Dharma & Realita

Home / Dharma & Realita / Menelisik Metode Deposito Dana Umat di Vihara: “Dana Abadi” dan Efek Domino Risikonya

Menelisik Metode Deposito Dana Umat di Vihara: “Dana Abadi” dan Efek Domino Risikonya

October 10, 2025
Pendahuluan

Ilustrasi: Tumpukan uang sedekah di depan altar vihara, melambangkan dana umat yang dikumpulkan. Donasi dari umat Buddha untuk vihara atau yayasan adalah amanah suci yang seharusnya dikelola demi pengembangan Dharma dan kesejahteraan bersama. Umat berdana (berdonasi) dengan tulus, berharap dananya dipakai tepat sasaran: untuk perawatan vihara, kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan Dharma, atau membantu yang membutuhkan 1 2. Namun, dalam praktiknya tidak semua dana umat langsung digunakan untuk keperluan tersebut. Belakangan ini muncul pola pengelolaan yang kontroversial, yakni menyimpan dana umat sebagai deposito bank demi memperoleh bunga (imbal hasil) tinggi. Metode ini menghasilkan apa yang disebut “dana abadi” – dana pokok yang diendapkan terus-menerus, sementara operasional vihara dibiayai dari bunga deposito tersebut. Artikel ini akan mengulas secara detail metode deposito dana umat di vihara, tujuan di balik pembentukan dana abadi, serta efek domino berupa berbagai risiko dan dampak negatif yang mengiringinya.

Praktik Deposito Dana Umat dan Konsep Dana Abadi

Deposito dana umat berarti pengurus vihara/yayasan menaruh sebagian besar uang hasil donasi ke dalam rekening deposito berjangka di bank untuk jangka waktu tertentu. Deposito semacam ini menawarkan bunga bank yang relatif lebih tinggi dibanding tabungan biasa. Dalam skema dana abadi, uang pokok hasil donasi tersebut tidak akan dibelanjakan sama sekali; ia disimpan utuh sebagai semacam endowment fund (dana abadi). Hanya bunganya yang boleh dipakai, misalnya untuk biaya listrik air vihara, gaji petugas, kegiatan ritual, atau pembangunan fasilitas 3. Dengan demikian, dana pokok tetap utuh (abadi) di bank dan idealnya bisa menghasilkan bunga secara berkesinambungan. Pola ini kerap ditemui pada kebijakan keuangan konservatif sejumlah yayasan Buddhis: mereka sengaja menahan penggunaan dana donasi sekarang demi menjamin keberlangsungan finansial di masa depan.

 

Sebagai contoh konkret, Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) menerapkan konsep dana abadi dalam pengelolaan donasi umat. Setiap donasi sukarela yang diterima, secara default 50% langsung disalurkan untuk program pembangunan/renovasi vihara saat ini, sedangkan 50% lagi disimpan di bank sebagai dana abadi 4. Dana pokok yang disimpan ini tidak boleh dipakai, dan hanya bunga banknya yang nanti digunakan untuk mendukung kegiatan Dharma di kemudian hari 3. Kebijakan seperti ini dimaksudkan agar yayasan memiliki cadangan dana jangka panjang yang terus menghasilkan pemasukan (melalui bunga) tanpa mengurangi modal awal. Dengan kata lain, operasional rutin vihara bisa dibiayai dari “hasil investasi” tersebut, sementara modal donasi tetap utuh.

Alasan dan Tujuan Pembentukan Dana Abadi

Dilihat dari niat awalnya, strategi mengendapkan dana umat sebagai deposito dana abadi memiliki beberapa tujuan yang dianggap positif oleh para pengurus:

  • Menjamin Keberlanjutan Finansial: Dana abadi dimaksudkan sebagai tabungan jangka panjang untuk menjamin kelangsungan vihara. Bunga deposito memberikan pendapatan rutin yang relatif stabil, sehingga vihara tidak semata-mata bergantung pada donasi baru setiap waktu 3. Tujuannya, jika sewaktu-waktu pemasukan donasi menurun, bunga dari dana abadi dapat menutup biaya operasional dasar vihara. 
  • Pengembangan di Masa Depan: Dengan menjaga dana pokok tetap utuh, diharapkan modal ini bisa digunakan untuk proyek besar di masa mendatang atau sebagai dana darurat. Misalnya, membangun vihara baru, membeli lahan, atau ekspansi program pendidikan ketika dana sudah terkumpul cukup besar.
  • Mentalitas Hemat dan Bertanggung Jawab: Beberapa pengurus berpandangan bahwa tidak menghabiskan seluruh donasi sekaligus mencerminkan pengelolaan bijaksana dan hemat. Hanya menggunakan bunga berarti mereka hidup dari “hasil” tanpa menyentuh pokok, yang sekilas terdengar prudent. Langkah ini dianggap melatih vihara untuk hidup sesuai kemampuan (hanya pakai bunga yang ada) dan tidak boros menghabiskan dana umat. 
  • Menarik Donatur Besar: Adanya dana abadi kadang dijadikan daya tarik bagi donatur filantropis. Donatur besar mungkin lebih percaya menyumbang apabila tahu yayasan memiliki dana cadangan dan rencana jangka panjang, sehingga donasi mereka dianggap aman dan berkelanjutan manfaatnya. Beberapa yayasan secara terbuka menargetkan pengumpulan dana abadi dalam jumlah masif (misal hingga miliaran rupiah) sebagai warisan finansial bagi generasi mendatang 5 6.

Dari sisi tujuan, konsep ini memang beritikad baik, yaitu memastikan bahwa misi keagamaan dapat terus didanai dalam jangka panjang. Bahkan, dalam jangka sangat panjang, jika dana abadi cukup besar, bunga tahunannya bisa membiayai banyak kegiatan tanpa perlu selalu galang dana. Secara teori, “dana abadi” menjanjikan sustainability (keberlanjutan) bagi vihara dan melestarikan dana umat agar tidak habis terpakai sekaligus.

Efek Domino: Risiko dan Dampak Negatif

Sayangnya, di balik niat mulia tersebut, praktik menimbun dana umat sebagai deposito dana abadi ini memiliki efek domino berupa risiko-risiko serius. Berikut beberapa dampak negatif dan bahaya yang dapat muncul:

  • Penundaan Manfaat dan Stagnasi Program: Ketika sebagian besar dana umat hanya ditabung, penggunaannya untuk kegiatan nyata menjadi tertunda. Semua dana umat cuma ditabung dan pengurus enggan mengalokasikan untuk program Dharma saat ini, akibatnya perkembangan kegiatan keagamaan justru tersendat. Program pembinaan umat, pembangunan fasilitas, atau kegiatan sosial bisa terhambat karena kekurangan dana operasional, padahal dana sebenarnya ada tetapi dibekukan sebagai deposito 7. Dengan kata lain, uang umat menganggur sementara kebutuhan mendesak tidak terpenuhi – suatu ironi yang merugikan kemajuan Buddha Dharma di komunitas tersebut.
  • Mentalitas Kompetisi dan Kebanggaan Finansial: Fenomena dana abadi ini menciptakan kecenderungan lomba terselubung antar vihara untuk mengumpulkan dana cadangan sebesar besarnya. Kesuksesan vihara seolah diukur dari seberapa besar simpanan depositonya, bukan dari seberapa aktif dan bermanfaat program pembinaan umatnya. Jika dibiarkan, orientasi pengurus bisa bergeser: fokus menggalang dana demi menambah deposito (agar bunga lebih besar) alih-alih fokus melayani umat. Prestise antar lembaga pun bisa dilihat dari “kekayaan” yayasan, sehingga tujuan spiritual tersusupi motif material. Pola pikir menumpuk uang ini bertentangan dengan semangat dana paramita (kesediaan memberi dan menggunakan dana demi kebajikan saat ini).
  • Risiko Mismanagement dan Penyelewengan: Menyimpan dana dalam jumlah besar tanpa menyentuh pokoknya bisa membuka celah penyelewengan yang tidak kentara. Oknum pengurus bisa merasa “aman” karena yang mereka pakai hanya bunga, bukan dana pokok – seolah dana pokok tak tersentuh sehingga tidak dianggap merugikan. Padahal, pemanfaatan bunga juga rawan disalahgunakan jika minim pengawasan. Contohnya, bunga deposito yang relatif besar tiap tahun bisa saja tidak seluruhnya dilaporkan atau dipakai sesuai peruntukan, melainkan diselewengkan untuk kepentingan pribadi oknum. Tanpa transparansi, sulit bagi umat mengetahui apakah bunga Rp X juta per tahun benar-benar dibelanjakan untuk biaya vihara atau sebagian “bocor” ke kantong pribadi. Mentalitas menimbun dana pun dapat berkembang menjadi mentalitas memperkaya diri, apalagi jika pengurus tergoda dengan besarnya saldo yang mereka kuasai 8. Kasus-kasus nyata menunjukkan banyak penyelewengan dana umat terjadi karena integritas pengelola terguncang ketika melihat tumpukan dana di bawah kontrolnya 9. Hal ini diperparah bila sistem audit internal lemah dan donatur jarang menanyakan laporan penggunaan dana. Singkatnya, tanpa akuntabilitas, dana abadi bisa berubah menjadi ajang korupsi terselubung.
  • Hilangnya Kepercayaan Umat: Apabila umat mengetahui bahwa donasi mereka hanya didiamkan di bank dan tidak segera memberi manfaat nyata, maka kepercayaan dapat luntur. Umat berdonasi dengan harapan melihat vihara berkembang atau kegiatan meningkat. Ketika yang tampak justru saldo deposito menggelembung sementara aktivitas stagnan, muncul kekecewaan dan ketidakpercayaan. Lebih parah lagi jika terungkap ada penyelewengan; itu merupakan pengkhianatan besar terhadap umat. Dana “sepuluh penjuru” (istilah bagi dana suci dari berbagai penjuru umat) bukan sekadar uang biasa, melainkan wujud cinta kasih, kepercayaan, dan aspirasi spiritual banyak orang 10. Menyalahgunakannya atau membiarkannya menganggur berarti mencederai hati para donor. Reputasi vihara pun akan tercoreng, nama baik lembaga rusak di mata publik 11. Umat bisa kehilangan hormat dan enggan berdana lagi jika pernah dikecewakan. Sekali trust deficit terjadi, sulit dipulihkan – hal ini jelas merugikan vihara jangka panjang. 
  • Risiko Finansial dan Ekonomi: Mengandalkan bunga deposito juga mengandung risiko finansial eksternal. Suku bunga bank tidak selamanya tinggi; bisa menurun drastis mengikuti kebijakan moneter atau inflasi. Jika bunga turun, pemasukan vihara menyusut dan program terancam. Selain itu, inflasi akan menggerus nilai riil dana abadi jika bunga yang didapat lebih rendah dari laju inflasi tahunan. Uang Rp1 miliar yang didiamkan 10 tahun bisa kehilangan daya beli signifikan. Ada pula risiko gagal bank atau pencabutan izin bank (meski kecil kemungkinannya), yang bisa membuat dana abadi terancam (Lembaga Penjamin Simpanan di Indonesia hanya menjamin simpanan hingga jumlah tertentu dan dengan syarat bunga wajar 12). Artinya, strategi ini bukannya tanpa bahaya risiko investasi tetap melekat. Penelitian manajemen keuangan vihara mengingatkan bahwa organisasi keagamaan harus menghindari risiko likuiditas dan risiko investasi yang bisa membahayakan keuangan vihara 13. Terlalu banyak dana “parkir” di deposito dapat dikategorikan risiko investasi jika tidak diimbangi manajemen risiko memadai.
  • Menghambat Spirit Kebajikan Donasi: Dari sudut pandang spiritual, praktik ini pun menuai pertanyaan. Buddha mengajarkan pentingnya berdana dan segera memanfaatkan dana untuk kebajikan. Bila dana hanya ditimbun demi bunga, esensi berbagi manfaat segera bisa terabaikan. Donatur mungkin kehilangan kesempatan melihat pahala dana mereka berbuah dalam kegiatan nyata kini. Selain itu, bagi pengurus sendiri, terlampau fokus pada uang dapat mengikis kemurnian motivasi pelayanan. Beberapa bhikkhu dan tokoh Buddhist modern mengingatkan bahwa tujuan berdana bukan untuk menumpuk kekayaan lembaga, melainkan untuk melepas kekikiran dan menabur kebajikan 14. Jika institusi agama justru mencontohkan penimbunan, dikhawatirkan nilai spiritual kemurahan-hati (cāga) memudar di mata umat.
Contoh Kasus dan Fakta Terkait

Praktik penghimpunan dana abadi dengan deposito bunga bank ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan benar terjadi di lapangan. Seperti disebut sebelumnya, YADI secara resmi menjalankan model tersebut – menyimpan setengah dari tiap donasi sebagai dana abadi 4. Dana pokok yang terkumpul dikelola hati-hati di bank terpercaya, dan hanya bunganya digunakan untuk membantu renovasi vihara, pendidikan, dan kegiatan Dharma 3. Kebijakan ini di satu sisi berhasil mengumpulkan cadangan finansial YADI selama bertahun-tahun; bahkan pendirinya pernah bercita-cita mencapai dana abadi Rp1 triliun demi bisa mendirikan banyak sarana ibadah di masa depan 5 15. Hal ini menunjukkan niat baik menjaga kesinambungan dana. Namun di sisi lain, sebagaimana diskusi sebelumnya, pendekatan serupa jika diadopsi secara kaku oleh banyak vihara dapat menimbulkan ekses negatif seperti perlombaan antar lembaga dan stagnasi program kini.

 

Selain contoh kebijakan internal yayasan, terdapat pula kasus-kasus penyalahgunaan dana umat yang tercatat, memperingatkan kita tentang rapuhnya integritas jika dana besar tidak transparan. Laporan investigasi menyebut dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan laporan kasus penggelapan dana di vihara-vihara Indonesia, dengan 25 kasus tercatat tahun 2023 saja 16 17. Menariknya, lebih dari separuh kasus tersebut melibatkan pelaku yang adalah pengurus internal (bendahara, pengelola) yang memiliki akses langsung ke kas 18. Modusnya kerap berupa memalsukan laporan keuangan atau menyembunyikan sebagian donasi dari umat 19. Fakta ini menguatkan kekhawatiran bahwa tanpa transparansi dan pengawasan, dana umat – apalagi yang mengendap lama – rawan disalahgunakan.

 

Tidak hanya di kalangan vihara Buddhis, konsep dana abadi umat yang disalahkelola juga pernah terjadi di lingkup lebih luas. Sebagai perbandingan, di Kementerian Agama RI dahulu ada program Dana Abadi Umat (DAU) yang bertujuan mirip endowment untuk kemaslahatan umat. Malangnya, dana tersebut justru dikorupsi oknum pejabat karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya 20. Kasus DAU Kemenag ini berakhir dengan skandal hukum dan mencoreng kepercayaan publik. Pelajaran ini relevan: sebesar apapun dana abadi, tanpa pengawasan ketat, berpotensi diselewengkan. Bagi vihara, tentu kita tidak ingin hal serupa terjadi. Reputasi institusi agama dipertaruhkan setiap kali ada isu dana tidak jelas.

Pentingnya Transparansi dan Akuntabilitas

Untuk mencegah dampak domino negatif di atas, kuncinya terletak pada transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana umat. Beberapa langkah strategis bisa diterapkan oleh vihara dan yayasan Buddhis: 

  • Laporan Keuangan Berkala Terbuka: Pengurus wajib membuat laporan penerimaan dan penggunaan dana secara rutin (bulanan atau tahunan) dan mempublikasikannya kepada umat 21. Dengan demikian, jamaah tahu berapa dana yang disimpan di bank, berapa bunga yang diperoleh, dan kemana bunga tersebut dialokasikan. Keterbukaan informasi ini sejalan dengan prinsip transparansi dalam pengelolaan dana organisasi nirlaba 22 dan akan meningkatkan kepercayaan donatur. 
  • Audit dan Pengawasan Independen: Harus dibentuk mekanisme pengawasan efektif – misalnya audit internal dan eksternal secara berkala 23 . Melibatkan pihak luar atau tokoh umat yang kredibel dalam mengawasi keuangan bisa mencegah godaan oknum. Setiap penggunaan bunga dana abadi sebaiknya diverifikasi dan dilaporkan. Pengurus juga perlu paham bahwa umat berhak mengetahui pertanggungjawaban dana sesuai tujuan donasi 22. Sistem pengawasan berlapis akan menutup celah manipulasi.
  • Pendidikan dan Etika Pengelola: Pengurus vihara hendaknya diberi edukasi hukum dan etika tentang konsekuensi penyelewengan 24 tentang penggelapan 25. Menyelewengkan dana umat bisa dijerat Pasal 372 KUHP , di samping berdosa secara moral. Kesadaran ini penting agar para pengelola paham amanah yang diemban dan menjauhi niat buruk. Dalam ajaran Buddha pun, mencuri atau menyalahgunakan dana Sangha merupakan pelanggaran berat dengan konsekuensi karmis serius 26. Jadi, penguatan integritas sangat perlu. 
  • Pelibatan Umat dalam Pengawasan: Umat Buddha selaku stakeholder sebaiknya lebih aktif berpartisipasi mengawasi dana vihara 27. Misalnya, membentuk komite donor atau tim kecil yang menerima laporan keuangan dan memberikan masukan. Budaya check and balance internal ini akan mendorong pengelola berhati-hati karena tahu ada perhatian dari umat. Umat juga disarankan berdana dengan bijaksana (dengan paññā), memilih lembaga yang kredibel dan tak segan meminta penjelasan penggunaan dana sebelum menyumbang 28 melainkan wujud kehati-hatian agar dana tepat sasaran. 
  • Kebijakan Dana Abadi yang Fleksibel: Jika pun hendak membentuk dana cadangan, aturlah porsinya secara proporsional dan fleksibel. Jangan kaku menetapkan persentase besar tanpa evaluasi kebutuhan lapangan. Mungkin 10-20% dana untuk abadi sudah cukup, sisanya segera gunakan untuk program yang nyata manfaatnya bagi umat. Evaluasi periodik: bila dana abadi sudah mencapai jumlah memadai, hentikan dulu penambahan dan fokus optimalisasi penggunaan bunganya. Intinya, jangan sampai dana abadi berubah jadi dana mati. Kebijakan harus luwes sesuai situasi vihara.
  • Patokan Sukses yang Sehat: Ubahlah mindset bahwa keberhasilan vihara diukur dari besarnya saldo bank. Indikator kesuksesan seharusnya adalah kemajuan spiritual dan sosial: meningkatnya jumlah umat terbina, banyaknya kegiatan Dharma, manfaat bagi masyarakat sekitar, dsb. Pimpinan sangha dan organisasi payung (seperti Permabudhi/Walubi) dapat menekankan hal ini dalam pembinaan pengurus vihara. Dengan demikian, para pengelola terdorong berlomba dalam kebaikan program, bukan dalam mengumpulkan uang semata.

Upaya-upaya preventif di atas sejalan dengan rekomendasi para pemerhati dan organisasi Buddhist. Permabudhi Sulsel, misalnya, menegaskan perlunya transparansi, audit, dan peran aktif umat untuk menjaga kesucian tempat ibadah dan memastikan dana umat digunakan sesuai peruntukannya 29. Apabila ada pelanggaran, umat dihimbau tidak ragu mengambil langkah korektif – melaporkan indikasi penyimpangan kepada pihak berwajib – demi menyelamatkan vihara dari kerusakan lebih jauh 30. Pada akhirnya, semua pihak (pengurus, bhikkhu, dan umat awam) memikul tanggung jawab bersama menjaga agar dana kebajikan benar-benar menjadi berkah, bukan mudarat.

Kesimpulan

Metode menaruh dana umat sebagai deposito dana abadi di vihara muncul dari niat menjaga keberlanjutan finansial jangka panjang. Secara konseptual ada manfaatnya, terutama dalam menjamin ketersediaan dana rutin melalui bunga bank. Namun, kita telah mengupas tuntas bagaimana praktik ini juga membawa efek domino yang membahayakan: mulai dari tertahannya laju penyebaran Dharma saat ini, lahirnya budaya kompetisi menimbun dana, meningkatnya risiko penyelewengan akibat kurang pengawasan, hingga potensi hilangnya kepercayaan umat. Introspeksi mendalam diperlukan bagi setiap pengelola dana umat: Apakah kebijakan keuangan yang diambil benar-benar demi kemajuan Buddha Dharma, atau jangan-jangan demi keamanan dan kenyamanan semu semata? Jangan sampai dana umat yang seharusnya menjadi pupuk kebajikan malah disalahkelola dan merugikan perkembangan rohani.

 

Pada titik ini, keseimbangan adalah kuncinya. Mengelola vihara perlu visi jangka panjang dan tanggung jawab jangka pendek. Dana cadangan boleh ada, tetapi proporsional dan transparan. Penggunaan dana umat semestinya segera dirasakan manfaatnya oleh umat itu sendiri dalam bentuk program nyata, bukan hanya angka di buku bank. Para donatur pun diimbau tetap berdana dengan tulus namun cerdas; setelah berdana ikhlaskanlah, namun dukunglah pula perbaikan sistem agar dana tersebut benar-benar dipakai sebagaimana mestinya. Seperti diingatkan Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, tujuan berdana adalah melatih kemurahan hati dan menabur benih kebajikan, bukan mencari pujian atau imbalan instan 14. Selama niat itu lurus, pahala berdana tetap akan berbuah bagi yang memberi, sekalipun ada oknum yang menyalahgunakan 28.

 

Akhir kata, transparansi, kejujuran, dan pengawasan adalah tiga serangkai yang harus dijunjung dalam tata kelola dana umat. Dengan kolaborasi sehat antara pengurus yang amanah dan umat yang peduli, vihara dapat berkembang sebagai pusat kebajikan yang murni – bagaikan pelita yang terang bercahaya, ditopang oleh sumbangsih tulus dari sepuluh penjuru. Semoga dana yang dihimpun senantiasa menjadi berkah bagi kemajuan Buddha Dharma dan kemaslahatan semua makhluk. Sabbe sattā bhavantu sukhitattā – semoga semua makhluk berbahagia.

Sumber Referensi :

1 2 8 9 16 17 18 19 21 23 24 25 27 Louis Adi Putra, “Bongkar Praktik Licik Pengelolaan Dana Vihara yang Merugikan Umat,” Permabudhi
Sulsel (2024)

 

3 4 Presentasi Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) – Jenis Dana Donatur dan Kebijakan Dana Abadi

 

5 6 15 Setitik 9 – e-Library Nalanda.

 

7 10 11 14 26 28 29 30 Young Buddhist Association, “Penyalahgunaan Dana ‘Uang Sepuluh Penjuru’: Dampak Buruk dan
Solusinya” (2025)

 

12 Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), “Himbau Nasabah Perbankan agar Tidak Tergiur Bunga Tinggi.”

 

13 22 Sari et al., “Pengelolaan Dana Donasi Vihara pada Vihara Budhi Dharma,” Jurnal Akuntansi Universitas Tarumanagara (2023).

 

20 Santi R. Devi, Kasus Penyelewengan Dana Abadi Umat di Kemenag – Analisis (2014)

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

TRANSLATE