Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Refleksi Buddhis di Hari Sumpah Pemuda: Persatuan, Cinta Kasih, dan Kebijaksanaan untuk Bangsa

Refleksi Buddhis di Hari Sumpah Pemuda: Persatuan, Cinta Kasih, dan Kebijaksanaan untuk Bangsa

October 28, 2025

Sejumlah pemuda-pemudi Buddhis memperingati Hari Sumpah Pemuda dengan semangat kebersamaan. Momen seperti ini menjadi kesempatan untuk merenungkan nilai-nilai luhur kebangsaan dalam cahaya ajaran Buddha Dhamma.

 

Setiap tanggal 28 Oktober, bangsa Indonesia merayakan Hari Sumpah Pemuda – sebuah peringatan akan ikrar bersejarah tahun 1928 yang menjadi salah satu tonggak penting perjuangan kemerdekaan 1. Dalam momen ini, pemuda-pemudi Indonesia dari berbagai suku, agama, dan daerah bersatu mengucapkan janji suci bertanah air satu, berbangsa satu, dan berbahasa satu. Bagi generasi muda Buddhis, Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar acara seremonial atau pelajaran sejarah, melainkan ajakan hangat untuk merenungi maknanya secara mendalam dan menghidupkan kembali semangat persatuan dalam keseharian, selaras dengan nilai-nilai Buddha Dhamma. Dengan gaya reflektif dan membumi, mari kita telaah bersama sejarah singkat Sumpah Pemuda, nilai-nilai universal yang dikandungnya, relevansinya dengan ajaran Buddha, hingga perenungan bagi pemuda Buddhis masa kini dalam menghadapi tantangan zaman.

Kilas Sejarah Sumpah Pemuda 1928

Sumpah Pemuda 1928 lahir dari tekad para pemuda memperjuangkan kesatuan Indonesia di tengah penjajahan. Ikrar ini dicetuskan dalam Kongres Pemuda II yang berlangsung di Batavia (Jakarta) pada 27 28 Oktober 1928 2. Menariknya, kongres tersebut diadakan melalui tiga rapat di lokasi berbeda demi merangkul lebih banyak golongan:

  • Rapat pertama pada 27 Oktober 1928 di gedung Katholieke Jongenlingen Bond (Lapangan Banteng) membahas pentingnya persatuan bangsa 3.
  • Rapat kedua pada 28 Oktober 1928 di gedung Oost-Java Bioscoop mengupas peran pendidikan dan pemuda untuk kemajuan Indonesia 4.
  • Rapat ketiga (puncak kongres) digelar di Indonesische Clubhuis Kramat 106 (sekarang Museum Sumpah Pemuda) – di sinilah teks Sumpah Pemuda dibacakan pertama kali 5.

Menarik pula bahwa pembacaan ikrar berlangsung di rumah seorang keturunan Tionghoa bernama Sie Kok Liang. Hal ini menunjukkan sejak awal semangat nasionalisme Indonesia bersifat terbuka, inklusif, dan melampaui batas etnis 6. Pemuda dari berbagai latar belakang – termasuk peranakan Tionghoa seperti John Lauw Tjoan Hok, Oey Kay Siang, dan lainnya – turut hadir dan bersama-sama mengikrarkan janji persatuan Indonesia 7. Bahkan, kongres ini juga menjadi saksi pertama kalinya lagu kebangsaan “Indonesia Raya” ciptaan W.R. Supratman diperdengarkan di muka umum (dengan iringan biola) 8. Walau sempat dilarang kolonial, lantunan lagu tersebut justru membakar semangat pemuda dengan kebanggaan dan cinta Tanah Air 9.

 

Isi Sumpah Pemuda sendiri sangat sederhana namun sarat makna. Rumusan ikrar ditulis oleh Mohammad Yamin dan disepakati oleh para peserta kongres. Berikut tiga butir Sumpah Pemuda dalam ejaan Bahasa Indonesia modern 10:

  1. Pertama: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku bertumpah darah yang satu, Tanah Indonesia 10.
  2. Kedua: Kami putra dan putri Indonesia, mengaku berbangsa yang satu, Bangsa Indonesia 10.
  3. Ketiga: Kami putra dan putri Indonesia, menjunjung bahasa persatuan, Bahasa Indonesia 10.

Tiga janji di atas menegaskan identitas dan tekad pemuda Indonesia: satu tanah air, satu bangsa, dan satu bahasa sebagai landasan persatuan. Ikrar inilah yang kelak dikenal dengan sebutan “Sumpah Pemuda”. Sejak tahun 1959, 28 Oktober ditetapkan secara resmi sebagai Hari Sumpah Pemuda – hari nasional (namun bukan libur) untuk memperingati peristiwa bersejarah ini 11.

Nilai-Nilai Universal dalam Sumpah Pemuda

Sumpah Pemuda bukan hanya rangkaian kalimat, tetapi mengandung nilai-nilai universal yang relevan sepanjang zaman. Beberapa nilai utama yang dapat dipetik dari ikrar 1928 tersebut antara lain:

  • Persatuan dalam Kebhinnekaan: Sumpah Pemuda menunjukkan semangat persatuan yang melampaui perbedaan suku, agama, dan daerah 12. Para pemuda 1928 menyadari bahwa persaudaraan kebangsaan harus mengatasi sekat-sekat identitas sempit. Nilai persatuan ini bersifat universal – mengajarkan kita untuk melihat kesamaan nasib dan tujuan mulia di tengah keragaman latar belakang. Semangat “Bhinneka Tunggal Ika” (berbeda-beda tetapi tetap satu) tercermin kuat di sini, selaras dengan motto bangsa Indonesia dan menjadi kunci harmoni masyarakat.
  • Cinta Tanah Air dan Bangsa: Ikrar Sumpah Pemuda lahir dari cinta mendalam terhadap Tanah Air Indonesia. Para pemuda berjanji setia pada tanah Indonesia dan bangsa Indonesia, menunjukkan sikap patriotisme yang tulus. Cinta tanah air adalah nilai universal yang melintasi agama apapun berupa rasa syukur, hormat, dan tanggung jawab kepada negeri tempat kita lahir dan dibesarkan. Nilai ini mengajak kita menghargai jasa pahlawan, menjaga lingkungan dan budaya lokal, serta berkontribusi positif bagi kemajuan bangsa sebagai wujud bakti kepada Ibu Pertiwi.
  • Kesatuan Bahasa dan Tekad Bersama: Pilihan Bahasa Indonesia sebagai bahasa persatuan mencerminkan kebijaksanaan para pemuda untuk memiliki alat komunikasi bersama yang mempersatukan berbagai suku. Ini mengajarkan nilai toleransi dan saling pengertian – bahwa komunikasi yang baik dapat menjembatani perbedaan. Menjunjung bahasa persatuan juga berarti menghargai identitas nasional di atas identitas kedaerahan. Nilai ini relevan secara universal: ketika kelompok manusia mau mencari kesamaan (entah bahasa, visi, maupun tujuan), maka gotong royong dan tekad bersama akan tumbuh. Dengan bahasa persatuan, pemuda 1928 menunjukkan kesediaan berkorban ego kelompok demi persaudaraan yang lebih luas.

Nilai-nilai di atas – persatuan, cinta tanah air, dan kesatuan tekad – bersifat universal dan dapat diapresiasi oleh siapa saja. Sumpah Pemuda menginspirasi kita bahwa dengan persatuan dan cinta, perbedaan apapun bisa dijembatani 13. Selanjutnya, bagaimana nilai tersebut selaras dengan ajaran Buddha Dhamma?

Sumpah Pemuda dalam Perspektif Buddha Dhamma

Menariknya, nilai-nilai luhur Sumpah Pemuda di atas sejalan dengan banyak ajaran inti dalam Buddha Dhamma. Buddha mengajarkan nilai universal yang tidak terbatas sekat suku atau negara, dan prinsip prinsip ini dapat memperkuat semangat Sumpah Pemuda. Berikut beberapa padanan nilai Sumpah Pemuda dalam perspektif Dhamma:

  • Kesatuan & Keharmonisan: Dalam Dhamma, persatuan dan kerukunan sangat dijunjung tinggi. Sang Buddha berulang kali menasihati para siswanya untuk hidup rukun, tidak bertengkar, dan menjaga keharmonisan komunitas. Ajaran Saraniya Dhamma Sutta misalnya, memuat enam prinsip untuk mempererat hubungan harmonis, dimulai dari cinta kasih dalam tindakan 14. Umat Buddha diajarkan melihat semua makhluk sebagai bagian dari keluarga besar kehidupan. Persatuan dalam keberagaman selaras dengan pandangan welas asih Buddha yang melampaui batas suku atau agama. Ketika pemuda Indonesia bersumpah bersatu sebagai satu bangsa, hal itu sejalan dengan semangat sangha (perkumpulan) yang kompak. Kebersamaan yang rukun membawa kebahagiaan dan kekuatan, sebagaimana dikatakan Buddha, “Hidup berkelompok dengan rukun membawa kedamaian.” Dengan saling menghormati dan menolong, persatuan nasional maupun persaudaraan umat manusia dapat terwujud kokoh.
  • Cinta Kasih (Metta): Nilai cinta kasih adalah inti ajaran Buddha yang relevan dengan semangat Sumpah Pemuda. Persatuan bangsa mustahil tercapai tanpa cinta kasih atau metta antarwarga. Buddha mengajarkan untuk mengembangkan cinta kasih tanpa batas kepada semua makhluk, bagaikan ibu mengasihi anak tunggalnya. Sikap saling mengasihi dan mengembangkan welas asih akan mempererat persaudaraan kebangsaan. Bhante Dhammavuddho pernah mengungkapkan bahwa Sang Buddha selalu mengajarkan umatnya untuk memberikan cinta kasih tanpa syarat kepada sesama demi mewujudkan kerukunan dan perdamaian 15. Dengan cinta kasih, pemuda Buddhis dapat mencintai sesama anak bangsa apa pun latar belakangnya, sebagaimana para pemuda 1928 saling mengulurkan tangan demi Indonesia. Metta menjadi “lem spiritual” yang menyatukan hati-hati yang berbeda menuju tujuan mulia bersama.
  • Bebas dari Kebencian: Unity in diversity hanya bisa terwujud jika kita melenyapkan kebencian dan prasangka antar golongan. Dalam Dhamma, membenci sesama makhluk dipandang sebagai racun batin yang merugikan diri sendiri dan orang lain. Sang Buddha menegaskan sebuah hukum universal: “Kebencian tak akan pernah berakhir apabila dibalas dengan kebencian. Kebencian akan berakhir bila dibalas dengan tidak membenci.” 16. Kutipan dari Dhammapada ini mengingatkan bahwa permusuhan hanya dapat dihentikan dengan sikap tanpa dendam dan penuh kasih. Para pemuda 1928 memilih jalan persatuan, bukan jalan kebencian terhadap perbedaan. Ini sejalan dengan ajaran Buddha untuk mengikis ego dan kebencian (dosa) dalam diri. Bagi pemuda Buddhis, Sumpah Pemuda adalah pengingat untuk tidak terjebak dalam polarisasi atau kebencian sektarian. Sebaliknya, kita diajak mengembangkan upekkha (sikap tidak memihak yang bijaksana) dan toleransi. Tanpa kebencian, persatuan akan mudah dirajut; dengan hati penuh cinta kasih, bangsa yang majemuk dapat bersatu padu.
  • Kebijaksanaan (Panna): Kebijaksanaan adalah pilar utama dalam Buddha Dhamma, dan nilainya relevan bagi perjuangan pemuda membangun bangsa. Para pemuda 1928 dengan bijaksana menyadari bahwa persatuan adalah kunci kemerdekaan. Mereka mengesampingkan ego kedaerahan demi visi kebangsaan yang lebih luas – ini adalah buah dari pandangan terang tentang apa yang terbaik bagi semua. Dalam ajaran Buddha, kebijaksanaan berarti memahami kenyataan dengan jernih, melihat kesalingterkaitan (paticcasamuppada) sehingga tidak terjebak pada perbedaan superfisial. Seorang bijaksana akan menyadari bahwa segala pertikaian berawal dari ego dan ketidaktahuan (avijja), dan jalan damainya adalah memahami kebenaran bahwa semua makhluk menginginkan kebahagiaan yang sama. Dengan kebijaksanaan, pemuda Buddhis dapat memilah mana pengaruh yang sehat dan tidak di era sekarang. Kebijaksanaan ibarat kompas batin yang menuntun kita untuk mengambil keputusan benar demi kebaikan bersama, serasi dengan semangat Sumpah Pemuda. Pandangan terang akan membimbing kita melampaui fanatisme sempit, menuju kerja sama yang produktif. Sebagaimana pepatah Dhamma, “Orang bijaksana menganggap kebenaran sebagai kebenaran dan kepalsuan sebagai kepalsuan” – dengan demikian ia akan menempuh jalan benar 17. Pemuda yang bijaksana akan menyalakan pelita dhamma dalam hatinya, menerangi jalan pengabdian pada bangsa tanpa tersesat oleh ego dan kebencian.

Nilai-nilai Dhamma di atas – kerukunan, cinta kasih, tanpa kebencian, dan kebijaksanaan – ibarat empat penjuru mata angin yang mengarahkan semangat Sumpah Pemuda ke level spiritual yang lebih mendalam. Persatuan nasional menjadi kokoh ketika didasari cinta kasih dan diiringi kebijaksanaan. Ajaran Buddha memberikan fondasi etis dan spiritual bagi pemuda untuk menerjemahkan sumpah persatuan ke dalam tindakan nyata sehari-hari yang penuh kasih dan arif.

Refleksi Pemuda Buddhis di Era Kini

Bagaimana pemuda Buddhis masa kini dapat menghayati Sumpah Pemuda dalam kehidupan sehari-hari? Tantangan zaman sekarang tentu berbeda dibanding 1928, namun esensi nilai yang diperlukan justru semakin relevan. Berikut beberapa tantangan aktual yang dihadapi generasi muda dan bagaimana Buddha Dhamma bisa menjadi kompas hidup dalam menghadapinya:

  • Ego dan Individualisme: Di era modern, godaan untuk mengedepankan ego diri sangat besar. Budaya digital kerap mendorong anak muda membangun citra diri, mengejar pengakuan pribadi, hingga terkadang lupa pada semangat kolektif. Egoisme dan individualisme bisa menjadi benih perpecahan, karena masing-masing merasa paling penting. Dalam perspektif Buddhis, ego yang berlebihan bersumber dari ketidaktahuan akan sifat anatta (tanpa inti diri) – sesungguhnya kita semua saling terhubung dan saling membutuhkan. Dhamma mendorong sikap rendah hati dan menyadari bahwa kebahagiaan pribadi tak lepas dari kebahagiaan bersama. Dengan melatih metta dan mudita (ikut berbahagia atas kebahagiaan orang lain), pemuda Buddhis dapat mengikis ego sempit. Menyadari anatta juga membantu kita tidak tersinggung berlebihan dan mau bekerja sama demi tujuan bersama. Ketika ego ditundukkan oleh kasih dan pengertian, persatuan akan lebih mudah terwujud.
  • Perpecahan dan Polarisasi: Tantangan lain adalah kecenderungan perpecahan sosial akibat fanatisme, politik identitas, atau sentimen SARA. Di banyak negara, termasuk Indonesia, pemuda dihadapkan pada narasi yang memecah-belah: “kami vs mereka”. Padahal, persatuan bangsa menuntut kita merangkul perbedaan sebagai kekayaan, bukan alasan permusuhan. Dhamma mengajarkan sila (moralitas) dan pandangan benar agar kita tidak mudah dihasut kebencian. Cinta kasih dan belas kasih (karuna) adalah vaksin terhadap virus intoleransi. Bagi pemuda Buddhis, penting untuk senantiasa mengingat pesan Buddha: tidak membalas kebencian dengan kebencian. Saat menghadapi provokasi yang mengadu domba, kita dapat memilih respon yang bijak – misalnya dengan dialog yang penuh pengertian, memperluas pergaulan lintas komunitas, dan menekankan persamaan sebagai sesama manusia. Dengan melatih right speech (ucapan benar) kita menghindari ikut menyebar ujaran kebencian atau hoaks. Dhamma menjadi kompas moral yang menjaga kita berjalan di tengah, tidak terseret arus perpecahan. Seperti pepatah Buddhis, “berjalanlah di atas tengah-tengah, jangan condong membenci maupun terlalu terikat”. Ini membantu pemuda Buddhis menjadi jembatan perdamaian di tengah potensi konflik horizontal.
  • Kekacauan Digital (Digital Chaos): Generasi muda saat ini hidup di era banjir informasi digital dan media sosial yang bising. Digital chaos memunculkan tantangan seperti misinformasi, hate speech online, cancel culture, digital addiction, hingga hilangnya fokus spiritual. Tanpa disadari, kita bisa terombang-ambing oleh tren dunia maya yang menjauhkan dari jati diri dan nilai luhur. Di sinilah ajaran Buddha tentang mindfulness (sati) dan kebijaksanaan sangat relevan. Pemuda Buddhis perlu berlatih sadar penuh dalam ber-media sosial: menyimak dengan kritis sebelum membagikan info, mengendalikan emosi saat berkomentar, dan mengambil jeda untuk introspeksi di tengah hiruk-pikuk notifikasi. Right mindfulness membantu kita memilah mana konten yang berguna dan mana yang hanya menambah kegelisan batin. Selain itu, prinsip Majjhima Patipada (jalan tengah) dapat diterapkan: menjaga keseimbangan antara kehidupan online dan offline, antara hiburan digital dan latihan spiritual. Dhamma mengingatkan kita bahwa kebahagiaan sejati datang dari kedamaian batin, bukan dari jumlah likes atau followers. Dengan kebijaksanaan digital, pemuda Buddhis dapat memanfaatkan teknologi untuk kebaikan (menyebarkan pesan positif, edukasi Dhamma, solidaritas sosial) sembari mencegah diri tenggelam dalam arus negatif. Kompas Dhamma akan menuntun kita untuk tetap autentik, beretika, dan berwelas asih meskipun berada di dunia maya yang serba cepat. Alhasil, digital chaos dapat diubah menjadi digital cosmos**, tatanan yang lebih bermakna, ketika kita menjalaninya dengan kesadaran dan kebijaksanaan.

Dengan memahami tantangan di atas, pemuda Buddhis dapat mengambil intisari Sumpah Pemuda persatuan, cinta kasih, tanpa kebencian, dan kebijaksanaan – sebagai pedoman menghadapi zaman. Sumpah Pemuda menginspirasi kita untuk menundukkan ego demi kebersamaan, menangkal perpecahan dengan cinta kasih, dan mengatasi kekacauan dengan kebijaksanaan. Ajaran Buddha memberikan alat praktis untuk itu semua: meditasi pengembangan cinta kasih untuk melembutkan hati, latihan moral untuk menjaga harmoni sosial, dan meditasi pandangan terang untuk memupuk kebijaksanaan.

Sumpah Pemuda: Panggilan Spiritual untuk Berkarya

Akhirnya, marilah kita melihat Sumpah Pemuda bukan semata sebagai catatan sejarah masa lalu, melainkan sebagai pangggilan kontemporer bagi kita – khususnya generasi muda Buddhis – untuk membangun bangsa dengan kesadaran spiritual. Semangat para pemuda 1928 yang bersatu padu demi cita-cita mulia hendaknya menyalakan pelita di hati kita saat ini. Nilai-nilai perjuangan mereka “patut kita teruskan dengan menjaga kebersamaan, menghargai keberagaman, dan berkontribusi nyata bagi kemajuan Indonesia di masa kini” 18. Setiap kita dapat berperan menjadi agen persatuan dan kebaikan di lingkungan masing-masing.

 

Dalam terang Buddha Dhamma, mencintai tanah air dan bangsa bisa diwujudkan melalui tindakan tindakan bajik sehari-hari: saling menghormati tanpa memandang perbedaan, membantu mereka yang lemah dengan welas asih, berani bersuara jujur melawan ketidakadilan, dan senantiasa introspeksi agar tidak tersesat oleh keserakahan atau kebencian. Sumpah Pemuda dalam kacamata spiritual adalah janji pada diri sendiri untuk menjadi pribadi yang bebas dari kebencian, penuh cinta, arif, dan berguna bagi semesta. Seperti kata pepatah Buddha, “bahagia lahir di tengah keluarga harmonis; damai lahir di tengah bangsa yang bersatu”. Persatuan yang ditopang cinta kasih akan melahirkan kedamaian dan kebahagiaan bagi semua.

 

Kini, tibalah giliran kita sebagai pemuda-pemudi Buddhis zaman now untuk mengimplementasikan semangat itu. Mulailah dari hal-hal kecil: merangkul teman yang berbeda pandangan, terlibat dalam kegiatan lintas komunitas, berbagi pesan damai di media sosial, hingga merenung sejenak setiap 28 Oktober tentang apa yang sudah kita perbuat bagi Ibu Pertiwi. Setiap langkah kecil yang kita ambil dengan kesadaran bisa menjadi kontribusi besar bagi bangsa. Dhamma adalah kompas yang akan menjaga langkah kita tetap pada jalur kebaikan.

 

Menutup refleksi ini, mari kita renungkan bersama: Apakah api semangat Sumpah Pemuda masih berkobar dalam diri kita hari ini? Jika belum, inilah saatnya menyalakannya kembali dengan bahan bakar cinta kasih dan kebijaksanaan. Bangsa Indonesia menantikan kiprah positif kita, para pemuda Buddhis, untuk merawat persatuan dan menebar kebaikan – mulai dari pikiran, ucapan, hingga perbuatan. Semoga dengan merenungi Sumpah Pemuda dalam perspektif Dhamma, kita tergerak untuk menjadi generasi yang tidak hanya cerdas dan tangguh, tetapi juga berhati lembut dan bijaksana.

 

Dengan penuh harapan dan keyakinan, marilah kita bersatu dalam kasih, melangkah dalam bijaksana. Hari Sumpah Pemuda bukan sekadar hari bersejarah, melainkan sinyal abadi yang mengajak kita semua untuk bangkit dan beraksi membangun bangsa dalam kesadaran spiritual. Satukan tekad, gelorakan cinta, dan terangilah Indonesia dengan nilai-nilai Buddhis yang universal. Selamat Hari Sumpah Pemuda semoga semangatnya senantiasa hadir dalam setiap tarikan napas dan langkah kita.

 

(Jika Anda merasakan inspirasi dari refleksi ini, mari bagikan kepada sahabat dan saudara. Biarkan cahaya persatuan dan cinta kasih ini menyebar luas, menyalakan semangat kebangsaan di hati generasi muda lainnya. Dengan berbagi, kita ikut memperkuat jalinan kebhinekaan dan kebijaksanaan demi Indonesia yang damai dan maju.)13 18

Sumber Referensi :

1 10 11 Sumpah Pemuda – Wikipedia

 

2 3 4 5 6 7 8 9 12 13 18 7 Fakta Menarik Seputar Sumpah Pemuda yang Jarang Diketahui – Popularitas.com

 

14 15 Buddha Mengajarkan Jaga Kerukunan Melalui Saraniya Dhamma Sutta – ANTARA News Yogyakarta

 

16 17 Dhammapada – Samaggi Phala

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE