Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Penyalahgunaan Dana “Uang Sepuluh Penjuru”: Dampak Buruk dan Solusinya

Penyalahgunaan Dana “Uang Sepuluh Penjuru”: Dampak Buruk dan Solusinya

September 24, 2025
Makna Dana “Uang Sepuluh Penjuru” dan Pentingnya Kepercayaan Umat

Dalam tradisi Buddhis, sumbangan dana untuk vihara atau Sangha sering disebut sebagai “uang sepuluh penjuru” – uang yang dihimpun dari para umat di segala penjuru dengan niat kebajikan. Setiap umat berdana dengan tulus demi mendukung kegiatan spiritual, operasional vihara, perawatan tempat ibadah, serta amal sosial. Dana ini sesungguhnya adalah amanah suci; terkandung harapan dan keyakinan umat bahwa sumbangan mereka akan digunakan sesuai tujuan mulia.

 

Kepercayaan umat merupakan fondasi tegaknya komunitas vihara. Ketika umat memasukkan uang ke kotak dana atau rekening vihara, mereka melepaskannya dengan keyakinan penuh bahwa setiap rupiah akan menjadi bagian dari kebajikan kolektif. Ibaratnya, dana umat tersebut ditujukan bagi Triple Gem (Tiga Permata: Buddha, Dhamma, dan Sangha) – suatu persembahan yang tinggi nilainya. Buddha sendiri memuji berdana vihara untuk keperluan Sangha sebagai “pemberian yang tertinggi” 1. Bahkan disebutkan pula bahwa “pemberian yang diberikan kepada Sangha menghasilkan buah yang besar” (saṅghe dinnaṁ mahapphala) 2. Artinya, berdana kepada Sangha dan vihara dipandang sebagai ladang pahala yang subur.

 

Oleh karena itu, penyalahgunaan dana vihara oleh oknum pengurus merupakan pengkhianatan besar terhadap kepercayaan umat. Dana “sepuluh penjuru” bukan sekadar uang biasa – melainkan wujud cinta kasih, kepercayaan, dan aspirasi spiritual banyak orang. Mencuri atau menggelapkan dana suci ini berarti mencederai hati para donor yang memberi dengan niat suci. Di balik kesucian vihara sebagai tempat peribadatan, praktik curang semacam ini mencoreng nama baik lembaga dan melukai semangat kebersamaan. Umat yang tadinya penuh keyakinan dapat jatuh kecewa dan mempertanyakan integritas pengurus serta nilai-nilai ajaran yang dijunjung.

Dampak Buruk secara Spiritual dan Karmis

Dari sudut pandang spiritual, pelaku pencurian dana vihara mengalami kemerosotan moral yang serius. Bagi seorang bhikkhu (apabila ia terlibat), tindakan mencuri melanggar sīla paling mendasar (melanggar perintah adinnādāna untuk tidak mengambil yang tidak diberikan). Dalam Vinaya (aturan monastik), mengambil barang berharga milik orang lain termasuk pelanggaran paling berat (pārājika) yang berakibat bhikkhu tersebut “terkalahkan” dan harus dikeluarkan dari Sangha. Bahkan bila pelakunya adalah pengurus awam, secara spiritual ia telah melanggar salah satu dari Pancasīla (lima moral dasar), yaitu mencuri, yang langsung mengotori batin dengan keserakahan dan ketidakjujuran. Efek batin jangka pendek bagi pelaku mungkin berupa perasaan bersalah, gelisah, atau sebaliknya makin menebal ketamakan dan tipuan untuk menutupi jejak. Setiap kali ia datang ke altar atau memimpin kegiatan vihara, nuraninya akan dibayangi dosa yang diperbuat – ibarat membawa bara dalam sekam.

 

Lebih jauh lagi, secara karmis, konsekuensi mencuri dana suci ini amatlah berat. Kitab komentar menyebutkan: “Mencuri, O bhikkhu,… akan membawa orang ke neraka, ke alam binatang, atau ke alam setan. Bahkan sekurang-kurangnya, akibat dari ‘mengambil barang milik orang lain’ membuat ia akan kehilangan barang-barangnya (di kemudian hari)” 3. Khusus pencurian terhadap Tri Ratna (Buddha, Dhamma, Sangha) dikatakan sebagai dosa yang paling serius. Disebutkan bahwa karena pemilik harta tersebut adalah Buddha, Dhamma, dan Sangha di seluruh penjuru dharma, sekali terjadi pencurian “tidak akan pernah terbayar kembali” dosanya 4. Kitab suci Buddha memperingatkan bahwa betapa pun seriusnya dosa-dosa lain, para Buddha dan Bodhisattva masih dapat menolong; tetapi jika seseorang mencuri harta Tiga Permata, semua Buddha di sepuluh penjuru pun tidak akan bisa menyelamatkannya** 4. Uraian ini tentu menggambarkan betapa beratnya ganjaran karmis bagi pelaku.

 

Dari perspektif ajaran Buddha, mencuri dana vihara berarti mencuri dari Sangha dan umat sekaligus. Karma buruknya berlipat ganda, karena yang dirugikan bukan hanya satu orang melainkan komunitas luas. Sebuah diskusi Dhamma mencatat bahwa mencuri langsung dari Sangha (bhikkhu/bhikkhuni) membawa karma lebih berat daripada mencuri biasa – tidak bisa dipulihkan hanya dengan mengembalikan barang, pelaku pasti akan menuai hasil karmanya dengan terlahir di alam neraka 5 6. Mengapa demikian? Karena tindakan itu juga menghambat penyebaran Dhamma: Sangha yang kehilangan kebutuhan pokok akibat ulah pencuri akan terdistraksi memikirkan hal duniawi, sehingga kurang fokus menyebarkan ajaran kebenaran 7. Artinya, si pelaku bukan hanya mencuri materi, tapi juga mencuri kesempatan banyak makhluk mendapat manfaat Dhamma – suatu karma buruk berjangka panjang yang sangat merugikan. Tradisi Tibet bahkan merinci: barang penting bagi keberlangsungan hidup Sangha bila dicuri menyebabkan pelaku terjerumus ke neraka paling panas; barang lainnya pun mengakibatkan kelahiran di salah satu neraka tetangga penuh kegelapan 6 8.

 

Dalam jangka panjang, buah karma dari mencuri dana suci akan mengejar pelaku. Selain kemungkinan terjatuh ke alam rendah setelah meninggal, di kehidupan-kehidupan mendatang ia dapat terlahir miskin, selalu kekurangan, atau kehilangan harta karena dulu mengambil hak milik Sangha . Bahkan dalam kehidupan sekarang pun, acapkali kita saksikan pelaku korupsi dana umat akhirnya tertimpa aib, kehilangan kehormatan, dihantui rasa takut ditangkap, atau mengalami kejatuhan hidup yang tragis. Sebaliknya, dampak spiritual langsung juga terasa: integritas rohani pelaku runtuh, ia menjauh dari kualitas saddhā (keyakinan) dan sīla (moralitas) yang merupakan dasar kemajuan spiritual. Lingkungan batin yang ternoda keserakahan akan menyulitkannya merasakan kedamaian dalam latihan Dhamma. Secara halus, berkah pelindung dharma pun bisa menjauh – sebagaimana air jernih tak lagi memantulkan cahaya bila dicampur lumpur.

Dampak Sosial bagi Komunitas Vihara

Penyalahgunaan dana vihara tidak hanya berdampak pada pelaku secara pribadi, tapi juga mengguncang sendi-sendi sosial komunitas. Beberapa dampak buruk yang langsung dirasakan antara lain :

  1. Kerugian finansial dan terhentinya kegiatan: Dana umat yang seharusnya dipakai untuk kepentingan bersama justru berkurang digerogoti kepentingan pribadi. Akibat kekurangan dana, berbagai kegiatan keagamaan dan sosial di vihara dapat terhambat atau bahkan terhenti 9. Misalnya, renovasi vihara terbengkalai, kegiatan puja bakti berkurang fasilitasnya, bantuan untuk yang membutuhkan terputus, program pendidikan Dhamma terhenti karena dana lenyap. Umat yang aktif terlibat pun merasakan langsung dampaknya ketika program-program keagamaan mendadak lesu hanya gara-gara ulah oknum.
  2. Kerusakan reputasi dan hilangnya kepercayaan: Kasus penggelapan dana umat merusak nama baik vihara di mata publik 9. Vihara yang seharusnya menjadi panutan moral justru tercemar citranya. Umat dan masyarakat luas kehilangan kepercayaan terhadap lembaga keagamaan tersebut. Rasa hormat pun luntur; umat mulai bersikap sinis atau ragu ketika mendengar ajakan berdana, selalu terlintas tanya “jangan-jangan diselewengkan lagi?”. Reputasi yang runtuh ini bisa meluas ke agama Buddha secara umum – orang awam menganggap “para pengurus vihara ternyata bisa korup juga”, sehingga mencoreng citra komunitas Buddhis secara keseluruhan.
  3. Pelanggaran kepercayaan dan perpecahan internal: Penggelapan dana adalah bentuk penghianatan terhadap amanah umat 10. Umat yang merasa dibohongi bisa marah, sedih, dan kecewa mendalam. Tak jarang timbul gesekan atau konflik internal: ada yang membela oknum (mungkin karena kedekatan atau tidak percaya ia bersalah), ada yang mengecam, sehingga komunitas terpecah kubu. Semangat kebersamaan (saṅghāṭi) terkoyak oleh saling curiga. Umat menjadi sulit bersatu melakukan kegiatan karena isu dana selalu membayangi. Bahkan, bila skandal ini mencuat ke media, tekanan eksternal pun muncul – mungkin otoritas pemerintah turun tangan, masyarakat sekitar memandang negatif – yang makin memperberat beban komunitas.
  4. Demoralisasi dan surutnya partisipasi umat: Setelah kepercayaan ternoda, umat akan berpikir dua kali untuk berdana lagi. Antusiasme berkontribusi menurun drastis. Donatur besar bisa menarik diri, sukarelawan jadi enggan terlibat, dan jumlah umat yang hadir pun menyusut karena merasa vihara tak lagi murni. Suasana spiritual di vihara berubah muram; yang tersisa barangkali hanya segelintir umat loyal atau mereka yang belum tahu masalahnya. Efek jangka panjangnya, vihara bisa sepi dan mengalami kemunduran fungsi karena tak lagi mendapat dukungan moral maupun material yang memadai.
Ciri-Ciri Lingkungan Vihara yang Tercemar Penyalahgunaan Dana

Seringkali, penyalahgunaan dana tidak terjadi seketika, melainkan bermula dari celah kecil yang dibiarkan. Ada beberapa tanda atau ciri bahwa komunitas vihara mulai tercemar oleh praktik penyimpangan dana :

  1. Minim transparansi keuangan: Laporan keuangan tidak pernah dipublikasikan jelas kepada umat. Pertanyaan umat tentang pemasukan dan pengeluaran dijawab bertele-tele atau bahkan ditepis. Jika audit eksternal tak pernah ada dan pembukuan dipegang segelintir orang saja, ini lampu kuning. Kebanyakan umat “tidak mengetahui tentang keuangan di vihara” sama sekali – suatu kondisi rawan karena membuka peluang kecurangan.
  2. Pengelolaan tertutup dan terpusat pada satu orang atau kelompok kecil: Bila bendahara atau ketua pengurus memonopoli akses ke dana tanpa mekanisme check and balance, integritas gampang terguncang 11. Awalnya mungkin niatnya baik, namun godaan angka di rekening bisa menggoyahkan integritas siapa pun jika tanpa pengawasan 11. Celah ini kian lebar bila pengurus merasa “kebal” dan tak ada kontrol dari umat.
  3. Terlalu sering penggalangan dana dengan janji muluk: Misalnya, pemuka agama di vihara tersebut gemar sekali mengumpulkan donasi dari umat dengan iming-iming pahala berlipat ganda atau janji surgawi, namun penggunaannya tidak jelas dan tidak pernah dilaporkan 12. Kegiatan penggalangan dana dilakukan bertubi-tubi, tapi umat mulai curiga karena perkembangan nyata (misal pembangunan) tak sesuai dana yang terkumpul. Janji-janji manis soal “pahala besar” dijadikan tameng untuk mengeruk lebih banyak, padahal laporannya nihil.
  4. Gaya hidup pengurus yang janggal: Tanda lainnya, oknum pengurus atau bahkan Bhikkhu pengelola vihara tampak hidup jauh lebih mewah daripada sewajarnya. Misalnya tiba-tiba memiliki aset pribadi baru, sering pelesiran mahal, padahal tak jelas sumber dananya. Bila ada Bhikkhu yang melanggar kebiasaan sederhana (misal mengelola uang sendiri dalam jumlah besar, memakai barang mewah), umat patut mempertanyakan. Kemewahan di tengah lingkungan religius yang seharusnya sederhana bisa jadi indikasi kuat adanya penyalahgunaan dana umat.
  5. Timbul desas-desus atau kasus mencuat: Lingkungan vihara yang tercemar biasanya diiringi rumor tentang uang hilang atau ketidakberesan laporan. Jika sudah terdengar isu “ada uang kotak amal yang lenyap” atau “pembangunan tidak sesuai dana masuk”, itu pertanda serius. Apalagi kalau sampai muncul kasus hukum – misal pengurus dilaporkan menyelewengkan dana – berarti sudah terang terjadi pencemaran integritas. Saat kasus terkuak ke publik, nama vihara langsung tercoreng dan butuh waktu lama untuk memulihkan kepercayaan.
  6. Menurunnya kualitas kegiatan spiritual: Meskipun mungkin sulit diukur, vihara yang pengurusnya korup akan kehilangan “roh” spiritualnya. Umat merasakan “atmosfer berbeda” – bukan ketenangan dan ketulusan yang mengisi udara, melainkan atmosfer materialistis. Arah pembicaraan dalam rapat lebih banyak soal uang daripada Dhamma. Perlahan, orientasi komunitas bergeser dari pelayanan spiritual menjadi mengejar pendapatan. Ini pertanda nyata bahwa nilai- nilai luhur telah terkontaminasi.

Ciri-ciri di atas perlu diwaspadai. Begitu gejala muncul, seyogianya umat dan pengurus lainnya segera introspeksi dan berbenah sebelum skandal besar terjadi.

Langkah-Langkah Preventif untuk Menghindari Penyalahgunaan Dana

Mencegah lebih baik daripada mengobati. Ada beberapa langkah preventif yang dapat diterapkan agar dana umat yang berharga itu tidak disalahgunakan :

  1. Transparansi Pengelolaan Keuangan: Pengurus vihara hendaknya membuat laporan keuangan berkala dan membagikannya secara terbuka kepada umat 13. Misalnya, setiap bulan atau triwulan dipajang di papan pengumuman vihara atau dikirim via media komunikasi, rincian pemasukan (dana kotak amal, sumbangan acara, dll) dan pengeluaran (biaya listrik, perawatan, dana sosial, dsb). Transparansi ini menumbuhkan trust dan memberi kesempatan umat mengawasi sejak dini.
  2. Sistem Pengawasan & Audit yang Efektif: Struktur pengelolaan keuangan perlu melibatkan beberapa pihak (multiple signatories). Idealnya, ada bendahara, ketua, dan pihak independen yang bersama-sama mengesahkan pengeluaran dana besar. Audit internal dan eksternal sebaiknya rutin dilakukan 14 – bisa menggandeng akuntan atau lembaga auditor sukarela. Di beberapa negara, pemerintah atau asosiasi keagamaan mewajibkan laporan keuangan tahunan dari vihara. Jika memungkinkan, bentuklah komite audit yang terdiri dari umat awam profesional (misal berlatar belakang akuntansi) untuk memeriksa pembukuan. Sistem double-check ini menutup peluang satu orang bermain curang.
  3. Peningkatan Edukasi dan Kesadaran Hukum: Pengurus vihara perlu diberi pemahaman bahwa mengelola dana umat adalah amanah besar yang dilindungi hukum. Menyelewengkan dana bisa terkena pasal penggelapan (Pasal 372 KUHP) – mengambil barang yang ada dalam penguasaannya karena kepercayaan, untuk dimiliki sendiri secara melawan hukum 15. Jadi, konsekuensinya bukan hanya dosa dan karma buruk, tetapi juga jerat pidana, penjara, dan malu di masyarakat. Dengan kesadaran ini, diharapkan para pengurus berpikir seribu kali sebelum tergoda, karena hukum karma dan hukum negara sama-sama akan menghukum perbuatan tersebut.
  4. Penguatan Peran Umat dalam Pengawasan: Umat selaku pemberi dana jangan pasif. Lingkungan vihara sehat mendorong umat aktif bertanya dan mengawasi penggunaan dana 16. Budayakanlah musyawarah tahunan di mana laporan keuangan dipresentasikan dan umat bisa mengajukan pertanyaan. Apresiasi umat yang kritis sebagai wujud kepedulian, bukan dianggap “pengganggu”. Semakin banyak mata yang melihat, semakin kecil kesempatan terjadi penyelewengan. Umat juga bisa membentuk tim kecil pendamping bendahara untuk ikut terlibat dalam pencatatan pemasukan/pengeluaran sehari-hari.
  5. Penguatan Peran Umat dalam Pengawasan: Umat selaku pemberi dana jangan pasif. Lingkungan vihara sehat mendorong umat aktif bertanya dan mengawasi penggunaan dana . Budayakanlah musyawarah tahunan di mana laporan keuangan dipresentasikan dan umat bisa mengajukan pertanyaan. Apresiasi umat yang kritis sebagai wujud kepedulian, bukan dianggap “pengganggu”. Semakin banyak mata yang melihat, semakin kecil kesempatan terjadi penyelewengan. Umat juga bisa membentuk tim kecil pendamping bendahara untuk ikut terlibat dalam pencatatan pemasukan/pengeluaran sehari-hari.
  6. Penerapan Aturan Vinaya dan Etika Ketat: Secara ideal, ikuti spirit disiplin Buddha tentang keuangan. Dalam tradisi Theravāda, misalnya, bhikkhu tidak memegang uang langsung; keuangan diatur oleh bendahara awam. Meski praktik ini bervariasi dewasa ini, intinya pisahkan antara otoritas spiritual dan urusan uang. Bhikkhu/rohaniwan fokuslah pada pembinaan umat, sementara urusan uang dipegang tim awam yang profesional. Bila hal ini dijalankan, godaan bagi para bhikkhu untuk menyentuh uang umat dapat dihindari. Di sisi lain, pengurus awam pun sebaiknya meneladani sila ke-2 (tidak mencuri) dengan sungguh-sungguh, menghayati bahwa menyalahgunakan dana sama dengan menghancurkan pahala diri sendiri dan orang banyak.
  7. Standard Operating Procedure (SOP) Keuangan: Vihara dapat membuat SOP rinci mengenai alur penerimaan dan pengeluaran dana. Misalnya, semua dana masuk harus dicatat rangkap dan diketahui minimal dua pihak; kotak amal dibuka berkala di depan saksi; pengeluaran di atas nominal tertentu harus seizin dewan pengurus atau bhikkhu penasehat. Dana pembangunan proyek besar sebaiknya disimpan terpisah dan diawasi panitia khusus. Dengan SOP yang jelas, setiap orang tahu prosedur, sehingga penyalahgunaan lebih sulit dilakukan diam-diam.
  8. Teknologi dan Akun Terpisah: Manfaatkan teknologi perbankan untuk transparansi. Misal, gunakan rekening bank atas nama vihara/yayasan (bukan pribadi), dan izinkan pengecekan saldo oleh pihak berwenang kapanpun. Beberapa vihara memasang donation kiosk atau QR code yang langsung masuk ke rekening terawasi, meminimalkan peredaran uang tunai yang rawan dicolek oknum. Pembayaran non-tunai juga meninggalkan jejak digital yang mudah diaudit.
  9. Rekrutmen dan Rotasi Pengurus: Seleksi pengurus bagian keuangan dengan integritas teruji. Terapkan sistem rotasi atau masa jabatan terbatas untuk bendahara dan ketua – misalnya setiap 2 tahun ganti orang – guna mencegah power abuse. Jika orang yang sama memegang kas terlalu lama tanpa kontrol, risiko moral hazard meningkat. Dengan rotasi, pengurus baru bisa memeriksa pembukuan lama, sehingga terjadi mekanisme saling audit alami.

Langkah-langkah di atas, bila dijalankan, akan sangat memperkecil kemungkinan dana umat disalahgunakan. Ibarat memasang pagar berduri di sekeliling ladang, hama penyelewengan pun sulit masuk. Yang terpenting adalah komitmen semua pihak untuk menjaga kesucian tempat ibadah dan memastikan dana umat digunakan sesuai peruntukan yang benar 17.

Langkah Korektif dan Perbaikan Jika Pelanggaran Terjadi

Bagaimana jika nasi sudah menjadi bubur – penyalahgunaan dana telah terjadi dan terungkap? Meski situasinya berat, langkah korektif perlu segera diambil demi meminimalisir kerusakan lebih lanjut dan memulihkan kepercayaan :

  1. Transparansi dan Investigasi Tuntas: Begitu terindikasi ada penyelewengan, pengurus harus transparan kepada komunitas. Adakan pertemuan darurat menjelaskan situasinya sejujur mungkin, agar tidak muncul rumor liar. Bentuk tim investigasi independen (libatkan tokoh umat luar vihara atau auditor) untuk mengusut aliran dana. Telusuri sejak kapan dan berapa besar dana digelapkan, serta siapa saja yang terlibat. Hasil investigasi ini nantinya perlu disampaikan ke umat agar jelas duduk perkaranya.
  2. Tindakan Hukum dan Disiplin Tegas: Jika terbukti ada oknum pengurus yang mencuri atau menggelapkan, ambil tindakan tegas tanpa pandang bulu. Pertama, singkirkan ia dari jabatan apa pun yang terkait keuangan segera. Kedua, bila jumlah dana signifikan dan memenuhi unsur pidana, laporkan ke aparat penegak hukum sesuai Pasal 372 KUHP tentang penggelapan 15. Proses hukum penting bukan sekadar menghukum pelaku, tapi juga memberi efek jera dan menunjukkan bahwa vihara menjunjung prinsip kebenaran (Dhamma) di atas loyalitas pribadi. Dalam kasus melibatkan Bhikkhu, maka harus dilibatkan pula otoritas Sangha (Mahā Sangha atau organisasi monastik) – jika pelanggaran termasuk pārājika, Bhikkhu tersebut wajib dicabut status kebhikkhuannya. Sudah sepatutnya figur spiritual yang merusak sila berat demikian diturunkan jubahnya demi menjaga kemurnian Sangha.
  3. Pengembalian Dana dan Restitusi: Usahakan semaksimal mungkin menyelamatkan dana umat yang tersisa. Bekukan akses tersangka ke rekening. Aset yang dibeli dari dana gelap sebaiknya disita (melalui proses hukum) untuk dikembalikan menjadi milik vihara. Jika pelaku masih memiliki itikad baik, dorong ia untuk menyerahkan kembali uang yang diambil. Dalam beberapa kasus nyata, upaya pemulihan dana ini bisa mendapatkan simpati umat – misalnya, pelaku menjual aset pribadinya untuk mengganti kerugian. Restitusi setidaknya meringankan kerusakan finansial dan menunjukkan bahwa keadilan diupayakan.
  4. Pembenahan Sistem dan Tata Kelola: Jadikan peristiwa tersebut pelajaran berharga dengan segera mereformasi tata kelola keuangan di vihara. Tutup celah yang kemarin dimanfaatkan pelaku. Misalnya, jika dulu satu orang pegang semua, ubah menjadi sistem kolektif. Buat SOP baru seperti dijelaskan di langkah preventif. Libatkan konsultan keuangan kalau perlu. Intinya, pastikan kejadian serupa tidak terulang. Pada saat yang sama, umumkan kepada umat perubahan- perubahan kebijakan ini – agar mereka tahu bahwa manajemen baru lebih akuntabel.
  5. Pemulihan Spiritual & Reputasi: Setelah badai berlalu, perlu ada upaya memulihkan spirit komunitas. Adakan puja bakti atau ritual permohonan maaf dan pembersihan (misal upacara Atthasila atau pembacaan paritta) untuk membersihkan aura negatif yang mungkin menyelimuti vihara akibat kejadian tersebut. Undang para Bhikkhu senior atau tokoh Buddhis untuk memberikan ceramah penguatan moral, baik kepada pengurus yang masih bertahan maupun umat umum. Tekankan bahwa kejadian ini adalah akibat ulah oknum, bukan kesalahan ajaran Buddha. Secara bertahap, bangun kembali reputasi dengan menunjukkan kinerja positif – misal, setelah tata kelola dibenahi, tunjukkan kegiatan vihara berjalan lancar, bantuan sosial tetap jalan, dsb., sehingga umat mulai percaya lagi.
  6. Pendekatan pada Umat dan Rekonsiliasi: Komunikasi adalah kunci. Pengurus baru perlu rendah hati menjumpai para donatur besar dan umat satu per satu, mengakui kekhilafan institusi dan meminta kesempatan untuk memperbaiki. Buka saluran aspirasi bagi umat, tampung kritik dan saran mereka. Jika ada kelompok umat yang merasa tersakiti, ajak dialog dan rekonsiliasi, mungkin difasilitasi tokoh dihormati. Persatuan umat harus dijahit kembali dengan benang kejujuran dan komitmen baru. Ingatkan bahwa vihara milik bersama; mari bersama pula memperbaiki.

Sebagai contoh nyata, di beberapa negara kasus korupsi dana vihara telah mendorong reformasi menyeluruh. Di Thailand, misalnya, terkuak skandal besar pemalsuan dana perawatan vihara tahun 2014– 2018 yang melibatkan pejabat kantor agama, menyelewengkan lebih dari 270 juta baht melalui praktik suap terhadap alokasi anggaran 18. Ada pula kasus seorang oknum bhikkhu (Phra Nen Kham) yang menggalang sumbangan untuk proyek patung Buddha giok dan rumah sakit, namun seluruh dana itu dipakai membiayai gaya hidup pribadinya yang penuh kemewahan; juga kasus mantan kepala vihara Wat Rai Khing yang diduga menggelapkan 300 juta baht dari rekening vihara demi berjudi online 19. Rentetan skandal ini membuat pemerintah dan Dewan Sangha Thailand membentuk aturan lebih ketat, termasuk rancangan Undang-Undang Monastik baru dan penunjukan auditor eksternal, guna memulihkan kepercayaan publik terhadap institusi keagamaan 20 21. Inti pelajaran dari mana pun: langkah korektif harus nyata dan tegas, sehingga umat melihat bahwa kebenaran ditegakkan.

 

Pada akhirnya, keterpurukan akibat ulah segelintir orang bisa dilewati dengan upaya tulus dari seluruh komunitas. Seperti halnya luka, skandal perlu dibersihkan dulu meski perih, lalu dirawat hingga sembuh. Vihara yang berhasil melalui krisis biasanya justru keluar dengan sistem yang lebih kuat dan komunitas yang lebih dewasa.

Karma Baik Umat Tetap Berbuah Walau Dana Disalahgunakan

Satu hal yang patut digarisbawahi untuk menenangkan hati para umat donor adalah: karma baik dari berdana dengan niat tulus tetap akan berbuah, meskipun dana tersebut diselewengkan oleh oknum tak bertanggung jawab. Dalam hukum karma, yang terpenting adalah niat batin (cetanā) dan kemurnian hati saat memberi. Buddha menegaskan, “segala niat baik akan membuahkan kebahagiaan sesuai hukum sebab- akibat”. Kebaikan sekecil apa pun, bila dilakukan dengan tulus, tidak akan sia-sia – “sekecil apapun pemberian itu, berdana akan selalu membuahkan hasil” 22. Ibarat menanam benih, pahala berdana itu tertanam di alaya karma si pendana; meskipun ada orang jahat yang mencoba “mencuri buahnya”, yang bisa dicuri hanyalah uang fisik, bukan pahala spiritualnya.

 

Buddha juga mengajarkan prinsip bahwa karma masing-masing makhluk itu terpisah. Yang melakukan kejahatan akan menuai akibat buruknya sendiri, sedangkan yang berbuat baik akan menuai kebaikannya sendiri 23. Jika ada oknum mencuri dana sumbangan, ia lah yang menanggung dosa dan karma buruk. Sementara umat yang berdana tetap mendapatkan pahala sesuai ketulusan dan kebajikannya. Kemurnian “ladang pahala” memang dapat memengaruhi besarnya hasil (memberi kepada obyek suci seperti Sangha berbuah lebih besar), namun ketika umat berdana dengan keyakinan bahwa ia memberi untuk Buddha/ Dhamma/Sangha, niat mulia itu sudah tercatat sebagai karma baik, walau kemudian ada tangan kotor yang menyalahgunakannya. Dalam khazanah Theravāda, terdapat Cūḷakammavibhaṅga Sutta yang menjelaskan bahwa kemurahan hati (dāna) berbuah kelahiran di keluarga kaya di masa depan, sedangkan kikir atau mengambil milik orang lain berbuah kemiskinan 24. Jadi, umat yang berdana – apalagi kepada Sangha – akan menikmati kekayaan atau kemakmuran di masa mendatang sebagai buah kebaikannya, terlepas dari ulah si pencuri. Sebuah sumber menjelaskan, akibat minimal dari “memberi untuk keperluan bhikkhu” adalah bahwa si pemberi kelak memiliki rumah yang mewah dan kehidupan berkecukupan 25. Hal ini selaras dengan logika karma: memberi menghasilkan kelimpahan, mencuri menghasilkan kekurangan.

 

Bahkan pada Kūtadanta Sutta (salah satu khotbah dalam Dīgha Nikāya), Buddha menyebutkan bahwa memberikan vihara atau tempat tinggal bagi para bhikkhu (termasuk yang datang dari berbagai penjuru) merupakan bentuk yadnya (pengorbanan) yang amat besar manfaatnya 26. Pemberian seperti itu disebut menimbun harta sejati yang tak akan hilang dimakan zaman 27. Dalam Nidhikaṇḍa Sutta di Kitab Khuddakapāṭha juga tertulis bahwa berdana kepada Sangha dan pembangunan cetiya/vihara adalah cara mengubur harta yang tidak bisa dicuri – ia tersimpan aman sebagai deposito karma baik. Jadi walaupun secara duniawi dana “hilang” karena dicuri, pahala si pemberi tidaklah hilang; pahala itu tersimpan laksana permata di brankas karma yang kelak akan kembali ke pemiliknya dalam bentuk rezeki, kesehatan, kebahagiaan, atau kemajuan spiritual.

 

Sebaliknya, oknum yang menikmati hasil curian dana suci itu justru sedang menggali lubang bagi dirinya sendiri. Uang hasil mencuri dana umat mungkin bisa membelikan kenikmatan sesaat, namun ia sejatinya “memakan” racun karma buruk. Setiap suap makanan atau fasilitas mewah yang dinikmati dari uang tersebut mengandung konsekuensi penderitaan di kemudian hari. Ada pepatah: “uang haram akan keluar dengan cara yang tidak bermartabat”. Sering terdengar, hasil korupsi habis untuk biaya berobat penyakit berat, terlibat kecelakaan, anak keturunannya mengalami kesusahan, dan sebagainya – ini diyakini sebagai manifestasi hukum karma bekerja di kehidupan sekarang. Jadi umat tidak perlu khawatir mengenai pahala mereka; lebih baik terus mantapkan niat dan kebajikan. Seperti bunga teratai yang tumbuh menjulang di atas lumpur, karma baik akan tetap mekar meski dilakukan di lingkungan yang kotor.

 

Yang terpenting, umat hendaknya tetap meluruskan niat berdana “untuk mendukung Dhamma dan Sangha”. Bhante Sri Paññavaro Mahathera pernah mengingatkan bahwa tujuan berdana bukanlah untuk mendapat pujian atau imbalan instan, melainkan untuk melatih melepas kekikiran dan menanam benih kebaikan dalam batin . Selagi niat itu murni, jangan ragu berbuat baik. Kalaupun pernah mengalami kekecewaan (dana disalahgunakan), anggaplah itu akibat oknum. Ibarat menanam pohon, jika ada pencuri yang mengambil buahnya, sang penanam masih akan mendapatkan kemuliaan dari pohon rindang yang ia tanam – yaitu kebajikan batin berupa kemurahan hati. Sang Buddha bahkan berkata: “kalau saja semua makhluk tahu manfaat berdana sebesar yang Beliau ketahui, mereka tidak akan makan sebelum berbagi” 22. Pesan ini meneguhkan kita bahwa berdana pasti membawa kebaikan bagi yang memberi.

 

Sebagai catatan, para donatur disarankan tetap bijaksana dalam berdana: lakukan dengan paññā (kebijaksanaan). Artinya, pilihlah lembaga atau pihak yang terpercaya; tidak ada salahnya melakukan sedikit riset atau meminta penjelasan penggunaan dana sebelum memberi. Ini bukan curiga, melainkan kehati- hatian agar dana tepat sasaran. Namun setelah memberi dengan ikhlas, lepaslah keterikatan terhadap dana itu. Tugas umat adalah memberi dengan niat baik; soal digunakan tepat atau tidak, itu menjadi ranah karma penerima/pengelola. “Yang memberikan dengan baik, berbuat baik untuk dirinya; yang menyalahgunakan pemberian, berbuat buruk untuk dirinya.” Prinsip ini dapat menentramkan hati kita semua.

Penutup: Menjaga Keberkahan Dana Umat

Penyalahgunaan dana “uang sepuluh penjuru” jelas membawa dampak buruk luar biasa, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang, dari aspek spiritual, sosial hingga karmis. Kasus-kasus nyata di berbagai tempat menunjukkan betapa merusaknya efek korupsi di lingkungan vihara, mulai dari hilangnya kepercayaan umat, terhambatnya penyebaran Dhamma, hingga turunnya martabat institusi agama. Maka, tanggung jawab untuk mencegah hal ini sesungguhnya ada di pundak kita bersama – para pengurus vihara, para Bhikkhu, maupun umat awam sebagai penyokong.

Sebagai umat beragama, kita memiliki tanggung jawab kolektif untuk menjaga kesucian tempat ibadah dan memastikan dana umat digunakan sesuai peruntukannya 17. Upaya preventif harus terus diperkuat dengan transparansi dan akuntabilitas. Apabila terjadi pelanggaran, jangan ragu mengambil langkah korektif tegas demi kebaikan bersama. Laporkan setiap indikasi penyimpangan kepada pihak berwajib atau otoritas terkait 17 – ini bukan berarti cari-cari kesalahan, melainkan demi menyelamatkan vihara dari kerusakan lebih jauh.

 

Terakhir, mari kita ingat bahwa meski segelintir oknum bisa berbuat culas, kebenaran dan kebajikan pada akhirnya akan berjaya. Karma buruk akan menghukum pelaku pada waktunya, sedangkan karma baik akan tetap melindungi orang-orang bajik. Umat yang berdana dengan tulus tak perlu surut semangat: pahala Anda tetap milik Anda. Tetaplah berbuat baik, sambil mendorong perbaikan sistem agar dana kebajikan benar-benar menjadi berkah bagi banyak makhluk.

 

Semoga dengan memahami dampak buruk penyalahgunaan dana vihara ini, semua pihak semakin waspada dan berintrospeksi. Mari kita jaga agar dana dari sepuluh penjuru senantiasa digunakan bagi kemajuan Buddha Dhamma dan kemaslahatan semua makhluk. Jangan biarkan praktik culas merusak tatanan kehidupan beragama kita 17. Dengan kerjasama, kejujuran, dan tekad yang baik, vihara dapat kembali menjadi pusat kebajikan yang murni – bagaikan pelita yang bercahaya terang, ditopang oleh sumbangsih tulus dari para umat di sepuluh penjuru.

 

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā – Semoga semua makhluk berbahagia.

Sumber Referensi :

1 2 22 26 27 Berdana untuk pembangunan vihara – Samanaputta.

 

3 24 25 Kitab Hukum Karma – Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

 

4 Mencuri Barang Milik Orang Lain, Merusak Berkah Keberuntungan Diri Sendiri – Majalah Harmoni

 

5 6 7  8 Stealing from Sangha – General Buddhism – dorjeshugden.com

 

9 10 11 12 13 14 15 16 17 Bongkar Praktik Licik Pengelolaan Dana Vihara yang Merugikan Umat – Louis Adi Putra

 

18 19 20 21 Temple donation loopholes spark concern over corruption and money laundering risks

 

23 “ HASIL JUDI/ MENIPU KORUPSI LALU BERDANA APA DITERIMA DAN APA YANG MENERIMA DAPAT KARMA BURUK? “

 

28 Berdana dalam ajaran Buddha Dhamma memiliki … – Facebook

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE