Ilustrasi: Tumpukan uang sedekah di depan altar vihara, melambangkan dana umat yang dikumpulkan. Donasi dari umat Buddha untuk vihara atau yayasan adalah amanah suci yang seharusnya dikelola demi pengembangan Dharma dan kesejahteraan bersama. Umat berdana (berdonasi) dengan tulus, berharap dananya dipakai tepat sasaran: untuk perawatan vihara, kegiatan keagamaan, sosial, pendidikan Dharma, atau membantu yang membutuhkan 1 2. Namun, dalam praktiknya tidak semua dana umat langsung digunakan untuk keperluan tersebut. Belakangan ini muncul pola pengelolaan yang kontroversial, yakni menyimpan dana umat sebagai deposito bank demi memperoleh bunga (imbal hasil) tinggi. Metode ini menghasilkan apa yang disebut “dana abadi” – dana pokok yang diendapkan terus-menerus, sementara operasional vihara dibiayai dari bunga deposito tersebut. Artikel ini akan mengulas secara detail metode deposito dana umat di vihara, tujuan di balik pembentukan dana abadi, serta efek domino berupa berbagai risiko dan dampak negatif yang mengiringinya.
Deposito dana umat berarti pengurus vihara/yayasan menaruh sebagian besar uang hasil donasi ke dalam rekening deposito berjangka di bank untuk jangka waktu tertentu. Deposito semacam ini menawarkan bunga bank yang relatif lebih tinggi dibanding tabungan biasa. Dalam skema dana abadi, uang pokok hasil donasi tersebut tidak akan dibelanjakan sama sekali; ia disimpan utuh sebagai semacam endowment fund (dana abadi). Hanya bunganya yang boleh dipakai, misalnya untuk biaya listrik air vihara, gaji petugas, kegiatan ritual, atau pembangunan fasilitas 3. Dengan demikian, dana pokok tetap utuh (abadi) di bank dan idealnya bisa menghasilkan bunga secara berkesinambungan. Pola ini kerap ditemui pada kebijakan keuangan konservatif sejumlah yayasan Buddhis: mereka sengaja menahan penggunaan dana donasi sekarang demi menjamin keberlangsungan finansial di masa depan.
Sebagai contoh konkret, Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) menerapkan konsep dana abadi dalam pengelolaan donasi umat. Setiap donasi sukarela yang diterima, secara default 50% langsung disalurkan untuk program pembangunan/renovasi vihara saat ini, sedangkan 50% lagi disimpan di bank sebagai dana abadi 4. Dana pokok yang disimpan ini tidak boleh dipakai, dan hanya bunga banknya yang nanti digunakan untuk mendukung kegiatan Dharma di kemudian hari 3. Kebijakan seperti ini dimaksudkan agar yayasan memiliki cadangan dana jangka panjang yang terus menghasilkan pemasukan (melalui bunga) tanpa mengurangi modal awal. Dengan kata lain, operasional rutin vihara bisa dibiayai dari “hasil investasi” tersebut, sementara modal donasi tetap utuh.
Dilihat dari niat awalnya, strategi mengendapkan dana umat sebagai deposito dana abadi memiliki beberapa tujuan yang dianggap positif oleh para pengurus:
Dari sisi tujuan, konsep ini memang beritikad baik, yaitu memastikan bahwa misi keagamaan dapat terus didanai dalam jangka panjang. Bahkan, dalam jangka sangat panjang, jika dana abadi cukup besar, bunga tahunannya bisa membiayai banyak kegiatan tanpa perlu selalu galang dana. Secara teori, “dana abadi” menjanjikan sustainability (keberlanjutan) bagi vihara dan melestarikan dana umat agar tidak habis terpakai sekaligus.
Sayangnya, di balik niat mulia tersebut, praktik menimbun dana umat sebagai deposito dana abadi ini memiliki efek domino berupa risiko-risiko serius. Berikut beberapa dampak negatif dan bahaya yang dapat muncul:
Praktik penghimpunan dana abadi dengan deposito bunga bank ini bukan sekadar isapan jempol, melainkan benar terjadi di lapangan. Seperti disebut sebelumnya, YADI secara resmi menjalankan model tersebut – menyimpan setengah dari tiap donasi sebagai dana abadi 4. Dana pokok yang terkumpul dikelola hati-hati di bank terpercaya, dan hanya bunganya digunakan untuk membantu renovasi vihara, pendidikan, dan kegiatan Dharma 3. Kebijakan ini di satu sisi berhasil mengumpulkan cadangan finansial YADI selama bertahun-tahun; bahkan pendirinya pernah bercita-cita mencapai dana abadi Rp1 triliun demi bisa mendirikan banyak sarana ibadah di masa depan 5 15. Hal ini menunjukkan niat baik menjaga kesinambungan dana. Namun di sisi lain, sebagaimana diskusi sebelumnya, pendekatan serupa jika diadopsi secara kaku oleh banyak vihara dapat menimbulkan ekses negatif seperti perlombaan antar lembaga dan stagnasi program kini.
Selain contoh kebijakan internal yayasan, terdapat pula kasus-kasus penyalahgunaan dana umat yang tercatat, memperingatkan kita tentang rapuhnya integritas jika dana besar tidak transparan. Laporan investigasi menyebut dalam lima tahun terakhir terjadi peningkatan laporan kasus penggelapan dana di vihara-vihara Indonesia, dengan 25 kasus tercatat tahun 2023 saja 16 17. Menariknya, lebih dari separuh kasus tersebut melibatkan pelaku yang adalah pengurus internal (bendahara, pengelola) yang memiliki akses langsung ke kas 18. Modusnya kerap berupa memalsukan laporan keuangan atau menyembunyikan sebagian donasi dari umat 19. Fakta ini menguatkan kekhawatiran bahwa tanpa transparansi dan pengawasan, dana umat – apalagi yang mengendap lama – rawan disalahgunakan.
Tidak hanya di kalangan vihara Buddhis, konsep dana abadi umat yang disalahkelola juga pernah terjadi di lingkup lebih luas. Sebagai perbandingan, di Kementerian Agama RI dahulu ada program Dana Abadi Umat (DAU) yang bertujuan mirip endowment untuk kemaslahatan umat. Malangnya, dana tersebut justru dikorupsi oknum pejabat karena kurangnya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaannya 20. Kasus DAU Kemenag ini berakhir dengan skandal hukum dan mencoreng kepercayaan publik. Pelajaran ini relevan: sebesar apapun dana abadi, tanpa pengawasan ketat, berpotensi diselewengkan. Bagi vihara, tentu kita tidak ingin hal serupa terjadi. Reputasi institusi agama dipertaruhkan setiap kali ada isu dana tidak jelas.
Untuk mencegah dampak domino negatif di atas, kuncinya terletak pada transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan dana umat. Beberapa langkah strategis bisa diterapkan oleh vihara dan yayasan Buddhis:
Upaya-upaya preventif di atas sejalan dengan rekomendasi para pemerhati dan organisasi Buddhist. Permabudhi Sulsel, misalnya, menegaskan perlunya transparansi, audit, dan peran aktif umat untuk menjaga kesucian tempat ibadah dan memastikan dana umat digunakan sesuai peruntukannya 29. Apabila ada pelanggaran, umat dihimbau tidak ragu mengambil langkah korektif – melaporkan indikasi penyimpangan kepada pihak berwajib – demi menyelamatkan vihara dari kerusakan lebih jauh 30. Pada akhirnya, semua pihak (pengurus, bhikkhu, dan umat awam) memikul tanggung jawab bersama menjaga agar dana kebajikan benar-benar menjadi berkah, bukan mudarat.
Metode menaruh dana umat sebagai deposito dana abadi di vihara muncul dari niat menjaga keberlanjutan finansial jangka panjang. Secara konseptual ada manfaatnya, terutama dalam menjamin ketersediaan dana rutin melalui bunga bank. Namun, kita telah mengupas tuntas bagaimana praktik ini juga membawa efek domino yang membahayakan: mulai dari tertahannya laju penyebaran Dharma saat ini, lahirnya budaya kompetisi menimbun dana, meningkatnya risiko penyelewengan akibat kurang pengawasan, hingga potensi hilangnya kepercayaan umat. Introspeksi mendalam diperlukan bagi setiap pengelola dana umat: Apakah kebijakan keuangan yang diambil benar-benar demi kemajuan Buddha Dharma, atau jangan-jangan demi keamanan dan kenyamanan semu semata? Jangan sampai dana umat yang seharusnya menjadi pupuk kebajikan malah disalahkelola dan merugikan perkembangan rohani.
Pada titik ini, keseimbangan adalah kuncinya. Mengelola vihara perlu visi jangka panjang dan tanggung jawab jangka pendek. Dana cadangan boleh ada, tetapi proporsional dan transparan. Penggunaan dana umat semestinya segera dirasakan manfaatnya oleh umat itu sendiri dalam bentuk program nyata, bukan hanya angka di buku bank. Para donatur pun diimbau tetap berdana dengan tulus namun cerdas; setelah berdana ikhlaskanlah, namun dukunglah pula perbaikan sistem agar dana tersebut benar-benar dipakai sebagaimana mestinya. Seperti diingatkan Bhante Sri Pannyavaro Mahathera, tujuan berdana adalah melatih kemurahan hati dan menabur benih kebajikan, bukan mencari pujian atau imbalan instan 14. Selama niat itu lurus, pahala berdana tetap akan berbuah bagi yang memberi, sekalipun ada oknum yang menyalahgunakan 28.
Akhir kata, transparansi, kejujuran, dan pengawasan adalah tiga serangkai yang harus dijunjung dalam tata kelola dana umat. Dengan kolaborasi sehat antara pengurus yang amanah dan umat yang peduli, vihara dapat berkembang sebagai pusat kebajikan yang murni – bagaikan pelita yang terang bercahaya, ditopang oleh sumbangsih tulus dari sepuluh penjuru. Semoga dana yang dihimpun senantiasa menjadi berkah bagi kemajuan Buddha Dharma dan kemaslahatan semua makhluk. Sabbe sattā bhavantu sukhitattā – semoga semua makhluk berbahagia.
1 2 8 9 16 17 18 19 21 23 24 25 27 Louis Adi Putra, “Bongkar Praktik Licik Pengelolaan Dana Vihara yang Merugikan Umat,” Permabudhi
Sulsel (2024)
3 4 Presentasi Yayasan Abdi Dhamma Indonesia (YADI) – Jenis Dana Donatur dan Kebijakan Dana Abadi
5 6 15 Setitik 9 – e-Library Nalanda.
7 10 11 14 26 28 29 30 Young Buddhist Association, “Penyalahgunaan Dana ‘Uang Sepuluh Penjuru’: Dampak Buruk dan
Solusinya” (2025)
12 Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), “Himbau Nasabah Perbankan agar Tidak Tergiur Bunga Tinggi.”
13 22 Sari et al., “Pengelolaan Dana Donasi Vihara pada Vihara Budhi Dharma,” Jurnal Akuntansi Universitas Tarumanagara (2023).
20 Santi R. Devi, Kasus Penyelewengan Dana Abadi Umat di Kemenag – Analisis (2014)
Leave a Reply