Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Keselarasan Pemikiran Tan Malaka dengan Ajaran Buddha Dharma

Keselarasan Pemikiran Tan Malaka dengan Ajaran Buddha Dharma

September 9, 2025
Pendahuluan

Tan Malaka (1897–1949) dikenal sebagai pemikir revolusioner Indonesia yang gigih memperjuangkan kemerdekaan penuh bangsanya. Meskipun berasal dari latar ideologi Marxis yang sekuler, pemikiran Tan Malaka memiliki sejumlah nilai dan prinsip yang sejalan dengan ajaran Buddha Dharma. Baik dalam hal etika pribadi, perjuangan sosial-politik, maupun filosofi pembebasan, terdapat kesamaan pandang antara gagasan Tan Malaka dan konsep-konsep inti Buddhisme. Misalnya, Tan Malaka menekankan pentingnya tanggung jawab pribadi, sikap moderat, rasa malu berbuat salah, hingga pemahaman akan kefanaan – hal- hal yang juga diajarkan dalam Empat Kebenaran Mulia, Jalan Tengah, hiri-ottappa (malu dan takut berbuat salah), serta konsep sunyata (kekosongan) dalam Buddhisme. Dengan gaya reflektif, tulisan ini menguraikan kesamaan tersebut dari sisi historis dan ideologis, sekaligus memberikan contoh relevansinya dalam konteks sosial Indonesia masa kini.

Nilai-Nilai Etis dan Hiri-Ottappa

Secara etis, Tan Malaka dikenal memiliki integritas dan prinsip moral yang kuat. Ia menekankan moralitas yang otonom, di mana perbuatan baik dilakukan bukan karena mengharap pahala atau takut hukuman, melainkan karena kesadaran nurani sendiri 1. Sebagai contoh, Tan Malaka pernah menyatakan bahwa seseorang seyogianya menolong sesama – bahkan jika yang ditolong itu tentara Belanda sekalipun – tanpa memikirkan imbalan surga atau takut neraka 2. Sikap ini sejalan dengan konsep hiri-ottappa dalam Buddha Dharma, yaitu rasa malu berbuat jahat (hiri) dan rasa takut akan akibat perbuatan buruk (ottappa) 3.

 

Hiri-ottappa disebut sebagai “pelindung dunia” dalam ajaran Buddha, artinya bila setiap orang memiliki malu dan takut untuk berbuat salah, mereka akan menahan diri dari kejahatan 3. Tan Malaka pun menunjukkan malu moral semacam ini dalam perjuangannya – ia enggan mengkhianati prinsip keadilan dan kejujuran. Misalnya, ia menolak “kemerdekaan setengah hati” hasil kompromi dengan penjajah karena merasa itu tidak bermoral terhadap rakyat tertindas 4. Sama halnya dengan ajaran Buddha yang mendorong pengikutnya menghindari perbuatan tercela, Tan Malaka menjunjung nilai kejujuran, disiplin, dan pengendalian diri dalam berjuang. Kesadaran etis Tan Malaka yang mengandalkan nurani pribadi ini selaras dengan semangat Buddhis yang menitikberatkan tanggung jawab individu atas moralitasnya sendiri.

 

Selain itu, Tan Malaka sangat menghargai pendidikan karakter. Ia pernah berpesan bahwa tujuan pendidikan adalah “mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan, serta memperhalus perasaan” 5. Memperhalus perasaan berarti membangun kepekaan nurani dan empati – kualitas moral yang juga dijunjung tinggi dalam Buddhisme. Dalam Silā (aturan moral Buddhis), seseorang dilatih menghindari kebohongan, kekerasan, dan hal-hal yang melukai makhluk lain, yang pada intinya mengasah kehalusan batin dan kepedulian. Jadi, baik Tan Malaka maupun ajaran Buddha sama-sama menekankan pentingnya integritas moral dan empati sebagai landasan bertindak. Keduanya percaya bahwa perubahan sosial yang baik harus bermula dari pembentukan karakter individu yang bermoral. Nilai etis ini relevan bagi Indonesia masa kini, misalnya dalam upaya memberantas korupsi: dibutuhkan hiri-ottappa (malu dan takut berbuat curang) di kalangan pejabat, persis sebagaimana Tan Malaka menekankan kejujuran dan keberanian moral dalam perjuangan.

Perjuangan Sosial-Politik dan Empat Kebenaran Mulia

Tan Malaka hidup di masa rakyat Indonesia mengalami penderitaan hebat akibat penjajahan dan ketidakadilan sosial. Ia menganalisis kondisi ini layaknya seorang tabib masyarakat: menyadari adanya “penyakit” penderitaan, mencari sebabnya, lalu merumuskan jalan penyembuhan. Pendekatan Tan Malaka tersebut mengingatkan kita pada Empat Kebenaran Mulia yang diajarkan Buddha. Pertama, Buddha menyatakan adanya dukkha (penderitaan) dalam hidup. Tan Malaka pun mengakui “dukanya” rakyat kala itu: kemiskinan, kebodohan, dan penindasan di bawah kolonialisme merupakan realitas penderitaan yang ia saksikan. Kedua, Buddha menguraikan sebab penderitaan (samudaya), yakni utamanya tanhā (hasrat egois/kemelekatan) dan ketidaktahuan. Dalam konteks Tan Malaka, ia menganalisis sebab penderitaan rakyat sebagai kombinasi kolonialisme, kapitalisme, serta ignorance (ketidaksadaran rakyat akan hak- haknya). Tan Malaka berulang kali menegaskan pentingnya kesadaran dan pendidikan politik untuk melenyapkan “ketidaktahuan” rakyat agar tidak terus-menerus ditipu penjajah 6 5.

 

Hal ini bak cermin dari ajaran Buddha bahwa akar derita adalah kebodohan (avijjā) dan craving – Tan Malaka melihat rakyat menderita karena kebodohan yang dimanfaatkan penjajah serta “keserakahan” kaum imperialis mengeksploitasi Nusantara. Ketiga, Buddha menjanjikan bahwa penderitaan bisa diakhiri (nirodha), yaitu tercapainya nirvana sebagai pembebasan dari derita. Tan Malaka meyakini hal serupa dalam ranah sosial: bahwa rakyat dapat mencapai “pembebasan” sejati melalui kemerdekaan 100%. Baginya, kemerdekaan Indonesia 1945 barulah awal, dan belum memenuhi makna kebebasan sejati bila rakyat masih miskin atau tergantung pada asing 7 4 . Ia mengkritik kemerdekaan politik yang dinikmati segelintir elit sementara rakyat jelata tetap sengsara 7.

 

Merdeka 100%, menurut Tan Malaka, berarti bebas dari penjajahan fisik dan bebas dari ketergantungan ekonomi-politik pada pihak asing 4. Konsep “kemerdekaan total” ini serupa dengan pembebasan total dalam Buddhisme: tidak cukup mengurangi sedikit penderitaan, melainkan harus tuntas hingga akarnya. Keempat, Buddha mengajarkan Jalan Mulia Berunsur Delapan sebagai jalan menuju akhir derita – sering disebut Jalan Tengah. Tan Malaka pun menawarkan “jalan” perjuangan: ia menuangkan strategi dalam karyanya Madilog dan membangun aliansi Persatuan Perjuangan dengan berbagai elemen bangsa. Jalan versi Tan Malaka mencakup perjuangan politik, pendidikan massa, dan konsolidasi ideologi (Murbaisme) untuk memandu rakyat menuju pembebasan 8 9. Dapat dikatakan, jika Buddha menunjukkan Jalan Tengah spiritual (menghindari ekstrem indulgensi dan penyiksaan diri), maka Tan Malaka menggagas jalan tengah politis – suatu garis perjuangan yang menghindari ekstrem pasif tunduk pada penjajah maupun gegabah melakukan perlawanan tanpa perhitungan. Ia menolak kompromi kolonial yang menurutnya melemahkan tujuan (ekstrem akomodatif), namun ia juga pernah menolak pemberontakan komunis 1926 yang dianggapnya prematur (ekstrem terburu-buru) 10. Sikap ini menunjukkan pemahaman Tan Malaka akan pentingnya keseimbangan strategi, selaras dengan semangat Jalan Tengah Buddhis yang bijak dan tidak ekstrem.

 

Di samping itu, Tan Malaka memandang perjuangan kemerdekaan bukan sekadar pergolakan politik, tetapi memiliki dimensi moral – semacam misi suci untuk melenyapkan penderitaan manusia. Ia bahkan menempatkan tokoh-tokoh spiritual seperti Buddha Gautama dalam “panthenon” pahlawannya, sejajar dengan tokoh revolusioner dunia 11. Tan Malaka menyebut nama Buddha bersama Zarathustra, Musa, Yesus, dan Nabi Muhammad, tetapi menariknya ia melihat mereka bukan semata sebagai pendiri agama melainkan sebagai pembebas rakyat di zamannya 11. Pandangan ini menunjukkan bahwa Tan Malaka mengakui peran ajaran Buddha Dharma dalam memerdekakan manusia dari penindasan batin maupun sosial. Secara historis, ia juga mencatat bahwa pengaruh ajaran Buddha pernah “melembutkan” tatanan feodal Hindu di Nusantara kuno, meski akhirnya fungsi emansipatoris itu terbatasi oleh kembalinya kekuasaan raja-raja duniawi 12. Namun intinya, Tan Malaka menyadari bahwa nilai-nilai Buddha Dharma— seperti welas asih dan anti-penindasan—dapat menjadi kekuatan progresif bagi masyarakat. Dalam perjuangan politiknya, ia menggalang persatuan lintas golongan, termasuk golongan beragama, dengan semangat senasib sepenanggungan melawan dukkha kolektif yang diakibatkan imperialisme.

Jalan Tengah Tan Malaka: Moderasi Ideologi dan Spiritualitas

Salah satu kesamaan paling menonjol antara Tan Malaka dan ajaran Buddha adalah pendekatan moderat atau keseimbangan. Buddha mengajarkan Jalan Tengah (Majjhima Patipada), misalnya tidak hidup bermewah-mewahan tetapi juga tidak menyiksa diri, agar batin tetap seimbang. Tan Malaka menerapkan prinsip serupa dalam konteks berbeda: ia mencari jalan tengah antara ideologi Barat yang diusungnya (Marxisme) dan kearifan lokal termasuk nilai religius masyarakat Indonesia. Contohnya, meskipun seorang materialis dialektis, Tan Malaka tidak serta-merta menolak agama secara membabi-buta. Ia menghormati agama (terutama Islam sebagai agama mayoritas bangsa) sebagai sumber nilai moral, namun menolak jika agama disalahgunakan untuk kekuasaan atau menghambat kemajuan berpikir 13. Dalam polemiknya, Tan Malaka mengkritik pandangan Komintern (Komunis Internasional) yang cenderung anti-agama. Ia justru menggagas sinergi Komunisme-Panislamisme: menurut Tan Malaka, bangsa Indonesia yang beragama dapat bersatu dengan kaum kiri untuk sama-sama mengusir penjajah 14. Tan Malaka menyarankan semacam “jalan tengah” – di mana kaum revolusioner tidak memusuhi sentimen religius rakyat, melainkan merangkulnya demi tujuan pembebasan nasional. Sikap inklusif ini menunjukkan fleksibilitas dan kebijaksanaan Tan Malaka dalam berjuang, serasi dengan prinsip Jalan Tengah Buddhis yang menghindari fanatisme di salah satu kutub.

 

Dari sudut pandang lain, Madilog karya Tan Malaka juga mencerminkan semangat keseimbangan. Dalam Madilog (Materialisme-Dialektika-Logika), ia mengajak bangsa Indonesia menggunakan akal rasional modern tanpa terjebak dalam takhayul, namun tetap berpegang pada nilai-nilai keadilan sosial. Ini bisa dianggap upaya menempuh jalan tengah antara tradisi dan modernitas, antara pemikiran magis dan empiris ilmiah. Tan Malaka mencontohkan bahwa kita bisa belajar sains Barat, tapi tidak harus menjadi tiruan Barat; tetap berpijak pada kepribadian Timur yang cerdas dan berkarakter 15 16. Sikap kritis tapi tidak ekstrem tersebut mengingatkan pada Madhyamaka dalam tradisi Mahayana – filsafat Jalan Tengah yang menghindari pandangan ekstrim eternalisme (menganggap sesuatu itu kekal mutlak) maupun nihilisme (menganggap tiada arti sama sekali). Tan Malaka, lewat dialektikanya, menolak dogma absolut (baik dari mistisisme lama maupun komunisme ortodoks) tetapi juga tidak terjerumus ke nihilisme; ia mencari sintesis yang kontekstual untuk Indonesia.

 

Dari perspektif Buddhis, pendekatan Tan Malaka ini sangat menarik: alih-alih menolak agama, ia memanfaatkannya secara progresif; alih-alih berideologi kaku, ia lentur membaca situasi. Jalan Tengah semacam ini adalah pelajaran berharga bagi kondisi sosial Indonesia masa kini yang majemuk. Di tengah polarisasi antara kubu “sekuler vs religius” misalnya, teladan Tan Malaka menunjukkan bahwa keseimbangan dialogis dan fokus pada tujuan bersama (penghapusan penderitaan rakyat) jauh lebih produktif. Moderasi ideologis Tan Malaka yang tidak meninggalkan prinsip namun tetap luwes, selaras dengan pepatah Buddhis: “Segala hal, jika berlebihan atau berkekurangan, hasilnya tidak baik”. Keseimbangan inilah yang perlu diaktualisasikan dalam kehidupan berbangsa, seperti dalam merumuskan kebijakan publik yang adil tanpa bias ekstrem apapun.

Filsafat Pembebasan: Sunyata dan Ketiadaan Ego

Ajaran Buddha Dharma puncaknya bertujuan pembebasan dari belenggu penderitaan, dengan menyadari sunyata atau kekosongan semua hal. Sunyata berarti bahwa segala fenomena tidak memiliki inti tetap yang dapat dicengkeram ego; semua tunduk pada hukum ketidakkekalan (anicca) dan ketiadaan diri yang kekal (anatta). Menariknya, meski tidak menggunakan terminologi Buddhis, Tan Malaka memiliki pemikiran yang sejalan: ia menekankan sifat realitas yang selalu berubah dan tiada yang abadi. Dalam Madilog, ia mengutip filsuf Herakleitos: “Tidak ada yang tetap; segala sesuatu mengalir, senantiasa berubah, selalu muncul dan lenyap” 17. Tan Malaka sepakat bahwa “tiada sesuatu yang benar-benar ada secara permanen; yang ada hanyalah proses menjadi” 17. Pandangan dialektik ini sejalan dengan konsep sunyata, di mana bentuk-bentuk duniawi hanyalah rangkaian peristiwa saling bergantungan yang tiada inti kekal. Dengan memahami hakikat demikian, orang terbebas dari keterikatan berlebihan pada hal-hal duniawi.

 

Tan Malaka sendiri mencontohkan sikap non-keterikatan dalam laku hidupnya. Sebagai buronan politik yang berpindah-pindah, ia hidup sangat sederhana dan “tidak terikat” pada harta benda. Ia pernah menulis betapa seorang pelarian revolusioner harus siap hidup ringan tanpa dibebani barang-barang material 18. Sepanjang pelariannya dari satu negara ke negara lain, Tan Malaka meninggalkan kenyamanan pribadi demi cita-cita yang lebih besar. Sikap ini mengingatkan pada pelepasan kemelekatan (caga) dalam Buddhisme, di mana seorang pencari kebenaran – laksana biksu – meninggalkan kemewahan duniawi demi kesejahteraan makhluk. Tan Malaka, dengan caranya, telah melepaskan ego pribadinya: ia menggunakan banyak nama samaran, tidak mencari popularitas, dan akhirnya bahkan merelakan nyawanya demi revolusi. Ego pribadinya seakan “kosong” dibanding kepentingan rakyat banyak. Ini paralel dengan ideal Bodhisattva dalam Buddhisme Mahayana, di mana pejuang kebenaran rela berkorban diri karena melihat dirinya sunyata (kosong dari kepentingan pribadi) dan mengabdikan hidup untuk membebaskan semua makhluk dari penderitaan.

 

Secara filosofis, Tan Malaka juga menolak konsep otoritas absolut yang tak tersentuh kritik. Baginya, tak ada “yang Mahakuasa” dalam pengertian supra-natural yang boleh menghentikan ikhtiar manusia mencari kebenaran 13. Ia memandang alam semesta berjalan menurut hukum-hukum alam (kodrat) – pandangan yang mirip dengan Buddha Dharma yang tidak mengakui adanya pencipta mutlak; alam bekerja berdasarkan hukum sebab-akibat (karma) tanpa campur tangan pencipta luar. Penolakan Tan Malaka terhadap mitos dan takhayul sejalan dengan semangat Buddhis untuk tidak melekat pada pandangan salah (ditthi) dan melihat realitas apa adanya (yathābhūtañāna). Ketika Tan Malaka mengatakan “Yang Mahakuasa itu satu dan sama dengan alam dan kodratnya” 13, tersirat pemikiran panteistik atau naturalistik yang mendekati konsep Dhamma (hukum kebenaran) sebagai pengatur alam semesta dalam Buddhisme. Dengan demikian, baik Tan Malaka maupun ajaran Buddha mengajarkan manusia untuk tidak terbelenggu oleh ilusi kekekalan – entah itu kekekalan jiwa individu, kekuasaan duniawi, ataupun dogma ideologi. Semua fenomena adalah kosong dalam arti tidak kekal dan tidak dapat menjadi sumber kebahagiaan sejati. Kesadaran akan sunyata ini dapat melahirkan sikap tidak melekat dan pembebasan, baik pembebasan spiritual ala Buddha maupun pembebasan sosial ala Tan Malaka.

Relevansi dalam Konteks Sosial Indonesia Saat Ini

Mempelajari keselarasan antara pemikiran Tan Malaka dan ajaran Buddha Dharma bukan sekadar latihan intelektual, melainkan menawarkan inspirasi bagi kondisi Indonesia masa kini. Pertama, dalam hal nilai etis, Indonesia dewasa ini masih bergulat dengan masalah korupsi, intoleransi, dan ketidakadilan. Nilai hiri-ottappa yang tercermin dalam sikap Tan Malaka – malu berbuat curang dan takut melanggar hati nurani – sangat relevan ditanamkan pada para pemimpin dan warga. Jika setiap pejabat memiliki malu dan gentar untuk berbuat korup (sebagaimana Tan Malaka yang teguh menolak jalan kompromi yang tidak etis 4), tentu “penyakit” korupsi bisa berkurang. Demikian pula, empati lintas golongan yang dicontohkan Tan Malaka patut diteladani untuk meredam konflik SARA. Ia menunjukkan bahwa ideologi berbeda (nasionalis kiri dan Islamis) bisa bersatu demi kepentingan rakyat 14– pelajaran berharga bagi kita dalam menjaga kerukunan di tengah kemajemukan Indonesia. Nilai-nilai Buddhis seperti metta (cinta kasih) dan karuna (welas asih) pada semua makhluk selaras dengan semangat Tan Malaka memperjuangkan rakyat tanpa memandang suku-agama. Spirit inilah yang dibutuhkan agar masyarakat kita lebih harmonis dan peduli satu sama lain.

 

Kedua, dalam aspek perjuangan sosial-politik, analogi Empat Kebenaran Mulia dapat diterapkan pada kondisi bangsa. Dukkha Indonesia masa kini mungkin berwujud kemiskinan, kesenjangan, dan bencana sosial lainnya. Samudaya-nya (sebabnya) bisa dilacak pada tanha modern: keserakahan (korupsi, eksploitasi alam) dan kebencian (konflik, ujaran kebencian) yang berakar dari kebodohan. Nirodha (akhir derita) sosial dapat diwujudkan dengan reformasi dan kebijakan yang tepat, sementara Magga (jalan) menuju ke sana memerlukan “Jalan Tengah” ala Tan Malaka: strategi yang seimbang, tidak reaksioner namun juga tidak apatis. Misalnya, dalam mengatasi ketimpangan ekonomi, perlu kebijakan tegas namun tetap bijak – tidak ekstrem kapitalis, tapi juga tidak meniru mentah-mentah komunisme. Pendekatan progresif tapi humanis seperti yang Tan Malaka usulkan (Merdeka 100% yang mencakup keadilan ekonomi 4) bisa menjadi inspirasi dalam merumuskan visi pembangunan berkelanjutan yang berkeadilan.

 

Ketiga, dari sisi filosofi pembebasan, generasi sekarang bisa memetik hikmah bahwa pembebasan sejati harus holistik: membebaskan raga sekaligus jiwa. Tan Malaka memperjuangkan kemerdekaan bangsa, namun ia sadar tanpa pencerahan pikiran (melalui pendidikan Madilog) kemerdekaan lahiriah kurang bermakna. Ini sejalan dengan ajaran Buddha bahwa kebebasan eksternal saja tidak cukup tanpa kebebasan batin. Di era sekarang, meski Indonesia sudah merdeka secara politik, banyak orang masih terbelenggu oleh “penjajahan” baru seperti materialisme, konsumerisme, maupun fanatisme sempit. Sunyata mengajarkan kita untuk tidak terperangkap pada hal-hal duniawi yang kosong hakikatnya. Demikian pula Tan Malaka mengingatkan agar kemerdekaan tidak diisi dengan hal-hal semu (sekadar pergantian penjajah asing ke penindas lokal, misalnya). Relevansinya, masyarakat Indonesia perlu meraih kemerdekaan yang lebih mendalam: merdeka dari kemiskinan, dari kebodohan, dan dari kebencian. Nilai- nilai Buddha Dharma dapat bersinergi dengan semangat Tan Malaka dalam upaya pembebasan itu – sama- sama mendorong pembersihan diri (individu bermoral) dan pembenahan struktur (sistem yang adil).

Penutup

Secara reflektif, kesamaan pemikiran Tan Malaka dengan Buddha Dharma menunjukkan bahwa kebenaran nilai-nilai luhur bersifat universal. Meskipun Tan Malaka berangkat dari pergulatan politik dan Buddha dari pencarian spiritual, keduanya bertemu dalam ideal tentang pembebasan manusia dari penderitaannya. Tan Malaka mewakili perjuangan lahiriah melawan penindasan, sementara Buddha menunjukkan jalan batiniah melawan kilesa (nafsu jahat) dalam diri. Namun keduanya sama-sama menawarkan harapan: bahwa melalui jalan yang benar (baik Madilog maupun Dhamma), manusia dapat keluar dari “penjara”-nya – entah itu penjara kolonial maupun penjara batin. Seperti ungkapan Tan Malaka, “Ideologi Madilog adalah penunjuk jalan; kematianku tidak masalah, sebab Madilog tetap ada” 19, mengingatkan pada warisan Buddha Dhamma yang abadi membimbing umat manusia. Dalam konteks Indonesia kini, semangat etis Tan Malaka yang selaras Buddha Dharma bisa menjadi cermin untuk berkaca: apakah perjuangan kita sudah dilandasi welas asih, kejujuran, dan keseimbangan? Dengan memadukan kebijaksanaan timur (Buddha Dharma) dan semangat perjuangan Tan Malaka, bangsa Indonesia dapat terus bergerak menuju masyarakat yang bebas – bebas lahir batin – adil, makmur, dan tercerahkan sebagaimana cita-cita keduanya.

Sumber:

1 2 6 13 14 Konsep Etika Otonom Tan Malaka – Aggnar Lazifre

 

3 Sariputta | Hiri Dan Ottappa

 

4 7  8 9 (Pdf) Tan Malaka : Konsep Merdeka 100% Dalam Menyempurnakan Kemerdekaan Republik Indonesia

 

5 15 16 60 Kata-kata Bijak dari Tan Malaka: Kata bijak, kutipan dan ucapan – JagoKata.com

 

10 The Islamic Review (December 1955) — www.alahmadiyya.org

 

11 12 repository.cam.ac.uk

 

17 20 Tan Malaka: Pandangan Hidup (1948)

 

18 19 Tan Malaka’s Secret Language. Tan Malaka cultivated his mystique by… | by Oliver Crawford | Medium

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE