Sang Buddha Gautama, pendiri agama Buddha, sepanjang hidupnya berupaya membimbing makhluk menuju pembebasan dari penderitaan. Salah satu langkah terpenting yang diambilnya adalah mendirikan Sangha, yaitu komunitas para bhikkhu (biksu) dan bhikkhuni (biksuni) beserta umat awam yang menjadi salah satu dari Tiga Permata (Triratna) dalam Buddhisme. Dengan berlindung kepada Sangha, umat Buddha mengakui peran komunitas ini sebagai pewaris dan pengamal ajaran Buddha (Dhamma) yang patut dihormati. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif visi dan misi Buddha Gautama dalam membentuk komunitas Sangha, apakah beliau menginginkannya seragam dan bersatu atau fleksibel sesuai budaya lokal, ditinjau dari sumber sejarah dan ajaran beliau. Selain itu, kita akan menelusuri bagaimana visi tersebut berevolusi setelah Parinibbana (wafatnya) Sang Buddha, termasuk kemunculan tradisi-tradisi utama seperti Theravada, Mahayana, dan Vajrayana. Pembahasan dilengkapi konteks sosial-politik India kuno serta analisis historis-filosofis untuk menunjukkan bahwa keragaman yang muncul tetap berakar pada misi awal Buddha: membebaskan semua makhluk dari penderitaan.
Untuk memahami visi Buddha dalam mendirikan Sangha, penting melihat kondisi India pada abad ke-6 hingga 5 SM, zaman dimana Siddhartha Gautama hidup. Secara sosial, masyarakat saat itu sangat dipengaruhi sistem kasta (varaṇa) yang kaku dan hierarkis yang dijunjung oleh kaum Brahmana. Posisi sosial seseorang ditentukan sejak lahir, dan akses pada kehidupan spiritual formal umumnya dimonopoli Brahmana. Namun, periode tersebut juga menyaksikan maraknya gerakan Shramana – kelompok petapa pengembara yang menolak otoritas Weda dan ritual korban, mencari jalan pembebasan pribadi. Buddha Gautama muncul dari arus Shramana ini, membawa pendekatan baru yang dikenal sebagai Jalan Tengah (menghindari ekstrem penyiksaan diri maupun hedonisme). Dalam iklim spritual yang penuh pencarian ini, Buddha menyampaikan ajaran universal yang terbuka bagi semua lapisan masyarakat.
Secara politik, India terbagi dalam kerajaan-kerajaan dan republik kecil. Buddha sendiri berasal dari suku Sakya yang berstatus republik (ganasanga) di wilayah perbatasan Nepal-India. Di wilayah Magadha dan Kosala (India Utara), raja-raja seperti Bimbisara dan Pasenadi berkuasa dan belakangan menjadi patron penting bagi Buddha dan Sangha. Kehidupan politik saat itu ditandai pergolakan ekspansi kerajaan Magadha. Buddha umumnya menjauh dari politik praktis, namun tercatat memberikan nasihat moral kepada para penguasa. Misalnya, Buddha menasihati utusan Raja Ajatasattu bahwa stabilitas sebuah bangsa (seperti suku Vajji) terletak pada kebajikan dan musyawarah bersama, suatu prinsip yang ia analogikan dengan pedoman menjaga kerukunan komunitas para bhikkhu 1 2. Dengan kata lain, sejak awal Buddha telah menekankan pentingnya tradisi baik dan persatuan dalam komunitas, agar ajaran dapat bertahan lama.
Secara spiritual, kehadiran Buddha membawa angin segar. Beliau menawarkan visi pembebasan yang tidak bergantung pada kastase atau ritual rumit, melainkan pada pengembangan moralitas (sila), konsentrasi batin (samadhi), dan kebijaksanaan (panna) 3. Ajaran intinya terangkum dalam Empat Kebenaran Mulia – bahwa hidup diliputi penderitaan (dukkha), penderitaan ada sebabnya, bisa diakhiri, dan caranya melalui Jalan Mulia Berunsur Delapan. Setelah mencapai pencerahan sempurna (sammāsambodhi), Buddha sempat mempertimbangkan untuk tidak mengajar. Namun, didorong oleh welas asih yang besar, beliau memutuskan menyebarkan Dhamma demi “kesejahteraan banyak makhluk” (bahujana-hitāya) 4. Menurut catatan, Buddha menyadari ada makhluk “dengan sedikit debu di mata” yang mampu memahami kebenaran, sehingga pantang baginya menyembunyikan pengetahuan tersebut 5. Langkah pertama Buddha adalah mengajarkan Dhamma kepada lima petapa sahabatnya di Taman Rusa Isipatana. Lima orang ini (kelak dikenal sebagai Panca Vaggiya) menjadi murid pertama yang memasuki Sangha dengan “pergi meninggalkan kehidupan duniawi menuju kehidupan tanpa rumah tangga” (pabbajja).
Sejak awal mula, Sangha dibentuk sebagai wadah untuk melestarikan ajaran dan sebagai komunitas praktik yang menunjang tercapainya pembebasan. Setelah khotbah pertama Buddha tentang Empat Kebenaran Mulia, kelima murid pertamanya ditahbiskan menjadi bhikkhu, menandai lahirnya Sangha monastik. Dalam waktu singkat, Sangha tumbuh pesat. Buddha menerima siswa dari berbagai kalangan: mulai dari para bangsawan seperti Raja Bimbisara dan Pangeran Nanda, cendekiawan Brahmana seperti Sariputta (Sāriputta) dan Mahamoggallana (Mahāmoggallāna), kaum jelata seperti Suppiya si tukang daging, hingga mantan penyamun Angulimala. Bahkan seorang tukang cukur bernama Upāli yang berasal dari kasta rendah diterima dan kelak dihormati karena kepakarannya dalam Vinaya. Hal ini revolusioner pada masanya – keanggotaan Sangha tidak ditentukan oleh kelahiran atau kasta, melainkan oleh pilihan bebas individu untuk meninggalkan keduniawian dan bergabung dalam kelompok spiritual baru 6. Semua orang, baik itu aristokrat, Brahmana, maupun mereka dari kasta ‘tidak terpandang’, diterima sebagai anggota penuh dengan status sederajat di Sangha Buddha 7. Tindakan “berpindah dari kehidupan berumah tangga ke kehidupan tanpa rumah (menjadi bhikkhu/bhikkhuni)” ini secara historis berarti melepaskan ikatan struktur sosial patriarkal dan ketidaksetaraan kekuasaan 8. Singkatnya, visi Buddha dalam mendirikan Sangha adalah membentuk “keluarga” baru yang melampaui batas-batas suku, kasta, maupun gender.
Buddha Gautama membangun Sangha bagaikan sebuah “suku universal” yang inklusif 9. Beliau mengambil nilai-nilai luhur dari tradisi komunitas (klan) – seperti gotong royong, rasa kekeluargaan – lalu memperluasnya secara radikal: semangat egaliter yang tadinya hanya berlaku antar kerabat sedarah, diperluas mencakup semua manusia tanpa pandang bulu 9. Buddha menyebut komunitas ideal ini sebagai “Sangha dari Empat Penjuru” (Catudhisa Sangha) yang terdiri dari para pria dan wanita, baik yang meninggalkan dunia (bhikkhu & bhikkhuni) maupun yang tetap berumah tangga (upasaka & upasika). Di sini tampak bahwa Sangha awal mencakup empat kelompok: bhikkhu, bhikkhuni, upasaka (umat awam pria) dan upasika (umat awam wanita) 9. Semua anggota Sangha, baik monastik maupun awam, bersatu dalam devosi kepada Buddha dan dana (saling memberi): para bhikkhu/bhikkhuni memberikan dana Dhamma (ajaran dan bimbingan) kepada umat awam, sedangkan umat awam mendukung kebutuhan material biara 10. Hubungan simbiosis ini menjadi ciri khas komunitas Buddha.
Langkah-langkah Buddha juga menunjukkan visinya untuk menentang diskriminasi sosial. Contohnya, warna jubah para bhikkhu ditetapkan kuning-merah saffron (warna kunyit). Ini bukan kebetulan – pada zaman itu warna putih melambangkan kemurnian dan status tinggi (dipakai kaum Brahmana), sedangkan warna gelap dikaitkan dengan kasta rendah. Buddha sengaja memilih kain perca kuning (yang cenderung kusam/oranye), serupa pakaian kaum terlantar, sebagai jubah murid-muridnya 11. Ini adalah sindiran langsung terhadap sistem kasta: simbol bahwa di dalam Sangha, status duniawi ditanggalkan dan dibalik kehormatan justru lahir dari kerendahan hati dan kesederhanaan. Tak heran para brahmana konservatif kerap mencela bhikkhu Buddha sebagai “sudra tak tahu malu, kepala gundul, si kulit gelap yang lahir dari kaki Brahma” 12. Meski dicemooh, Sangha Buddha kian berkembang dan menjadi ancaman moral bagi tatanan lama yang eksklusif 13, karena dipimpin oleh pribadi kharismatik berdarah ksatria (Buddha sendiri dari keluarga kerajaan Sakya) yang menolak keistimewaan kasta.
Selain inklusivitas, misi utama Buddha dengan Sangha adalah memastikan ajaran pembebasan dapat dipraktikkan dan disebarkan secara berkesinambungan. Selama ~45 tahun setelah pencerahannya, Buddha berkeliling India Utara mengajar berbagai kalangan 14. Beliau tiada lelah membabarkan Dhamma demi kebaikan dan kebahagiaan banyak orang. Salah satu pesan terkenal Buddha kepada para murid ialah: “Pergilah, O para bhikkhu, demi kesejahteraan banyak makhluk, demi kebahagiaan banyak makhluk, atas dasar belas kasih kepada dunia. Janganlah dua orang pergi bersama di satu jalan yang sama. Ajarilah Dhamma yang indah pada awal, indah pada pertengahan, indah pada akhir….” 15. Dalam instruksi ini, Buddha menekankan dua hal: pertama, para bhikkhu hendaknya menyebar ke berbagai penjuru (tidak bergerombol di satu tempat) agar ajaran menjangkau seluas mungkin; kedua, Dhamma harus diajarkan apa adanya – terbuka dan transparan, karena ada banyak makhluk yang bisa terbantu bila mendengarnya 14. Arahan ini menunjukkan bahwa Buddha tidak bermaksud menyimpan ajaran hanya untuk suatu kelompok eksklusif; sebaliknya, Beliau bertekad menjangkau sebanyak mungkin orang, menyesuaikan penyampaian dengan kebutuhan pendengar (upaya kausal).
Terkait keseragaman vs keberagaman dalam Sangha, Buddha tampaknya menginginkan kesatuan dalam hal prinsip, namun cukup fleksibel dalam hal non-esensial. Selama hidupnya, Buddha sendiri yang menjadi pusat persatuan komunitas – Beliau lah guru utama, pemberi aturan, sekaligus penengah sengketa. Beliau menetapkan Vinaya (aturan disiplin monastik) yang harus diikuti semua bhikkhu/ bhikkhuni tanpa pandang tempat. Aturan ini mencakup sila dasar seperti tidak membunuh, mencuri, berdusta, dsb., hingga tata cara pertemuan Sangha setiap dua minggu di hari Uposatha untuk pembacaan Patimokkha (sanksi moral). Vinaya berfungsi sebagai “lem perekat” yang menjaga kerukunan dan standar moral yang sama di seluruh komunitas 16. Buddha sangat menekankan pentingnya harmoni: “selama para bhikkhu bermusyawarah dan berpisah dengan rukun, kemajuan dapat diharapkan, bukan kemerosotan” demikian petuahnya ketika membandingkan komunitas Vajji yang bersatu dengan ideal Sangha 17. Kisah dalam Vinaya menyebut, suatu kali Buddha menanyakan keadaan komunitas bhikkhu yang dipimpin Arahat Anuruddha. Anuruddha menjawab, “Bhante, kami hidup rukun, bagaikan susu bercampur air, saling memandang dengan mata penuh kasih sayang.” 18. Jawaban ini begitu berkenan hingga Buddha menyatakan bahwa persahabatan luhur (kalyana mittata) bukan hanya bagian, melainkan seluruhnya dari kehidupan spiritual 19. Pernyataan Buddha bahwa “dalam Sanghaku, hanya ada satu rasa, yaitu rasa kebebasan (vimutti)” sering dikutip sebagai penegasan bahwa tujuan akhir pembebasan menjadi payung pemersatu di atas segala perbedaan kecil 20.
Di sisi lain, Buddha tidak menghendaki otoritarianisme tunggal dalam Sangha. Menjelang akhir hayatnya, ketika Ananda (murid dekatnya) memohon Buddha menunjuk seorang penerus tunggal memimpin Sangha, Buddha menolak. Beliau bersabda bahwa Dhamma dan Vinaya yang telah diajarkan itulah kelak yang harus menjadi pemimpin dan pedoman bagi Sangha setelah kepergiannya 21. Dengan kata lain, Buddha mempercayakan peraturan dan ajaran sebagai acuan bersama, bukan figur individu tertentu. Ini menciptakan sistem yang lebih desentralistik: setiap komunitas lokal (vihara atau kelompok bhikkhu) dapat mengatur urusannya sendiri selama tetap berpegang pada Dhamma-Vinaya. Bahkan, Buddha mengisyaratkan kemungkinan perubahan aturan minor agar Sangha bisa beradaptasi dengan konteks zaman dan tempat (meski hal ini menimbulkan perdebatan di kemudian hari karena jenis aturan minor tidak dijabarkan jelas). Hal menarik lain, Buddha memperbolehkan ajarannya disampaikan dalam bahasa lokal masing-masing wilayah, alih-alih memaksakan bahasa Sansekerta klasik 22. Langkah ini mencerminkan komitmen Buddha pada aksesibilitas dan inklusivitas: Dhamma seharusnya dipahami masyarakat awam, bukan hanya kaum terpelajar 23. Arahan ini tercatat dalam Vinaya: “Anujānāmi bhikkhave, sakāya niruttiyā buddhavacanaṁ pāṭhanti,” yang berarti “Aku mengizinkan, O para bhikkhu, sabda-sabda Buddha dipelajari dalam bahasa masing-masing” 24. Dengan demikian, sejak masa Buddha sendiri, terdapat ruang untuk keberagaman ekspresi ajaran sesuai budaya setempat, asalkan intisari Dhamma tidak menyimpang.
Contoh lain dari fleksibilitas Buddha adalah akhirnya diterimanya wanita ke dalam Sangha. Awalnya Buddha ragu menerima perempuan sebagai bhikkhuni, namun berkat bujukan Ananda dan ketekunan ibu tirinya, Mahapajapati Gotami, Sangha bhikkhuni pun didirikan. Meski disertai beberapa aturan khusus (Garudhamma) agar bhikkhuni menghormati bhikkhu senior, pendirian ordo bhikkhuni ini menegaskan visi egaliter Buddha bahwa pencerahan terbuka bagi semua gender. Bhikkhuni pertama mengungkapkan kegembiraannya menemukan persaudaraan (sisterhood) di Sangha setelah bebas dari belenggu norma patriarkal 18. Buddha sendiri memuji komunitas bhikkhuni yang hidup dengan metta (cinta kasih) saling mendukung. Dengan demikian, Sangha awal berfungsi sebagai miniatur masyarakat ideal yang diimpikan Buddha: non-diskriminatif, kooperatif, berlandaskan kasih sayang, dan berfokus pada pembebasan spiritual 25.
Singkatnya, misi Buddha Gautama dalam membentuk Sangha adalah menyediakan wadah sosial spiritual di mana ajaran pembebasan bisa dijalankan secara kolektif dan diwariskan lintas generasi. Beliau menghendaki keseragaman dalam hal prinsip moral dan tujuan (semua anggota menjalani hidup suci menuju Nirvana), namun membebaskan keragaman dalam hal pelaksanaan teknis dan budaya selama tidak bertentangan dengan Dhamma. Sangha merupakan komunitas yang bersatu dalam visi “rasa kebebasan” 20, namun bervariasi dalam manifestasi lokal demi menjangkau umat seluas-luasnya. Inilah keseimbangan antara kesatuan dan keberagaman yang diteladankan Buddha selama hayatnya.
Pada usia 80 tahun (sekitar 483 SM menurut perhitungan sejarah), Buddha Gautama mencapai Parinibbana (wafat tanpa kelahiran kembali) di Kushinagar. Kepergian Beliau meninggalkan duka mendalam, namun juga menguji soliditas Sangha tanpa kehadiran sosok pendiri. Bagaimana visi Sangha bertahan dan berubah setelah Buddha tiada? Sejarah mencatat bahwa para murid utama segera bergerak untuk menjaga kemurnian ajaran dan persatuan komunitas.
Tidak lama setelah Buddha wafat, diadakan Konsili Buddhis Pertama (Sidang Agung I) di Rajagaha (Rajgir). Sekitar 500 Arahat yang dipimpin Mahakassapa berkumpul untuk menghimpun ajaran Buddha secara lisan. Ananda melafalkan kembali Dhamma (khotbah-khotbah Buddha) sementara Upali melafalkan Vinaya (aturan disiplin) 14. Upaya ini bertujuan mencegah distorsi ajaran dan memastikan seluruh Sangha berpegang pada sumber yang sama. Pada tahap ini, Sangha masih satu kesatuan dengan otoritas ajaran terpusat pada kesepakatan para Arahat.
Namun, seiring berjalannya waktu dan menyebarnya Sangha ke wilayah lebih luas, perbedaan penafsiran mulai muncul. Sekitar seabad setelah Parinibbana (kurang lebih 100 SM), ketegangan internal memuncak dalam apa yang dikenal sebagai Konsili Kedua di Vesali. Persoalannya diyakini berawal dari perbedaan pendapat mengenai Vinaya – beberapa bhikkhu (khususnya dari kelompok Vajjian di Vesali) diduga melonggarkan aturan tertentu seperti dibolehkannya menerima uang, menyimpan garam, dsb., yang dianggap melanggar Vinaya oleh bhikkhu konservatif 26 27. Selain itu, ada isu mendasar tentang standar kesucian Arahat. Sekelompok bhikkhu yang kemudian disebut Mahasanghika (arti: “Pengikut Sangha Besar”) berpendapat bahwa seorang Arahat masih mungkin memiliki kelemahan atau “sisa kekotoran batin”, melihat banyak bhikkhu senior yang mengaku Arahat namun berperilaku kurang pantas 28. Bagi mereka, ideal tertinggi semestinya bukan sekadar Arahat, melainkan Buddhahood (menjadi Buddha yang sempurna dan mampu menuntun banyak makhluk) 28 29. Sebaliknya, kubu yang lebih tua, disebut Sthavira atau Theravada (arti: “Ajaran Para Sesepuh”), menolak gagasan bahwa Arahat belum tuntas; mereka menegaskan bila ada “Arahat” tak beretika, berarti orang itu bukan Arahat sejati 27. Kubu Theravada cenderung ingin mempertahankan atau bahkan memperketat aturan Vinaya dan berpegang pada pembebasan individual (Arahat) sebagai tujuan Buddha 27.
Perbedaan prinsipil ini menyebabkan perpecahan pertama dalam tubuh Sangha. Sekitar 100 tahun pasca wafat Buddha, Sangha terbelah menjadi dua aliran besar: Sthaviravada (Theravada) di satu pihak, dan Mahasanghika di pihak lain 30. Kedua kelompok ini masih sama-sama menganggap diri mengikuti Buddha, namun terdapat variasi dalam Vinaya (beberapa aturan berbeda) dan penekanan doktrin. Penting dicatat bahwa perpecahan ini tidak serta-merta bermusuhan. Para bhikkhu dari aliran berbeda masih sering berdiskusi, tinggal bersama di wihara yang sama, dan saling menghormati 31. Namun secara pemikiran, benih perbedaan itu mengarah pada berkembangnya ajaran-ajaran yang lebih beragam untuk menjawab aspirasi spiritual berbeda. Sejarawan mencatat, pada sekitar 250 SM (era Raja Asoka) sudah ada 18 sekte/mazhab Buddhis yang berbeda (disebut Eighteen Schools of Early Buddhism) 32. Ini termasuk Theravada (juga disebut Theriya atau Sthavira), Mahasanghika, Sarvastivada, Dharmaguptaka, dan lain-lain. Masing-masing mengembangkan interpretasi tertentu atas Dhamma-Vinaya, meski masih dalam kerangka ajaran Buddha.
Pada masa pemerintahan Asoka Agung (sekitar 268–232 SM), yang merupakan pemeluk Buddha paling berpengaruh dalam sejarah India, terjadi upaya konsolidasi penting. Asoka yang menyesal atas peperangan menumpahkan dukungannya pada Buddha Dhamma dan Sangha. Beliau mensponsori Konsili Ketiga (sekitar 250 SM di Pataliputta/Pataliputra) untuk “membersihkan” Sangha dari penyimpangan dan memperjelas ajaran ortodoks 33. Konsili ini dipimpin oleh Arahat Moggaliputtatissa, yang beraliran Vibhajjavada (Doktrin Analis, turunan Sthavira). Dalam sidang ~9 bulan tersebut, banyak bhikkhu yang dianggap menyimpang dikeluarkan, dan ditetapkanlah kanon ajaran yang dianggap asli (Tipitaka versi Pali) 34. Sejak itulah istilah Theravada (dari Theriya, “Kaum Tetua”) dipakai oleh kelompok ini untuk menyebut tradisi mereka 35. Tipitaka (Tiga Keranjang) yang dicatat mencakup Sutta, Vinaya, dan Abhidhamma (dalam tradisi Pali, bagian Abhidhamma terakhir berjudul Kathavatthu disusun Moggaliputtatissa pada konsili ini 36). Yang tak kalah penting, Raja Asoka mengirim misi dhammaduta (misionaris) ke berbagai negeri untuk menyebarkan ajaran Buddha 37. Putranya sendiri, Arahat Mahinda, dikirim ke Srilanka, di mana raja dan rakyat setempat menerima Buddha Dhamma dengan antusias. Inilah awal mula Theravada berakar kuat di Srilanka, kemudian menyebar ke Asia Tenggara (Myanmar, Thailand, Kamboja, Laos) pada abad-abad berikutnya. Berkat upaya Asoka, Theravada menjadi tradisi Buddhis tertua yang masih lestari hingga kini, tetap berpegang pada Tipitaka Pali dan ideal Arahat.
Sementara itu di India Daratan, aliran-aliran non-Theravada terus hidup berdampingan. Dalam beberapa abad pasca-Asoka, muncul perkembangan besar yang melahirkan tradisi Mahayana. Mahayana (secara harfiah “Kendaraan Agung”) bukan sekadar sekte tunggal, melainkan sebuah gerakan spiritual dan intelektual yang berkembang perlahan di berbagai pusat. Sulit menandai satu peristiwa pendiri Mahayana – tampaknya ia tumbuh dari pergumulan pemikiran di antara komunitas Sarvastivada, Mahasanghika, dan lainnya 38. Benihnya bisa ditelusuri ke pandangan Mahasanghika yang mengagungkan Buddhahood tadi. Para penganut awal Mahayana merenungkan makna karuna (welas asih) Buddha yang dianggap tak terbatas. Mereka berargumen: “Bila Buddha memiliki welas asih tak terhingga, mustahil beliau benar-benar ‘pergi’ meninggalkan dunia ini setelah Parinirvana. Demi semua makhluk, Buddha tentu tetap hadir dalam beberapa aspek.” 39. Pemikiran ini melahirkan konsep Trikaya (tiga tubuh Buddha), terutama gagasan bahwa ada Dharmakaya – realitas Buddha yang imanen di seluruh alam, sehingga Buddha secara metafisik masih membimbing makhluk melalui manifestasi berbeda. Selain itu, Mahayana menegaskan jalan Bodhisattva – yaitu beraspirasi menjadi Buddha demi menolong semua makhluk, alih-alih puas “hanya” jadi Arahat yang membebaskan diri sendiri 40. Tujuan akhir pun diperluas: tidak cukup mencari Nirvana pribadi; seorang Bodhisattva berikrar menunda Nirvana hingga semua makhluk terbebaskan. Tekanan pada pembebasan kolektif ini sejatinya selaras dengan misi universal Buddha, namun penyampaiannya jauh lebih ekspansif secara filosofi.
Literatur Mahayana mulai muncul sekitar abad 1 SM hingga 1 M. Salah satu yang tertua adalah Prajnaparamita Sutra (Sutra Kesempurnaan Kebijaksanaan) 41, yang memperkenalkan konsep Sunyata (kesunyataan/kehampaan) – ajaran bahwa semua fenomena tidak memiliki esensi tetap. Menyusul kemudian sutra-sutra Mahayana lainnya seperti Saddharma Pundarika (Sutra Teratai), Vimalakirti Sutra, Avatamsaka Sutra, dsb., yang memperkaya wacana Buddhis dengan ide baru. Yang menarik, penulis sutra-sutra ini sering mengklaim ajarannya berasal dari Buddha sendiri, namun disimpan sebagai “ajaran rahasia” yang baru diungkap ketika orang siap 42. Tentu hal ini dikritik oleh kaum non-Mahayana, karena sutra-sutra tersebut tidak ada dalam khotbah yang dihafal di konsili awal 43. Tetapi kaum Mahayana menjawab bahwa Buddha punya upaya kausal: beliau mengajarkan kebenaran terdalam hanya kepada murid tertentu, sementara orang kebanyakan diberi versi yang lebih sederhana. Terlepas dari kontroversi itu, Mahayana kian populer terutama di wilayah India Utara dan Barat Laut. Istilah “Mahayana” sendiri baru eksis secara formal pada abad ke-2 M 44, mungkin untuk membedakan diri dari ajaran “lebih kecil” yang mereka sebut Hinayana (Kendaraan Kecil, merujuk pada Theravada dan sekolah awal lain yang fokus pembebasan individu). Dalam perkembangannya, Mahayana melahirkan banyak sekte/sub-tradisi: misalnya Madhyamaka (aliran “Jalan Tengah” yang dipelopori Nagarjuna, mengelaborasi filsafat Sunyata), Yogacara (aliran “Praktik Yoga” yang menekankan kesadaran/batin, dipelopori Asanga dan Vasubandhu), Pure Land (kultus Buddha Amitabha dengan praktik devosi di Tiongkok), Zen/Chan (aliran meditasi di Tiongkok-Jepang), dan lain-lain 45. Tiap aliran punya pendekatan khas, namun secara umum mereka tetap di bawah payung Mahayana dengan ciri Bodhisattva ideal dan sutra-sutra non-Pali.
Secara geografis, penyebaran Mahayana berbeda jalur dengan Theravada. Melalui rute perdagangan darat (Jalur Sutra) dan laut, ajaran Mahayana mencapai Asia Tengah dan Tiongkok sekitar abad 1-2 M. Di Tiongkok, Buddhisme berbaur dengan tradisi lokal (Taoisme dan Konfusianisme) sehingga melahirkan bentuk baru yang akomodatif. Misalnya, konsep filial piety (bakti anak pada orang tua) diserap ke etika Buddhis setempat. Buddhisme Tiongkok juga mengembangkan seni, arsitektur, dan ritual tersendiri. Kitab suci diterjemahkan ke bahasa Tionghoa, termasuk banyak sutra Mahayana. Dari Tiongkok, Mahayana menyebar ke Korea, Jepang, dan Vietnam. Yang menarik, walau ajaran, ritual, dan organisasi di setiap negeri beragam, fondasi Vinaya bagi para bhikkhu tetap serupa. Kebanyakan bhikkhu Mahayana di Tiongkok, Korea, Vietnam mengikuti Vinaya Dharmaguptaka (salah satu versi Vinaya sekolah awal) 46, sementara di Tibet mengikuti Vinaya Mulasarvastivada. Ini menunjukkan kesinambungan institusi Sangha: kendati doktrin berkembang berbeda, tatanan dasar monastik (peraturan hidup suci) masih berakar pada model Sangha awal yang ditetapkan Buddha. Para sejarawan menyebut bahwa meskipun Mahayana sangat beragam dalam ajaran, mereka relatif konsisten dalam urusan Vinaya 46 – para bhikkhu Mahayana tetap hidup selibat, bermeditasi, berderma, dengan aturan mendasar tak jauh dari yang Buddha tetapkan.
Sekitar akhir milenium pertama Masehi, muncul cabang penting lain yakni Vajrayana (Kendaraan Intan) atau sering disebut Buddhisme Tantra. Vajrayana sebenarnya berkembang dari rahim Mahayana – ia dianggap fase lanjutan Mahayana yang mulai tumbuh sekitar abad ke-5 s.d. 7 M di India 47. Latar belakangnya antara lain pencarian metode pencapaian Buddha yang lebih cepat. Ada kesadaran bahwa jalan Bodhisattva secara tradisional memakan waktu sangat panjang (melewati banyak kelahiran). Para praktisi di India, terutama sekelompok guru yang disebut Mahasiddha, bereksperimen dengan teknik teknik esoterik untuk mempercepat proses pencerahan 48. Mereka mengembangkan Tantra – rangkaian ritual, mantra, visualisasi dewa Buddha, yoga khusus – sebagai upaya kilat mencapai realisasi. Misalnya, melalui meditasi mendalam pada yidam (dewa meditasi) sembari melafalkan mantra, seorang praktisi diyakini dapat mengakses pengalaman pencerahan Buddha dalam satu tubuh kehidupan ini 49. Vajrayana juga menganut filsafat Mahayana (Sunyata, Bodhisattva), namun menambahkan konsep khas seperti guru yoga (perlunya bimbingan guru pribadi), mandala, mudra, dan sebagainya. Beberapa sarjana berpendapat Vajrayana juga muncul sebagai reaksi terhadap situasi zaman: pada era itu, serbuan asing (mis. invasi suku Hun) dan kebangkitan Hinduisme Tantra di India membuat komunitas Buddhis mencari strategi spiritual baru 50. Vajrayana menjadi populer di India timur dan utara, lalu dibawa ke Tibet pada abad ke-8 M oleh tokoh seperti Guru Padmasambhava 51. Di Tibet, Buddhisme Vajrayana berjumpa agama lokal Bön dan sebagian ritusnya berinkulturasi (contoh: praktik Dzogchen dalam aliran Nyingma merupakan sintesis ajaran Siddha India dengan kepercayaan pribumi Tibet) 51. Vajrayana Tibet melahirkan tradisi besar seperti Nyingma, Kagyu, Sakya, Gelug dengan para Lama terkenal (misalnya Dalai Lama dari sekte Gelug). Selain Tibet, bentuk Vajrayana juga tersebar ke Nepal, Mongolia, dan Asia Tengah.
Sejak sekitar abad ke-11 M, tekanan politik di India (invasi Islam) menyebabkan lenyapnya agama Buddha dari tanah kelahirannya. Penaklukan Muslim pada abad ke-12 M menyapu bersih banyak biara di India Utara (termasuk Universitas Nalanda yang termasyhur) 52. Untungnya, pada saat itu ajaran Buddha sudah mapan di berbagai penjuru Asia, sehingga tidak punah. Theravada tetap bertahan di Srilanka dan Asia Tenggara (sempat melemah di India timur namun direvitalisasi via interaksi Srilanka-Birma) 53. Mahayana terus berkembang di Tiongkok, Jepang, Korea dengan ciri masing-masing. Vajrayana berjaya di Tibet hingga mengalami tantangan internal (pergantian dinasti, persaingan sekte) maupun eksternal (penaklukan Mongol, kemudian Tiongkok). Meski lintasan sejarah berbeda, tiap wilayah menambahkan corak lokal pada Buddhisme: misalnya, di Jepang muncul Zen yang dipadukan dengan estetika samurai dan teh, di Tiongkok muncul Chan dan Sukhavati yang berbaur dengan ajaran Konfusius, di Thailand biarawan kerap berperan dalam upacara agraris tradisional, di Tibet para Lama juga menjadi penasihat raja-raja lokal. Adaptasi budaya ini menunjukkan bahwa Sangha akhirnya berkembang berbeda-beda sesuai wilayah dan tradisi lokal, persis seperti pertanyaan yang diajukan. Buddha mungkin tidak merencanakan detail perbedaan ini, tetapi fondasi egaliter dan fleksibel yang beliau letakkan memungkinkan Buddhisme di tiap tempat mengambil bentuk unik tanpa kehilangan esensi. Sejarawan mencatat adanya gradien geografis: India utara cenderung melahirkan aliran berbau Mahayana (dan Tantra), sedang India selatan (termasuk Srilanka) melestarikan bentuk Theravada ortodoks 54. Dinamika politik lokal juga memengaruhi: di satu masa Srilanka harus mengimport ulang bhikkhu dari Myanmar karena ordonya punah akibat perang 53; di Tibet, Sangha pernah berpraktik diam-diam di rumah tangga saat rezim anti-Buddhis berkuasa 55; di Tiongkok, demi menghadapi penindasan, biksu Shaolin mengembangkan ilmu beladiri sebagai bentuk proteksi 55. Semua kisah ini menegaskan bahwa Sangha sebagai institusi mampu beradaptasi melalui zaman yang berubah, sambil tetap menjaga kesinambungan ajaran Buddha.
Setelah menelusuri perjalanan Sangha dari masa Buddha hingga kemunculan beragam tradisi, muncul pertanyaan: apakah visi awal Buddha tetap hidup di tengah perbedaan-perbedaan tersebut? Secara historis-filosofis, dapat dikatakan iya. Meskipun Buddhisme kini terfragmentasi dalam beberapa mazhab besar (Theravada, Mahayana, Vajrayana, dan turunan di dalamnya), semuanya berakar dari misi fundamental Buddha: membimbing makhluk keluar dari penderitaan (dukkha) menuju kebebasan (Nirvana). Tiap tradisi mungkin menekankan sudut yang berlainan, tetapi dasar moral dan spiritualnya sejalan dengan ajaran Sang Buddha.
Pertama, semua tradisi menghormati Triratna: Buddha, Dhamma, dan Sangha. Artinya, mereka mengakui Buddha Gautama sebagai guru agung (meski Mahayana menambah sosok Buddha kosmis, mereka tetap memulai silsilah dari Buddha Sakyamuni/Gautama). Dhamma atau Dharma yang diajarkan di semua tradisi kembali kepada inti Empat Kebenaran Mulia, sekalipun Mahayana memperluas ajaran dengan konsep sunyata atau Tathagatagarbha (benih ke-Buddha-an) dan Vajrayana menambah dimensi mantra/mandala. Sementara itu, Sangha terus dipandang sebagai komunitas praktik mulia – baik Sangha monastik (biksu biksuni) maupun sangha luas mencakup para praktisi awam. Tradisi Theravada masih mempertahankan Sangha Bhikkhu yang sangat mirip dengan zaman Buddha (dengan 227 aturan Patimokkha untuk bhikkhu, 311 untuk bhikkhuni). Tradisi Mahayana di Asia Timur juga mempertahankan ordo biksu dengan aturan Vinaya (meski di beberapa tempat, misal Jepang, ordo monastik mengalami perubahan seperti diperbolehkannya biksu menikah dalam aliran Zen – ini pengecualian modern). Tradisi Vajrayana Tibet jelas memiliki ordo monastik besar di setiap biara. Dengan demikian, lembaga Sangha yang didirikan Buddha tetap menjadi tiang penyangga agama Buddha, di mana para anggotanya melanjutkan warisan mengajar Dhamma dan menjadi teladan hidup beretika bagi umat awam 56. Dalam hal ini, visi Buddha tentang komunitas spiritual yang melestarikan ajaran telah terwujud dan bertahan lintas masa.
Kedua, dari sisi ajaran moral dan praktik dasar, ada kesatuan luar biasa. Lima sila dasar (tidak membunuh, mencuri, berzina, berbohong, menyalahgunakan zat adiktif) dijunjung oleh semua tradisi sebagai etika bagi umat awam. Prinsip welas asih dan tanpa-kekerasan (ahimsa) menjiwai etika Buddhis di Theravada maupun Mahayana 57. Latihan meditasi – apakah dalam bentuk anapanasati (pernapasan) di Theravada, chan/zen (dhyana) di Mahayana, atau visualisasi tantra di Vajrayana – semuanya bertujuan menaklukkan nafsu keinginan dan kebencian, menenangkan pikiran, dan mengembangkan kebijaksanaan batin 3. Ketiga elemen sila, samadhi, panna (etika, konsentrasi, kebijaksanaan) yang diajarkan Buddha di Deer Park tetap menjadi kerangka Jalan Mulia Berunsur Delapan di setiap aliran 3. Bahkan ketika perbedaan muncul dalam filsafat (misalnya Theravada cenderung menganalisis fenomena ke dalam dhamma kecil, Mahayana bicara “semua kosong”, Vajrayana menekankan identifikasi diri dengan aspek Buddha), tujuan akhirnya tetap mencapai pencerahan dan memadamkan dukkha. Konsep Nirvana mungkin ditafsir ulang oleh Mahayana sebagai tidak terpisah dari Samsara (dalam makna hakiki Sunyata), namun tetap merupakan kondisi bebas penderitaaan dan noda batin. Theravada menggunakan istilah Nibbana sebagai ketiadaan nafsu, kebencian, delusi – kondisi damai tertinggi. Mahayana menambahkan konsep Bodhi (penerangan sempurna Buddha) sebagai puncak yang bahkan melampaui Nirvana pasif, tetapi pada hakikatnya Bodhi pun berarti lenyapnya kejahilan dan sampainya kebebasan sejati. Adapun Vajrayana mengklaim dapat mencapai Bodhi lebih cepat, namun bukan Bodhi yang berbeda – mereka berusaha meraih pencerahan Buddha dalam satu kehidupan melalui metode intensif. Dengan demikian, tiga kendaraan (Triyana) Buddhis bak tiga jalur mendaki gunung yang berbeda lanskap, namun mengarah ke puncak yang sama.
Secara filosofis, perbedaan yang ada justru bisa dipandang sebagai penegasan visi awal Buddha dari sudut berlainan. Tradisi Theravada menekankan kebijaksanaan analitis dan upaya individual, sesuai dengan ajaran Buddha untuk berusaha sendiri: “Jadilah pulau bagi dirimu sendiri” – yang artinya setiap orang harus menempuh jalan dengan tekad pribadi, tentunya dengan bimbingan Dhamma. Ini sejalan dengan Buddha berpesan agar murid mengambil Dhamma sebagai pelita penerang diri, tidak bersandar pada guru setelah beliau tiada 2. Sementara itu, tradisi Mahayana menggarisbawahi welas asih universal, yang juga jelas berakar dari teladan Buddha. Selama hidupnya, Buddha digelari Satthadevamanussanam (Guru para dewa dan manusia) – artinya beliau diakui mengajar untuk semua makhluk, bukan golongan tertentu. Mahayana memperluas semangat ini dengan Bodhisattva yang bertekad membebaskan semua makhluk tanpa kecuali. Ini merefleksikan aspirasi agung Buddha yang dalam beberapa sutra Theravada pun disinggung: misalnya ketika Buddha berulang kali menolong orang paling kejam seperti Angulimala atau menunggu waktunya demi menyelamatkan Nalagiri gajah liar. Adapun tradisi Vajrayana menonjolkan keterampilan metodologis (upaya), yang juga tidak asing dari Buddha. Buddha sering memberikan ajaran berbeda sesuai kapasitas pendengar – contohnya kepada petani Beliau bicara analogi membajak, kepada Yasa si hartawan muda Beliau mulai dengan topik kebahagiaan keluarga, baru kemudian Dhamma mendalam, dsb. Vajrayana mengklaim hanya melanjutkan pola upaya kausal ini ke tingkat ekstrem: menggunakan simbolisme dan praktik tidak lazim untuk menjinakkan batin yang sukar diatasi dengan metode biasa. Jadi meski sepintas kontras, semua tradisi ini dapat dilihat saling melengkapi dalam memanifestasikan misi Buddha.
Hal lain yang menyatukan tradisi-tradisi Buddhis ialah penghormatan terhadap guru-guru pencerahan dan naskah suci masing-masing yang akhirnya berujung ke Buddha. Tradisi Theravada menjunjung Buddha Gautama dan para Arahat murid langsungnya; tradisi Mahayana menambah puja pada Bodhisattva seperti Avalokiteshvara (Kwan Im) atau Manjushri, tetapi tokoh-tokoh itu pun diyakini pewujud belas kasih dan kebijaksanaan Buddha. Tradisi Vajrayana memajukan figur Adi-Buddha atau Vajradhara, namun sosok ini sebenarnya perlambang hakikat Buddha itu sendiri. Secara esensi, tidak ada tradisi yang menyimpang dari keyakinan bahwa penderitaan dapat diatasi dan manusia dapat mencapai pembebasan sempurna melalui jalan yang Buddha rintis. Semuanya tetap berpijak pada Niat Awal (adhiṭṭhāna) Buddha: “bahwa dunia ini diliputi dukkha dan hanya melalui pengikisan keakuan serta pengembangan cinta kasih semua makhluk bisa berbahagia.” Misi mulia ini disepakati di seluruh tradisi, walau masing-masing mengemasnya berbeda.
Dari perspektif historis, dapat disimpulkan bahwa Buddha tidak secara eksplisit membentuk banyak sekte, namun beliau meletakkan dasar yang mampu menjangkau aneka karakter manusia. Ibarat pohon besar, Buddha menanam benih dan membangun batang kokoh (Dhamma-Vinaya). Setelah beliau tiada, dahan-dahannya tumbuh ke berbagai arah – ada yang menjulang lurus (Theravada), ada yang merentang lebar (Mahayana), ada yang berpilin unik (Vajrayana). Namun semua dahan berakar pada batang yang sama. Keragaman itu bukan pertanda perpecahan tujuan, melainkan bukti keluwesan ajaran Buddha menyesuaikan iklim budaya yang berbeda tanpa kehilangan inti ruhnya.
Visi dan misi Buddha Gautama dalam mendirikan komunitas Sangha berintikan pembentukan masyarakat spiritual ideal yang melampaui sekat-sekat duniawi demi tujuan luhur pembebasan. Beliau menghendaki Sangha menjadi sarana kolektif untuk mencapai Nirvana dan menyebarkan Dhamma bagi kesejahteraan semua makhluk. Visi ini diwujudkan dengan menciptakan Sangha yang egaliter, penuh kasih persaudaraan, diikat disiplin moral, namun tanpa kepemimpinan terpusat yang kaku – sebuah komunitas yang bersatu dalam nilai, beragam dalam pelaksanaan. Konteks sosial India yang sarat ketimpangan dijawab Buddha dengan mendirikan “keluarga baru” para pencari kebenaran dari segala lapisan. Secara politik, Sangha menunjukkan model demokratis internal dan netral terhadap kekuasaan, namun tetap bersinergi dengan patronase raja yang bijaksana. Secara spiritual, Sangha menjadi wadah latihan sila, samadhi, panna secara berkelompok, menegaskan keyakinan Buddha bahwa pembebasan bisa diraih dalam tatanan masyarakat yang beretika dan suportif 25.
Pasca parinibbana Sang Buddha, visi tersebut tidak sirna – justru berkembang dinamis menyesuaikan zaman. Munculnya berbagai tradisi seperti Theravada, Mahayana, Vajrayana menunjukkan fleksibilitas warisan Sangha. Theravada menjaga kemurnian ajaran awal dan berhasil membawa inti Dharma ke Asia Tenggara. Mahayana menggemakan semangat welas asih universal Buddha dengan kreativitas filsafat dan praktik baru yang menjadikan Buddhisme mendunia ke Timur Jauh. Vajrayana menambahkan strategi esoterik namun tetap dengan tujuan akhir pencerahan yang sama, memastikan Buddhisme bersemi di Himalaya. Meskipun tampak berbeda, ketiga “kendaraan” ini saling mengakui satu sama lain sebagai bagian dari Sasana (dispensasi) Buddha. Dalam beberapa dekade terakhir, dialog antar tradisi semakin sering terjadi dan menekankan kesamaan fundamental. Sebagai contoh, Dalai Lama (pemimpin Vajrayana Tibet) kerap mengunjungi negara-negara Theravada dan Mahayana, menyerukan persaudaraan lintas mazhab demi mempertahankan ajaran Buddha di dunia modern 58. Umat dan monastik dari tradisi berbeda pun kini saling belajar, menyadari bahwa perbedaan ada pada ranah metode, bukan tujuan.
Akhir kata, keragaman dalam tubuh Sangha Buddhis dapat dilihat sebagai manifestasi subur dari benih ajaran Buddha yang ditanam 25 abad silam. Bagaikan bunga teratai yang tumbuh di berbagai kolam, beraneka warna namun sama-sama indah, demikianlah Theravada, Mahayana, Vajrayana berkembang di lingkungan budaya berbeda namun semuanya mengakar pada air jernih kebijaksanaan Buddha. Perbedaan ritual, pakaian, bahasa, atau aliran filsafat tak mengubah fakta bahwa semua tradisi berusaha merealisasikan “rasa kebebasan” yang sama 20 – yakni kebebasan dari penderitaan, kebebasan dari kebencian, kebebasan dari kebodohan. Inilah cita-cita agung yang digariskan Buddha bagi Sanghanya: membawa cahaya pembebasan ke seluruh penjuru demi manfaat semua makhluk. Dan selama cita cita ini terus dihidupi, Sangha dalam bentuk apa pun tetaplah pewaris sejati visi mulia Sang Buddha Gautama.
1 2 16 17 21 DN 16 The Great Total Unbinding Discourse | Mahā Parinibbāna Sutta – Dhammatalks.org
3 14 56 57 Sejarah Buddha Gotama: Pencerahan dan Pengaruhnya dalam Kehidupan Sehari-hari – Vidyasena.org
4 5 15 SN 4: Mārasaṁyutta – DhammaCitta
6 7 8 9 10 11 12 13 18 19 20 25 The Buddha Sangha’s Constitution – Dharma Records
22 23 Pali: Language of Buddha’s Teachings – Fabrizio Musacchio
24 [PDF] In What Language Should One Learn the Buddha’s Word – Theravada.gr
26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 Buddhist Schools: Theravada, Mahayana & Vajrayana – Buddho.org
58 Understanding Buddhism, Part I: The Diversity of Buddhist Practice – Dr. Eric Silverman
Leave a Reply