Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Refleksi Buddha Dharma bagi Gen Z dari Kasus Kerusuhan Nepal

Refleksi Buddha Dharma bagi Gen Z dari Kasus Kerusuhan Nepal

September 12, 2025
Pendahuluan : Belajar dari Kerusuhan di Nepal

Kerusuhan hebat mengguncang Nepal pada awal September 2025, dipicu oleh aksi protes besar yang didominasi generasi muda Gen Z. Unjuk rasa ini bermula dari kemarahan terhadap korupsi pemerintah serta keputusan mendadak pemerintah Nepal memblokir media sosial, yang dianggap membungkam kebebasan berekspresi. Demonstrasi yang awalnya damai seketika berubah menjadi kerusuhan terburuk dalam beberapa dekade terakhir di negara Himalaya tersebut. Para pemuda yang marah menerobos gedung parlemen di Kathmandu, bahkan membakar fasilitas publik dan rumah pejabat tinggi. Aparat keamanan merespons dengan gas air mata dan peluru karet, hingga terjadi bentrokan berdarah. Sedikitnya 19 orang tewas pada hari pertama kerusuhan, termasuk anak muda, dan jumlah korban meningkat menjadi 34 orang tewas dengan lebih dari 1.300 orang luka-luka dalam dua hari kerusuhan. Gejolak ini memaksa Perdana Menteri KP Sharma Oli mengundurkan diri demi meredakan situasi.

 

Tragedi di Nepal tersebut menggambarkan betapa mudahnya konflik sosial meluas ketika kemarahan generasi muda memuncak tanpa kendali. Bagi generasi muda di manapun, termasuk Indonesia, peristiwa ini menjadi pelajaran berharga. Bagaimana seharusnya kaum muda menyuarakan aspirasi dan menghadapi ketidakadilan tanpa terjerumus ke dalam kekerasan? Di sinilah ajaran Buddha Dharma memberikan panduan penting. Nilai-nilai seperti welas asih (compassion), pengendalian diri, ketenangan batin, dan kesadaran sosial dalam ajaran Buddha sangat relevan untuk dihayati generasi Gen Z guna menghadapi konflik sosial. Berikut ini refleksi nilai-nilai tersebut dalam konteks kerusuhan Nepal, yang diharapkan dapat menjadi pedoman dan inspirasi bagi generasi muda agar mampu membawa perubahan secara damai dan bijaksana.

Welas Asih: Meredam Kebencian dengan Cinta Kasih

Sang Buddha menekankan pentingnya welas asih atau karuṇā terhadap semua makhluk. Dalam Dhammapada, Buddha Gotama bersabda: “Kebencian tidak akan berakhir dengan kebencian, tetapi hanya dengan cinta kasih. Inilah hukum yang abadi.”. Pesan ini mengingatkan bahwa siklus kebencian dan kekerasan hanya dapat diputus dengan cinta kasih dan kemurahan hati, bukan dengan membalas dendam. Di tengah konflik dan provokasi, generasi muda perlu mengedepankan welas asih – mencoba memahami penderitaan semua pihak, termasuk mereka yang berseberangan.

 

Pada kasus Nepal, kemarahan para pemuda terhadap korupsi memang beralasan, namun ketika kemarahan itu berubah menjadi kebencian yang membabi-buta, akibatnya sungguh tragis. Welas asih dapat menjadi rem bagi amarah kolektif. Dengan belas kasih, para demonstran dapat melihat aparat keamanan dan pihak lain juga sebagai sesama manusia yang memiliki keluarga dan harapan. Sikap ini bukan berarti pasif terhadap ketidakadilan, melainkan mencegah munculnya dehumanisasi (menihilkan kemanusiaan pihak lain) yang kerap menjadi pemicu kekejaman. Buddha mengajarkan praktik mettā (cinta kasih universal) – mendoakan semua makhluk berbahagia – bahkan terhadap mereka yang dianggap lawan. Jika nilai welas asih ini dibawa oleh Gen Z Nepal, mungkin mereka akan lebih menahan diri untuk tidak melukai atau merusak, dan memilih cara-cara damai untuk menyampaikan tuntutan.

 

Welas asih juga berarti peduli pada penderitaan korban dan sesama. Di tengah kerusuhan Nepal, misalnya, banyak korban berjatuhan. Nilai kasih mendorong generasi muda untuk segera menolong yang terluka alih-alih terus terlibat dalam kekerasan. Benar saja, sejumlah demonstran Nepal tetap menunjukkan nurani dengan membantu membawa rekan-rekannya yang terluka ke rumah sakit menggunakan sepeda motor di tengah kekacauan. Tindakan spontan itu mencerminkan welas asih yang masih hidup di hati kaum muda. Sang Buddha bahkan menyebut belas kasih sebagai kekuatan tertinggi dalam hidup. Dengan berlandaskan welas asih, generasi muda dapat menjadi agen perubahan yang tidak hanya berjuang untuk keadilan, tapi juga menyebarkan semangat cinta kasih di tengah dunia yang penuh kemarahan.

Pengendalian Diri dan Ketenangan Batin di Tengah Kekacauan

Selain cinta kasih, pengendalian diri (self-control) adalah ajaran kunci Buddha Dharma yang relevan dalam situasi konflik. Buddha pernah berpesan bahwa “Lebih baik menaklukkan diri sendiri daripada menang dalam seribu pertempuran.”. Kemenangan sejati bukanlah mengalahkan orang lain dengan kekuatan, melainkan mampu menaklukkan ego, amarah, dan nafsu negatif dalam diri kita sendiri. Bagi generasi muda yang penuh energi, nasihat ini sangat penting: kemarahan harus dikendalikan, jangan sampai kemarahan yang “menaklukkan” diri kita.

 

Ketika demonstrasi di Nepal berubah rusuh, banyak pemuda mungkin terbawa luapan emosi hingga hilang kendali. Padahal, dalam perspektif Buddha Dharma, kemarahan bukanlah jalan keluar. Sang Buddha mengingatkan bahwa “Kemarahan tidak akan pernah menghilangkan kemarahan; hanya cinta yang bisa melakukannya.”. Artinya, melampiaskan amarah dengan tindakan anarkis justru memperpanjang lingkaran kekerasan. Pengendalian diri membantu kita meredam reaksi destruktif dan menggantinya dengan respons yang lebih bijak.

 

Latihan meditasi dalam Buddhisme bertujuan mencapai ketenangan batin (samatha) dan kejernihan pikiran (vipassana). Ketenangan batin inilah landasan untuk tetap waras di tengah situasi chaos. Buddha menyebut “Damai datang dari dalam. Jangan mencarinya di luar.” – kedamaian sejati hanya dapat dicapai dengan menenangkan batin sendiri, bukan dengan mengubah keadaan eksternal secara paksa. Bila para pemuda Nepal dapat menjaga mindfulness (kesadaran penuh) saat berdemo, tentu mereka lebih mampu menghindari tindakan merusak yang impulsif. Orang yang mampu menjaga ketenangan batinnya di tengah provokasi ibarat danau tenang yang tak terusik riak – ia dapat melihat segala persoalan dengan jernih.

 

Contoh nyata, beberapa pengunjuk rasa Nepal dilaporkan tetap tenang dan duduk damai meski situasi mencekam, berusaha mencegah kawan-kawan mereka bertindak di luar batas. Sikap seperti ini menunjukkan penguasaan diri. Sang Buddha mengajarkan, “Jika kamu mencari kedamaian, mulailah dengan mengendalikan pikiranmu.”. Bagi Gen Z, pesan ini relevan: perubahan sosial yang positif tidak bisa dicapai jika pikiran dikuasai kebencian dan amarah. Dengan melatih diri untuk tetap tenang, fokus, dan tidak reaktif, generasi muda justru dapat berjuang lebih efektif. Ketenangan batin adalah kekuatan – seperti dikatakan dalam kutipan, “Ketenangan batin lebih berharga daripada seribu harta dunia.”. Dalam konteks konflik, harta duniawi seperti gedung parlemen atau aset material bukanlah yang utama; yang jauh lebih berharga adalah kedamaian hati setiap warga. Maka, menjaga ketenangan batin di tengah kerusuhan adalah upaya melindungi “harta” paling berharga bagi masyarakat.

Kesadaran Sosial dan Tindakan Bijaksana

Generasi Z dikenal memiliki kesadaran sosial yang tinggi. Mereka peka terhadap isu ketidakadilan, berani menyuarakan aspirasi, seperti yang tampak di Nepal di mana kaum muda memprotes korupsi dan privilege para “nepo kids” (anak-anak pejabat yang hidup mewah). Dalam pandangan Buddha Dharma, kepedulian terhadap penderitaan orang banyak justru sejalan dengan praktik

 

Bodhisattva – yaitu semangat membantu meringankan penderitaan semua makhluk. Buddha mengajarkan tidak bersikap acuh terhadap kemungkaran; ada nilai karuṇā (belas kasih aktif) yang mendorong kita berbuat sesuatu saat melihat ketidakadilan. Dengan demikian, semangat Gen Z Nepal menuntut tata kelola bersih sebenarnya selaras dengan nilai Dharma: peduli pada kesejahteraan rakyat banyak dan menentang keserakahan yang menyebabkan penderitaan.

 

Namun, Buddha Dharma juga menekankan kebijaksanaan (paññā) dalam bertindak. Welas asih harus berjalan beriringan dengan kebijaksanaan agar menghasilkan perubahan yang benar dan tahan lama. Generasi muda perlu menyalurkan kesadaran sosialnya lewat cara-cara bijak dan konstruktif, bukan destruktif. Ajaran Buddha menghindari dua ekstrem: tidak apatis tapi juga tidak reaksioner penuh kebencian. Jalan tengah (Majjhima Patipada) dapat diterapkan dalam aktivisme sosial: berjuang dengan tegas namun tanpa kekerasan, berani namun tetap bermartabat.

 

Salah satu kutipan inspiratif (meski sederhana) berbunyi: “Kita harus menjadi perubahan yang ingin kita lihat dalam dunia.”. Artinya, mulailah perbaikan itu dari diri sendiri – termasuk mempraktikkan integritas dan kedamaian yang kita tuntut dari para pemimpin. Generasi Z dapat mengambil pelajaran bahwa revolusi sejati dimulai dari revolusi diri. Jika menginginkan pemerintahan bebas korupsi dan adil, pastikan diri sendiri dan komunitas kita juga menjunjung kejujuran dan keadilan dalam keseharian.

 

Selain itu, Buddha juga menjunjung tinggi karma baik melalui tindakan nyata menolong sesama. Ada pepatah Buddha: “Menolong satu orang lebih baik daripada seribu doa tanpa tindakan.”. Ini mengingatkan Gen Z bahwa protes di jalan perlu diiringi dengan aksi sosial nyata di masyarakat. Misalnya, alih-alih hanya meluapkan amarah dengan merusak fasilitas, energi kaum muda bisa diarahkan membantu membersihkan puing-puing pasca kerusuhan, mendirikan pos bantuan korban, atau aktif dalam kampanye edukasi antikorupsi. Menurut laporan, usai kerusuhan Nepal mereda, sejumlah pemuda justru turun ke jalan membersihkan bangunan dan jalanan Kathmandu yang rusak akibat kerusuhan, sebagai bentuk tanggung jawab sosial mereka (aksi ini sempat terekam dan mendapat apresiasi). Tindakan positif semacam itu sangat selaras dengan ajaran Dharma – menggunakan semangat muda untuk mencipta kebaikan ketimbang kehancuran.

 

Dengan kesadaran sosial yang tercerahkan oleh welas asih dan dibimbing oleh pengendalian diri, generasi muda mampu menjadi agen perubahan yang damai. Sang Buddha menunjukkan teladan dialog dan tanpa-kekerasan: tercatat dalam teks bahwa Buddha Gotama pernah mencegah perang antar dua suku yang memperebutkan air Sungai Rohini dengan wejangan tentang nilai kehidupan di atas kemarahan sesaat. Spirit serupa bisa diterapkan Gen Z: mengedepankan dialog dengan pemimpin, mencari solusi bersama, bukannya terjebak dalam vandalisme yang hanya menyakiti rakyat sendiri. Ketika kesadaran sosial dipadukan dengan kebijaksanaan, generasi muda dapat mendorong reformasi sosial tanpa harus mengorbankan nilai kemanusiaan. Inilah esensi engaged Buddhism – terlibat dalam isu sosial dengan tetap berlandaskan cinta kasih dan tanpa kekerasan.

Kondisi Komunitas Buddhis di Nepal Pasca Kerusuhan

Pasca kerusuhan besar tersebut, kondisi Nepal perlahan kembali kondusif. Keadaan sosial dan keamanan berangsur stabil setelah campur tangan pihak militer dan diberlakukannya jam malam di berbagai kota. Dalam beberapa hari, aparat berhasil mengendalikan situasi dan kerusuhan mereda. Kurang dari seminggu setelah kerusuhan, aktivitas sehari-hari masyarakat mulai pulih: toko-toko dan sekolah kembali dibuka, layanan publik dan transportasi berjalan normal, dan jam malam dicabut. Meskipun politik Nepal masih bergejolak (dengan adanya kekosongan kepemimpinan dan negosiasi pembentukan pemerintahan interim), kehidupan di tingkat masyarakat sudah kembali tertib.

 

Bagi komunitas Buddhis Nepal sendiri – yang merupakan sekitar 9% dari populasi dan tersebar di berbagai daerah – situasi pasca kerusuhan membawa kelegaan sekaligus keprihatinan mendalam. Secara umum, kerusuhan kemarin tidak secara langsung menyasar tempat-tempat ibadah Buddhis. Aksi para demonstran terfokus pada simbol-simbol pemerintah dan kekayaan para elit (gedung parlemen, kantor pemerintah, rumah pejabat, hotel mewah), bukan situs keagamaan. Laporan wisata dan otoritas setempat menegaskan bahwa situs-situs budaya dan religius di Nepal – termasuk candi, vihara, stupa, dan area ziarah – tetap aman dan tidak tersentuh kerusakan akibat kerusuhan. Hal ini tentu disyukuri oleh komunitas Buddhis, mengingat Nepal memiliki banyak tempat suci Buddhisme seperti Lumbini (tempat kelahiran Siddhartha Gautama Buddha), Stupa Swayambhunath dan Boudhanath di Kathmandu, serta biara-biara tua komunitas Newar dan Tibet. Keamanan fisik komunitas Buddhis terjaga, meski secara emosional mereka turut merasakan ketegangan yang melanda negeri.

 

Dari segi aktivitas spiritual dan keagamaan, komunitas Buddhis di Nepal terus menjalankan praktik keagamaannya, bahkan makin khusyuk mendoakan perdamaian bagi bangsa. Begitu situasi mereda, vihara-vihara dan stupa di Kathmandu kembali dipenuhi umat yang berdoa dan bermeditasi. Terdengar lantunan doa dan chanting paritta untuk para korban yang meninggal dunia. Biksu-biksu senior memimpin puja bakti khusus untuk mendinginkan amarah kolektif dan memulihkan harmoni. Laporan setempat menggambarkan bahwa kuil dan tempat ibadah di Nepal kembali “bergema dengan doa-doa” pasca kerusuhan, menandakan kehidupan spiritual bangkit lagi setelah sempat terhenti karena jam malam. Umat Buddha Nepal memanjatkan metta bhavana (doa cinta kasih) bagi semua makhluk, terutama para korban dan generasi muda yang terlibat kerusuhan, agar diberkahi hati yang sejuk dan bening. Di Lumbini, tempat lahir Sang Buddha yang dihormati sebagai simbol perdamaian dunia, diyakini juga dilangsungkan doa bersama lintas aliran memohon kedamaian bagi Nepal. Masyarakat Buddha memahami bahwa inilah saatnya menyalurkan energi spiritual untuk kesembuhan bangsa. Nilai kesadaran sosial mereka terlihat dalam aksi-aksi solidaritas: umat lintas agama bergotong royong mendistribusikan bantuan kemanusiaan kepada keluarga korban kerusuhan, menunjukkan wajah kasih antarsesama di tengah masa sulit.

 

Tokoh-tokoh dan organisasi Buddhis lokal turut menyuarakan tanggapan atas peristiwa ini. Para pemuka agama Buddha di Nepal menyampaikan keprihatinan mendalam terhadap kekerasan yang terjadi dan menyerukan semua pihak untuk menahan diri serta menempuh jalan dialog. Mereka mengingatkan bahwa ajaran Ahimsa (tanpa kekerasan) hendaknya dijunjung tinggi oleh umat Buddha maupun seluruh rakyat Nepal dalam menyelesaikan konflik. Misalnya, Bhikkhu Khemacharya, seorang tokoh agama di Kathmandu, dalam khotbahnya pasca kerusuhan menekankan bahwa “kemarahan kolektif hanya bisa diredam dengan pikiran jernih dan hati penuh cinta kasih, bukan dengan peluru atau batu” (pesan ini disampaikan dalam upacara doa di Vihara Thamel). Organisasi seperti Nepal Buddhist Federation dan All Nepal Bhikkhu Association juga dikabarkan mengajak umat menggelar doa bersama nasional dan mendesak pemerintah menghormati hak-hak anak muda secara damai. Seruan serupa datang dari tokoh internasional; Ketua Mahkamah Agung India, Justice B.R. Gavai, yang kebetulan baru berziarah ke Lumbini tepat sebelum kerusuhan, mengaku sedih melihat Nepal dilanda kekerasan dan menyatakan “saya berdoa dan berharap segalanya akan segera membaik di tanah Buddha”. Ucapan tokoh tersebut menegaskan harapan regional agar Nepal, negeri kelahiran Buddha, dapat segera pulih sebagai tanah damai sesuai warisan ajaran beliau.

 

Dari sisi keamanan, pasca kerusuhan pemerintah dan militer Nepal turut memperhatikan perlindungan komunitas dan situs-situs keagamaan. Patroli keamanan masih berlangsung di sekitar kota Kathmandu hingga situasi benar-benar normal. Umat Buddha dapat kembali melaksanakan ibadah tanpa rasa takut. Bahkan para wisatawan mancanegara yang hendak berziarah ke tempat-tempat suci Buddha di Nepal telah diberi kepastian bahwa kondisi negara aman untuk dikunjungi. Nepal dinyatakan tetap aman dan menyambut pengunjung, karena kerusuhan kemarin hanyalah episode politik sesaat yang terbatas di area perkotaan. Jalur-jalur ziarah dan trekking spiritual seperti ke Namobuddha, Lumbini, atau Kapilavastu sama sekali tidak terdampak. Kenyataan ini memberikan rasa tenang bagi komunitas Buddhis lokal dan global; mereka dapat melanjutkan kegiatan keagamaan dan ziarah dengan leluasa.

 

Secara keseluruhan, komunitas Buddhis di Nepal pasca kerusuhan berada dalam kondisi siaga namun tetap tenang. Secara sosial, mereka kembali berbaur dalam upaya rekonsiliasi nasional, mengobati luka batin masyarakat bersama kelompok agama lain. Secara spiritual, mereka memegang teguh ajaran Buddha untuk memaafkan dan tidak menyimpan dendam. Nilai-nilai Dharma menjadi sumber kekuatan moral untuk bangkit dari trauma konflik. Dengan berpegang pada prinsip welas asih, pengendalian diri, ketenangan batin, dan kesadaran sosial, komunitas Buddhis turut memandu proses pemulihan bangsa. Doa dan meditasi mereka turut mendinginkan suasana, sementara teladan hidup mereka – tidak membalas kekerasan dengan kekerasan – menjadi inspirasi bagi banyak pihak. Semangat inilah yang diharapkan menular pada generasi muda (Gen Z) Nepal: bahwa perubahan sejati ke arah kebaikan harus dilandasi ketulusan hati dan kepala dingin.

Penutup

Kasus kerusuhan Nepal memberikan kita cermin tentang dahsyatnya dampak ketika idealisme generasi muda bertemu dengan kegelisahan sosial. Buddha Dharma menawarkan solusi abadi: welas asih untuk meredam kebencian, pengendalian diri untuk mencegah kehancuran, ketenangan batin untuk memperoleh kejernihan, dan kesadaran sosial untuk bertindak benar. Generasi Z, sebagai agen perubahan, dapat memanfaatkan nilai-nilai ini sebagai pedoman dalam berjuang. Dengan cinta kasih, mereka tidak akan menghancurkan apa yang ingin mereka selamatkan. Dengan disiplin diri, mereka tidak akan menjadi musuh bagi diri sendiri. Dengan batin yang tenang, mereka mampu melihat solusi di tengah kekacauan. Dan dengan kesadaran sosial yang bijaksana, mereka bisa mengubah dunia tanpa harus mengorbankan kemanusiaan.

 

Harapan ke depan, tragedi di Nepal bisa menjadi pembelajaran berharga. Nilai-nilai Buddha Dharma relevan sepanjang masa – terlebih di era modern yang penuh gejolak. Bagi generasi muda Indonesia dan dunia, semoga refleksi ini menginspirasi untuk selalu memilih jalan damai dan berwelas asih dalam menyikapi ketidakadilan. Seperti doa umat Buddha di Nepal: Sabbe sattā bhavantu sukhitattā, semoga semua makhluk hidup berbahagia. Dengan menapaki jalan Dharma, Gen Z dapat menjadi generasi yang tak hanya tangguh memperjuangkan kebenaran, tetapi juga arif menjaga perdamaian.

 

Sumber Referensi :

1 Reuters. “Nepal’s young protesters back former chief justice as interim head.” Reuters, 11 September 2025.

 

2 INDOnews. “Demo Rusuh Guncang Nepal: Gen Z Ngamuk karena Korupsi Merajalela, 19 Orang Tewas.” SINDOnews, 09 September 2025.

 

3 Tirto.id. “Kondisi Pemerintahan Nepal Usai Presiden, PM, & Menteri Mundur.” Tirto.id, 11 September 2025.

 

4 Accessible Adventure (Travel Advisory Blog). “Nepal Travel Safety Advisory in the Aftermath of Curfew Incidents on September 8-9.” AccessibleAdventure.com, 12 September 2025.

 

5 Kumparan. “Ketika Buddha Bicara tentang Cinta, Al-Qur’an pun Mengiyakan.” Kumparan, 12 Mei 2025.

 

6 detikJatim. “50 Quotes dari Buddha untuk Merayakan Hari Waisak.” detik.com, 10 Mei 2025.

 

7 Lawbeat. “CJI Gavai… Calls for Peace at Buddha’s Birthplace.” Lawbeat.in, 11 September 2025.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE