Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Sikap Buddhis Menghadapi Dinamika Politik, Hukum, dan Keamanan di Indonesia

Sikap Buddhis Menghadapi Dinamika Politik, Hukum, dan Keamanan di Indonesia

September 4, 2025
Berlandaskan Ajaran Buddha: Bijaksana, Welas Asih, dan Berpijak pada Kebenaran

Situasi politik, hukum, dan keamanan yang dinamis menuntut kebijaksanaan dan ketenangan dari umat Buddha. Ajaran Sang Buddha menekankan pentingnya tidak bereaksi dengan kebencian atau ketakutan, melainkan dengan pemahaman dan cinta kasih. Dalam Dhammapada dinyatakan: “Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian, hanya dengan cinta kasih ia berakhir. Inilah hukum kekal.” 1. Artinya, merespons gejolak sosial dengan kebencian atau amarah hanya akan memperpanjang siklus konflik, sedangkan sikap welas asihlah yang mampu meredakannya.

 

Buddhisme mengajarkan jalan tengah (Majjhima Paṭipadā) – tidak terjebak dalam ekstrem apapun. Ini berarti umat Buddha tidak bersikap fanatik atau membabi buta dalam pandangan politik, namun juga tidak apatis. Kita berusaha memahami persoalan secara utuh sebelum mengambil sikap. Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha menasihati suku Kalama yang bingung menghadapi berbagai klaim para guru. Beliau tidak meminta mereka percaya begitu saja, melainkan menganjurkan untuk menyelidiki dan berpikir bijaksana terlebih dahulu. Buddha bersabda: “Janganlah percaya begitu saja karena sesuatu telah lama diajarkan. Jangan percaya hanya karena banyak orang mempercayainya. Percayalah ketika, setelah merenungkannya dengan bijaksana, kamu melihat bahwa hal itu membawa manfaat dan mengurangi penderitaan.” 2. Nasihat ini relevan dengan kondisi kini: jangan mudah percaya rumor atau hasutan sebelum cek fakta. Umat Buddha seyogianya “lebih selektif dalam menerima informasi dan bijak dalam menggunakan media sosial”, sebagaimana diingatkan dalam prinsip sati (kesadaran penuh) dan paññā (kebijaksanaan) 3. Dengan kata lain, tetap berpijak pada data dan kebenaran faktual adalah wujud penerapan ajaran Buddha di era banjir informasi.

 

Di samping kebijaksanaan, welas asih (karuṇā) merupakan pilar utama sikap Buddhis. Baik tradisi Theravāda maupun Mahāyāna menekankan pengembangan cinta kasih universal (mettā) terhadap semua makhluk tanpa diskriminasi 4. Ini berarti dalam menyikapi situasi negara, umat Buddha berusaha memandang semua pihak dengan batin penuh empati, bukan prasangka. Tidak menghakimi terlalu dini sejalan dengan ajaran Mahāyāna tentang Bodhisattva: “Bodhisattva memberikan dana, memandang musuh dan sahabat secara setara, tidak mengingat kejahatan lampau, dan tidak membenci orang yang berbuat jahat.” 5. Bahkan terhadap pihak yang dianggap “bersalah” atau melakukan kejahatan, Buddhisme mengajarkan untuk membenci perbuatan salahnya, namun tidak membenci pelakunya. Keyakinannya adalah bahwa setiap orang bisa berubah menuju kebaikan jika dibimbing dengan pengertian dan kasih.

 

Teladan dari kehidupan Buddha menunjukkan hal ini. Ketika seorang pembunuh bernama Angulimāla menebar terror, Sang Buddha tidak menghadapinya dengan kemarahan atau hukuman prematur. Beliau justru mendekati Angulimāla dengan tenang dan penuh kasih, hingga si pembunuh itu tersentuh dan meninggalkan kekerasan 6 7 . Pesan Buddha kepada Angulimāla sederhana namun mendalam: “Aku telah berhenti (dari kekerasan); sekarang giliranmu berhenti.” Berkat sikap tanpa menghakimi dan welas asih Buddha, Angulimāla bertobat menjadi bhikkhu dan akhirnya mencapai pencerahan. Kisah ini mengajarkan bahwa pendekatan penuh kasih lebih efektif mengubah perilaku buruk daripada penghakiman marah. Bagi umat Buddha masa kini, ini berarti mengedepankan sikap sabar dan belas kasih dalam menghadapi pihak manapun di tengah situasi panas, sembari tetap tegas menolak tindakan yang tidak benar.

Pandangan Para Bhikkhu dan Cendekia Buddhis tentang Keterlibatan Sosial

Para pemuka Buddhis modern pun memberikan panduan bagaimana umat bersikap terhadap isu-isu publik. Buddhisme tidak melarang umat terlibat dalam urusan politik atau hukum, sepanjang dilakukan dengan niat baik dan cara yang benar. Bhikkhu K. Sri Dhammananda pernah menyatakan bahwa umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk memegang dan menggunakan kekuasaan politik 8. Artinya, umat dianjurkan turut membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, bukan bersikap apatis. Yang perlu dihindari adalah keterlibatan yang dilandasi keserakahan atau kebencian.

Pemimpin Buddhis Vietnam Thich Nhat Hanh menggagas “Buddhisme Engaged” (Buddhisme yang terlibat aktif secara sosial) dan merumuskan panduan moral bagi umat dalam berorganisasi maupun bersuara. Dua prinsipnya sangat relevan bagi kondisi Indonesia akhir-akhir ini:

  • Ucapan Benar dan Penuh Kasih: “Jangan menuturkan kata-kata yang dapat memecah belah atau menimbulkan kebencian… kami tidak akan menyebarkan rumor atau mengkritik hal-hal yang belum kami ketahui dengan pasti.” 9. Prinsip ini mengingatkan kita untuk menahan diri dari menyebarkan berita yang belum jelas kebenarannya. Misalnya dalam menghadapi isu hukum atau keamanan, umat Buddha sebaiknya tidak ikut menyebar kabar hoaks atau fitnah. Tabayyun (klarifikasi) sejalan dengan ajaran Buddha: pastikan informasi itu benar sebelum dibagikan, dan sampaikan pun dengan niat yang konstruktif. Thich Nhat Hanh juga menekankan agar setiap kata yang diucapkan hendaknya jujur, menyatukan, dan membawa harapan, bukan memprovokasi perpecahan 10. Apabila ada ketidakadilan, umat Buddha dianjurkan tetap bersuara dengan keberanian dan kasih: “Kami akan berusaha sebaik-baiknya mengungkap situasi tidak adil, meskipun itu dapat menimbulkan kesulitan bagi diri sendiri.” 11. Jadi, sikap Buddhis bukan diam pasif, melainkan bersuara demi kebenaran secara santun dan berbasis data, tanpa kebencian.
  • Netral tetapi Berprinsip: “Kami bertekad tidak menggunakan komunitas Buddhis untuk merebut kekuasaan atau mengubahnya menjadi instrumen politik. Namun, sebagai komunitas spiritual kami harus mengambil sikap jelas terhadap penindasan dan ketidakadilan, berusaha mengubah situasi tanpa terlibat konflik partisan.” 12. Nasihat ini menggarisbawahi bahwa umat Buddha sebaiknya tidak terseret arus politik praktis yang penuh polarisasi (tidak fanatik ke partai atau golongan tertentu), namun tetap berpihak pada nilai kebenaran dan keadilan. Misalnya, ketika melihat ketidakadilan hukum atau kekerasan, umat Buddha patut menyatakan ketidaksetujuan dan mendukung upaya damai memperbaiki keadaan, tanpa terjebak kebencian kepada kelompok manapun. Bhikkhu dan cendekia Buddhis sering mengingatkan, kita menolak perbuatan tidak adil, bukan membenci pelakunya. Dengan menjaga netralitas bijaksana, komunitas Buddhis dapat menjadi penyejuk di tengah suhu politik yang panas, sekaligus memegang teguh prinsip moral.

Pandangan di atas selaras dengan pesan moderasi beragama dari cendekiawan Buddhis Indonesia. Moderasi berarti tidak ekstrem dalam sikap keberagamaan maupun politik. Kelly Tan, misalnya, menjelaskan bahwa Buddhisme mendorong toleransi, dialog, dan keterbukaan pikiran – menjauh dari fanatisme yang menutup pintu diskusi 13. Umat Buddha diajak tidak terlalu melekat pada pendapat sendiri sampai tidak mau mendengar pendapat orang lain. Sikap terbuka ini membuat kita tidak menghakimi suatu peristiwa hanya dari satu sudut pandang. Kita mau mendengar berbagai pihak terlebih dahulu, ibarat “melihat gajah secara utuh, bukan hanya dari sisi ekor atau belalainya saja.” Dengan wawasan luas dan hati yang teduh, umat Buddha dapat mengambil posisi yang adil.

Panduan Moral Praktis bagi Umat Buddha di Tengah Situasi Genting

Berbekal ajaran di atas, berikut adalah panduan sikap praktis bagi umat Buddha – khususnya generasi muda – dalam menanggapi dinamika politik, hukum, dan keamanan saat ini:

  • Tetap Tenang dan Sadar Penuh: Latih mindfulness (sati) agar tidak mudah terpancing emosi. Saat berita buruk muncul (misalnya kerusuhan atau kasus hukum kontroversial), ambil napas dalam dan tenangkan batin. Kemarahan dan panik bukanlah penasihat yang baik. Ingatlah latihan kesabaran (khanti) yang dipuji Buddha sebagai tenaga pengendali diri. Dengan batin yang tenang, kita bisa berpikir jernih sebelum bertindak atau berkomentar.
  • Periksa Kebenaran Informasi (Kritis dan Skeptis Sehat): Terapkan semangat Ehipassiko – “datang dan buktikan sendiri.” Jangan langsung percaya semua yang dibaca di media sosial atau grup WhatsApp. Seperti ajaran Kalama Sutta, uji kebenaran suatu kabar dengan teliti. Tanyakan: Sumbernya siapa? Apakah terpercaya? Apakah ada bukti konkret? Buddha berkata jangan percaya hanya karena suatu berita populer atau berasal dari figur otoritas 14. Saring sebelum sharing: apabila ragu kebenarannya, lebih baik tahan diri untuk tidak menyebarkan. Sikap kritis ini mencegah umat terjebak hoaks yang dapat menyulut kebencian.
  • Gunakan Ucapan Benar dan Berwelas Asih: Ketika berpendapat atau berdiskusi, jaga tutur kata sesuai prinsip Sammā-Vācā (Ucapan Benar). Hindari ujaran kebencian, hinaan, atau fitnah. Sampaikan pendapat secara santun, berbasis data, dan dengan niat mencari solusi, bukan memperkeruh suasana. Seorang Buddhis dianjurkan “berkata benar, tidak berdusta; tidak memfitnah; tidak berucap kasar; dan tidak bergunjing sia-sia” 15. Dalam perdebatan, fokuslah pada isu, bukan menyerang pribadi. Misalnya, daripada berkata “Orang yang pro kebijakan X itu jahat/ bodoh”, ubahlah menjadi “Kebijakan X saya pandang merugikan karena data menunjukkan…”. Tetaplah menghormati kemanusiaan pihak lain meskipun tidak setuju dengan pandangannya. Ini sejalan dengan praktik mettā: mengirim niat baik agar semua makhluk berbahagia, termasuk mereka yang berbeda pandangan politik dengan kita.
  • • Empati dan Welas Asih kepada Semua Pihak: Welas asih berarti mampu merasakan penderitaan orang lain seolah penderitaan sendiri. Cobalah tempatkan diri pada posisi semua pihak yang terlibat konflik atau masalah. Misalnya, dalam masalah hukum, pahami mengapa seseorang bisa melakukan pelanggaran – barangkali karena tekanan ekonomi, kurang pendidikan, dsb. Pemahaman ini bukan untuk membenarkan kesalahan, tapi untuk mencegah munculnya kebencian personal. Buddhisme mengajarkan tidak mengutuk pelaku secara mutlak, sebab selalu ada jalan rehabilitasi. Dukung
    penegakan hukum yang adil dan berbelas kasih – hukum harus ditegakkan untuk kebaikan bersama, namun kita berharap pelaku bisa insaf dan berubah. Sikap ini yang disebut “keadilan restoratif” dalam pandangan Buddhis: menghentikan kejahatan tanpa menghentikan cinta kasih.
  • Pegang Teguh Sīla (Moralitas) dalam Tindakan: Dalam keadaan genting sekalipun, jangan korbankan prinsip moral. Sīla meliputi tidak membunuh atau menyakiti, tidak mencuri/korupsi, tidak berzina, tidak berbohong, dan tidak mabuk-mabukan. Umat Buddha sebaiknya tidak terlibat dalam kekerasan atau anarki ketika menghadapi situasi politik panas. Protes atau ketidakpuasan seyogianya disalurkan secara damai dan tertib, sesuai hukum yang berlaku. Ini mencerminkan ahimsā (tanpa kekerasan) dan welas asih. Demikian pula, menjauhi ujaran kebencian online adalah penerapan sila untuk tidak berbohong atau memfitnah. Integritas pribadi ini penting agar suara Buddhis dihormati di tengah masyarakat. Seperti kata pepatah, “jadilah perubahan yang ingin kita lihat” – tunjukkan bahwa umat Buddha dapat menyuarakan pendapat tanpa melanggar etika dan hukum.
  • Kembangkan Pandangan Benar dan Bijaksana: Sammā-Diṭṭhi (Pandangan Benar) mengajak kita melihat permasalahan secara jernih dengan memahami hukum sebab-akibat (kamma) dan Empat Kebenaran Mulia. Dalam konteks sosial, ini berarti menyadari bahwa kekacauan politik atau keamanan punya sebab tertentu (misalnya kesenjangan sosial, korupsi, dsb.). Dengan memahami akarnya, kita dapat mendukung solusi yang tepat. Pandangan benar juga berarti tidak tergiring pada stereotip atau prasangka. Contoh: jangan menganggap seluruh kelompok etnis atau agama X itu buruk hanya karena ulah segelintir oknum. Melatih melihat secara obyektif dan tidak melekat pada pandangan sempit akan menjauhkan kita dari sikap ekstrem. Ingat prinsip “menghindari fanatisme buta yang menutup pintu dialog” 13– selalu sisakan ruang untuk berdialog dan belajar dari sudut pandang orang lain. Sikap rendah hati untuk mengakui mungkin kita yang keliru adalah bagian dari kebijaksanaan.
  • Kembangkan Pandangan Benar dan Bijaksana: Sammā-Diṭṭhi (Pandangan Benar) mengajak kita melihat permasalahan secara jernih dengan memahami hukum sebab-akibat (kamma) dan Empat Kebenaran Mulia. Dalam konteks sosial, ini berarti menyadari bahwa kekacauan politik atau keamanan punya sebab tertentu (misalnya kesenjangan sosial, korupsi, dsb.). Dengan memahami akarnya, kita dapat mendukung solusi yang tepat. Pandangan benar juga berarti tidak tergiring pada stereotip atau prasangka. Contoh: jangan menganggap seluruh kelompok etnis atau agama X itu buruk hanya karena ulah segelintir oknum. Melatih melihat secara obyektif dan tidak melekat pada pandangan sempit akan menjauhkan kita dari sikap ekstrem. Ingat prinsip “menghindari fanatisme buta yang menutup pintu dialog” – selalu sisakan ruang untuk berdialog dan belajar dari sudut pandang orang lain. Sikap rendah hati untuk mengakui mungkin kita yang keliru adalah bagian dari kebijaksanaan.
  • Berani Bersikap Adil dengan Dasar Cinta Kasih: Umat Buddha diajarkan untuk membela yang benar dan lemah dengan kasih, bukan dengan amarah. Jika melihat ketidakadilan (misal kasus penindasan atau pelanggaran HAM), jangan diam saja. Latih keberanian penuh kasih – bersuara tegas tanpa kebencian. Ini bisa diwujudkan dengan mendukung upaya bantuan kemanusiaan, advokasi damai, atau sekadar tidak ikut-ikutan menyalahkan korban. Buddha sendiri memberikan teladan membela kebenaran tanpa kekerasan: ketika suku Sakya dan Koliya hampir berperang memperebutkan air, Beliau berdiri di tengah-tengah mereka dan berhasil mendamaikan tanpa pertumpahan darah 16. Spirit yang sama hendaknya diteladani umat Buddha muda: jadilah pembawa damai (peacemaker) di lingkungan masing-masing. Misalnya, jika ada dua kubu teman berseteru karena perbedaan politik, cobalah menjadi penengah yang adil. Gunakan pendekatan dialog, cari titik temu, ingatkan persaudaraan sebangsa. Inilah praktik nyata welas asih yang aktif dalam kehidupan sehari-hari.
Penutup:

Sebagai rangkuman, sikap umat Buddha menghadapi dinamika politik, hukum, dan keamanan semestinya dilandasi kebijaksanaan, moralitas, dan welas asih. Dari ajaran Buddha kita belajar untuk tidak gegabah dalam menilai – senantiasa periksa fakta dan memahami duduk persoalan dengan jernih sebelum berkesimpulan. Kita juga diajarkan untuk mengekang diri dari kebencian, karena kebencian hanya akan memperkeruh masalah, sedangkan cinta kasih membuka jalan penyelesaian 1. Pandangan para
bhikkhu dan tokoh Buddhis menegaskan bahwa umat Buddha boleh terlibat aktif memperbaiki masyarakat, asalkan tidak terjebak permusuhan partisan dan tetap berpijak pada prinsip kebenaran 12. Melalui disiplin moral (sīla) dan latihan batin (samādhi-paññā), umat Buddha dapat menjadi teladan warga yang bijak dan peduli.

 

Dengan bersikap tenang, tidak menghakimi terburu-buru, selalu mengecek kebenaran informasi, dan memupuk kasih sayang kepada semua makhluk, umat Buddha akan mampu menyikapi segala gejolak dengan hati yang sehat. Sikap ini bukan saja selaras dengan ajaran Buddha dari sutta-sutta Theravāda maupun sutra Mahāyāna, tapi juga amat relevan bagi situasi Indonesia akhir-akhir ini. Harapannya, generasi muda Buddhis dapat menjadi agen perdamaian dan kebajikan di tengah masyarakat – berani bersuara demi kebaikan bersama, namun tanpa menyebar kebencian. Inilah jalan tengah yang diajarkan Buddha: berpihak pada kebenaran dengan cinta kasih. Semoga dengan memahami dan mempraktikkan ajaran ini, umat Buddha dapat menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana, tidak mudah terprovokasi, dan senantiasa membawa kesejukan bagi lingkungan sekitar 3.

 

Sabbe sattā bhavantu sukhitattā – Semoga semua makhluk hidup berbahagia, bebas dari permusuhan, dan turut merasakan damai sejahtera 1 7.

Sumber:

 

1 3 4 13 15 Moderasi Beragama dalam Pandangan Buddhis.

 

2 14 Tergantung Pada Siapa Kamu Percaya? | Kbi – Keluarga Buddhayana Indonesia.

 

5 Sutra of the Eight Realizations of Great Beings佛說八大人覺經 – Buddha Gate Monastery.

 

6 7 How to Overcome Our Sense of Guilt The Case of Angulimaala.

 

8 16 Bhikkhu dan Kegiatan Politik – Samaggi Phala

 

9 10 11 12 Empat Belas Latihan Sadar Penuh – Komunitas Zen Plum Village

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE