Situasi politik, hukum, dan keamanan yang dinamis menuntut kebijaksanaan dan ketenangan dari umat Buddha. Ajaran Sang Buddha menekankan pentingnya tidak bereaksi dengan kebencian atau ketakutan, melainkan dengan pemahaman dan cinta kasih. Dalam Dhammapada dinyatakan: “Kebencian tidak akan pernah berakhir dengan kebencian, hanya dengan cinta kasih ia berakhir. Inilah hukum kekal.” 1. Artinya, merespons gejolak sosial dengan kebencian atau amarah hanya akan memperpanjang siklus konflik, sedangkan sikap welas asihlah yang mampu meredakannya.
Buddhisme mengajarkan jalan tengah (Majjhima Paṭipadā) – tidak terjebak dalam ekstrem apapun. Ini berarti umat Buddha tidak bersikap fanatik atau membabi buta dalam pandangan politik, namun juga tidak apatis. Kita berusaha memahami persoalan secara utuh sebelum mengambil sikap. Dalam Kalama Sutta, Sang Buddha menasihati suku Kalama yang bingung menghadapi berbagai klaim para guru. Beliau tidak meminta mereka percaya begitu saja, melainkan menganjurkan untuk menyelidiki dan berpikir bijaksana terlebih dahulu. Buddha bersabda: “Janganlah percaya begitu saja karena sesuatu telah lama diajarkan. Jangan percaya hanya karena banyak orang mempercayainya. Percayalah ketika, setelah merenungkannya dengan bijaksana, kamu melihat bahwa hal itu membawa manfaat dan mengurangi penderitaan.” 2. Nasihat ini relevan dengan kondisi kini: jangan mudah percaya rumor atau hasutan sebelum cek fakta. Umat Buddha seyogianya “lebih selektif dalam menerima informasi dan bijak dalam menggunakan media sosial”, sebagaimana diingatkan dalam prinsip sati (kesadaran penuh) dan paññā (kebijaksanaan) 3. Dengan kata lain, tetap berpijak pada data dan kebenaran faktual adalah wujud penerapan ajaran Buddha di era banjir informasi.
Di samping kebijaksanaan, welas asih (karuṇā) merupakan pilar utama sikap Buddhis. Baik tradisi Theravāda maupun Mahāyāna menekankan pengembangan cinta kasih universal (mettā) terhadap semua makhluk tanpa diskriminasi 4. Ini berarti dalam menyikapi situasi negara, umat Buddha berusaha memandang semua pihak dengan batin penuh empati, bukan prasangka. Tidak menghakimi terlalu dini sejalan dengan ajaran Mahāyāna tentang Bodhisattva: “Bodhisattva memberikan dana, memandang musuh dan sahabat secara setara, tidak mengingat kejahatan lampau, dan tidak membenci orang yang berbuat jahat.” 5. Bahkan terhadap pihak yang dianggap “bersalah” atau melakukan kejahatan, Buddhisme mengajarkan untuk membenci perbuatan salahnya, namun tidak membenci pelakunya. Keyakinannya adalah bahwa setiap orang bisa berubah menuju kebaikan jika dibimbing dengan pengertian dan kasih.
Teladan dari kehidupan Buddha menunjukkan hal ini. Ketika seorang pembunuh bernama Angulimāla menebar terror, Sang Buddha tidak menghadapinya dengan kemarahan atau hukuman prematur. Beliau justru mendekati Angulimāla dengan tenang dan penuh kasih, hingga si pembunuh itu tersentuh dan meninggalkan kekerasan 6 7 . Pesan Buddha kepada Angulimāla sederhana namun mendalam: “Aku telah berhenti (dari kekerasan); sekarang giliranmu berhenti.” Berkat sikap tanpa menghakimi dan welas asih Buddha, Angulimāla bertobat menjadi bhikkhu dan akhirnya mencapai pencerahan. Kisah ini mengajarkan bahwa pendekatan penuh kasih lebih efektif mengubah perilaku buruk daripada penghakiman marah. Bagi umat Buddha masa kini, ini berarti mengedepankan sikap sabar dan belas kasih dalam menghadapi pihak manapun di tengah situasi panas, sembari tetap tegas menolak tindakan yang tidak benar.
Para pemuka Buddhis modern pun memberikan panduan bagaimana umat bersikap terhadap isu-isu publik. Buddhisme tidak melarang umat terlibat dalam urusan politik atau hukum, sepanjang dilakukan dengan niat baik dan cara yang benar. Bhikkhu K. Sri Dhammananda pernah menyatakan bahwa umat Buddha perumah tangga dapat berpartisipasi dalam semua aspek kehidupan politik, termasuk memegang dan menggunakan kekuasaan politik 8. Artinya, umat dianjurkan turut membangun masyarakat yang lebih adil dan sejahtera, bukan bersikap apatis. Yang perlu dihindari adalah keterlibatan yang dilandasi keserakahan atau kebencian.
Pemimpin Buddhis Vietnam Thich Nhat Hanh menggagas “Buddhisme Engaged” (Buddhisme yang terlibat aktif secara sosial) dan merumuskan panduan moral bagi umat dalam berorganisasi maupun bersuara. Dua prinsipnya sangat relevan bagi kondisi Indonesia akhir-akhir ini:
Pandangan di atas selaras dengan pesan moderasi beragama dari cendekiawan Buddhis Indonesia. Moderasi berarti tidak ekstrem dalam sikap keberagamaan maupun politik. Kelly Tan, misalnya, menjelaskan bahwa Buddhisme mendorong toleransi, dialog, dan keterbukaan pikiran – menjauh dari fanatisme yang menutup pintu diskusi 13. Umat Buddha diajak tidak terlalu melekat pada pendapat sendiri sampai tidak mau mendengar pendapat orang lain. Sikap terbuka ini membuat kita tidak menghakimi suatu peristiwa hanya dari satu sudut pandang. Kita mau mendengar berbagai pihak terlebih dahulu, ibarat “melihat gajah secara utuh, bukan hanya dari sisi ekor atau belalainya saja.” Dengan wawasan luas dan hati yang teduh, umat Buddha dapat mengambil posisi yang adil.
Berbekal ajaran di atas, berikut adalah panduan sikap praktis bagi umat Buddha – khususnya generasi muda – dalam menanggapi dinamika politik, hukum, dan keamanan saat ini:
Sebagai rangkuman, sikap umat Buddha menghadapi dinamika politik, hukum, dan keamanan semestinya dilandasi kebijaksanaan, moralitas, dan welas asih. Dari ajaran Buddha kita belajar untuk tidak gegabah dalam menilai – senantiasa periksa fakta dan memahami duduk persoalan dengan jernih sebelum berkesimpulan. Kita juga diajarkan untuk mengekang diri dari kebencian, karena kebencian hanya akan memperkeruh masalah, sedangkan cinta kasih membuka jalan penyelesaian 1. Pandangan para
bhikkhu dan tokoh Buddhis menegaskan bahwa umat Buddha boleh terlibat aktif memperbaiki masyarakat, asalkan tidak terjebak permusuhan partisan dan tetap berpijak pada prinsip kebenaran 12. Melalui disiplin moral (sīla) dan latihan batin (samādhi-paññā), umat Buddha dapat menjadi teladan warga yang bijak dan peduli.
Dengan bersikap tenang, tidak menghakimi terburu-buru, selalu mengecek kebenaran informasi, dan memupuk kasih sayang kepada semua makhluk, umat Buddha akan mampu menyikapi segala gejolak dengan hati yang sehat. Sikap ini bukan saja selaras dengan ajaran Buddha dari sutta-sutta Theravāda maupun sutra Mahāyāna, tapi juga amat relevan bagi situasi Indonesia akhir-akhir ini. Harapannya, generasi muda Buddhis dapat menjadi agen perdamaian dan kebajikan di tengah masyarakat – berani bersuara demi kebaikan bersama, namun tanpa menyebar kebencian. Inilah jalan tengah yang diajarkan Buddha: berpihak pada kebenaran dengan cinta kasih. Semoga dengan memahami dan mempraktikkan ajaran ini, umat Buddha dapat menghadapi tantangan zaman dengan bijaksana, tidak mudah terprovokasi, dan senantiasa membawa kesejukan bagi lingkungan sekitar 3.
Sabbe sattā bhavantu sukhitattā – Semoga semua makhluk hidup berbahagia, bebas dari permusuhan, dan turut merasakan damai sejahtera 1 7.
1 3 4 13 15 Moderasi Beragama dalam Pandangan Buddhis.
2 14 Tergantung Pada Siapa Kamu Percaya? | Kbi – Keluarga Buddhayana Indonesia.
5 Sutra of the Eight Realizations of Great Beings佛說八大人覺經 – Buddha Gate Monastery.
6 7 How to Overcome Our Sense of Guilt The Case of Angulimaala.
8 16 Bhikkhu dan Kegiatan Politik – Samaggi Phala
9 10 11 12 Empat Belas Latihan Sadar Penuh – Komunitas Zen Plum Village
Leave a Reply