebijaksanaan (Buddha).

 

28 manfaat – itu tally final listing. Banyak di antaranya repetisi/gabungan dari bab2. Ini tak lain agar umat di masa mendatang jelas untung ruginya memegang Sutra ini. Secara tersurat, kalau kau peduli Ksitigarbha Sutra (dengan dengar, baca, puja Bodhisattva), untung melimpah ruah. Secara tak langsung, ini agar orang semangat mempelajari & menyebarkan Sutra Ksitigarbha. Mengapa? Karena setiap orang yg terlibat mendapatkan benefit.

 

28 point meliputi domain fisik (5,6,7,8 – kecukupan, sehat, aman), domain sosial (9,10 – disegani, dibantu), domain personal identity (11,12 – wanita jadi pria kalau mau / lahir cantik mulia), domain karmic future (13,14 – surga / raja; 15 – ingat masa lalu; 19 – tak lahir di alam buruk), domain mental (21 – mimpi indah), domain spiritual (3,4,26,27 – kumpul benih Dharma, tak mundur, welas asih, jadi Buddha). Juga domain family (2 – sekeluarga selamat; 17 – keluarga rukun; 22,23 – leluhur terbantu), domain psychological well being (18 – no accidents/malapetaka, 21 – no nightmares). Ini semacam manfaat 360 derajat. Pesannya: praktik Sutra Ksitigarbha & devosi Bodhisattva memberi kehidupan optimal, di sini dan setelahnya. It’s very motivating, though one can argue it’s salesy, but consider context: Buddha must ensure suskses penyebaran sutra di masa sulit (kaliyuga). Beliau pakai upaya kausalita (faktor motivasi) – tunjuk untung duniawi & spiritual.

 

7 manfaat untuk non-human reaffirm kebaikan universal. Dewa pun butuh berbuat kebajikan (memuja Bodhisattva) agar naik. Dan mereka pun akan jadi Buddha. Ini menunjukkan Mahayana inklusif banget: tak hanya manusia bisa keBuddhaan, hewan, hantu, setan, dewa – semua part of plan. Juga menekankan jika entitas halus pun menghormat Bodhisattva welas asih, mereka pun di jalur Bodhi. Berarti compassion transforms everyone.

 

Ending, hujan bunga-jubah-jewel dan “Adbhuta!” – melambangkan seluruh kosmos bersuka cita & bersyukur. Bunga = pure offering, jubah = virtue of Buddha, jewel = Dhrama preciousness. Peristiwa ini kayak saat besar. Lalu hadirin pulang dengan hormat. Ini penutup standar sutra: semua gembira dan menerima Dharma. Tapi secara batin, kita bisa bayangkan, sampai dewa & setan pun menari bahagia melihat vow Ksitigarbha. Because it assures them all can be free one day.

 

Inspirasi Kehidupan yang Bisa Diambil: Bab final ini menegaskan beberapa hal inspiratif:

  • Kepercayaan dan tanggung jawab generasi selanjutnya. Buddha mempercayakan Ksitigarbha Bodhisattva yang mewakili kita, generasi pasca-Buddha – untuk meneruskan misi. Ini seperti orang tua/leaders memercayakan generasi muda melanjutkan visi. Terinspirasi bahwa kita pun, sebagai pembaca, menerima amanat ini. Ksitigarbha sudah vow, tapi kita yang tahu ajaran ini bisa bantu menghancurkan “neraka” di dunia. Lihat bahasa: “jangan biarkan ada makhluk pun jatuh ke penderitaan sekejap pun.” Itu urgent call bagi welas asih kita. Gen Z banyak yang peduli isu mental health, poverty, environment. Anggap saja we are Ksitigarbha’s helpers. Amanat Buddha “lindungi mereka walau sedikit kebajikan” – ini reflect di pergaulan: kalau ada teman baru belajar hal baik, dukung terus jangan sampai demotivasi. Juga “kalau ada orang di ujung jurang tapi mendadak nyesel, segera tolong” – contohnya, seseorang hampir bunuh diri, tiba-tiba chat minta tolong, meski jam 2 pagi, ya bantulah sekuat tenaga. Be that Bodhisattva. So bab ini menginspirasi kesigapan welas asih. Walau kita bukan Ksitigarbha utuh, bisa jalankan mini version.
  • Menanam keyakinan mendalam bahwa setitik kebaikan akan selalu ada yang menjaganya. Ini mengusir sinisme. Sering orang bilang “di dunia sekarang jadi orang baik malah dimanfaatin.” Amanat Buddha bantah: gak, ada Ksitigarbha jagain. So, remain good even if minimal, you’ll be protected. Bawa inspirasi ke hati: never belittle any goodness. Setiap kali lakukan/lihat kebaikan sekecil apapun, support. Mungkin di kampus ada junior idealis liar, jangan cynic “ah bentar lagi juga corrupt.” Ubah: “harus gue bimbing nih biar semangatnya gak mati.” That is us carrying out Buddha’s trust.
  • 28 manfaat memacu syukur & tekad. Sudah hamper semua hal diuntungin. Ini memunculkan kesadaran: tidak rugi mendalami Dharma. Apapun angle yang penting buat kita – entah rezeki, keluarga, mental, karir, self-development – semua dibantu. Ini melawan stigma “fokus agama/ meditasi nanti duniamu hancur.” Ternyata tidak, justru menyejahterakan semua aspek. Jadi terinspirasi makin semangat ibadah & meditasi. Berhenti membagi “ini waktu karir/hidup, nanti tua baru ibadah.” Lihat janji no.16: cita-cita terkabul. Berarti jgn tinggalkan doa walau sibuk kejar mimpi. Menarik no.11/12: womens empowerment & acceptance. Wanita kalau gak suka nasibnya, jln spiritual bs mengubah (dr bab 6 jg), at least next life. Kalau terima pun, jadi putri bangsawan cantik. Intinya: spiritual path will transform your self-image. Memang sering gitu: org yang mendalami meditasi/kebaktian, aura & kepercayaan diri naik, seakan “wajah” berubah jadi rupawan bagai putri. So, generasi sekarang struggles with body image: perhaps do spiritual practice for inner glow. The promise suggests it.
  • 7 manfaat ke makhluk halus memacu inspirasi “tidak memusuhi, melainkan mengedukasi bahkan makhluk jahat.” Kita belajar, setanpun kalo mau menghormat Bodhisattva, ya bantulah, jgn dibrantas. Drips of universal compassion. Contoh real: jika ada gangster/criminal tobat, society should support integrasi (krn beneficial jg ke society, one less criminal). Pola karmis: welas asih tak exclude siapapun. So, inspirasi memandang “musuh” pun sbg calon buddha in progress. Menarik, Bodhisattva pun ready memandu hantu & setan. We can adapt: contohnya, fear or negativity di diri (perwujudan ‘setan’ mental), jgn cuma ditendang, tapi ajak ke jalur baik. Eg, kamu pemarah (negatif), channel marah untuk lawan ketidakadilan (pos di activism). That negativity protected & transformed by Bodhisattva vow into positive impetus.
  • Ending syair: “sebar Maha Pranidhana ke seluruh alam” – ini calls us to share these values widely. Kagum liat vow Ksitigarbha? Ceritain ke temen, share quotes, implement di project. Spread compassion vowness. Gen Z jago viral things; maybe create creative content from this (like summarizing vow in infographic/story). You’re basically fulfilling Kwan Yin’s role spreading it.
  • Pemandangan akhir: universe rejoice. Artinya, setiap keberhasilan moral/spiritual layak dirayakan. Kita diinsiprasi ngerayain hal hal baik. Kalo di perkumpulan liat kawan overcame personal ‘neraka’ (misal overcame addiction), belikan gift (hujan bunga), kasi applause (adbhuta!). Affirm positivity strongly, so others jg tergerak. It’s like saying: positivity is contagious, celebrate it, and it’ll multiply.

Perubahan Pola Pikir dan Aksi Nyata:

  • Pola pikir ‘dunia makin rusak, gak ada harapan’ ke ‘justru inilah saat kita memikul amanat welas asih’. Ganti kekecewaan jadi tantangan: “Buddha sdh wanti-wanti generasi kita, so we must step up.” Aksi: volunteer, speak up vs injustice, help those in hardship walau kecil. Pikir “Buddha bergantung pd welas asih manusia & Bodhisattva skrg, akulah Bodhisattva kecil.”
  • Pola pikir menuntut hasil instan ke menghargai benih kebaikan. Kadang frustrasi kl bantu orang moral kecil, progress lambat. Now shift: “apapun, meski perbaikan 1%, worth it.” Aksi: sabar bimbing adik/anak, meski hari ini cuman sedikit kemajuannya. Percaya bodhisattva memperhatikan, karmanya nyicil berbuah.
  • Polapikir ‘orang sudah jahat, gak bisa ditolong’ ke ‘selama ada seberkas penyesalan, bantulah’. Aksi: kalau ada orang terkenal jahat tiba2 ungkap tobat, jangan sinis. Instead, dukung program rehabilitasi. Dgn netizen culture, sering kalo ada mantan koruptor tobat, publik judge cynically.Polapikir baru: “kalau memang niat tobat, semoga dia bener2 bertaubat.” Tentu bukan naif memaafkan kejahatan, tetap hukum berjalan, tapi misal mantan narapidana, jangan stigmatik, kasih second chance. Kita gak tau, mgkn dia “teringat sebaris sutra di akhir.”
  • Polapikir inferior: ‘aku cuman sedikit baik, mungkin gak pengaruh’ diubah ke ‘justru sedikit baik pun dilindungi Bodhisattva’. Aksi: maintain self-kindness & pride on small achievements. Eg. hari ini bisa nolong 1 org, value it. Ucap terima kasih ke Bodhisattva for enabling that & mohon bimbing lanjutan. It’s a boost cycle: small good deed > recognized > motivated do bigger good deeds.
  • Polapikir segmented: ‘ini urusan spiritual vs urusan daily’ ke integrative: ‘urusan daily pun area main Bodhisattva.’ Hal2 ky surga, reinkarnasi, Buddha-future mgkn intangible, tapi hal tangible pun list: rejeki, sehat, nyenyak. So, bring spiritual intentions to daily chores. Aksi: misal nyapu rumah sambil doain semoga bersih sisa negativity (bodhisattva-ize chores), masak sambil mantra, rapat kerja awali silent prayer. That break barrier secular-sacred.
  • Polapikir merendahkan diri & identitas ke polapikir bangga jadi umat Ksitigarbha. Tertulis no. 9,10: disegani, dibantu. Kadang org baik direndahkn, but here assurance: tahan, eventually you’ll be respected & helped. So ubah “aku do-gooder cupu” ke “aku warrior Bodhisattva, dewa pun dukung.” Aksi: latih assertif. Bodhisattva unstoppable, jgn minder. Tentu tanpa arogansi, but w/ rightful pride in chosen path.
  • Polapikir stagnan: ‘segini aja nasibku’ ke aspirational: ‘bahkan aku pun bisa jadi Buddha kalau tekun.’ Janji ke-27 &7 (non-human): everyone can be Buddha. Ubah mindset “saya mah awam, mgkn surga aja syukur” ke “target final = pencerahan.” Why not? It’s allowed. Aksi: more serious in practice, gak puas di superficial devotion; perhaps atur rutinitas meditasi, belajar ajaran mendalam, glimpsing that ultimate goal.
  • Polapikir me-limited to me-extended. Lihat list benefits by association: leluhur ke surga, suciwan praise etc. Artinya, kebaikanmu meluber. Ubah “yang penting aku selamat” ke “kalau aku baik, banyak entitas lain keangkat.” So moral duty: I am responsible for more than just me. Aksi: dedicate merits, always share joys. Klo dapat berkat, ingat almarhum didoain; klo sukses, sponsor charity; klo bahagia, bagikan ke teman. That multiplies blessings, fulfilling prophecy of benefit.
  • Polapikir dryness vs celebaration. Universe rejoice di akhir. Ubah: “Setiap progress virtue layak dirayakan (dengan syukur, puja, atau share kabar baik).” Aksi: budayakan merayakan kebajikan. Contoh, kl liat ada peraturan baru pro-lingkungan, bagikan di medsos dgn “Sadhu!” (kaya adbhuta!). Atau selenggarakan acara doa syukur kalo situasi negara membaik. Hal2 begini maintain positivity global. Instead of mostly highlight negativity, highlight & rejoice positive change.

 

Dengan perubahan pola pikir & aksi ini, kita memahat di hati amanat Buddha kpd Ksitigarbha: Menjadi perpanjangan tangan welas asih di dunia. Kita insaf bahwa kitalah generasi yang harus buat dunia lebih baik & ringankan derita, berbekal inspirasi Bodhisattva. Juga, kita tak gentar karena tau Bodhisattva always backing us up. Puncaknya: dunia ini tanggung jawab kita bersama dgn Bodhisattva, dan jika kita menjalankan Dharma Ksitigarbha (welas asih tak kenal lelah), tidak hanya makhluk terselamatkan dari sengsara, tapi kitapun melangkah mantap menuju penerangan sempurna.

 

Penutup: Demikianlah penafsiran lengkap Ksitigarbha Sutra bab 5 hingga bab terakhir. Dengan bahasa modern namun sarat ruh spiritual, kita telah menjelajahi janji-janji Buddha tentang karma dan welas asih. Semoga setiap bab memberi Anda sentuhan di hati dan panduan praktis untuk hidup: agar tidak meremehkan hal kecil, berani bertekad besar, berbakti pada keluarga, peduli pada sesama, selaras dengan alam, dan selalu ingat kekuatan nama suci yang menaungi kita. Gen Z dan siapa pun pembaca, Anda tidak sendiri – Bodhisattva Ksitigarbha menyertai langkah Anda di dunia yang kadang gelap, menerangi dengan cinta tanpa syarat.

 

Mari buka hati kita, biarkan ajaran Mahayana ini mengubah pola pikir lama menjadi baru. Tiap hari adalah kesempatan memperbarui tekad: menjadi pribadi yang lebih baik dan membantu orang lain keluar dari penderitaan. Seperti pesan Buddha, walau kebaikan itu hanya sebutir debu, jaga dan rawatlah – karena dari situlah masa depan cerah umat manusia akan tumbuh.

 

Dengan memahami Sutra Ksitigarbha ini, semoga kita semua terinspirasi mengubah pola pikir negatif menjadi positif, dan mewujudkannya dalam aksi nyata sehari-hari. Sedikit demi sedikit, bagaikan Bodhisattva Ksitigarbha, kita pun bisa “mengosongkan neraka” di sekitar kita – mengentaskan penderitaan, mengantarkan kebahagiaan. Dan pada akhirnya, kita bersama menapak jalan Bodhi, jalan pencerahan sempurna, demi kebebasan semua makhluk. Sadhu, Sadhu, Sadhu 226 228

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE